MENU

Where the world comes to study the Bible

6. Terjebak dalam Perangkap— Kisah Daud dan Betsyeba

Jika Alkitab merupakan sebuah buku dari pikiran manusia, ditulis untuk meninggikan manusia, kisah yang akan kita pelajari sekarang pasti akan diedit dengan cermat atau dihilangkan sama sekali. Tapi Alkitab merupakan buku yang diinspirasi oleh Tuhan, ditulis untuk memuliakan Tuhan, dan seheran apapun kenyataan yang dibuka, kisah ini untuk meninggikan Tuhan. Inilah alasan untuk tidak mengabaikannya dalam penyelidikan tentang hubungan pernikahan di Alkitab.

Kisah ini tentang Daud, pahlawan terbesar dalam sejarah Ibrani, dan melalui kesaksian Tuhan, merupakan seorang yang berkenan dihatiNya (1 Sam. 13:14; Acts 13:22). Tapi manusia memiliki kelemahan, bahkan yang berkenan dihatiNya. Dan Tuhan tidak malu membagikan pada kita kelemahan orangNya yang terbesar. Kita belajar dari kesalahan mereka, sama seperti hati kita yang memalukan, akibat buruk dari dosa kita, dan kedalam anugrah pengampunan Tuhan. Jadi marilah kita belajar dari Daud.

Daud dikenal seluruh bangsa saat dia remaja. Saat seorang laki-laki remaja membunuh raksasa yang membuat setiap prajurit Israel yang pemberani gemetar, pastilah akan diperhatikan orang. Para wanita diseluruh Israel bernyanyi: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1 Sam. 18:7). Sebagai tambahan, Alkitab menunjukan bahwa dia seorang yang sangat tampan, atlit yang luar biasa, seorang musisi yang handal, dan penyair yang pintar. Dan dikatakan dia akan menjadi raja Israel berikutnya (1 Sam. 16:13). Bicara tentang idola remaja—saya bisa membayangkan remaja wanita di Israel pasti jatuh cinta pada Daud. Alkitab berkata, “tetapi seluruh orang Israel dan orang Yehuda mengasihi Daud” (1 Sam. 18:16).

Dan siapa lagi yang mendapatkannya selain anak perempuan Saul, Mikhal. Dia punya petunjuk dari dalam selama ini. Dan, dia adalah anak perempuan raja, dan Daud menghabiskan waktu diistana. Selain itu, Mikhal diketahui bahwa dia jatuh cinta pada Daud (1 Sam. 18:20). Tapi Alkitab menunjukan bahwa Daud menikahinya lebih karena keberanian daripada kasih sejati. Disuatu kejadian setelah mereka menikah, Mikhal menolong Daud meloloskan diri dari kemarahan ayahnya (1 Sam. 19:11-17). Dia jelas tidak bisa bersama dengan Daud dalam keadaan seperti itu, jadi Saul mengambil kesempatan dan memberikannya pada pria lain (1 Sam. 25:44). Pernikahan masa remaja Daud berakhir dalam kegagalan. Menikah sebelum kita mengerti tanggung jawab kehidupan dewasa memiliki resiko tinggi. Tidak ada bahayanya menunggu sampai pasti.

Selama tahun-tahun sebagai pelarian dari Saul, dia bertemu wanita yang cantik bernama Abigail. Alkitab berkata, “Perempuan itu bijak dan cantik” (1 Sam. 25:3). Hikmatnya, kedewasaan, keindahan, dan pesonanya menawan Daud, dan saat Tuhan mematikan suaminya yang jahat, Nabal. Daud tidak membuang waktu menawarkan perkawinan (1 Sam. 25:39). Itu pilihan yang baik. Melihat Mikhal sudah menjadi istri orang lain karena kesalahannya, banyak yang akan berkata ini berkenan pada Tuhan.

Tapi hal berikut yang kit abaca dalam Alkitab jelas tidak berkenan. “Juga Ahinoam dari Yizreel telah diambil Daud menjadi isterinya; kedua perempuan itu menjadi isterinya” (1 Sam. 25:43). Daud tahu Tuhan telah memilihnya menjadi raja Israel berikutnya, dan dia juga tahu apa yang Tuhan katakan tentang raja Israel. Sebelum orang masuk tanah perjanjian, Tuhan memperingatkan mreka bahwa suatu saat mereka akan menginginkan seorang raja seperti negeri disekitar mereka. Dia akan mengijinkan mereka menunjuk seorang dari mereka yang dipilihNya, tapi dia harus berhati-hati untuk tidak memperbanyak istri bagi dirinya karena mereka bisa membuat hatinya menjauhi Tuhan (Deut. 17:14-17). Tapi kita melihat dalam tulisan ini kalau Daud mengambil 4 istri lagi: Maacah, Haggith, Abital, dan Eglah (2 Sam. 3:2-5). Dan kita hampir tidak percaya saat membaca, “Daud mengambil lagi beberapa gundik dan isteri dari Yerusalem” (2 Sam. 5:13).

Bukannya dorongan fisik Daud sangat berbeda dari pria normal lainnya; itu merupakan hal biasa yang dilakukan raja setempat untuk menunjukan kekayaan dan kuasa mereka, dan Daud membiarkan filosofi dunia menggantikan kehendak Tuhan. Tapi itu menunjukan kalau Daud seorang manusia, dan menunjukan salah satu kelemahan terbesarnya.

Dia berumur sekitar 14 tahun, umur yang rentan, kata mereka. Dia sudah mencapai kemenangan militer yang luar biasa, memperluas batas Israel dan mengamankan mereka dari bangsa sekitar. Pertama kita lihat gema kenikmatani dosa. “Pada pergantian tahun, pada waktu raja-raja biasanya maju berperang, maka Daud menyuruh Yoab maju beserta orang-orangnya dan seluruh orang Israel. Mereka memusnahkan bani Amon dan mengepung kota Raba, sedang Daud sendiri tinggal di Yerusalem” (2 Sam. 11:1).

Para raja keluar berperang karena musim dingin akan menghalangi pergerakan pasukan. Perang melawan Amon masalah kecil, sisa dari musim perang lalu. Israel sudah mengalahkan Siria yang disewa Amon untuk mengalahkan mereka, jadi Daud mungkin mengira pekerjaan menyelesaikan Amon tinggal mendesak mereka. Sementara tempat dimana seharusnya dia berada adalah menyediakan kepemimpinan bagi orangnya dimedan perang, dia membiarkan demam sebagai alasan dan tetap dirumah, menjauh dari tugas. Lagi pula dia rajanya. Dia bisa melakukan apapun yang dia mau.

Mengabaikan tanggung jawab sering merupakan langkah pertama penurunan rohani. Saya merasakan terutama diantara orang muda, kalau kita bisa melakukan lebih banyak terhadap apapun yang kita ingin lakukan. Dan kita tidak harus melakukan apapun yang kita tidak mau. Inilah masanya melakukan kepentingan sendiri. Betul, kita bisa melakukan apapun yang kita sukai, tapi tidak tanpa membayar harga rohaninya. Tuhan memiliki rencana bagi hidup kita. Dia meletakan tanggung jawab tertentu atas kita, dan saat kita menghindarinya dengan alasan atau pembenaran, kita membuka pintu pencobaan sehingga melemahkan keinginan kita berjalan bersama Tuhan.

Kisah ini dimulai dimana Daud sedang berada. “Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana” (2 Sam. 11:2). Apa anda bisa membayangkannya? Saat itu sudah petang, dan Daud sedang bangun dari pembaringannya. Jika kita masih punya keraguan kenapa dia tetap dirumah, sekarang sudah sirna. Dan dia keluar bukan untuk bertugas. Daud sedang ngintip! “tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang perempuan sedang mandi” (2 Sam. 11:2). Jika dia menggunakan otaknya, maka dia akan menghindar dari hal itu. Tapi dia berlambat-lambat, dan membiarkan matanya berpesta melihat setiap inci tubuh Betsyeba, sampai dia tidak bisa menolak untuk bisa mendapatkannya.

Dicobai bukan dosa. Tapi berlama-lama melihat itu, bermain dengannya, menggodanya—itu tidak bisa ditolerir, seperti kasus Hawa. Kita menginginkan sesuatu sehingga kita tidak bisa menolak dosa. Pertanyaan yang tertinggal hanyalah bagaimana kita melakukannya. Tuhan berkata kalau kita harus lari dari cobaan (2 Tim. 2:22). Dan Dia akan menolong kita mengatasinya jika kita taat. Tapi jika kita melalaikan dan bermain-main dengannya, kita hancur. Saat seorang pria tertarik pada wanita, sebagai contoh, keduanya sudah menikah, maka pria itu perlu melarikan diri dari situasi itu secepat mungkin. Semakin lama dia memelihara hubungan, semakin sulit melepaskannya, sampai akhirnya dia mendengar dia berkata dengan bodohnya, “Tapi saya tidak bisa hidup tanpa dirinya.” Dan sebelum dia menyadari dampak perkataannya, hidupnya dan keluarganya sudah terseret.

Betsyeba bukannya tidak bersalah. Dia mungkin tidak sengaja menggoda Daud, tapi dia tidak hati-hati dan bijak. Manda dan bertelanjang dihalaman, bisa dengan jelas terlihat diatas beberapa sotok tetangga sebenarnya cari masalah. Dia bisa mandi didalam. Bahkan dimasa kita, sebagian wanita kelihatannya tidak menyadari kelemahan mata pria. Mereka membiarkan diri didorong masuk kedalam gaya pakaian dunia yang memakai pakaian terbuka, atau hampir tidak ada kainnya; dan mereka bisa heran kenapa pria tidak bisa pikir lain, hanya seks. Kita tidak boleh gagal mengajar anak perempuan kita tentang hal ini, terutama saat mereka remaja. Orangtua Kristen harus mengajar anak perempuan mereka kenyataan tentang nature pria dan arti kesopanan, kemudian setuju akan standar berpakaian mereka.

Daud kemudian mengetahui siapa yang mandi itu, memanggilnya, dan pikiran menjadi tindakan. Tidak ada bukti kalau ini merupakan tindakan pemerkosaan. Betsyeba kelihatannya menjadi pasangan yang bersedia. Suaminya pergi perang dan dia sendirian. Daya tarik yang bisa melumpuhkan raja yang ganteng lebih bernilai dari komitmennya pada suami dan dedikasinya pada Tuhan. Mereka mungkin menikmati saat itu; mungkin mereka meyakinkan diri kalau itu pengalaman yang indah. Kebanyakan orang melakukan itu! Tapi dalam penglihatan Tuhan, itu menyeramkan dan jelek. Setan mendapatkan mangsa dan sekarang mereka ada dalam cengkramannya.

Hal yang tidak dikehendaki datang, Betsyeba mengirim berita kalau dia hamil. Ini hal serius dibudaya ini, karena bisa dihukum dilempari batu sampai mati menurut Hukum Musa (cf. Lev. 20:10). Tidak ada krisis yang bisa menggoncang Daud sebelumnya, dan dia tidak mau membiarkan ini menghancurkannya. Rencananya adalah membawa suami Betsyeba pulang rumah beberapa hari; maka tidak ada yang tahu bayi siapa yang dia kandung. Tapi Uria terlalu patriotic untuk menikmati istrinya sementara teman-temannya mempertaruhkan nyawa dimedan perang, jadi dia tidur dibarak dengan pelayan raja. Maka Daud melaksanakan rencana B. Dia dengan tenang menuliskan kematian Uria, memeteraikannya, dan mengirimnya ke Kapten Yoab digaris depan, diantar sendiri oleh Uria. Dia memerintahkan Yoab meletakan Uria dibagian pertempuran terhebat, dan mengundurkan diri darinya. Dan Daud menambahkan pembunuhan selain perzinahan. Setelah waktu berduka yang singkat, Betsyeba masuk kerumah Daud dan menjadi istrinya, dan keduanya akhirnya menikmati hal itu tanpa diganggu … kecuali satu hal: “Tetapi hal yang telah dilakukan Daud itu adalah jahat di mata TUHAN” (2 Sam. 11:27).

Hal itu membawa kita kepoint berikut: tangan disiplin yang berat. Daud tahu dia sudah berdosa. Kita biasanya begitu, didalam hati kita. Tapi kita mencoba mengabaikannya, mencoba hidup seperti itu tidak terjadi. Jika kesadarannya jadi terlalu berat, dia akan membenarkan diri dengan berkata, “saya raja, saya bisa melakukan apa yang aku suka. Itu sebenarnya kesalahan Betsyeba. Lagi pula siapa yang saya rugikan? Sebagian orang memang harus mati dalam perang, kenapa Uria tidak?” Kemungkinan kita bikin alasan terhadap dosa kita tidak ada akhirnya. Tapi ada yang mengganggu perut Daud, kekosongan yang tidak bisa digambarkannya, bersama dengan depresi yang berat.

Dia menuliskan ini dalam 3 mazmur, mengambarkan bulan-bulan diluar hubungan dengan Tuhan: Psalms 32, 38 dan 51. Dengarkan tangisannya: “aku terbungkuk-bungkuk, sangat tertunduk; sepanjang hari aku berjalan dengan dukacita … aku kehabisan tenaga dan remuk redam, aku merintih karena degap-degup jantungku” (Psa. 38:6, 8). Daud mengasihi Tuhannya dan mencoba memujiNya, tapi dia menemukan halangan; itu halangan dosanya sendiri. Tuhan kelihatannya jauh. “Jangan tinggalkan aku, ya TUHAN, Allahku, janganlah jauh dari padaku!” (Psa. 38:21). Temannya merasakan hal ini dan menghindar darinya. “Sahabat-sahabatku dan teman-temanku menyisih karena penyakitku, dan sanak saudaraku menjauh” (Psa. 38:11). Daud menjalaninya hampir satu tahun. Dia mendapatkan Betsyeba, tapi jiwanya tidak tenang.

Kemudian suatu hari Tuhan mengirim nabi Natan dengan cerita yang menarik. “Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu” (2 Sam. 12:1-4). Saat Daud mendengar cerita itu, dia sangat marah pada orang itu dan berkeras kalau orang itu harus mati.

Rasa bersalah melakukan itu pada kita. Kita biasanya kasar dan kejam terhadap dosa orang lain tapi kita menyembunyikan punya kita. Kemarahan dibawa sadar kita meletus atas mereka.

Dengan takut dan gentar, Natan menyatakan perkataan berikutnya. Orang lain sudah kehilangan kepalanya karena mengatakan hal yang kurang keras dari ini, tapi dia diikat oleh panggilannya untuk membawa pesan Tuhan kepada telinga raja. Dia menunjuk ke Daud dan berkata, “Engkaulah orangnya!” Kemudian dia memberikan pesan pribadi Tuhan pada Daud: “Akulah yang mengurapi engkau menjadi raja atas Israel dan Akulah yang melepaskan engkau dari tangan Saul. Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu. Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya? Uria, orang Het itu, kaubiarkan ditewaskan dengan pedang; isterinya kauambil menjadi isterimu, dan dia sendiri telah kaubiarkan dibunuh oleh pedang bani Amon” (2 Sam. 12:7-9). Dan kesadaran dari Roh Tuhan menusuk kedalaman jiwa Daud.

Dosa biasanya membawa dampak tidak enak, dan Tuhan tidak selalu menghilangkannya. Dia tahu kalau dengan mengalami dampak dosa kita, akan menolong kita lebih peka terhadap kehendakNya. Akibat dosa Daud sangat luas dan lama. Pertama, pedang tidak akan menyingkir dari keturunannya (2 Sam. 12:10). Orang-orang diistana tahu apa yang sedang terjadi. Mereka bisa menghitung bulan, dan menyadari Uria tidak dirumah saat bayi dilahirkan. Itu pasti bayinya Daud. Kemudian mereka berpikir tentang kematian Uria, dan semua hal terlalu kebetulan. Anak Daud, Absalom mengetahui hal ini. Dan saat dia membunuh saudara tirinya Amnon karena memperkosa adik perempuannya (2 Sam. 13:28), dia mungkin membenarkan dirinya dengan pemikiran, “Ayah melakukan hal yang sama. Kenapa saya tidak?” Kapten Yoab mengetahui hal ini. Dialah yang menjalankan perintah berdosa Daud terhadap Uria. Dan dia mungkin menggunakan hal ini sebagai alasan saat dia membunuh kapten Absalom, Amasa (2 Sam. 20:9, 10). Pedang tidak pernah menyingkir dari keluarga Daud. Dosa kita juga memberi dampak pada mereka yang dekat dengan kita.

Akibat kedua dari dosa Daud adalah Tuhan akan menimpakan malapetaka atas keluarganya (2 Sam. 12:11). Baca kisah hidup Daud dan lihat pemenuhan janji Tuhan ini: Amnon memperkosa Tamar, Absalom membunuh Amnon, Absalom memberontak terhadap Daud, Adoniah mencoba merebut tahta saat Daud sudah tua. Ada malapetaka dikeluarga Daud.

Ketiga, istri Daud akan ditiduri orang lain disiang hari (2 Sam. 12:11). Daud diam-diam mengambil istri orang; sekarang istrinya diambil didepan umum. Selama pemberontakan Absalom, pendukungnya membangun tenda diatas atap istana, dan Absalom berhubungan dengan selir-selir ayahnya didepan semua orang Israel, memenuhi perkataan ini (2 Sam. 16:22).

Keempat, anak yang dilahirkan dari hubungannya dengan Betsyeba akan mati (2 Sam. 12:14). Bayi itu akan membawa olok-olok bagi Tuhan dihadapan musuh, jadi Tuhan mengambil anak itu. Kita berduka dengan Daud karena kehilangan anaknya, tapi kita bersyukur atas kepastian bayi itu saat mati. Daud berkata dia akan bersama dengan bayi itu, memastikan kita bahwa bayi masuk kehadapan Tuhan (2 Sam. 12:23).

Apakah anda memperhatikan kenapa Tuhan mengambil bayi itu? Hal ini perlu ditekankan kembali. Itu karena melalui perbuatan Daud, “memberikan musuh alasan untuk mengolok-olokan Tuhan.” Sekarang kita mengerti satu alasan penting dari disiplin ilahi. Itu dilakukan agar musuh Tuhan tahu bahwa Dia adalah kudus dan benar, bahwa Dia akan berurusan dengan dosa terutama dosa anakNya. Dia akan menjadi bahan tertawaan dunia jika hal ini terjadi. Daud harus menanggung akibat dosanya, dan demikian juga dengan kita. Beban itu berat, tapi ada waktu untuk memikirkannya sebelum kita melakukan.

Itu membawa kita kepada kemungkinan pengampunan. Cerita Natan terhadap dosa Daud dan pernyataannya akan kebenaran Tuhan membawa Daud berlutut, mengakui dosanya: “Aku sudah berdosa kepada TUHAN,” tangisnya (2 Sam. 12:13). Inilah perkataan yang ingin didengar Tuhan. Jiwa Daud hancur; hatinya penuh penyesalan (cf. Psa. 51:17). Dan hasilnya, kita mendengar perkataan paling indah, paling menguatkan dan menghibur manusia: “TUHAN telah menjauhkan dosamu itu” (2 Sam. 12:13). Seperti kata Daud dalam Mazmur, “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku” (Psa. 32:5).

Alkitab tidak mengatakan pada kita, tapi saya percaya Betsyeba mengakui dosanya juga dan Tuhan mengampuni mereka berdua. Walau mereka tidak bisa menghilangkan dampaknya, mereka bisa hidup dalam kepastian pengampunan Tuhan yang penuh. Itu merupakan aib besar dalam hidup Daud, satu-satunya aib terbesar (cf. 1 Kgs. 15:5). Tapi baik dia atau Betsyeba tidak membiarkan hal ini menghancurkan hidup mereka selamanya. Tuhan mengampuni mereka, mereka mengapuni diri mereka, dan mereka mau hidup menghasilkan kemuliaan Tuhan. Itulah yang Tuhan inginkan kita lakukan. Dia tidak ingin kita menyiksa diri karena dosa kita. Dia ingin kita mengakuinya, meninggalkannya, dan melupakannya.

Batsyeba kelihatannya mendapat tempat terhormat diantara istri Daud. Tidak ada catatan dia mengambil istri lagi setelah Batsyeba. Sebagai indikasi pengampunan Tuhan, dia memberikan mereka anak yang diberi nama Absalom, yang berarti “damai.” Nabi Natan memanggilnya Jedidiah, yang berarti “dikasihi Tuhan.” Dan Tuhan menyakinkan Daud bahwa Salomo, anak Betsyeba, akan memerintah menggantikan tempatnya dan membangun Bait (1 Chron. 22:9, 10). Sebagai tambahan tentang anugrah Tuhan, Betsyeba dipilih menjadi salah satu wanita yang ada dalam silsilah Yesus Kristus (Matt. 1:6).

Penulis hymne berkata: “Siapa yang mengampuni seperti Dia? Atau yang kasih karunianya cuma-cuma dan berlimpah?” Kasih karuni Tuhan siap mengampuni anda. Dengarkan kata Nabi Yesaya: “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya” (Isa. 55:6, 7). Dengarkan Rasul Yohanes: “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 John 1:9). Tidak peduli betapa menyedihkan dosamu. Tuhan mengampuninya. Akui dosamu dihadapanNya, dan terima anugrah pengampunanNya.

Mari kita bicara

    1. Kenapa anda pikir Daud sampai disebut orang yang berkenan dihati Tuhan disamping dosanya yang besar?

    2. Tanggung jawab apa yang anda abaikan sehingga bisa menghancurkan kerohanian anda dimasa depan?

    3. Bagaimana anda bisa saling menolong menghidari cobaan terhadap lawan jenis?

    4. Bagi istri: Apakah cara berpakaianmu selaras dengan aturan Tuhan atau anda berpakaian seperti orang dunia?

    5. Apa artinya sopan? Bagaimana anda melakukan itu dalam hidup anda? Sebagai orangtua, bagaimana anda mengajar anak perempuan anda berpakaian dengan tepat?

    6. Bisakah anda ingat saat anda berdua sangat terganggu karena beban rasa bersalah? Masing – masing akui dengan jujur hal itu?.

Apakah dosa anda yang lama teringat kembali saat anda membaca bab ini, dosa yang anda coba abaikan? Kenapa tidak mengakuinya dihadapan Tuhan, minta pengampunan yang Dia janjikan dalam 1 John 1:9, kemudian keluarkan itu dari pikiran anda selamanya?

Related Topics: Christian Home, Marriage, Temptation

7. Jalanku— Kisah Ahab dan Izebel

Raja Daud sudah tidak ada, dan kisah ini dumulai 135 tahun kemudian. Kerajaannya yang besar, diperluas dan dibuat lebih kaya oleh anaknya Salomo, sekarang terbagi menjadi 2 bagian. Kerajaan Yehuda diselatan yang diperintah oleh keturunannya, sementara kerajaan Israel diutara menderita dibawah pemerintahan orang yang jahat. Salah satu dari mereka adalah seorang suami yang akan kita bahas dalam pelajaran tentang hubungan perkawinan ini.

Dia diperkenalkan dalam Alkitab dengan kalimat mengejutkan ini: “Ahab bin Omri melakukan apa yang jahat di mata TUHAN lebih dari pada semua orang yang mendahuluinya” (1 Kgs. 16:30). Dia dibedakan sebagai orang yang paling jahat yang pernah memerintah atas Israel sampai saat ini. Kita bisa memperkirakan apa saja bisa terjadi dengan orang ini, dan kita membaca, “Seakan-akan belum cukup ia hidup dalam dosa-dosa Yerobeam bin Nebat, maka ia mengambil pula Izebel, anak Etbaal, raja orang Sidon, menjadi isterinya, sehingga ia pergi beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya” (1 Kgs. 16:31).

“Sidonians” adalah nama lain dari orang Phoenisian, orang yang berlayar dilaut Mediteran dan mendiami kota besar Tyre dan Sidon. Dengan adanya kejahatan Siria yang selalu ada dan semakin meningkatnya ancaman dari Asiria, Ahab memutuskan bahwa dia perlu bersekutu dengan bangsa tetangganya, jadi dia membuat perjanjian dengan raja Phenesia dan meresmikannya dengan mengawini anak perempuannya. Inilah alasan Izebel pindah ke Samaria, ibukota Israel, dan hanya satu cara menggambarkan hal itu — suatu badai besar menghantam Israel.

Raja Phenesia bukan hanya pemimpin politik dari bangsanya, tapi dia juga imam besar agama mereka, seperti arti namanya Ethbaal. Izebel bertumbuh mendalam dalam pemujaan baal dan istrinya, Asitoret. Baal merupakan alah dari tanah. Dia yang memilikinya, kata mereka, dan dia mengatur cuaca dan meningkatkan hasil tanaman dan ternak. Asitoret merupakan dewi kesuburan. Jadi berhala Baal dan Asitoret berdiri berdampingan dalam kuil mereka dan disembah oleh imam dan kuil pelacuran dengan pesta seksnya, dengan harapan alah dan dewi mereka akan mengikuti teladan mereka dan meningkatkan produktifitas tanaman, hewan dan anak mereka. Dalam masa sulit, mereka membunuh diri mereka dan bahkan mengorbankan anak mereka untuk memuaskan dewa-dewa dan memohon pertolongan mereka.

Izebel sangat fanatic dengan agamanya. Pemujan Yehova pastilah dilihat sangat bodoh dan tidak bisa diperbandingkan, dan dia bertekad untuk mengubahnya. Dia sangat keras kepala, berkeinginan kuat, dan dengan moral hewan yang melemahkan suaminya, dia hanya mendapat sedikit masalah dalam menjalani hal ini. Dia bisa menyuruh suaminya membangun rumah bagi Baal dalam Samaria, demikian juga dengan Asitoret, dewi kesuburan. Kemudian dia membawa 450 nabi Asitoret dari Phoenicia, menempatkan mereka dalam istana, dan memberi mereka makanan kerajaan. Tugas mereka adalah mempromosikan pemujaan Baal dan Asitoret diseluruh negeri ini.

Tidak puas hanya dengan menegakan agamanya di Israel, Izebel menghancurkan sisa penyembahan Yehova dan membunuh semua nabi Allah. Dia melakukan semaunya, dan hampir berhasil. Sebagian nabi selamat dengan mengkompromikan kesaksian mereka dan menjadi “yes” mennya Ahab. Kelompok lain berjumlah 100 orang bersembunyi di gua dan diberi makan secara rahasia oleh pelayan Ahab bernama Obaja. Tapi Elia merupakan satu-satunya yang menantang kejahatan Izebel secara terbuka. Tuhan memberikannya kemenangan besar saat dia memanggil api dari langit diatas gunung Karmel. Para nabi Baal dibantai dan kelihatannya seluruh bangsa akan berbalik pada Tuhan. Tapi Izebel belum selesai dengan pekerjaannya. Dia bersumpah dalam kemarahannya untuk membunuh Elia, dan Elia melarikan diri, kelelahan dipelarian dibawah pohon juniper, dan memohon agar Tuhan mengambil nyawanya. Itu merupakan titik terendah dalam karir nabi besar ini. Dan pemujaan Baal tetap berlangsung, menyeret bangsa kedalam jurang. Istri Ahab ini membawa kehancuran bagi Israel.

Menikahi orang yang keras kepala dan berkeinginan kuat bisa mendatangkan ketidakbahagiaan dalam semua hal. Kehendak diri mereka yang tidak pernah diserahkan pada kehendak Tuhan sering diserahkan pada mereka disekitarnya. Dengan gigih mereka menuntut cara mereka dan mencari cara apapun untuk mendapatkan keinginan mereka. Mereka tidak akan mendengarkan alasan; mereka tidak akan mempertimbangkan perasaan orang lain; mereka tidak akan menghadapi akibat tindakan mereka. Mereka percaya kalau yang lain salah dan hanya mereka yang benar, dan mereka bertekad menjalankan semuanya dengan cara mereka. Mereka jelas hanya sedikit mengenal kasih Tuhan yang “tidak mencari kepentingannya sendiri” (1 Cor. 13:5), tapi hanya kasih pada diri sendirilah yang memaksakan kepentingannya dan menuntut caranya. Mereka yang hidup dengan orang seperti ini umumnya menemukan diri mereka secara emosi mengalami kehancuran. Untuk menyelamatkan mereka yang disekitar kita, untuk kebahagiaan pasangan kita dan untuk keharmonisan pernikahan kita, kita harus menghadapi setiap kekerasan hati dan meminta kasih karunia Tuhan mengatasinya.

Tentu saja, Ahab juga sama seperti Izebel, tapi dengan tempramen yang berbeda. Disatu sisi, dia dengan keinginan sendiri masuk dalam pernikahan untuk kenyamanan politik, dan berlawanan dengan setiap perkataan Tuhan. Tapi kekerasan hati Ahab menjadi lebih jelas dalam peristiwa raja dan kebun sayurnya. Setelah dia menikahi Izebel, Ahab tidak hanya memperindah istana di Samaria sehingga disebut “istana gading” (1 Kgs. 22:39), tapi dia juga membangun istana kedua diJisreel, 25 mil keutara, daerah yang lebih hangat saat musim dingin. “Sesudah itu terjadilah hal yang berikut. Nabot, orang Yizreel, mempunyai kebun anggur di Yizreel, di samping istana Ahab, raja Samaria” (1 Kgs. 21:1). Ahab menginginkan milik Nabot, jadi dia menemuinya dan berkata, “Berikanlah kepadaku kebun anggurmu itu, supaya kujadikan kebun sayur, sebab letaknya dekat rumahku. Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur yang lebih baik dari pada itu sebagai gantinya, atau jikalau engkau lebih suka, aku akan membayar harganya kepadamu dengan uang” (1 Kgs. 21:2). Naboth menolak tawaran itu, memang sudah seharusnya, karena Tuhan melarang orang Yahudi menjual warisan orangtuanya (Lev. 25:23-34). Naboth hanya menaati hukum Tuhan.

“Lalu masuklah Ahab ke dalam istananya dengan kesal hati dan gusar karena perkataan yang dikatakan Nabot, orang Yizreel itu.... Maka berbaringlah ia di tempat tidurnya dan menelungkupkan mukanya dan tidak mau makan” (1 Kgs. 21:4). Bisakah anda membayangkan seorang dewasa bisa bertindak kekanakan seperti ini? Sebagian ada yang begitu. Orang yang lemah dan bimbang seperti Ahab sering menginginkan cara mereka segigih orang yang suka mendominasi seperti Izebel. Tapi mereka bertindak berbeda saat mereka tidak mendapatkannya. Orang yang dominant akan membentak, memukul orang yang menghalanginya, serta melempar dan menghancurkan barang, tapi orang yang lemah akan merajuk, bersungut-sungut dan menjengkelkan seperti anak kecil yang manja. Mereka mungkin menolak keluar dari tempat tidur dan tidak mau makan. Mereka mengasihani diri sendiri dan memberitahu semua orang betapa menyedihkan hal itu. Mereka hanya menunjukan pada orang banyak bahwa mereka orang yang mementingkan diri sendiri dan belum dewasa.

Kekerasan hati dan variasinya, tindakan keras atau marah-marah bisa menghancurkan suatu pernikahan. Masalahnya sering bermula saat pasangan kita melanggar hak kita. Mungkin suaminya tidak mengijinkan istri membeli sesuatu yang menurut istrinya berhak didapatnya, atau istri menyiapkan makan malam yang buruk disaat sang suami mengharapkan makanan kesukaannya. Daripada membiarkan kasih dan anugrah Yesus Kristus mengontrol kita, nature berdosa kita mengambil alih dan kita masuk kedalam kemarahan atau sindrom merajuk, apapun yang kita pilih. Dan itu pelan tapi pasti menghancurkan hubungan kita. Dan kekerasan hati yang tidak diserahkan pada Tuhan akhirnya membawa kepada masalah yang lebih besar. Saya mendengar seseorang berkata, “Saya tidak mengasihinya lagi. Saya tidak menginginkannya lagi. Saya akan mencari orang lain untuk menemukan kebahagiaanku dan saya tidak peduli apa kata Alkitab.”

Tuhan ingin menghancurkan kehendak kita yang berdosa dan keras kepala. Dia ingin mengalahkannya dengan kasihNya. Langkah pertama untuk kemenangan dimulai dengan mengakui bahwa menuntut cara kita merupakan ketidaktaatan atas Firman Tuhan, dan itu adalah dosa. Katakan pada Tuhan. Jujurlah dihadapanNya. Katakan dengan jujur bahwa anda lebih ingin melakukan cara anda dari pada tidak egois, tapi akui kalau itu bertentangan dengan FirmanNya. Minta Dia menolong anda. Kemudian melalui tindakan, berusaha melakukan hal yang kasih. Langkah iman itu akan membuka saluran kuasa Tuhan. Dia tidak hanya memampukan engkau menjalankan keputusan anda untuk berjalan dalam kasih, tapi Dia akan memberikan anda sukacita dalam melakukan kehendakNya.

Tapi kembali ke Ahab dan kebuh sayurnya. Izebel menemukan Ahab merajuk ditempat tidur dan berkata, “Apa sebabnya hatimu kesal, sehingga engkau tidak makan?” (1 Kgs. 21:5). Kemudian dia menjelaskan penolakan Nabot untuk menjual kebun sayurnya. Izebel menjawab, “Bukankah engkau sekarang yang memegang kuasa raja atas Israel?” (1 Kgs. 21:7). Dalam pengungkapan modern, seperti ini, “Siapa kamu, pria atau tikus? Jangan takut! Bukankah kamu raja. Kamu bisa mengambil apapun yang kamu mau.” Dengan latar belakang Fenesianya, Izebel tidak mengerti bahkan raja Israel tunduk pada hukum Tuhan.

Kita menemukan betapa pria lemah ini begitu didominasi oleh istrinya, saat istrinya berkata, “Bangunlah, makanlah dan biarlah hatimu gembira! Aku akan memberikan kepadamu kebun anggur Nabot, orang Yizreel itu” (1 Kgs. 21:7). Dia merencanakan kejahatan yang sangat; dia akan membayar 2 saksi palsu untuk bersaksi bahwa mereka mendengar Nabot menghujat Tuhan dan raja, sehingga baik dia dan anaknya harus dilempar batu sampai mati dan raja dengan bebas mengklaim tanah itu sebagai miliknya (cf. 2 Kgs. 9:26). Dia mengajar Ahab filosofi hidupnya: “Ambil apa yang kamu mau dan hancurkan semua yang menghalangi.” Dan Ahab tidak punya keberanian menghentikannya.

Seorang pria akan melakukan hal aneh saat dia dicemooh atau diejek oleh istrinya. “Kenapa kamu tidak melawan?” Seorang istri menertawakannya saat dia mendengar pertengkaran terakhir suaminya dengan boss. “Kapan kamu berlaku seperti laki-laki?” Sehingga dikesempatan berikut suaminya melakukannya, dan dia kehilangan pekerjaan dan semua orang menderita. Sehingga ronde berikutnya akan seperti ini: “Kamu bahkan tidak bisa mencukupi keluargamu. Pria macam apa kamu ini?” Jadi sang pria menyenangkan sang istri, melalui penipuan dan pencurian agar kebutuhannya terpenuhi. Dan sekali lagi, seluruh keluarga menderita. Seorang pria perlu dihargai istrinya, bukan dicemooh. Melalui peristiwa memalukan dalam hidup Ahab, Tuhan berkata, “Sesungguhnya tidak pernah ada orang seperti Ahab yang memperbudak diri dengan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, karena ia telah dibujuk oleh Izebel, isterinya” (1 Kgs. 21:25). Sebagian pria perlu dikuatkan, diyakinkan, tapi bukan untuk melakukan kejahatan! Seorang istri didalam Tuhan akan menantang suaminya untuk mendengar Tuhan dan hidup bagiNya, bukan mendorongnya melakukan dosa.

Tapi ceritanya belum selesai. Kedua pasangan ini berkeras sampai akhir. Elia menemui Ahab dikebun Nabot dan menyatakan hukuman Tuhan bagi dia dan istrinya karena perbuatan jahat mereka. Tapi baru beberapa tahun kemudian hukuman datang pada Ahab, itu juga merupakan kisah kepala batu. Peristiwanya bermula dikota sebelah timur Yordan yang disebut Ramot-Gilead, yang menurut Ahab milik Israel tapi masih ditangan Siria. Saat Yehosafat raja Yudea, mengunjungi Ahab, dia meminta Ahab untuk bertempur bersamanya untuk mendapatkan Ramot-Gilead. Yehosafat setuju, tapi ingin bertanya pada Tuhan dulu. Ahab memanggil para “yes” mennya dan mereka meyakinkan dia bahwa Tuhan akan memberikan Ramot Gilead kedalam tangan raja. Tapi Yehosafat belum puas. Dia ingin pendapat lain: “Tidak adakah lagi di sini seorang nabi TUHAN, supaya dengan perantaraannya kita dapat meminta petunjuk?” (1 Kgs. 22:7). Dan Ahab menjawab, “Masih ada seorang lagi yang dengan perantaraannya dapat diminta petunjuk TUHAN. Tetapi aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan malapetaka. Orang itu ialah Mikha bin Yimla” (1 Kgs. 22:8). Demikianlah Mikha dipanggil, walau dia mengetahui hidupnya dalam bahaya, dia menyatakan apa yang dinyatakan Tuhan. Israel akan tercerai berai digunung seperti domba tanpa gembala (1 Kgs. 22:17). Seperti perkiraan kita, Ahab menolah nubuat Mikha dan membuangnya kepenjara. Dia akan melakukan kehendaknya sendiri, walau berlawanan dengan kehendak Tuhan.

Tapi itu tidak berjalan seperti rencananya. Ahab tahu kalau Siria akan mengejarnya, jadi dia meletakan jubah kebesaran dan menyamar seperti prajurit biasa. “Tetapi seseorang menarik panahnya dan menembak dengan sembarangan saja dan mengenai raja Israel di antara sambungan baju zirahnya” (1 Kgs. 22:34). Prajurit itu tidak tahu kalau sudah memanah raja, tapi panahnya menembus sambungan baju zirah Ahab. Hanya sedikit pemanah yang bisa melakukannya. Hal ini menunjukan Tuhan yang membimbing panah itu, dan kepala batu Ahab berakhir dalam kematiannya.

Izebel hidup lebih lama 14 tahun darinya. Yehu kapten Israel yang menjadi alat disiplin ilahi bagi perempuan ini. Setelah membantai Raja Yoram, anak Ahab, dia berkuda ke Izebel. Alkitab berkata, “Sampailah Yehu ke Yizreel. Ketika Izebel mendengar itu, ia mencalak matanya, dihiasinyalah kepalanya, lalu ia menjenguk dari jendela” (2 Kgs. 9:30). Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia ingin mati seperti ratu, sombong, kepala batu dan tidak mau bertobat sampai akhir. Dia memaki Yehu dari jendela, tapi dengan perintah Yehu, beberapa pelayannya membuangnya dari jendela, “sehingga darahnya memercik ke dinding dan ke kuda; mayatnyapun terinjak-injak.” (2 Kgs. 9:33). Itu suatu kematian yang kejam, tapi itu juga menyatakan betapa serius dosa ini dihadapan Tuhan.

Tapi pengaruh mereka hidup dalam anak mereka. Dan ini sering merupakan akibat menyedihkan dari hidup Ahab dan Izebel. Kedua anak Ahab dan Izebel kemudian memerintah Israel. Pertama, Ahazia. Tentang dia Tuhan berkata, “Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN dan hidup menurut kelakuan ayahnya dan ibunya dan Yerobeam bin Nebat, yang telah mengakibatkan orang Israel berdosa. Ia beribadah kepada Baal dan sujud menyembah kepadanya dan dengan demikian ia menimbulkan sakit hati TUHAN, Allah Israel, tepat seperti yang dilakukan ayahnya.” (1 Kgs. 22:52, 53). Anak kedua yang memerintah adalah Yoram. Saat Yehu berkuda menuntut balas atas keluarga Ahab, Yoram berseru, “Apakah ini kabar damai, hai Yehu? Jawabnya: Bagaimana ada damai, selama sundal dan orang sihir ibumu Izebel begitu banyak!” (2 Kgs. 9:22).

Ahab dan Izebel juga mempunyai anak perempuan, Atalia, dan dia menikahi pria bernama Yehoram, anak Yosafat raja Yehuda. “Ia hidup menurut kelakuan raja-raja Israel seperti yang dilakukan keluarga Ahab, sebab yang menjadi isterinya adalah anak Ahab. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN” (2 Chron. 21:6). Jadi, demikianlah pengaruh jahat itu bergerak dari selatan. Dikematian Yehoram, anaknya melalui Atalia menjadi raja Yudea. “Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri. Iapun hidup menurut kelakuan keluarga Ahab, karena ibunya menasihatinya untuk melakukan yang jahat. Ia melakukan apa yang jahat di mata TUHAN sama seperti keluarga Ahab, sebab sesudah ayahnya mati mereka menjadi penasihat-penasihatnya yang mencelakakannya” (2 Chron. 22:2-4). Demikianlah pengaruh jahat itu tetap hidup!

Hanya Tuhan yang tahu betapa banyak generasi yang akan terpengaruh dosa kita ini, kekerasan hati kita melakukan cara kita daripada kehendak Tuhan. Kisah mengejutkan ini hendaknya memberikan dorongan yang kita perlukan untuk meletakan semua kepala batu kita dan menyerahkan diri kita sepenunya pada kehendak Tuhan.

Mari kita bicara

    1. Menurut anda bagaimana seharusnya Ahab mengatasi situasi saat Izebel ingin menghilangkan penyembahan Yehova dari Israel?

    2. Bagaimana cara seorang istri meningkatkan rasa hormatnya pada suami? Bagaimana suami menolongnya?

    3. Apakah anda merasa bahwa pasangan anda melanggar semua hak yang seharusnya anda dapat? Diskusikan berdua bagaimana situasi itu bisa diatasi.

    4. Melalui cara apa keegoisan anda muncul—dengan kemarahan atau merajuk? Petunjuk apa yang menolong anda mengenali kepala batu anda? Apa yang anda lakukan untuk memerangi itu?

    5. Apakah anda sering menuntut cara anda? Tanyakan pasangan anda apa pendapatnya, kemudian renungkan jawabannya.

    6. Apakah anda berdua sudah menyerahkan hidup anda pada Kristus Tuhan dan anda mau membiarkan Dia membuat perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan hubungan anda berdua? (Kemauan anda mendengar pasangan anda tanpa membela diri bisa menjadi ukuran penyerahan diri kita.)

Related Topics: Christian Home, Marriage

8. Kasih yang Tidak Mati— Kisah Hosea dan Gomer

Kalender didinding menunjukan peristiwa ini terjadi 760 tahun sebelum Yesus dilahirkan. Yeroboam II sedang bertahta diIsrael, dan agresi militernya sudah mengembangkan batas Israel lebih jauh dari yang mereka rasakan sejak masa kerajaan Salomo. Upeti dari bangsa yang takluk masuk keibukotanya Samaria, dan orang Israel menikmati periode kemakmuran yang belum pernah terjadi.

Seperti umumnya terjadi, dari kemakmuran muncul penurunan moral dan rohani. Sekularisme dan materialisme memikat hati orang dan dosa menyerbu masuk. Daftarnya seperti yang terjadi diAmerika: bersumpah, berbohong, membunuh, mencuri, perzinahan, mabuk, murtad, sumpah palsu, penipuan, dan penindasan. Tapi dari semua itu dosa perzinahan sangat memilukan hati Tuhan (Hos. 4:12, 13; 13:2). Lembu emas yang dibuat Yeroboam I sekitar 150 tahun lalu membuka pintu bagi tindakan-tindakan berdosa orang Kanaan masuk kedalamnya seperti penyembahan berhala, mabuk, pelacuran agama dan pengorbanan manusia.

Tuhan melihat Israel sebagai IstriNya, Dia melihat pemujaan pada ilah lain sebagai perzinahan rohani. PL sering menyarakan persundalan Israel dengan ilah lain (e.g., Deut. 31:16; Judg. 2:17). Jehovah sudah memperingatkan Israel sejak awal agar mereka tidak mendua. “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” merupakan perintah pertama dari sepuluh hukum (Ex. 20:3). Tapi Israel mengabaikan perintahNya, dan melalui pemerintahan Yeroboam II situasinya tidak bisa ditolerir lagi. Tuhan harus bicara dengan keras dan Dia memilih seorang nabi bernama Amos. Mantan seorang penggembala dari Tekoa, menggunturkan peringatan Tuhan tentang penghakiman, tapi bangsa ini tidak mengindahkannya. Jadi Tuhan berbicara kembali, kali ini melalui nabi Hosea yang namanya berarti “Yehova adalah keselamatan.”

Hal pertama yang Tuhan katakan pada Hosea untuk kita adalah tentang pernikahannya yang tidak umum: “Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN” (Hos. 1:2). Perintah ini ditafsirkan secara beragam oleh orang yang mempelajari Alkitab. Sebagian percaya bahwa Tuhan memerintahkan Hosea untuk menikahi seorang wanita yang sebelumnya seorang pelacur. Orang lain berpendapat bahwa dengan mengambil seorang pelacur jadi istri hanyalah menunjukan kalau dia harus menikahi wanita dari kerajaan Israel, daerah yang berzinah rohani. Di kedua pendapat itu, jelas bahwa perempuan itu adalah seorang wanita yang sangat dipengaruhi oleh moral yang kendur dalam masyarakatnya, dan Tuhan ingin menggunakan hubungan pribadi nabi ini dengan wanita itu sebagai bahan pelajaran tentang hubungan Dia dengan umatNya yang tidak setia, Israel. Apapun masa lalunya, kelihatannya dimata Tuhan ada bukti pertobatan yang jujur dan iman pada Yehova. Mungkin perempuan itu berespon pada pelayanan Hosea yang penuh Roh, dan Hosea merasa hatinya tertarik pada perempuan itu dengan kasih yang tidak egois. Tuhan mengarahkan Hosea untuk mengambil perempuan itu sebagai istrinya, dan demikianlah Gomer, anak perempuan dari Diblaim, menjadi istri pengkhotbah muda yang sedang berkembang ini.

Hari-hari pertama pernikahan mereka merupakan saat indah, saat cinta mereka mulai bertumbuh. Dan Tuhan memberkati kesatuan mereka dengan memberi seorang anak. Hati Hosea pastilah dipenuhi dengan sukacita. Dia yakin kalau pernikahannya akan lebih baik dari sebelumnya dengan kehadiran sikecil untuk mencerahkan rumah mereka. Tuhan menamakan bayi itu, karena namanya merupakan nubuat penting bagi bangsa itu. Dia menamakannya Jesreel, karena kakek raja Yeroboam, Yehu naik tahta melalui kejahatan ambisi dengan menumpahkan darah dan kejahatan. Walau kerajaan ini makmur untuk sementara, kehancurannya sudah didepan mata dan itu akan terjadi dilembah Yesreel (Hos. 1:4, 5).

Setelah kelahiran Yisreel, Hosea melihat perubahan pada diri Gomer. Dia menjadi tidak tenang dan tidak bahagia, seperti burung terperangkap dalam sangkar. Hosea pergi berkothbah, mendorong bangsa yang tersesat ini untuk berbalik dari dosanya dan percaya Tuhan untuk keselamatan dari ancaman bangsa sekitar. “Marilah kita berbalik pada Tuhan!” merupakan tema dari pesan Hosea, dan dia menyerukannya berulangkali dengan kuasa (Hos. 6:1; 14:1). Tapi Gomer kelihatannya semakin kurang tertarik dalam pelayanan Hosea. Dia bahkan mungkin menuduh Hosea lebih memikirkan kotbahnya daripada dirinya. Dia mulai mencari kesibukan lain, dan menghabiskan lebih banyak waktu diluar rumah.

Bahaya besar saat suami dan istri hanya memiliki sedikit kesamaan perhatian. Kadang suami pergi kearah ini dan istri menuju kearahnya sendiri. Mereka memiliki kelompok teman sendiri, dan sedikit komunikasi untuk mendekatkan kedua dunia ini. Suami yang disibukan dengan pekerjaannya mungkin merupakan factor utama keterpisahan ini. Atau mungkin kegiatan istri diluar rumah mengakibatkannya melalaikan keluarga. Itu sebenarnya ketidaktertarikan keduanya terhadap Tuhan. Tapi itu mengakibatkan bencana besar. Para suami dan istri perlu melakukan sesuatu bersama dan tertarik pada kegiatan pasangannya. Dalam kisah ini, tanggung jawabnya jelas terletak pada Gomer daripada Hosea. Dia tidak membagi kasih suaminya pada Tuhan.

Hal ini membawa kita kepada, penderitaan batin yang tak henti-hentinya. Alkitab tidak memberi kita detil kejadiannya, tapi mengijinkan beberapa spekulasi menyangkut perkembangan gaya hidup yang membawa pada situasi tragis yang akan kita lihat kemudian. Ketidakhadiran Gomer dirumah mungkin menumbuhkan perasaan penyesalan akan kecurigaan tentang ketidaksetiaannya pada Hosea. Hosea terbangun dan bergumul dengan ketakutannya. Dia berkotbah dengan hati berat selama itu. Dan kecurigaannya diteguhkan saat Gomer mengandung lagi. Kali ini perempuan, dan Hosea yakin kalau anak ini bukan darinya. Melalui arahan Tuhan, dia menamakannya, Loruhamah, yang berarti “tidak dikasihi” menunjukan bahwa dia tidak akan menikmati kasih ayah sejatinya. Sekali lagi nama itu menyimbolkan ketersesatan Israel dari kasih Tuhan dan disiplin yang akan menimpanya. Tapi pesan rohani itupun tidak menenangkan jiwa nabi ini.

Tidak lama setelah sikecil Loruhamah, Gomer mengandung lagi. Kali ini laki-laki. Tuhan menyuruh Hosea menamakannya Lo-ammi, yang berarti “bukan umatku.” Itu menunjukan keterasingan Israel dari Yehova, tapi juga menunjukan petualangan dosa Gomer. Anak yang dilahirkan dirumah Hosea bukanlah anaknya.

Sekarang sudah terbuka. Setiap orang tahu perzinahan Gomer. Walau seluruh pasal kedua nubuha Hosea menggambarkan hubungan Yehova dengan Israel sebagai istri yang tidak setia, sulit untuk melepaskannya dari perasaan hubungan Hosea dan Gomer, diantara kedua pasal dengan jelas digambarkan tentang kisah menyedihkan itu. Dia memohon padanya (2:2). Dia mengancam mencabut hak warisnya (2:3). Tapi dia tetap lari dengan kekasihnya karena mereka menjanjikan hal materi yang berlimpah (2:5). Dia mencoba menghentikannya beberapa kali (2:6), tapi dia tetap mencari teman dalam dosanya (2:7). Hosea harus mengambil dia kembali dalam pangampunan kasih dan mereka akan mencoba kembali. Tapi pertobatannya berlangsung singkat dan dia bersundal lagi dengan kekasih baru.

Kemudian pukulan terakhir datang. Mungkin itu merupakan perkataan melalui seorang teman, tapi intinya berkata, “aku akan pergi untuk selamanya kali ini. Aku sudah menemukan kekasihku yang sejati. Aku tidak akan kembali lagi.” Betapa hati Hosea begitu menderita! Dia sangat mengasihinya dan berduka seperti dia sudah mati. Hatinya sakit karena Gomer memilih jalan hidup yang pasti menghancurkan diri sendiri. Temannya mungkin berkata, “Kepergiannya baik, Hosea. Sekarang kamu terlepas dari perzinahannya untuk selamanya.” Tapi Hosea tidak merasa seperti itu. Dia menantikannya pulang.

Kita tidak bisa terlepas dari kasih yang tidak mati. Hosea ingin melihat Gomer kembali kesisinya sebagai istri yang setia. Dan dia percaya Tuhan bisa melakukannya. Satu hari berita datang bahwa Gomer telah dibuang oleh kekasihnya. Gomer sudah menjual dirinya kedalam perbudakan ini dan menyentuh dasar. Ini adalah jerami terakhir. Pastilah sekarang Hosea sudah melupakannya. Tapi hatinya berkata “tidak.” Dia tidak bisa melepaskannya. Dan Tuhan berkata: “Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah, seperti TUHAN juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain dan menyukai kue kismis” (Hos. 3:1).

Gomer yang terkasih bagi Hosea walau dia seorang pezinah, dan Tuhan ingin dia menemukannya dan membuktikan cintanya. Bagaimana bisa seorang mengasihi sampai begitu dalam? Jawabannya ada dalam perintah Tuhan pada Hosea, “seperti juga Tuhan mencintai.” Hanya seseorang yang mengenal kasih dan pengampunan Tuhan bisa mengasihi dengan sempurna. Dan orang yang sudah mengalami pengampunan kasihNya tidak bisa selain mengasihi dan mengampuni orang lain. Suami Kristen diperintahkan untuk mengasihi istrinya seperti Kristus mengasihi gereja (Eph. 5:25), dan Hosea merupakan contoh luar biasa dari kasih seperti itu.

Jadi, dia mulai mencari,didorong oleh kasih ilahi, kasih yang menanggung semua hal, percaya semua hal, berharap pada semua hal, tahan menderita dalam semua hal, kasih yang tidak berakhir. Dan dia menemukannya, rombeng, terkoyak, sakit, kotor, lusuh, miskin, dirantai dipasar budak yang kotor, suatu bayangan yang cocok dengan dirinya sebelumnya. Kita heran bagaimana ada orang bisa mengasihinya sekarang. Tapi Hosea membawanya dari perbudakan dengan 15 shikal perak dan 13 homer jelai (Hos. 3:2). Kemudian dia berkata padanya, “Lama engkau harus diam padaku dengan tidak bersundal dan dengan tidak menjadi kepunyaan seorang laki-laki; juga aku ini tidak akan bersetubuh dengan engkau” (Hos. 3:3). Dia membayarnya, membawanya kerumah, dan mengembalikan kedudukannya sebagai istri. Walau kita tidak menemukan hubungan mereka dibagian Alkitab lain, kita berasumsi bahwa Tuhan menggunakan tindakan pengampunan Hosea untuk meluluhkan hatinya dan mengubah hidupnya.

Berapa kali suami atau istri harus mengampuni? Sebagian berpendapat, “Jika saya terus mengampuni itu hanya menguatkan kebiasaan dosanya.” Atau “jika saya tetap mengampuni, dia kira bisa meloloskan diri dari semua keinginannya.” Yang lain berkata, “jika saya tetap mengampuni, sepertinya memberikan persetujuan atas prilakunya.” Atau “saya tidak bisa mendapat sakit seperti itu lagi. Jika itu terjadi lagi, saya akan pergi.” Itu merupakan respon manusiawi. Dengarkan respon Tuhan Yesus. Anda lihat, Petrus pernah menanyakan hal yang sama pada Tuhan: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali? Yesus berkata kepadanya: Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Matt. 18:21, 22). Itu pengampunan yang luar biasa. Sebenarnya, Kristus mau mengatakannya dengan cara memikat bahwa tidak ada akhirnya kita mengampuni.

Kadang kita hanya mengampuni hasutan dan sedikit salah paham, sedikit perkataan tajam atau tuduhan. Tapi kita membesarkannya, membiarkan itu menghancurkan kita, dan membangun kepahitan dan kepedihan yang menghancurkan hubungan kita. Mungkin itu suatu hinaan besar, seperti Gomer, dan kita tidak akan pernah bisa melupakannya. Kita menanam itu pelan – pelan, dan terus mengingatnya untuk menghukum pasangan kita karena sakit yang kita alami. Luka yang besar sering membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Itu akan datang kembali dalam pikiran kita. Tidak bisa menghindarinya. Tapi setiap kali itu datang, kita pertama kali harus mengingatkan diri kita bahwa kita sudah mengampuni, kemudian ingat betapa Tuhan telah mengampuni kita, dan minta Dia mengambil pikiran yang bisa menghancurkan dan tidak mau mengampuni dari kita.

Pengampunan tidak hanya berarti kita harus menderita dalam keheningan. Kebutuhan untuk terbuka dan komunikasi yang jujur menuntut kita berbagi apa yang kita pikir dan rasakan, kesalahan kita, dan bagaimana pasangan kita bisa menolong kita mengatasinya. Tuhan mengatakan betapa dosa kita mendukakanNya. Gomer jelas tahu betapa perzinahannya merobek-robek hati Hosea. Apa yang kita ucapkan harus diucapkan dengan kasih dan baik, tapi kita perlu dan bertanggung jawab membagikan apa yang ada pada hati kita.

Pengampunan juga tidak berarti kita tidak bisa mengambil langkah positif untuk berjaga terhadap dosa yang muncul kembali. Itu membutuhkan konseling lanjutan; itu menuntut penilaian kembali atas pribadi atau pola kebiasaan kita dengan jujur; itu mungkin berarti perubahan gaya hidup atau perpindahan. Tuhan mengambil langkah positif untuk menolong kita menyenangkan Dia. Itulah maksud dari disiplin ilahi. Kita tidak saling mendisiplin, tapi kita bisa membahas langkah-langkah yang akan menolong kita menghindari kejatuhan yang sama dimasa depan.

Pengampunan berarti, kita akan membayar kesalahan orang lain. Kita akan menolak membalas dengan cara apapun untuk membuat kesalahan orang lain terbayar. Kita akan membebaskan dirinya dari semua kesalahan. Tuhan bisa menggunakan pengampunan kasih itu untuk meluluhkan hati yang keras dan mengubah hidup lebih cepat dari semuanya dalam dunia. Inilah pelajaran dari kisah Hosea dan Gomer, pelajaran tentang pengampunan. Kasih Allah dan pengampunan meliputi semua nubuat Hosea. Tolong janga disalah mengerti. Tuhan membenci dosa; itu mendukakan hatiNya; Dia tidak bisa memaafkannya; Kebenaran dan keadilanNya menuntutNya belaku begitu. Tapi Dia tetap mengasihi pendosa dan dengan tekun mencari mereka dan menawarkan mereka pengampunan kasihNya.

Umat Tuhan Israel tetap terus kembali pada dosa mereka. “Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Efraim? Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Yehuda? Kasih setiamu seperti kabut pagi, dan seperti embun yang hilang pagi-pagi benar” (Hos. 6:4). Tapi Tuhan tidak pernah berhenti mengasihi mereka. “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu” (Hos. 11:1). “Aku menarik mereka dengan tali kesetiaan, dengan ikatan kasih” (Hos. 11:4). “Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel?” (Hos. 11:8). Dan karena Dia tidak pernah berhenti mengasihi mereka, Dia tidak pernah berhenti memohon pada mereka: “Bertobatlah, hai Israel, kepada TUHAN, Allahmu, sebab engkau telah tergelincir karena kesalahanmu” (Hos. 14:1).

Kita membutuhkan kasih seperti itu. Kita membutuhkan pengampunan seperti itu. Kita membutuhkan pengobatan bagi hati kita yang sakit keatas salib Kristus—dimana kita meletakan beban kesalahan kita dan dimana kita menemukan pengampunan kasih Tuhan—dan kita harus meninggalkanya disana. Saat kita sepenuhnya diampuni, pikiran kita akan dibebaskan dari belenggu sakit hati yang sudah membangun tembok diantara kita, dan kita akan bebas bertumbuh dalam hubungan kita satu sama lain.

Mari kita bicara

    1. Menurut anda apa penyebab utama suami dan istri terpisah?

    2. Hal apa yang menarik bagi anda berdua? Hal apa lagi yang bisa anda lakukan bersama untuk memperkua kesatuan anda?

    3. Para suami dan istri tidak selalu sadar akan kasih mereka masing-masing. Mungkin lebih menolong anda dengan menyelesaikan pernyataan berikut: “Saya merasa dikasihi saat kamu …” atau “Saya berkata kalau saya mengasihi kamu saat …”

    4. Kesalahan apa yang anda derita dari pasangan anda sehingga menghalangi anda menyatakan kasih anda dengan bebas? Akui itu semua pada pasangan anda dan nyatakan pengampunan anda.

    5. Kenapa anda tetap mengingat kesalahan yang sudah anda ampuni sehingga masuk dalam pikiran anda dan menghancurkan kedamaian anda?

    6. Langkah positif apa yang bisa anda dan pasangan anda ambil untuk menghalangi dosa tertentu terulang dalam hidup anda?

Related Topics: Christian Home, Marriage, Love

9. Untuk Saat Seperti Ini— Kisah Ahasuerus dan Esther

Situasi hidup kita tidak selalu senang: tempat hidup kita, orang yang berhubungan dengan kita, atau masalah yang kita hadapi. Hal diatas tidak selalu dari kesalahan kita. Kita mungkin menjadi korban situasi, atau kita mungkin telah membuat keputusan yang menurut kita benar tapi tidak berjalan sebagaimana harapan kita. Sebagian orang merasakan hal seperti ini dalam perkawinan mereka—sebagai contoh, wanita yang mengira pria yang dinikahinya seorang percaya. Tapi dia menemukan kemudian bahwa pria itu telah menipunya. Tindakan pria itu terus menerus direfleksikan dalam ketidaktertarikannya tentang Tuhan dan menghasilkan kepahitan yang tiada akhir. Ini merupakan kisah Firman Tuhan yang akan menguatkan orang-orang yang ada dalam situasi seperti ini.

Pria itu tidak lain adalah seorang raja dari kerajaan terbesar dimasanya. Orang Yahudi memanggilnya Ahasuerus, bentuk Yahudi dari nama Yunaninya. Sejarah sekuler lebih mengenalnya dengan nama raja Xerxes I yang memerintah Persia dari 486 sampai 465 B.C. Kerajaannya membentang dari India sampai Ethiopia (Esth. 1:1). Tapi itu belum cukup baginya. Keinginan utama dalam hidupnya adalah melakukan apa yang ayahnya tidak bisa lakukan—yaitu menaklukan Yunani.

Firman Tuhan memberitahu kita bahwa “pada tahun yang ketiga dalam pemerintahannya, diadakanlah oleh baginda perjamuan bagi semua pembesar dan pegawainya; tentara Persia dan Media, kaum bangsawan dan pembesar daerah hadir di hadapan baginda. Di samping itu baginda memamerkan kekayaan kemuliaan kerajaannya dan keindahan kebesarannya yang bersemarak, berhari-hari lamanya, sampai seratus delapan puluh hari” (Esth. 1:3, 4). Pertemuan tingkat tinggi yang berakhir dalam 6 bulan, merupakan pesta yang besar. Itu mungkin strategi bagi serangan Xerxes keYunani. Sejarah sekuler mengatakan bahwa dia memulai serangan itu tidak lama setelah pesta besar ini, dalam tahun 481 B.C.

Untuk mengakhiri pertemuan ini, dia merencanakan 7 hari khusus perayaan dan pesta (Esth. 1:5). Saat dia sedikit terpengaruh anggur, dia memanggil ratunya yang cantik, Vasti, agar bisa ditunjukannya didepan para temannya (Esth. 1:11). Vasti menolak untuk menjadi tontonan umum, dan Ahassueros murka. Melalui nasihat konselornya yang dapat dipercaya, keputusan untuk mengeluarkan Vasti dituliskan dalam titah kerajaan—hukum media Persia yang tidak bisa ditarik kembali bahkan oleh raja sendiri (Esth. 1:19). Itu adalah keputusan yang tergesa-gesa yang akan disesalinya, tapi Ahasueros dikenal sebagai pria yang kepala batu dan impulsive.

Selain itu, dia memiliki hal yang lebih penting daripada mengkhawatirkan perempuan piaraannya. Dia sudah siap menaklukan Yunani. Tentaranya lebih kuat dari mereka dan momentum sejarah ada dipihaknya. Tapi dalam pertempuran yang dikenal oleh siswa sejarah (Thermopylae, Salamis, Plataea), tentaranya akhirnya akan hancur, dan dia kembali keibukotanya Susa sebagai orang yang kalah. Dia pasti merindukan penghibur dan ditemani oleh ratunya untuk meredakan malu dan mengembalikan egonya yang rusak. “Sesudah peristiwa-peristiwa ini, setelah kepanasan murka raja Ahasyweros surut, terkenanglah baginda kepada Wasti dan yang dilakukannya, dan kepada apa yang diputuskan atasnya” (Esth. 2:1). Tapi sudah terlambat. Keputusannya tidak bisa diubah.

Itulah mengapa kemudian diusulkan kontes kecantikan Persia untuk menemukan seorang ratu bagi Raja Ahasueros. “Hendaklah orang mencari bagi raja gadis-gadis, yaitu anak-anak dara yang elok rupanya; hendaklah raja menempatkan kuasa-kuasa di segenap daerah kerajaannya, supaya mereka mengumpulkan semua gadis, anak-anak dara yang elok rupanya, di dalam benteng Susan, di balai perempuan, di bawah pengawasan Hegai, sida-sida raja, penjaga para perempuan; hendaklah diberikan wangi-wangian kepada mereka. Dan gadis yang terbaik pada pemandangan raja, baiklah dia menjadi ratu ganti Wasti. Hal itu dipandang baik oleh raja, dan dilakukanlah demikian” (Esth. 2:2-4). Semuanya kelihatan seperti permainan bagi raja, jadi dia memberikan ijin, dan pencarian berlangsung. Kontes kecantikan bukan cara yang buruk untuk menemukan seorang istri, jika muka yang bagus yang anda cari. Tapi Allah kita memberikan Ahasuerus lebih daripada sekedar wajah bagus, apakah dia ingin atau tidak. Tuhan sudah memilihkan istri untuk raja tidak percaya ini, kedaulatan tanganNya jelas nyata, mengatur tindakan manusia.

Ahasuerus tidak tahu kalau ratu Persia berikutnya adalah gadis Yahudi. Gadis ini mungkin lebih memilih di Yerusalem bersama bangsanya, tapi karena alasan tertentu orangtuanya menolak kembali saat Raja Sirus memberikan ijin 50 tahun lalu. Yahudi dipembuangan diijinkan untuk menetap, membuka usaha, dan hidup normal, dan hanya 50,000 orang yang kembali ke Israel dikesempatan itu.

Orantua wanita ini sudah mati dan pamannya, Mordekai yang membesarkannya. Alkitab berkata, “Mordekhai itu pengasuh Hadasa, yakni Ester, anak saudara ayahnya, sebab anak itu tidak beribu bapa lagi; gadis itu elok perawakannya dan cantik parasnya. Ketika ibu bapanya mati, ia diangkat sebagai anak oleh Mordekhai” ( Esth. 2:7). Dia seorang wanita yang indah, dan tidak mungkin lolos dari mata pelayan raja. “Setelah titah dan undang-undang raja tersiar dan banyak gadis dikumpulkan di dalam benteng Susan, di bawah pengawasan Hegai, maka Esterpun dibawa masuk ke dalam istana raja, di bawah pengawasan Hegai, penjaga para perempuan” (Esth. 2:8).

Mordekai memeriksa keadaan Ester setiap hari, karena dia penjaga pintu istana. Dia menyuruh Ester tidak memberitahukan kebangsaannya pada siapapun, mungkin berjaga atas perlakuan yang tidak baik yang dialami mereka ditempat mereka tinggal, diseluruh sejarah mereka, dan dia mentaatinya. Kemudian saat dia diperhadapkan dengan raja, dia tidak meminta apapun yang khusus untuk menarik hati raja, seperti yang dilakukan para gadis lain. Keindahan yang diberikan Tuhan dan keberadaan dirinya menarik hati raja. “Maka Ester dikasihi oleh baginda lebih dari pada semua perempuan lain, dan ia beroleh sayang dan kasih baginda lebih dari pada semua anak dara lain, sehingga baginda mengenakan mahkota kerajaan ke atas kepalanya dan mengangkat dia menjadi ratu ganti Wasti” (Esth. 2:17).

Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Ester ingin menikah dengan Ahaswerus. Itu merupakan tawaran yang membanggakan, tapi Ester tahu sang raja bukan suami idamannya, terutama melihat apa yang terjadi dengan Vasti. Tapi bagaimana anda bisa berkata “tidak” pada pemerintahan seperti ini tanpa kehilangan kepala anda? Jadi begitulah ceritanya gadis Yahudi sederhana menjadi ratu kerajaan Persia. Itu cerita tak terkalahkan mengenai orang miskin jadi kaya dalam sejarah manusia.

Kronologi kitab ini menunjukan masalah muncul 5 tahun kemudian dan kita menemukan suatu krisis terhadap umat Tuhan. Orang sesat yang menyebabkan masalah ini pastilah Hitlernya PL. Dia jahat, anti Yahudi bernama Haman, merupakan keturunan Agag, Raja Amalek, yang dibiarkan hidup oleh Saul walau bertentangan dengan perintah Tuhan (1 Sam. 15:8, 9). Saat Ahaswerus menjadikan dia mentri utama, setiap orang diistana membungkuk padanya kecuali Mordekai. Dia membungkuk hanya pada Tuhan saja, dan itu membuat Haman murka. Dia bersumpah tidak hanya menghukum Haman, tapi menghilangkan semua orang Yahudi dikerajaan Persia, dan kebetulan, itu juga termasuk tanah Israel, karena mereka juga bagian dari kerajaan. Haman menemui raja untuk menyetujui rencananya dan dicap dengan cincin raja, hukum Media Persia yang tidak bisa ditarik kembali. Ini satu lagi keputusan terburu-buru dari Ahaswerus yang disesalinya kemudian.

“Setelah Mordekhai mengetahui segala yang terjadi itu, ia mengoyakkan pakaiannya, lalu memakai kain kabung dan abu, kemudian keluar berjalan di tengah-tengah kota, sambil melolong-lolong dengan nyaring dan pedih. Dengan demikian datanglah ia sampai ke depan pintu gerbang istana raja, karena seorangpun tidak boleh masuk pintu gerbang istana raja dengan berpakaian kain kabung. Di tiap-tiap daerah, ke mana titah dan undang-undang raja telah sampai, ada perkabungan yang besar di antara orang Yahudi disertai puasa dan ratap tangis; oleh banyak orang dibentangkan kain kabung dengan abu sebagai lapik tidurnya” (Esth. 4:1-3).

Aneh juga, doa tidak pernah secara spesifik disebutkan dalam kitab ini, seperti kata Tuhan juga tidak pernah disebut, tapi anda bisa yakin kalau orang Yahudi disini berdoa. Berpuasa disebutkan, dan biasanya didalam Alkitab menunjuk pada doa. Ratap tangis menunjukan suatu permohonan sangat pada Tuhan. Orang Yahudi ini terpisah dari tanah mereka karena pilihan mereka sendiri, diluar tanah berkat, terpisah dari tempat beribadah, dan mungkin inilah alasan kenapa kata Tuhan dan doa tidak secara langsung disebut. Tapi mereka berdoa, dan Tuhan mengawasi mereka, mengatur keadaan mereka untuk memuliakan namaNya. Dia melakukan hal yang sama pada kita walau kita tidak menyadarinya.

Disini kita akan menemukan tujuan dari penunjukan Tuhan. Pernyataan ini didapat melalui komunikasi antara Ester dan Mordekai. Ester mengirim pelayannya untuk mencari tahu kenapa Mordekai berduka. Mordekai mengirim jawaban, menjelaskan rencana jahat, yang Ester sendiri tidak tahu dan mendorongnya untuk menghadap raja. Ester langsung menjawab, mengingatkan Mordekai kalau tidak ada yang bisa menghadap raja tanpa diundang kecuali dia memang cari mati, dan saat itu raja sudah tidak mengundangnya selama sebulan penuh. Ada sedikit kemungkinan—jika raja melihat Ester dan mengulurkan tongkatnya, dia bisa masuk.

Mordekai kehilangan hal terbaik dari Tuhan dengan tidak kembali keIsrael, tapi pengertian rohaninya meningkat sejak itu. Dia mulai mengerti tentang anugrah Tuhan dan pemeliharaan ilahi, bisa mulai melihat kalau Tuhan bahkan bisa menggunakan kesulitan hidup untuk mencapai tujuanNya. Dia mengirim pesan pada Ester, “Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu?” (Esth. 4:13, 14). Esther jelas tidak lebih aman dari orang Yehudi lainnya. Saat diketahui dia Yahudi, hidupnya juga terancam. Mordekai yakin kalau Tuhan akan menjaga umatNya. Mereka mungkin jauh dariNya, tapi Dia tidak akan membiarkan mereka binasa, karena itu akan bertentangan dengan janjiNya. Jika Dia tidak menggunakan Ester untuk menyelamatkan mereka, Dia akan menggunakan cara lain. Dia adalah Allah yang berdaulat.

Anda lihat, Mordekai menangkap kalau Tuhan mengijinkan mereka tetap di Persia, dan mungkin sekarang siap membalikan keputusan mereka untuk tinggal bagi kemuliaan DiriNya dan keselamatan orang Yahudi. “dan siapa tahu kamu menerima penghargaan disaat seperti ini.” Betapa gambaran yang luar biasa tentang kebesaran Tuhan kita. Dia tidak hanya mengatur keadaan hidup yang diluar control kita, tapi Dia bisa memperbaiki keputusan kita yang salah, dan juga dosa yang kita perbuat, dan menjadikan itu semua jadi baik kembali. Pemazmur berkata, “Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu” (Psa. 76:10). Jika Tuhan bisa membuat kemarahan manusia jadi pujian, Dia jelas bisa membuat dosa dan kekurangan kita untuk memujinya.

Itu tidak berarti kita harus hidup tidak peduli akan kehendak Tuhan, dan mengharapkan Dia memperbaiki kekacauan yang kita buat. Ada banyak kesedihan dan kepahitan sepanjang jalan, dan diharapkan banyak orang Kristen bisa bersaksi tentang hal itu. Akibat dosa kita sangat besar. Itu berarti saat kita menyerahkan hidup kita ditangan Kristus dan menyerahkan semuanya pada Dia, kita bisa yakin Dia memiliki rencana hebat untuk kita mulai saat itu seterusnya. Dia bisa menggunakan apapun yang terjadi atas kita dimasa lalu dan setiap keadaan yang kita alami sekarang untuk menjalankan rencana itu.

Tuhan memiliki rencana bagi anda, sekarang ini, dimana anda berada, siapapun anda, dimana anda tinggal, siapa yang anda nikahi, apa yang anda alami dimasa lalu, atau yang akan anda hadapi dimasa depan. Kenyataannya, Dia mengijinkan anda sampai saat ini dalam kehidupan anda untuk rencana yang pasti, “untuk saat seperti ini.” Dia memiliki hal yang spesifik untuk anda capai dalam situasi anda sekarang, dan Dia ingin anda mencari kesempatan saat ini.

Anda lihat, orang percaya merupakan bagian dari rencana Tuhan dibumi; mereka harus hidup sebagai orang yang memiliki tujuan. Tuhan tidak ingin kita mengeluh dan melarikan diri. Dia akan dimuliakan saat kita meminta kasih karuniaNya untuk menjadi seperti kehendakNya dan melakukan apa yang dikehendakiNya dalam keberadaan kita sekarang. Kita harus mengambil keuntungan dari kesempatan yang diberikanNya pada kita sekarang. Dia mungkin akan membuka lebih banyak kesempatan dimasa depan, jika itu sesuai dengan tujuanNya. Tanggung jawab kita adalah membiarkan Dia menggunakan kita dimana kita berada.

Esther berespon secara positif terhadap nasihat Modekai. Dia menjawab, “Pergilah, kumpulkanlah semua orang Yahudi yang terdapat di Susan dan berpuasalah untuk aku; janganlah makan dan janganlah minum tiga hari lamanya, baik waktu malam, baik waktu siang. Aku serta dayang-dayangkupun akan berpuasa demikian, dan kemudian aku akan masuk menghadap raja, sungguhpun berlawanan dengan undang-undang; kalau terpaksa aku mati, biarlah aku mati.” (Esth. 4:16). Permintaannya untuk berpuasan menunjukan keyakinannya akan kuasa doa, terutama hubungan antar orang percaya dalam doa. Jika kita menghadapi cobaan, lebih bijak meminta dukungan doa dari orang Kristen lain. Kita tidak perlu mengumumkan kebobrokan yang anda atau gossip tentang orang dalam masalah ini. Hal yang paling penting adalah mengakui kalau kita membutuhkan sesuatu dan teman kita berdoa bersama kita.

Dengan doa mengelilingi dan menjaga kita, langkah berikutnya adalah menentukan hati kita kalau kita harus melakukan kehendak Tuhan dalam situasi itu, apapun harga dan akibatnya. “Aku akan menghadap raja,” tegas Ester, “dan jika aku mati, aku pasti mati.” Tuhan mungkin ingin kita menjalankan tugas yang tidak menyenangkan. Itu mungkin berupa berurusan dengan seseorang yang ingin kita hindari seperti Ester. Tapi jika kita tahu itu adalah kehendak Tuhan, kita harus melakukannya. Dan Tuhan akan menghargainya. Dia melakukannya pada Ester.

Tuhan bekerja secara misterius. Dia melakukan mujizat untuk menguatkan anda. Pertama, Dia menggerakan hati raja untuk mengulurkan tongkat, dan Ester mendekati tahta. Ester bicara dengan berani bukan dengan kemarahan. Dan daripada menyemburkan masalah, dia mengundang raja dan Haman untuk makan malam. Saat makan, dia kembali tidak mengatakan masalahnya, tapi kembali mengundang mereka makan. Bukannya dia ingin meluluhkan atau memanipulasi raja. Dia menggunakan hikmat, dan para istri bisa belajar dari Ester mengenai bagaimana cara bicara dan kapan bicaranya. Anugrah dan budi bahasa merupakan kunci pendekatannya.

Tuhan bekerja dalam cara yang luar biasa. Dimalam sebelumnya, raja tidak bisa tidur. Dia meminta catatan pemerintahannya dibacakan. Itulah yang bisa membuatnya tertidur kembali. Catatan itu adalah kisah percobaan pembunuhan atas dirinya yang diketahui Mordekai sehingga tidak terjadi, dan tindakan itu belum diberi penghargaan (Esth. 6:1-3). Peristiwa itu menjadi latar belakang hari berikutnya.

Pertama, Hama dipaksa menghormati keberanian Mordekai. Dan sudah waktunya pesta makan malam Ester yang kedua. Saat mereka makan raja bertanya, “Apakah permintaanmu, hai ratu Ester? Niscaya akan dikabulkan. Dan apakah keinginanmu? Sampai setengah kerajaan sekalipun akan dipenuhi,” Jawaban Ester luar biasa: “Ya raja, jikalau hamba mendapat kasih raja dan jikalau baik pada pemandangan raja, karuniakanlah kiranya kepada hamba nyawa hamba atas permintaan hamba, dan bangsa hamba atas keinginan hamba. Karena kami, hamba serta bangsa hamba, telah terjual untuk dipunahkan, dibunuh dan dibinasakan. Jikalau seandainya kami hanya dijual sebagai budak laki-laki dan perempuan, niscaya hamba akan berdiam diri, tetapi malapetaka ini tiada taranya di antara bencana yang menimpa raja.” Raja sangat terkejut. “Siapakah orang itu dan di manakah dia yang hatinya mengandung niat akan berbuat demikian?” Dan Ester menunjuk Haman, yang sangat takut (Esth. 7:1-6).

Hasil dari pesta makan malam itu luar biasa. Haman digantung ditiang yang dibuat untuk Mordekai, dan Mordekai dipromosikan menjadi mentri pertama Persia. Dan perintah membunuh Yahudi tidak bisa ditarik, mereka diberi ijin untuk membela diri. Sekitar 75,000 musuh mereka dibantai dan umat Tuhan selamat. Itu suatu mujizat! Tuhan melakukan mujizat bagi mereka yang berjalan dalam rencanaNya, yang melihat keadaan mereka sebagai bagian dari penunjukanNya, dan yang hidup melakukan kehendakNya dimana dia berada.

Tapi ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan dari cerita ini, ini diingat sepanjang waktu. Baik Mordekai dan Ester begitu bersyukur pada Tuhan akan kasih setiaNya dan mengirim surat pada semua orang Yahudi untuk merayakannya selama 2 hari. Mereka menyebutnya pesta Purim, dari kata Pur, berarti, “undi” atau “dadu”. Haman membuang undi untuk menetukan hari kematian orang Yahudi (cf. Esth. 3:7; 9:24, 26). Tuhan membalikan itu menjadi hari kemenangan, dan mereka bersyukur padaNya atas pembebasan ini. Orang Yahudi masih merayakan pesta Purim sampai sekarang. Itu merupakan peringatan seterusnya bagi kasih setia Tuhan.

Tuhan sedang bekerja dalam hidup kita sejelas dan sepasti Ester. Keadaan kita mungkin tidak seperti kehendak kita. Tapi kita bersyukur pada Tuhan karena hal itu. Itu menyediakan Dia kesempatan menunjukan kasih dan pemeliharaanNya, dan itu menyediakan kita kesempatan memuliakan Dia. Marilah kita percaya kalau Dia akan mengatur keadaan itu untuk kebaikan, dan carilah selalu cara melayani Tuhan didalamnya.

Mari kita bicara

    1. Menurut anda kenapa Tuhan meletakan kitab Ester dalam Alkitab?

    2. Hitung kembali beberapa masalah yang anda hadapi dimasa lalu yang sekarang anda sadari Tuhan bekerja didalamnya untuk kebaikan.

    3. Apa hal disaat ini yang anda harap bisa berbeda? Kesempatan apa yang disediakan situasi itu untuk memuliakan Tuhan? Bagaimana anda bisa melayani Tuhan didalamnya?

    4. Bagaimana anda bisa saling menolong mengatasi situasi hidup?

    5. Apa yang anda pelajari dari hubungan Ahasuerus dan Esther yang akan menguntungkan hubungan anda dengan yang lain?

Related Topics: Christian Home, Marriage

10. Hal Mustahil Terjadi— Kisah Zakaria dan Elizabeth

Hampir disetiap budaya dalam sejarah memiliki perbedaan kelas, dan budaya Yahudi pada masa Yesus juga demikian. Kelas yang lebih tinggi terdiri dari keturunan Harun, bertugas sebagai imam. Mereka ada sekitar 20,000 orang dsekitar Yerusalem saat itu, dan sayangnya mereka sombong, fanatic, terlalu puas diri, mementingkan diri sendiri, mereka hanya rohani dalam hal eksternal untuk mengesankan orang. Imam dalam perumpamaan orang Samaria yang baik merupakan salah satu contoh. Dia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menolong korban perampokan.

Tapi ada beberapa orang yang berbeda diantara mereka dan diantaranya seorang imam tua bernama Zakarias, yang berarti “Tuhang mengingat” Karena Hukum Musa menuntut seorang imam hanya menikahi seorang wanita yang bereputasi baik, maka Zakarias memilih anak perempuan seorang imam menjadi istrinya. Perempuan itu tidak hanya keturunan Harun, tapi dia membawa nama istri Harun yaitu Elisheba atau Elisabet, yang berarti “janji Tuhan” Nama mereka akan nyata benar pada masa tua mereka.

Kita pertama akan melihat, teladan ketaatan mereka, “Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat” (Luke 1:6). Hidup Zakaria dan Elizabeth menyenangkan Tuhan. Mereka berserah pada kehendak Tuhan dan taat pada Firman Tuhan. Dan mereka melakukan itu “dihadapan Tuhan,” yaitu hanya meninggikan Tuhan saja tanpa memamerkannya dihadapan orang lain. Disitulah mereka berbeda dari sebagian besar kaum mereka. Mereka bahkan tidak peduli hal yang bisa mereka dapat dari status mereka. Mereka hidup didesa kecil diperbukitan selatan Yerusalem, sementara imam lainnya tinggal didaerah elit dikota. Kesederhanaan mereka bukanlah untuk pamer, itu hasil dari hubungan dengan Tuhan. Mereka lebih peduli terhadap apa yang dipikirkan Tuhan daripada manusia. Dan itu merupakan dasar penting untuk membangun hubungan perkawinan yang baik. Kualitas perjalanan kita dengan Tuhan menentukan kemampuan kita berjalan dalam harmoni dengan pasangan kita. Dan perjalanan dengan Dia hanya bertumbuh saat kita ingin menyenangkan Dia daripada mengesankan manusia.

Itu bukan berarti bahwa Zakarias dan Elizabeth tidak ada masalah sama sekali. Walau banyak masalah kita datang dari dosa kita, Tuhan bisa mengijinkan beberapa masalah untuk memasuki hidup kita yang bertujuan untuk menolong kita bertumbuh. Dia ingin hal itu ada, dan tidak ada ketaatan yang bisa membawa kekebalan pada mereka. Zakaria dan Elizabeth seperti itu, dan masalah yang mereka hadapi sangat besar. “Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.” (Luke 1:7). Sulit bagi kita untuk membayangkan stigma yang melekat kalau tidak mempunyai anak. Sebagian besar Imam Yahudi berpendapat bahwa hal itu merupakan bukti Tuhan tidak berkenan. Walau Zakaria dan Elizabeth bisa benar dihadapan Tuhan, sebagian teman mereka mencurigai mereka melakukan dosa tersembunyi yang serius. Dan tidak ada cara menghapus aib itu. Perkataan “lanjut umurnya” berarti umur 60 tahun, kemungkinan melahirkan sudah kecil. Situasinya tidak ada harapan.

Zacharias bisa melepaskan diri dengan menceraikan Elizabeth. Dalam masyarakat mereka, kemandulan sudah jadi alasan umum untuk perceraian. Zakaria bisa menyingkirkannya, menikahi wanita muda, mendapatkan anak dari istri barunya, dan menyingkirkan kutuk atas dirinya. Itu merupakan jalur yang biasa dilakukan banyak pria. Tapi tidak Zakaria. Sebaliknya dia berdoa (cf. Luke 1:13). Dia menyerahkan situasi itu pada seseorang yang bisa melakukan sesuatu terhadap hal ini. Dan walau saya tidak bisa membuktikannya, saya bisa membayangkan dia berdoa tentang hal itu bersama dengan Elizabeth, dan melaluinya melayani kebutuhan rohani Alizabeth. Dia juga pria yang berpegang pada Firman, seperti yang kemudian dikatakan “Benediktus” (cf. Luke 1:67-79). Jadi Zakarias mungkin berbagi dengan istrinya bagian PL yang bisa menghibur Elizabeth dan mendorongnya dalam permohonan.

Itulah tanggung jawab suami sebagai pemimpin rohani dalam pernikahannya. Waktu yang singkat pengenalannya akan Tuhan pada awalnya menghalangi dia memenuhi perannya secara efektif, tapi saat dia bertumbuh dalam pengertian Firman, dia lebih nyaman mendorong istrinya melalui Firman. Istri terlalu sering menyeret suami jadi rohani; dia merayu, memohon, dan mengganggunya setiap sang suami segan mengambil langkah pertumbuhan iman. Tuhan tidak ingin setiap kita mencoba menyeret orang lain jadi rohani, tapi dia ingin para suami ada didepan, mengambil kepemimpinan rohani dan melayani para istri dan anak tentang Kristus.

Setelah Zakaria mengakui masalahnya pada Tuhan, dia meneruskan tugas yang telah Tuhan berikan padanya. Dia tidak berhenti berdoa dan mogok karena situasinya tidak ada harapan. Dan kita juga seharusnya begitu. Tuhan kita adalah Tuhan yang bisa merubah hal itu! Dia senang melakukan hal yang tidak mungkin bagi kita saat Dia tahu kita akan memuliakanNya. Lebih mudah berhenti dan melarikan diri dari keadaan, tapi itu umumnya menumpuk masalah. Tuhan ingin kita menghadapi kesulitan kita padaNya dalam doa, cari Firmannya bersama untuk penghiburan dan arahan, dan kemudian sabar menunggu karyaNya.

Hal berikut adalah hari yang paling diingat mereka. Hari itu dimulai dengan semangat oleh Zakaria. “Pada suatu kali, waktu tiba giliran rombongannya, Zakharia melakukan tugas keimaman di hadapan Tuhan. Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan di situ” (Luke 1:8, 9). Saat itu gilirannya melayani sebagai imam. Imam dibagi kedalam 24 bagian oleh Raja Daud, dan kaum Abijah merupakan kaum Zakaria, diurutan 8. Setiap bagian akan dipanggil untuk melayani dalam bait hanya 2 kali selama setahun, setiap kesempatan lamanya 1 minggu. Dengan hampir seribu imam setiap bagian, menjadikan tugas masuk keruang maha suci dan menyalakan ukupan suatu pengalaman seumur hidup. Hari itu merupakan giliran Zakaria.

Pertama dia akan menunjuk 2 temannya untuk membantunya. Seorang akan membersihkan abu dari korban malam sebelumnya. Kemudian orang kedua akan masuk dan meletakan bara baru dialtar. Akhirnya, Zakaria masuk ketempat kudus sendirian, mengenakan jubah emas, dan saat diberi tanda menyebarkan ukupan diatas bara. Saat ukupan terbakar dan wewangian naik dari altar, doa penyembah diluar akan menaikan pujian pada Tuhan (cf. Luke 1:10). Itu merupakan simbolik pengalaman memuji yang indah.

Ritual selesai sekarang dan sudah saatnya meninggalkan Tempat Maha Kudus. Tiba-tiba malaikan Tuhan menampakan diri pada Zakaria, berdiri disebelah kanan altar. Kunjungan pribadi malaikan Tuhan jarang sekali dialami dalam sejarah manusia. Dan seperti anda bayangkan, itu suatu pengalaman mengerikan. Tapi malaikan langsung bicara: “Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes. Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang akan bersukacita atas kelahirannya itu” (Luke 1:13, 14). Tuhan bisa melakukan hal yang tidak mungkin, dan itulah yang dilakukanNya saat menjanjikan sesuatu pada Zakaria dan Elizabeth. Dia akan menjadi pendahulu Mesias yang dijanjikan oleh nabi Maleaki (Luke 1:15-17; cf. Mal. 3:1; 4:5, 6).

Semua ini terlalu besar untuk ditangkap Zakaria. Dia sudah berdoa untuk mendapatkan anak, tapi harus mengakui kalau imannya melemah. Sekarang Firman dari Tuhan—terlalu bagus untuk dipercaya. Sebelum dia mendapat kesempatan untuk menyatukan pikirannya, dia sudah menyembur, “Bagaimanakah aku tahu, bahwa hal ini akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya” (Luke 1:18). Zakaria adalah orang yang didalam Tuhan, tapi dia seorang manusia, dan dia memiliki kelemahan manusia. Tuhan mengerti kelemahan seperti ini, yaitu iman yang melemah. Dia tidak senang dengan itu, tapi Dia mengerti, dan Dia mendorong dan menguatkan iman itu. Itulah salah satu alasan dia memberikan FirmanNya, dan alasan kenapa Dia memasukan peristiwa sejarah ini dalam FirmanNya. Firman Tuhan menimbulkan iman saat kita merenungkannya dan melakukannya dalam hidup kita. “jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rom. 10:17).

Zakaria mengenal PL. Dia mengetahui bagaimana Tuhan telah memberikan seorang anak pada Sarah dimasa tuannya. Tapi dia tidak berpikir kalau hal itu bisa terjadi padanya. Bahkan pria yang berpegang pada Firman bisa gagal mengerti hal ini. Tapi Tuhan melakukan kemurahan pada Zakarias untuk menolong dia percaya. Dia memberikannya suatu tanda. “Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya” (Luke 1:20). Tidak menyenangkan kehilangan suara, dan pendengarannya, dan dia mengalaminya (cf. Luke 1:62). Tapi menurut saya Zakarias tidak terlalu memikirkannya. Ketidakmampuannya bicara dan mendengar merupakan peneguhan Tuhan atas FirmanNya, dan itu bertujuan untuk menguatkan imannya terhadap janji Tuhan.

Saat Zakaria keluar dari tempat Maha Kudus, dia jadi orang yang berbeda. Dia sudah lama jadi manusia dalam Tuhan, tapi pertemuannya dengan malaikat Gabriel menimbulkan kesadaran baru akan kebesaran Tuhan, kepekaan baru akan ketidaklayakannya, dan iman yang kuat. Saat tugas seminggunnya selesai, dia buru-buru pulang dan membagikannya dengan Elizabeth setiap detil hari itu, dan mereka bersukacita bersama dalam anugrah Tuhan.

“Beberapa lama kemudian Elisabet, isterinya, mengandung dan selama lima bulan ia tidak menampakkan diri” (Luke 1:24). Mengandung itu sendiri suatu mujizat. Hal yang tidak mungkin terjadi! Dan Tuhan tetap sama selamanya (cf. Mal. 3:6; Josh. 1:17). Dia bisa menyelesaikan masalah kita, dan Dia menaruh kisah ini dalam Firman untuk membuktikannya dan menguatkan iman kita.

Pengatahuan akan mujizat ini menguatkan iman Maria. Tuhan mengatakan kalau dia akan mengandung seorang anak tanpa hubungan dengan seorang pria. Itu sulit dipercaya. Tapi mendengar pesan malaikat padanya: “Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, iapun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu. Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil!” (Luke 1:36, 37). Dan terhadap berita luar biasa ini, Maria menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luke 1:38).

Sebagian orang akan protes, “Tapi anda tidak mengerti. Situasi saya benar-benar tidak memungkinkan.” “Suami saya tidak pernah berubah.” Istri saya tidak pernah belajar.” “Kita tidak pernah keluar dari hutang.” “Saya tidak akan bisa baik lagi.” “Kekasih saya yang belum percaya tidak akan mengenal Kristus.” “Pekerjaan ini tidak pernah berkembang.” Dengar Firman Tuhan: “Karena bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.. Taati Dia. Kemudian terus berjalan..

Peristiwa besar berikutnya, dalam hidup pasanagan ini adalah mendapat kunjungan Maria, sepupu muda Elizabeth dari Nazareth, dan melalui kunjungan itu kita mendapat pengertian tentang karakter Elizabeth. Saat itu kandungannya sudah 6 bulan, dan saat Maria menyapanya, bayi dalam kandungannya melompak seperti diarahkan Roh Kudus untuk menyalami Anak Allah. Kemudian, diiluminasikan oleh Roh yang sama, dia menyatakan perkataan ini: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luke 1:42, 43).

Perkataannya tidak umum dengan beberapa alasan. Satu, itu menunjukan dia mengerti siapa anak yang dikandung Maria. Dia menyebut Maria “ibu dari Tuhanku.” “Tuhanku” adalah sebutan mesias yang diambil dari Psalm 110:1: “Demikianlah firman TUHAN kepada tuanku ....” Dia mengakuinya melalui pernyataan ilahi bahwa Maria akan melahirkan Mesias, Anak Allah. Tapi yang lebih luar biasa lagi prilakunya terhadap Maria. Walau dia tahu dirinya juga diberi kehormatan oleh Tuhan, dia sadar kalau Maria lebih diberi kehormatan; kenyataannya, lebih diberi kehormatan dari semua wanita dibumi. Dia bahkan tidak merasa layak dikunjungi Maria. Kerendahan hati seperti itu merupakan kualitas yang jarang. Dan walau dia lebih tua dari Maria dan memiliki hak untuk bertanya, “Tuhan, kenapa tidak memilih aku?” tidak ada catatan rasa iri atau mementingkan diri sendiri dalam rohnya. Kita mengerti kenapa Tuhan memberkatinya sangat limpah.

Iri hati merupakan emosi yang merusak. Itu menggerogoti jiwa kita, menciptakan suasana bermusuhan dalam rumah kita, dan menghancurkan hubungan kita dengan teman kita. Tapi tidak ada iri hari dalam hidup orang yang percaya dan berharap pada Tuhan, seperti Elizabeth. Jika kita percaya bahwa Tuhan melakukan yang terbaik dalam hidup kita, dan jika kita berharap Dia mengatasi masalah yang tidak mungkin menurut waktu dan caraNya, bagaimana kita bisa iri pada orang lain? Kita tahu bahwa kita adalah alat yang tidak layak yang dipilih Tuhan untuk memenuhi tujuannya bagi kita. Kita tahu bahwa Dia sedang berkarya dalam hidup kita untuk mencapai tujuanNya, dan tidak ada panggilan yang lebih tinggi dari melakukan kehendakNya. Keyakinan itu memberi kita kepuasan dalam diri, dan kepuasan menghilangkan iri hati. Belajar untuk percaya kalau Tuhan akan menghilangkan iri hati dari hidup kita.

Hal terakhir yang kita lihat dari hidup Zakaria dan Elizabeth adalah anak mujizat mereka. Saya yakin mereka menuangkan PL selama bulan-bulan kehamilan Elizabeth, membaca setiap bagian yang bisa memberikan mereka hal tentang Mesias dan pendahulunya. Bangsa ini sudah menantikan hal ini selama berabad-abad, dan Tuhan telah memilih pasangan ini untuk peristiwa itu. Perasaan mereka meluap setiap hari, sampai “genaplah bulannya bagi Elisabet untuk bersalin dan iapun melahirkan seorang anak laki-laki” (Luke 1:57).

Seperti kebiasaan masa itu, saudara dan tetangga mereka berkumpul bersukacita atas peristiwa luar biasa ini, dan itu berlangsung 8 hari, sampai saat anak mereka disunat, mereka mencoba menamainya Zakaria sesuai nama ayahnya. Tapi Elizabeth protes, “Jangan, ia harus dinamai Yohanes” (Luke 1:60). Kenapa Yohanes? Ini belum pernah didengar. Tidak ada yang bernama seperti itu dalam keluarga mereka. Mungkin ini hanya canda Elizabeth. Mereka lebih baik bertanya kepada Zakaria. “Lalu mereka memberi isyarat kepada bapanya untuk bertanya nama apa yang hendak diberikannya kepada anaknya itu. Ia meminta batu tulis, lalu menuliskan kata-kata ini: Namanya adalah Yohanes. Dan merekapun heran semuanya. Dan seketika itu juga terbukalah mulutnya dan terlepaslah lidahnya, lalu ia berkata-kata dan memuji Allah” (Luke 1:62-64).

Yohanes berarti “Tuhan yang Pemurah.” Dan Dia begitu murah hati pada mereka. Mereka hanya meminta anak untuk meneruskan nama keluarga mereka serta keimaman mereka. Tuhan memberikan mereka pendahulu Mesias, anak yang atasnya tangan Tuhan nyata sejak awal hidupnya, seorang manusia yang Yesus Kristus sebut sebagai yang terbesar diantara manusia (cf. Matt. 11:11). Tuhan tidak selalu memberi sesuai permintaan kita, dan jelas tidak menurut kelayakan kita. Dia memberi menurut kekayaan kasih karuniaNya. Dia melakukannya “melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan” (Eph. 3:20). Dan dia senang melakukannya pada orang yang percaya dan taat padaNya, bahkan dalam situasi yang tidak memungkinkan.

Keagungan kasih karunia Tuhan membuat Zakaria menaikan lagu pujian pada Tuhan, Dia dipenuhi dengan Roh Kudus dan berkata, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya, Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu, --seperti yang telah difirmankan-Nya sejak purbakala oleh mulut nabi-nabi-Nya yang kudus-- untuk melepaskan kita dari musuh-musuh kita dan dari tangan semua orang yang membenci kita, untuk menunjukkan rahmat-Nya kepada nenek moyang kita dan mengingat akan perjanjian-Nya yang kudus, yaitu sumpah yang diucapkan-Nya kepada Abraham, bapa leluhur kita, bahwa Ia mengaruniai kita” (Luke 1:68-73). Sumpah yang diberikan Tuhan pada Abraham menunjuk pada Perjanjian dengan Abraham dimana Tuhan berjanji memberkati keturunan Abraham dan melalui mereka Dia memberkati seluruh bumi. Sebagian besar Yahudi mulai berpikir kalau Tuhan sudah melupakan janjiNya, dimana situasi bangsa mereka tidak ada harapan. Tapi Zakaria dan Elizabeth tidak berpikir seperti itu. Nama mereka berdua merupakan pengingat bahwa “Yehova ingat akan janjiNya.” Dan pengalaman luar biasa mereka membuktikan kebenaran itu. Tuhan tidak hanya ingat akan janjiNya, Dia memenuhinya!

Mungkin anda pikir Tuhan telah melupakan anda melihat situasi anda yang tidak ada harapan. Tidak. Dia bisa melakukan hal yang tidak mungkin setiap hari pada setiap orang, dan anda mungkin yang berikutnya. Jadi jangan marah-marah karena beban itu. Percayalah. Tetap setia hidup bagiNya dan dengan sabar menantikan karyaNya, seperti Zakaria dan Elizabeth. Walau nama mereka tidak disebut lagi setelah kelahiran Yohanes, mereka sudah meninggalkan kita warisan iman atas janji Tuhan, Tuhan atas hal-hal yang tidak mungkin.

Mari Kita Bicara

    1. Zacharias dan Elizabeth “benar dihadapan Tuhan.” Apa yang menghalangi anda mengaplikasikan pernyataan itu dalam hidup anda? Apakah anda berjanji dengan Tuhan untuk berhasil melakukannya?

    2. Menurut anda kenapa sangat sedikit suami Kristen yang mengambil kepemimpinan rohani dalam keluarga? Bagaimana seorang istri mendukung suami terhadap hal ini tanpa mengganggu?

    3. Apakah anda menemukan iri hari dalam hidup anda? Jika demikian, coba hitung hal tertentu yang Tuhan lakukan pada anda.

    4. Janji Tuhan apa yang sulit anda percaya? Ingatlah itu, renungkan, dan minta hal itu dari Tuhan.

    5. Apakah ada situasi dalam hidup anda yang kelihatannya tidak mungkin? Serahkan itu pada Tuhan dan doakan bersama serta minta kesabaran untuk menghidupinya sampai Dia mengubahnya.

Related Topics: Christian Home, Marriage

11. Apakah Engkau Mempercayaiku?— Kisah Yusuf dan Maria

Nazareth merupakan kota kecil yang indah terletak dalam lembah didataran subur Esdraelon. Kotanya terdiri dari beberapa rumah batu putih yang kecil, sebuah sinagoge dibangun dibukit tertinggi, dan sebuah pasar dijalan masuk desa. Saat era PB dimulai, populasinya lebih dari 1.000 orang, kebanyakan petani, tapi ada juga beberapa pengrajin yang tokonya bisa ditemukan dalam pasar—tukang pot, tukang anyam, tukang besi, dan tukang kayu. Peristiwa paling bersejarah dalam sejarah manusia melibatkan orang-orang yang berhubungan dengan toko kayu di Nazaret.

Tukang kayu itu sendiri, pria yang kuat bernama Yusuf, sedang bertunangan dengan gadis bernama Maria, mungkin masih remaja. Dia seorang gadis yang mendapat anugrah yang besar (“yang dikaruniai,” Luke 1:28). Dia juga orang berdosa seperti kita semua, dan dia mengakui ketidaklayakannya dan butuh keselamatan dari Tuhan (cf. Luke 1:47, 48). Tapi dia berespon secara antusias terhadap tawaran pengampunanNya dan setiap hari bertumbuh dalam anugrah. Dia dikaruniai Tuhan dengan sangat. Dan dia hidup dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Tuhan bersama dengan dia (Luke 1:28). Dia menikmati waktu-waktu persekutuan dengan Tuhan.

Selain pengenalannya yang dalam dengan Tuhan, tetap pertemuan dengan malaikan merupakan pengalaman yang mengejutkan, dan Gabriel berkata: “Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luke 1:30-33). Dia bertanya pada malaikat : “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luke 1:34). Dan Gabriel menjelaskan fenomena supranatural yang akan terjadi. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Luke 1:35). Itu suatu yang luar biasa, keajaiban yang tiada tanding dalam sejarah manusia, tapi itu hanya bisa terjadi melalui kuasa supernatural dari Tuhan, dan kehamilah Elizabeth yang ajaib dinyatakan dengan pemunculan malaikat. Sekarang keputusan ada pada Maria: keputusan untuk menolak kehendak Tuhan, atau menjadi pelayan yang menyerahkan diri sehingga melaluinya Tuhan bisa menjalankan rencanaNya. Dan keputusan ini berdasar atas kepercayaan. Seperti yang dinyatakan cerita, kita melihat kalau Maria percaya pada Tuhan.

“Betapa suatu kehormatan,” kata anda, “dipilih sebagai ibu dari Mesias. Bagaimana dia bisa menolaknya?” Tunggu sebentar. Anda mengatakan itu karena anda sudah tahu akhir ceritanya, tapi coba meletakan diri anda ditempat Maria. Apakah anda kira orang akan percaya kalau anak ini dikandung dari Roh Kudus? Tidakkah anda pikir orang bisa mengira Maria sedang menutupi petualangannya dengan seorang prajurit Roma? Tempat pemerintahan Roma hanya 4 mil keutara Nazaret di Sepphoris, dan prajurit Roma sering terlihat dijalan Nazaret. Apakah anda tidak berpikir kalau orang lain bisa mencurigai Maria dan Yusuf sudah berhubungan terlalu jauh dan tidak mentaati hukum Tuhan? Dan, apakah tidak ada kemungkinan kalau Maria akan dilempar batu sampai mati karena perzinahan?

Dan bagaimana dengan Yusuf? Dia tahu kalau dia tidak bertanggung jawab atas kondisi Maria. Apa yang harus dikatakannya? Apakah dia tetap mau menikahinya? Apakah Maria mau merelakannya jika dia melakukannya? Dan bagaimana dengan anak itu? Bukankah dia nantinya membawa stigma anak haram diseluruh hidupnya? Dalam waktu yang singkat dengan malaikat, semua mimpi Maria dimasa depan lewat dipikirannya, dan dia melihat semuanya hancur.

Sebuah pertanyaan dalam diri Maria: “Bisakah saya percaya Tuhan mengatasi setiap masalah yang saya hadapi jika saya menyerahkan diri kepada kehendakNya?” Maria telah menikmati kasih karunia Tuhan yang berlimpah. Dia telah menyatakannya dalam hubungan pribadinya dengan Tuhannya. Tapi sekarang Dia memintanya menghadapi pertanyaan terbesar dalam hidup sebagai orang percaya untuk berjalan dalam hubungan denganNya: “Maria, apakah engkau mempercayaiku?”

Maria seorang wanita yang perenung. Dua kali dikatakan dia menyimpan dan merenungkannya dalam hati (cf. Luke 2:19, 51). Tapi dia tidak butuh waktu lama untuk memutuskan hal ini. Dia langsung menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luke 1:38). Keputusan yang diambilnya adalah tunduk pada kehendak Tuhan dan mempercayakan semua akibat padaNya. Tunduk pada kehendak Tuhan hampir selalu berisiko. Tapi Tuhan berjanji akan mengerjakan semua hal untuk kebaikan, dan kita tidak ada pilihan lain selain percaya jika kita ingin menikmati kedamaian dan kuasaNya.

Keinginan untuk taat pada Tuhan dan percaya padaNya dengan semua akibatnya merupakan betu dasar pernikahan. Setiap pria yang mengabaikan istrinya dan berkumpul dengan temannya, mengejar gaya terbaru, atau memainkan akusisinya yang terbaru. Tapi Tuhan menghendaki suami Kristen untuk meletakan istri diatas semuanya kecuali Kristus dan mengasihinya seperti kasih Kristus pada gererja, mempercayakanNya untuk membuat konsekuansinya lebih memuaskan daripada hobi atau rekreasi apapun. Suasana hati wanita bisa terasa seharian, tapi Tuhan menginginkan istri Kristen untuk tunduk pada suaminya, percaya kalau Tuhan akan memperkaya pernikahannya dan memenuhi hidupnya melaluinya. Tuhan mungkin menanyakan hal yang sama seperti Maria: “Apakah engkau mempercayaiku?”

Percaya pada Tuhan hanyalah permulaan dari pernikahan yang baik. Harus ada kepercayaan diantara mereka, dan tidak ada pria yang diminta mempercayai gadis yang dinikahinya lebih daripada pria dalam kisah ini. Kita kemudian melihat, kepercayaan Yusuf pada Maria. Urutannya disini tidak jelas. Apakah Yusuf sudah tahu atau tidak kehamilan Maria sebelum Maria pergi ke Elizabeth diYudea, tidak terlalu jelas. Tapi setelah Maria kembali 3 bulan kemudia, rahasia ini tidak bisa disembunyikan lagi (cf. Luke 1:56 and Matt. 1:18). Apakah Maria mengatakan pada Yusuf tentang kehamilan ajaib ini? Apakah Yusuf sulit mempercayai cerita Maria walau dia mengasihinya ? atau apakah dia sudah menerimanya? Apakah keputusannya untuk memutuskan pertunangan karena meragukan perkataan Maria, atau apakah karena dia melihat dirinya tidak layak menikahi ibu dari Mesias, atau apakah karena dia pikir Maria harus membesarkan anak dalam Bait? Motivasinya tidak pasti.

Tapi ada satu hal yang pasti. Ada konflik yang berkecamuk dalam jiwa Yusuf, apakah dia mempercayai cerita Maria atau tidak, orang lain dipastikan tidak percaya, dan dia akan hidup dengan gossip tentang istrinya yang tidak setia seumur hidup. Tapi Yusuf pria yang ada dalam Tuhan dan murah hati. Apapun yang diputuskannya akan mencerminkan hikmat dari Tuhan dan pertimbangan atas diri Maria. Dan walau hatinya pecah, dia diam-diam ingin memutuskan hubungan dan menghindarkan Maria dari dipermalukan masyarakat (Matt. 1:19). Setidaknya dia terbuka terhadap arahan Tuhan, dan saat malaikan muncul dia masih sedang memikirkan arah tindakannya, “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Matt. 1:20, 21). Ingat malaikat ini lain dari yang muncul didepan Maria, muncul dalam mimpi. Apakah itu suatu mimpi yang didapat dari harapan atau itu benar-benar pesan dari Tuhan? Bagi kita jelas pesan dari Tuhan, karena Alkitab mengatakan itu. Tapi Yusuf tidak mengetahui hal itu. Pertama kali mungkin dia meragukannya. Tapi kepastian yang berkembang mulai menyadarkan dirinya dan kepercayaan memperkukuh pencarian jiwanya. Masalahnya selesai—tidak penting apa kata lidah; Yusuf percaya! “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus” (Matt. 1:24, 25). Itu mungkin suatu tindakan percaya terbesar antara pria dan wanita.

Kenyataannya memang, setiap pernikahan adalah hubungan saling percaya. Saat kita berdiri dialtar dan mendengar pasangan kita berjanji setia, kita percaya, Saat kita mendengar janji pasangan kita untuk mengasihi kita disaat baik maupun buruk sampai kematian memisahkan kita, kita percaya. Dan karena kita percaya, kita membuat janji yang sama sebagai balasannya dan menyerahkan diri kita untuk hubungan seumur hidup. Saling percaya merupakan batu dasar lainnya dalam pernikahan, dan itu harus bertumbuh dalam waktu.

Percaya berarti mampu menyatakan pada pasangan kita pemikiran dan perasaan kita terdalam, percaya mereka tidak akan berkhianat, percaya mereka akan mengasihi dan menerimanya, karena kejujuran kita. Percaya adalah perasaan tanpa marah atau iri hati saat kita melihat pasangan kita bicara dengan orang lain yang berlawanan jenis. Percaya berarti mempercayai pasangan kita saat mereka mengatakan dari mana atau saat mereka menjelaskan maksud dari perkataan mereka sebelumnya.

Percaya meletakan kita diatas belas kasihan suami atau istri. Itu benar-benar membuat kita rentan, dan kita bisa disakiti dalam keadaan ini! Saat kita benar-benar percaya pada seseorang dan kemudian mengetahui sudah dicurangi, itu membuat kita merasa bodoh dan dipermalukan. Tapi pilihan apa lagi yang kita miliki? Tanpa kepercayaan kita tidak punya hubungan. Jadi minta Tuhan anugrah untuk tetap saling percaya, dan kita percaya Tuhan akan menggunakan kepercayaan kita untuk membuat pasangan kita lebih bisa dipercaya jika diperlukan. Anda bisa lihat, tidak hanya Tuhan yang menanyakan itu, tapi juga pasangan kita, “Apakah engkau mempercayaiku?”

Malaikat Tuhan muncul dihadapan Yusuf dua kali lagi, dan pemunculan itu menunjukan elemen percaya dalam kisah kelahiran ini—Kepercayaan Maria terhadap Yusuf. Yusuf dan Maria telah menyelesaikan perjalanan keBetlehem, dan ujian melahirkan dikandang sekaran sudah sejarah. Hari kedelapan setelah kelahiran Yesus, mereka menyunatNya sesuai hukum. Empat puluh hari setelah kelahiranNya, Maria memberi korban penyucian diBait. Setelah itu kelihatannya mereka menetap di Betlehem, mungkin merencanakan rumah baru mereka. Beberapa waktu sebelum kedatangan orang majus dari Persia untuk menyembah raja yang baru lahir; dan mereka menemukannya dalam rumah, bukan dipalungan seperti kebanyakan cerita kelahiran Yesus dimainkan (Matt. 2:11).

Orang Majus berhenti diYeursalem dan untuk mencari dimana Mesias sudah dilahirkan, dan itu membuat Raja Herodes waspada akan potensi ancaman terhadap tahtanya. Atas kejadian itulah pesan dari malaikat Tuhan datang keYusuf dalam mimpi: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia” (Matt. 2:13). Walau saat itu masih malam, Yusuf mengumpulkan barang milik mereka, mengantar Maria dan Yesus pergi keMesir, dan menetap disana sampai kematian Herodes. Ini tidak ada artinya. Maria merupakan figure utama dalam kisah Natal, tapi Yusuf yang mendapat perintah Tuhan. Yusuf adalah kepala keluarga, dan dia diperintahkan untuk melindungi Yesus dari kemarahan Herodes. Maria mempercayai keputusannya.

Tolong, ini bukan liburan kedaerah selatan. Ini merupakan perjalanan sejauh 200 mil dengan kaki atau keledai, melewati gunung, belantara, dan padang dengan seorang bayi dibawa 2 tahun. Kebanyakan ibu bisa menerima ketidaknyamanan yang ada. Saya ragu apakah Maria benar-benar ingin pergi. Jika mereka pergi dari Betlehem, kenapa tidak keNazaret? Bukankah mereka aman disana? Tapi tidak ada indikasi dalam Alkitab kalau Maria meragukan keputusan Yusuf. Dan itu terjadi lagi. Setelah Herodes meninggal, malaikat bicara pada Yusuf diMesir: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya dan berangkatlah ke tanah Israel, karena mereka yang hendak membunuh Anak itu, sudah mati.” (Matt. 2:20). Sekali lagi, Yusuf langsung taat; dan sekali lagi, Maria percaya kalau Yusuf melakukan hal yang benar.

Seperti yang telah kita lihat dalam hidup Abraham dan Sarah, ketaatan istri berarti percaya Tuhan bekerja melalui suaminya melakukan apa yang terbaik baginya. Dan itu termasuk percaya pada keputusannya. Tapi itu tidak begitu sulit kalau istri mengetahui suaminya bertindak untuk kebaikannya dan mentaati arahan Tuhan, seperti Yusuf. Terlihat bahwa Yusuf ingin kembali keBetlehem, tapi takut karena mendengar anak Herodes memerintah menggantikannya. Sekali lagi Tuhan memberikannya arahan, dan dia kembali keNazaret dimana orangtua Maria tinggal (Matt. 2:22, 23). Yusuf membuat keputusannya selaras dengan kehendak Tuhan.

Para pria, kita tidak punya hak meminta istri kita untuk tunduk saat kita semaunya menyatakan pendapat sendiri, menyatakan keinginan egois kita, atau melakukan apa yang baik untuk kita sendiri. Tapi saat kita memiliki kejelasan arah dari Tuhan kalau itu terbaik untuk semua maka kita bisa membagikan semuanya pada istri kita, dan mereka akan tunduk tanpa keraguan. Kita memiliki tanggung jawab mengarahkan mereka kejalur yang Tuhan pilih, bukan kita. Kita harus belajar bertanya pada Tuhan tentang setiap keputusan kita, memberi waktu dalam doa meminta hikmatNya, mencari dalam FirmanNya, prinsip yang bisa membimbing kita, dan menanti kepastian kedamaianNya. Dan jika ada keraguan melakukan kehendak Tuhan, lebih memilih keinginan kita, Dia akan melindungi kita agar tidak membuat keputusan menyakitkan yang akan membawa ketidakbahagiaan dalam keluarga. Kalau itu terjadi maka istri akan dengan bebas mengikuti kepemimpinan kita dengan kepercayaan. Percaya bukan respon yang mudah dan otomatis. Itu butuh dikembangkan, terutama dengan mereka yang dilukai sangat dalam. Kita bisa menolong orang lain membangun kepercayaan yang kuat dalam kita melalui komitmen kita pada kehendak Tuhan. Saat mereka melihat kita berserah padaNya, mereka bisa mempercayai kita.

Mari kita bicara

    1. Coba letakan diri anda ditempat Maria, menghadapi kehamilah ajaib dengan semua akibatnya. Apa yang anda rasakan?

    2. Apakah dalam hidup anda sudah memberikan masa depan dan mimpi anda untuk digunakan sesukaNya? Apakah anda perlu meneguhkan kembali keputusan itu?

    3. Apakah ada bagian dalam hidup anda yang tidak diserahkan pada Tuhan karena takut akan akibatnya? Maukah anda menyerahkan itu padaNya dan minta Dia menolong anda percaya padaNya?

    4. Coba letakan diri anda ditempat Yusuf, menghadapi pernikahan dengan gadis yang mengandung bayi yang katanya dikandung oleh Roh Kudus. Apa perasaan anda?

    5. Biasakah anda memikirkan bagian yang tidak saling percaya dalam hubungan anda dengan orang lain? Bagikan itu dengan mereka secara jujur,tapi baik. Apakah anda merasa bersalah menghianati kepercayaan pasangan anda? Apa yang bisa anda lakukan untuk meningkatkan saling percaya?

    6. Bagi suami: apakah anda pernah merasa bersalah menyatakan pendapat sendiri dan berharap istri tunduk? Apakah anda sudah belajar bertanya pada Tuhan tentang semua keputusan anda?

    7. Apakah anda membantu yang lain membangun kepercayaan yang lebih kuat terhadap anda melalui penyerahan yang lebih kuat pada kehendak Tuhan? Bagaimana anda meningkatkan hal itu?

Related Topics: Christian Home, Marriage

12. Jujurlah— Kisah Ananias dan Safira

“Kami saling mencintai, dan itulah yang penting,” kata pasangan yang sedang jatuh cinta setelah kawin. Tapi mereka menemukan kalau hal itu tidak pernah seperti itu. Tidak ada pasangan Kristen yang berdiri sendiri. Mereka bagian dari unit yang lebih besar disebut Tubuh Kristus (Eph. 1:22, 23), pemilik rumah yang beriman (Gal. 6:10), Rumah Tuhan (Eph. 2:19). Keluarga Tuhan lebih luas dari satu keluarga, dan kita akan belajar kalau hubungan kita terhadap keluarga rohani yang lebih besar ini mempengaruhi hubungan kita dengan suami atau istri. Hal ini tidak pernah lebih jelas dari kisah Ananias dan Saphira.

Mereka hidup dimasa gereja mengalami kemurnian dan kuasa terbesarnya. Pertama, kita melihat keadaaan gereja dalam era kerasulan, “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (Acts 4:32). Ini sangat luar biasa. Jumlah orang percaya mungkin sudah 5.000 saat itu, dan mereka satu hati dan jiwa. Hati sering digunakan dalam Alkitab untuk menunjuk bagian manusia yang tidak materi, termasuk roh dan jiwa. Tapi berbeda dari jiwa, mungkin hanya menunjuk pada roh, bagian paling dalam manusia, pusat keberadaannya dimana Tuhan menyatakan diriNya dan tempat dimana Tuhan berdiam. Orang Kristen mula-mula ini saling terikat satu sama lain. Roh mereka bersatu dalam kehidupan Kristus dan kasih Kristus. Mereka tahu kalau mereka semua bersaudara dalam Kristus.

Tapi Alkitab berkata kalau mereka juga satu jiwa, dan itu sesuatu yang berbeda. Jiwa adalah kekeuatan kesadaran hidup dalam manusia, kepribadiannya, terdiri dari pikiran, emosi, dan kehendak. Inilah tingkatan dimana manusia berpikir, merasa, dan membuat pilihan. Ini wilayah pengalaman. Orang Kristen mula-mula tidak hanya satu karena kedudukan mereka dalam Kristus, tapi mereka juga satu dalam pengalaman. Mereka sehati, mereka saling memperhatikan, dan keputusan mereka mencerminkan perhatian mereka. Mereka tidak hanya duduk bersama selama kebaktian, kemudian pulang rumah dan melupakan saudara mereka. Karena jemaat mereka sangat besar, saat mereka bertemu ditempat ibadah, mereka juga berkumpul dalam unit yang lebih kecil dalam rumah untuk lebih saling mengenal, untuk bertumbuh dalam kasih, untuk saling memperhatikan masalah dan melayani kebutuhan (cf. Acts 2:46).

Perhatian kasih mereka begitu dalam sehingga melibatkan dompet mereka, dan itu baru perhatian! Mereka sadar bahwa apapun yang mereka dapat dari Tuhan, diberikan pada mereka bukan untuk digunakan sendiri tapi untuk dibagikan dengan orang percaya lainnya. Tidak ada paksaan. Setiap orang percaya bebesa memiliki harta dan tidak ada yang memandang rendah hal itu. Tapi sebagian besar dari mereka menjual miliknya dan memberikan uang itu pada para rasul untuk dibagikan pada mereka yang, dari semua kemungkinan, kehilangan pekerjaan karena iman mereka. Mereka mengorbankan kenyamanan untuk kebaikan semuanya.

Hasil dari ketidakeogisan ini adalah kuasa dan berkat yang besar diseluruh gereja. “Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah” (Acts 4:33). Jemaat yang saling memperhatikan merupakan jemaat yang kuat, karena energi dinamis ini merupakan pernyataan kasih Tuhan yang asli. Yesus mengatakan kalau hal ini menjadi tanda muridnya yang sejati (John 13:35), dan dimanapun itu ada, akan menarik orang seperti mata air dipadang gurun.

Itu menarik pasangan bernama Ananias dan Safira. Mereka terhitung diantara yang orang percaya yang kuat. Nama Safira berarti “indah” atau “menyenangkan” nama yang sama diberikan kebatu mulia, Safir. Ananias berarti “Yehova murah hati,” dan Tuhan jelas murah hati padanya. Dia memberikannya istri yang cantik, memberkatinya dengan harta, mengampuni dosanya, dan membawa dia kedalam persekutuan dengan orang yang benar-benar peduli padanya. Seorang pria tidak bisa minta lebih dari itu.

Tapi Ananias ingin lebih, demikian juga Safira. Mereka ingin lebih dari penerimaan; mereka ingin pengakuan. Mereka ingin lebih dari sekedar anggota Tubuh; mereka ingin menjadi anggota Tubuh yang penting. Mereka ingin dipuji manusia. Dan itu membawa kita kepada dosa Ananias dan Safira. Orang percaya yang berdedikasi dan tidak egois sering mendapat pujian dan penghormatan dari orang Kristen yang lain. Jika mereka orang yang benar-benar rohani, tidak akan termotivasi oleh keinginan dipuji manusia, tapi mungkin mereka tetap mendapatkannya. Orang-orang digereja mula-mula yang menjual harta mereka dan memberikan uang kegereja mungkin diterima dengan sangat baik diseluruh jemaat. Barnabas merupakan salah satu yang menyumbangkan semuanya (Acts 4:36, 37). Itu pasti disambut sangat baik. Tidak ada petunjuk kesombongan didadalamnya. Pikirannya hanyalah kebutuhan orang Kristen yang lain dan kemuliaan Tuhan. Tapi pengakuan atasnya ada. Ananias dan Safira melihat hal itu dan menginginkannya, dan disitulah masalah mereka berawal.

Menginginkan pujian manusia sudah merupakan bukti yang cukup kalau motivasi mereka dari kedagingan bukan dari Roh. Tapi itu menjadi lebih jelas bagi kita saat kita belajar bahwa kepastian masa depan mereka ada pada jumlah uang dibank daripada dalam Tuhan. Mereka tidak bisa menanggung apa yang dilakukan orang lain—memberikan seluruhnya pada Tuhan dan sepenuhnya percaya pada kesetiaanNya memenuhi kebutuhan mereka. Mereka harus memiliki uang itu. Dan pernyataan kedagingan yaitu, keinginan dipuji, dan pengangan mereka pada harta, meletakan mereka dalam dilemma. Bagaimana mereka bisa dipuji atas apa yang mereka beri pada jemaat tanpa meletakan semuanya dialtar korban? Mereka akhirnya mendapat solusi. Menipu!

“Ada seorang lain yang bernama Ananias. Ia beserta isterinya Safira menjual sebidang tanah. Dengan setahu isterinya ia menahan sebagian dari hasil penjualan itu dan sebagian lain dibawa dan diletakkannya di depan kaki rasul-rasul” (Acts 5:1, 2). Mereka bekerjasama merencanakan untuk menyimpan sebagian uang dari penjualan milik mereka dalam kotak deposit dan sisanya diberikan pada para rasul. Mereka tidak akan mengatakan kalau mereka memberikan semua uang dari penjualan; mereka membiarkan orang mengira seperti itu. Dan, mereka pasti langsung dikenal sebagai orang percaya yang rohani, mengorbankan diri yang sudah menyerahkan semuanya pada Yesus Kristus.

Apa yang salah dengan rencana mereka? Mereka tidak benar-benar berbohong kan? Mereka hanya memberikan uang dan tidak berkata apa-apa tentang persentase yang diberikan. Bukankah mereka tidak tahan dengan apa kata orang? Tapi mereka bisa. Petrus, melalui pengertian dari Tuhan, membuka rencana mereka sebagai rencana dari Setan dan menyebutnya berbohong pada Roh (Acts 5:3). Dia menjelaskan bahwa mereka tidak diharuskan menjual milik mereka. Dan bahkan setelah mereka menjualnya, mereka tidak diharuskan memberikan seluruhnya kegereja. Tapi mereka diharuskan untuk jujur (Acts 5:4). Dosa utama dari Ananias dan Safira adalah ketidak jujuran, penipuan, berpura-pura, memberikan kesan yang salah tentang diri mereka, menunjukan kerohanian yang lebih besar dari sebenarnya, membiarkan orang lain berpikir lebih dari yang sebenarnya. Mereka lebih tertarik dalam apa yang kelihatan dari pada yang sebenarnya. Petrus berkata, “Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah” (Acts 5:4).

Pernakah anda bertanya hubungan seperti apa yang terjadi antara Ananias dan Safira? Walau mereka menunjukan kebersamaan yang hebat dalam perencanaan penipuan mereka, kebohongan mereka pasti mempengaruhi perkawinan mereka. Saat bagi kita penampakan luar lebih penting dari kenyataan, orang-orang yang hidup dengan kita biasanya menderita karena itu. Kita dengan cermat menutupi kebanyakan kedagingan kita dihadapan yang lain, tapi menyimpannya dibelakang keluarga kita, kita cenderung menggantung semua itu—semua kemarahan, sifat, ketidakbaikan dan tidak peka, tuntutan egois, kesombongan, dan kekanakan. Dan sebagai hasilnya, banyak keluarga Kristen diwarnai dengan perselisihan dan pertengkaran. Tapi saat orang Kristen lain yang mungkin bisa menolong kita bertanya tentang keluarga, kita langsung menjawab, “Oh, baik-baik saja. Kita semakin baik dari sebelumnya.” Dan kita menutupi kebohongan kita dengan alasan semua yang terjadi dalam keluarga merupakan hal pribadi. Tapi kebohongan meningkatkan beban rasa bersalah, dan rasa bersalah membawa kita lebih mempertahankan diri dan terganggu, dan rasa terganggu menghasilkan lebih banyak ketidakcocokan dalam keluarga. Itu merupakan salah satu jebakan favorit setan.

Keinginan daging untuk dipuji dan jadi yang utama seperti ditunjukan Ananias dan Safira bisa mempengaruhi hubungan pernikahan. Itu menyebabkan setiap pasangan mencari kepentingannya sendiri dalam hubungan itu. Dia memberi untuk mendapat balasan, dan dia biasanya menghitung apa yang sudah didapatnya. Jika dia pikir bertemu dengan jalan buntu, dia akan bertengkar dan mengeluh sampai mendapat apa yang menurutnya dia layak dapatkan. Setiap pasangan terus menghitung siapa yang memberi paling banyak, mendapat perhatian paling banyak, yang paling banyak mendapat pujian, yang paling banyak salah, atau hal-hal lainnya. Kebutuhan setiap pasangan untuk lebih baik dari pasangannya menyebakan mereka menyembunyikan kepribadian mereka yang sebenarnya, dan itu membawa dia lebih kedalam kemunafikan.

Marilah kita jujur. Marilah kita menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada kejujuran dan transparansi. Itulah satu-satunya cara menghancurkan jebakan iblis. Saat kita mengakui perasaan dan motivasi kita yang sebenarnya pada orang lain, saat kita mengakui kesalahan yang sebenarnya dan minta orang lain mendoakan kita, itu menyediakan pertolongan untuk meminta kuasa Tuhan mengubahnya. Kita tahu bahwa suatu hari orang itu akan bertanya apa yang terjadi dan kita harus mengatakan dengan jujur. Kita ingin siap ketika waktu itu datang, karena dengan kejujuran, kita akan lebih memperhatikan kehormatan Tuhan dan kesaksian atas gereja Kristus. Jadi kita harus mengijinkan Roh Yesus Kristus untuk membawa kita lebih serupa denganNya. Maka kita mampu berhenti bermain-main dengan kebohongan. Kita akan jadi yang sebenarnya!

Para suami dan istri bisa mulai jujur. Mereka bisa mengakui satu sama lain apa yang ada didalam mereka, kemudian saling menguatkan dan mendoakan kelemahan masing-masing. Mereka juga perlu jujur dengan Tuhan. Jika prilaku mereka salah, mereka harus mengakuinya secara terbuka pada Tuhan dan menolak untuk beralasan. Hanya dengan itu mereka mampu bertumbuh secara rohani. Ananias dan Safira bekerjasama menyetujui rencana jahat itu, tapi mereka tidak pernah mengakui dosanya kepada yang lain dan Tuhan. Saat seorang suami dan istri bekerjasama dalam menipu, itu akan menghancurkan mereka.

Akhirnya kita melihat pada, pentingnya pendisiplinan mereka. Petrus tidak meminta penghukuman dari surga. Dia hanya membuka kebohongan Ananias melalui pengertian dari Tuhan. “Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya” (Acts 5:5). Itu merupakan tangan disiplin Tuhan. “Lalu datanglah beberapa orang muda; mereka mengapani mayat itu, mengusungnya ke luar dan pergi menguburnya” (Acts 5:6). Kita tidak tahu bagaimana mereka bisa mengubur Ananias tanpa diketahui Safira, tapi tubuh orang mati harus dikubur secepatnya pada masa itu dan mungkin itulah sebabnya mereka tidak bisa menemukan Safira saat itu. Dia mungkin sedang keluar belanja, menghabiskan uang yang sudah disalahgunakan.

Tiga jam kemudian dia datang mencari suaminya, tidak sadar apa yang terjadi. Petrus memberikannya kesempatan untuk jujur. “Katakanlah kepadaku, dengan harga sekiankah tanah itu kamu jual? Jawab perempuan itu: Betul sekian” (Acts 5:8). Dan Petrus menyatakan bahwa dia akan mengalami hal yang sama seperti Ananias.

Kita ciut melihat gambaran pendisiplinan ilahi ini. Kita mungkin merasa Tuhan berlebihan terhadap hal ini. Kenapa Dia melakukannya? Dia kelihatan tidak berlaku seperti itu sekarang. Dan kita bisa bersyukur untuk itu! Tapi masa itu berbeda. Itu adalah masa pembentukan gereja. Sampai masa itu tidak ada hal yang berlebihan, dan Tuhan melakukan itu agar dilihat gereja. Dari kejadian itu, Tuhan ingin semua mengetahui betapa Dia membenci kebohongan, dan Dia ingin semua mengetahuinya sepanjang masa. Itulah alasan Dia meletakan kisah ini dalam FirmanNya.

Kerohanian yang palsu sangat menular. Itu menyebar. Saat seorang Kristen meliha orang Kristen lain terbawa, dia menemukan lebih mudah mencobanya sendiri. Dan setiap anggota yang berada dibawa kuasa kedagingan daripada Roh, dan setiap orang yang hidup untuk dipuji manusia daripada kemuliaan Tuhan, maka efektifitas gereja sangat dikurangi. Jika Tuhan mengijinkan Ananias dan Safira melanjutkan kebohongan mereka, itu akan menghancurkan kesaksian gereja mula-mula. Dia harus bertindak tegas.

Sayangnya, waktu telah melemahkan kemurnian gereja, dan kita semakin jauh dari keunikan masa kerasulan, kita bahkan sulit mengenali kepura-puraan kita. Kita mengerti kemunafikan adalah usaha untuk menipu seperti Ananias dan Safira, dan kita mungkin tidak secara sadar melakukannya. Kita mungkin hanya jatuh pada kebiasaan melindungi nama baik, menutupi kedagingan kita, menjaga agar orang lain tidak mengetahui apa yang terjadi dalam hati dan keluarga kita. Itu lebih mudah daripada menyerahkan diri kita sepenuhnya pada Kristus dan membiarkan Dia hidup melalui kita dan membuat perubahan yang diinginkanNya. Bentuk kemunafikan seperti ini menjadi cara hidup gereja Yesus Kristus masa kita, dan mungkin itulah alasan kita tidak bisa memberi dampak bagi masyarakat kita yang sudah tidak dalam Tuhan.

Suatu pertanyaan berkepanjangan dalam pikiran kita setelah melihat hidup Ananias dan Safira. Apa yang lebih penting bagi kita—menjaga agar terlihat rohani, atau dengan murni ingin menjadi seperti apa yang Tuhan kehendaki? Membangung penampakan luar saja membawa kematian—kematian pertumbuhan rohani, kematian dalam keluarga Tuhan, dan kematian pertumbuhan hubungan dengan pasangan hidup, sebagai suami atau istri. Tapi Roh Tuhan bisa menggunakan keterbukaan, untuk menghasilkan kita hidup Kristus, dan itu berarti hidup berkelimpahan, sukacita, dan berkat yang berlimpah.

Mari kita bicara

    1. Bagaimana Ananias dan Safira bisa menghindari perangkap penipuan, agar tidak jatuh??

    2. Apa yang paling sering disembunyikan orang Kristen dari orang percaya lain?

    3. Apakah ada hal yang anda setujui bersama tapi tidak benar dihadapan Tuhan? Apa yang Tuhan inginkah anda perbuat terhadap hal itu?

    4. Hal apa yang paling sering disembunyikan istri dan suami dari pasangannya?

    5. Apa resiko suami dan istri saling terbuka?

    6. Seberapa baik anda bisa didekati? Tanyakan pasangan anda, mudah atau tidak jujur pada anda. Kenapa atau kenapa tidak ??

    7. Apakah ada tanda anda berusaha bersaing untuk lebih tinggi dalam hubungan anda? Bagaimana anda menghindari kecenderungan ini?

Related Topics: Christian Home, Marriage, Finance

13. Saling Membantu— Kisah Aquila dan Priskila

Dalam tahun 52 A.D. Kaisar Roma Claudius mengeluarkan perintah mengeluarkan semua orang Yahudi dari kota Roma. Kelihatannya, dari sejarawan Roma, mereka menyiksa orang Kristen dan menyebabkan kekacauan dalam kota. Claudius hanya sedikit perhatian pada alasan masalah itu, dan lebih lagi pada siapa yang salah. Dia tahu mereka Yahudi, dan itu sudah cukup; jadi semua orang Yahudi dikeluarkan dari Roma, baik yang bersalah dan yang benar.

Pada saat itulah seorang Yahudi bernama Aquila, yang dulu pindah keRoma dari Pontus melalui laut hitam, mengepak barangnya, mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya, dan pergi keKorintus. Bersama dengan istrinya yang setia, Priskila. Kita tidak bisa memastikan apakah istrinya Yahudi atau Roma, demikian juga apakah mereka sudah Kristen atau belum saat itu. Tapi satu hal kita tahu—mereka bersama-sama. Kenyataannya, mereka selalu bersama-sama. Nama mereka selalu disebutkan bersamaan.

Satu sisi, mereka melakukan pekerjaan bersama-sama. “mereka sama-sama tukang kemah” (Acts 18:3). Setiap anak Yahudi dalam PB diajarkan satu jenis perdagangan. Karena tenda merupakan bagian penting dalam hidup orang Ibrani, orangtua Akuila memilih mengajarkan anak mereka cara membuat tenda sebagai cara menghidupi dirinya. Tenda mereka dibuat dari kulit kambing yang harus dipotong seorang ahli dan dijahit dengan tepat. Akuila mendapatkan keahlian itu dan kemudian mengajarkan itu pada istrinya, dan dia dengan senang membantu suaminya dalam pekerjaan itu.

Tidak setiap suami dan istri bisa bekerja sama seperti ini. Itu membutuhkan hubungan yang dewasa agar bisa bekerja sama dibawah tekanan pekerjaan. Tapi itulah hubungan yang terdapat pada Akuila dan Priskuila. Mereka tidak hanya pasangan yang saling mengasihi tapi teman baik dan rekan bisnis. Mereka bersedia saling memberi lebih dari yang mereka dapat. Mereka harus mampu menerima usulan yang diberikan. Mereka menikmati kebersamaan dan bekerja bersama. Mereka tidak terpisahkan, dan mereka setara.

Jadi, saat mereka tiba diKorintus, mereka mencari pasaran untuk membuka toko tenda, dan kemudian membuka usaha pembuatan tenda. Waktunya jelas dari Tuhan, karena tidak lama setelah mereka menetap sebagai toko tenda, orang Yahudi lain yang juga pembuat tenda baru datang dari perjalanan penginjilannya diAtena, yaitu Rasul Paulus. Kapanpun dia masuk kekota yang baru, dia akan mencari pasar untuk kesempatan bicara tentang Yesus, mencari petunjuk arahan Tuhan untuk pelayanan berikut, dan tentu bekerja untuk menunjang pelayanannya. Merupakan hal yang tidak bisa dihindari kalau dia ikut toko tenda milik Akuila dan Priskuila. Alkitab mengisahkan seperti ini: “Kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus. Di Korintus ia berjumpa dengan seorang Yahudi bernama Akwila, yang berasal dari Pontus. Ia baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena kaisar Klaudius telah memerintahkan, supaya semua orang Yahudi meninggalkan Roma. Paulus singgah ke rumah mereka. Dan karena mereka melakukan pekerjaan yang sama, ia tinggal bersama-sama dengan mereka. Mereka bekerja bersama-sama, karena mereka sama-sama tukang kemah” (Acts 18:1-3).

Keakraban mereka sangat dekat, dan persahabatan yang dalam dan berlangsung lama dimulai hari itu. Paulus bekerja ditoko mereka, dan hidup bersama mereka selama dia tinggal diKorintus. Jika mereka belum mengenal Kristus sebelum ini, mereka pasti mengenalnya sekarang, karena tidak ada yang tinggal dengan Paulus tanpa tertular kasihnya pada Juruselamatnya. Mereka hidup bersama-sama, bekerja bersama-sama, dan menderita pengusiran bersama-sama, dan juga mengenal Kristus bersama-sama, dan itulah yang membuat pernikahan mereka lengkap. Sekarang mereka satu dalam Kristus, dan kasihNya membuat pernikahan mereka lebih baik lagi. Itulah yang dibutuhkan pernikahan anda. Jika anda berdua belum meletakan iman anda pada Kristus yang berkorban bagi dosa anda, pernikahan anda tidak bisa jadi lengkap. Kesatuan sejati hanya ditemukan dalam Kristus.

Sejak Akuila dan Priskuila bertemu Juruselamat, mereka bertumbuh dalam Firman bersama. Jelas mereka pergi dengan Paulus ke sinagoge setiap hari Sabat ketika dia berkotbah pada orang Yahudi dan Yunani agar mereka percaya pada Kristus untuk selamat (Acts 18:4). Tidak setiap orang menerima kesaksian ini. Sebagian menolak dan menghujat. Jadi, dia mengundurkan diri dari sinagoge dan mulai mengajar dalam rumah Titus Yustus dirumah sebelah. Dan Tuhan memberkati pelayanannya. Bahkan kepala sinagoge jadi mengenal Kristus. “Maka tinggallah Paulus di situ selama satu tahun enam bulan dan ia mengajarkan firman Allah di tengah-tengah mereka” (Acts 18:11). Pikirkan ini, 18 bulan belajar Alkitab secara intensif oleh pengajar Alkitab terbesar dimasa gereja mula-mula. Betapa pesat pertumbuhan Akuila dan Priskila!

Dan setelah pelajaran berakhir, mereka pulang kerumah dan duduk membicarakan tentang Tuhan dan FirmanNya.

Mereka bertumbuh mengasihi Firman Tuhan. Dan walau mereka bekerja keras ditoko, membuat dan memperbaiki tenda, memelihara keluarga dan memperhatikan tamunya, mereka selalu meluangkan waktu untuk mempelajari Alkitab secara serius. Membagikan Firman untuk memperkuat kasih mereka dan kebersamaan mereka.

Inilah hal yang kurang dalam pernikahan Kristen. Para suami dan istri perlu mempelajari Firman bersama-sama. Itu tidak sulit dilakukan dalam keluarga pendeta. Saat saya menyiapkan kothbah, saya sering membicarakannya dengan istri saya tentang hal itu dan mendapatkan pendapatnya tentang penyelidikan saya. Jika dia menyiapkan suatu pelajaran, dia akan meminta pertolongan untuk mengerti ayat tertentu, dan kita melakukannya bersama. Mengajar sekolah Minggu dan berbagi persiapan masing-masing merupakan cara yang abik untuk memulainya. Membaca dan mendiskusikan Alkitab bersama akan mengijinkan Tuhan berbicara dalam hidup kita. Bagaimanapun kita menggunakannya, Firman Tuhan merupakan hal yang diperlukan untuk memperkaya hubungan kita masing-masing.

Peristiwa selanjutnya menyatakan betapa Akuila dan priskila telah belajar Firman Tuhan. Saat Paulus meninggalkan Korintus ke Efesus, mereka menemaninya, dan Paulus meninggalkan mereka menuju keAntiokia (Acts 18:18-22). Perpindahan merupakan suatu yang penting, karena saat Paulus sedang tidak ada “Sementara itu datanglah ke Efesus seorang Yahudi bernama Apolos, yang berasal dari Aleksandria. Ia seorang yang fasih berbicara dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci. Ia telah menerima pengajaran dalam Jalan Tuhan. Dengan bersemangat ia berbicara dan dengan teliti ia mengajar tentang Yesus, tetapi ia hanya mengetahui baptisan Yohanes. Ia mulai mengajar dengan berani di rumah ibadat” (Acts 18:24-26).

Akuila dan Priskila mendengar dia dan terkesan dengan ketulusannya, kasihnya pada Tuhan, pengetahuannya tentang PL, dan kemampuan bicaranya. Dia bisa digunakan untuk melayani Kristus, tapi pesannya kurang. Semua yang diketahui selain PL adalah tentang pesan Yohanes Pembaptis, yang hanyalah penantian Mesias. “Tetapi setelah Priskila dan Akwila mendengarnya, mereka membawa dia ke rumah mereka dan dengan teliti menjelaskan kepadanya Jalan Allah” (Acts 18:26). Mereka mengajar dengan kasih tentang hidup dan pelayanan Yesus Kristus dibumi, kematiannya sebagai pengganti dosa kita di Kalvary, kebangkitannya dan kenaikannya kesurga, perlunya percaya secara pribadi pada karya keselamatanNya, kedatangan Roh Kudus dihari Pentakosta, dan kelahiran baru, dan pengajaran PB lainnya.

Akuila dan Priskila mungkin bukan pembicara umu, tapi mereka pelajar Firman yang tekun, dan mereka senang membagikannya dengan yang lain. Mereka bahkan mau memberikan waktu yang dibutuhkan oleh orang muda ini, untuk diperhatikan kerohanian dan menuangkan hal tentang Kristus dalam hidupnya. Apollos memiliki pemikiran yang tajam dan cepat mengerti. Dia menyerap kebenaran yang mereka ajarkan dan membuat itu jadi bagian dalam pelayanannya. Dan sebagai hasil pertemuannya dengan Akuila dan Priskuila, dia menjadi pelayan Tuhan yang efektif dan bagi beberapa orang di Korintus menempatkannya setara dengan Petrus dan Paulus (1 Cor. 1:12).

Sebagian dari kita tidak akan pernah jadi pengkhotbah yang hebat, tapi kita bisa jari pelajar Firman yang setia, dan keluarga kita bisa terbukan bagi hati yang lapar akan Firman. Kita bisa mendapat keistimewaan membesarkan orang muda seperti Apollos yang kemudian hari berdampak besar bagi pelayanan Yesus Kristus.

Akuila dan Priskila tidak hanya melakukan pekerjaan bersama-sama dan bertumbuh dalam Firman bersama, tapi mereka juga melayani Tuhan bersama-sama. Kita mengetahui itu dari apa yang kita bacam tapi ada satu tingkatan pelayanan Kristen yang butuh diperhatikan. Saat Paulus meninggalkan Antiokia dalam perjalanan misinya yang ketiga, dia menjelajah Asia Kecil melalui darat dan kembali ke Efesus, diaman dia tinggal memberitakan Firman Tuhan sekitar 3 tahun (cf. Acts 26:31). Selama masa itu, dia menulis surat pertamanya kepada jemaat Korintus dan berkata, “Salam kepadamu dari Jemaat-jemaat di Asia Kecil. Akwila, Priskila dan Jemaat di rumah mereka menyampaikan berlimpah-limpah salam kepadamu” (1 Cor. 16:19).

Saat mereka baru memulai usaha diKorintus, rumah mereka mungkin tidak cukup besar untuk menampung semua orang Kristen, jadi digunakan rumah Titus Yustus. Tapi kelihatannya Tuhan memberkati mereka secara materi, dan mereka menggunakan keuangan mereka diEfesus untuk kemulaiaanNya. Rumah mereka menjadi tempat pertemua bagi gereja Efesus.

Dan itu bukan terakhir kali rumah mereka digunakan untuk itu. Saat Paulus meninggalkan Efesus ke Yunani, rupanya mereka percaya Tuhan menuntun mereka untuk kembali ke Roma. Claudius sekarang sudah mati, jadi perpindahan itu aman, dan Roma jelas membutuhkan kesaksian Injil. Jadi mereka langsung berangkat! Paulus menulis surat Romanya dari Yunani diperjalanan misi ketiga, dan dia berkata, “Sampaikan salam kepada Priskila dan Akwila, teman-teman sekerjaku dalam Kristus Yesus. Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi. Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus” (Rom. 16:3-5). Mereka belum lama diRoma, sudah mengadakan pertemuan gereja dirumah mereka. Gereja dalam PB tidak mampu membeli tanah dan bangunan, juga tidak bijak kalaupun mereka mampu, melihat tekanan dan penyiksaan terhadap mereka. Mereka berkumpul dirumah. Dan rumah Akuila dan Priskuila selalu terbuka bagi orang yang ingin belajar lebih banyak tentang Kristus, dan bagi orang Kristen yang ingin bertumbuh dalam Firman.

Walau kita memiliki gedung gereja, rumah tidak bisa digantikan sebagai pusat penginjilan dan pemupukan rohani dalam komunitas. Sebagian orang Kristen melakukan makan malam penginjilan, dimana mereka mengundang teman yang belum percaya untuk mendengar kesaksian pribadi. Sebagian wanita menggunakan saat minum kopi sebagai kesempatan menginjili, membangun persahabatan dengan tetangga dan membagikan Kristus dengan mereka dimeja makan. Kelas Alkitab rumah bisa menjadi alat yang baik untuk menjangkau yang hilang atau membuat orang percaya lebih bertumbuh dalam Firman. Orang muda sangat diuntungkan oleh orang dewasa yang membuka rumahnya untuk kelompok pemuda. Kemungkinan menggunakan rumah kita untuk melayani Tuhan tidak terbatas. Ini bisa menjadi hal baik untuk dibicarakan oleh suami dan istri dan mendoakannya bersama.

Ada pernyataan singkat dalam sala diKitab Roma yang tidak bisa kita lewatkan: “Mereka telah mempertaruhkan nyawanya untuk hidupku. Kepada mereka bukan aku saja yang berterima kasih, tetapi juga semua jemaat bukan Yahudi.” Kita tidak tahu siapa yang Paulus maksudkan, atau kapan itu terjadi, tapi kemungkinan Akuila dan Priskuila yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan Paulus. Dan untuk itu kita bersyukur pada Tuhan. Pengetahuan kita akan kebenaran ilahi tidak akan lengkap tanpa surat yang diinspirasi Tuhan padanya. Kedua temannya mau memberikan segalanya untuk melayani Tuhan, bahkan nyawa mereka.

Akuila dan Priskuila disebutkan lebih dari satu kali dalam PB, dalam pasal terakhir surat Paulus. Sudah 16 tahun sejak pertemuan pertama mereka di Korintus, dan sekarang dia tawanan di Roma untuk kedua kalinya. Kematiannya ditangan Kaisar Nero sudah pasti, dan dia menulis paragraph terakhir dari hidupnya. “Salam kepada Priska dan Akwila dan kepada keluarga Onesiforus” (2 Tim. 4:19). Dia memikirkan temannya yang sudah kembali ke Efesus dimana Timotius melayani, mungkin meninggalkan Roma untuk melarikan diri dari Nero. Itu hanya salam yang singkat, menggunakan bentuk nama pendek Priskila yang juga kita lihat dibagian lain. Tapi Paulus ingin mengingat mereka dalam waktu-waktu terakhir hidupnya.

Ada pengamatan yang menarik dari ayat pendek itu. Nama Priskila disebut sebelum Akuila. Kenyataannya, namanya diletakan pertama dalam 4 dari 6 ayat dalam Alkitab. Dan itu tidak biasa! Kebanyakan menyebut pasangan dalam Alkitab selalu meletakan suami didepan. Kenapa tertukar? Beberapa penjelasan dikemukankan, tapi yang paling masuk akal adalah, kelihatannya Priskila lebih terampil daripada keduanya dan mengambil peranan yang lebih penting. Tapi itu tidak pernah mempengaruhi kasih keduanya, saling pengertian, juga kemampuan mereka dalam bekerja sama.

Itu tidak selalu terjadi demikian. Sebagian suami merasa terancam karena istri mereka lebih pintas dari mereka, dan untuk menghindari dipermalukan dan menyelamatkan muka mereka, mereka kadang turun kerohaniannya. Bagi mereka lebih mudah tidak menunjukan sama sekali daripada istri mereka lebih dari mereka. Sebagian lain menjadi sombong dan bermusuhan dalam menjaga kedudukan mereka.

Dalam beberapa kasus, istri yang salah. Mereka kelihatan ingin membuktikan sesuatu, bersaing dengan suami didepan umum, mencari otoritas dan yang utama. Tidak heran suami mereka terancam. Tingkatan otoritas dari Tuhan dalam pernikahan tidak pernah berubah. Walau istri lebih pintar dari suami, Tuhan tetap ingin istri melihat suami sebagai pemimpin. Itu tidak selalu mudah bagi wanita yang sangat berkemampuan, tapi Priskila bisa. Dia tidak berkompetisi dengan Akuila. Dia hanya menggunakan kemampuan yang diberikan Tuhan, sebagai penolong bagi suaminya untuk kemuliaan Tuhan. Saya yakin Akuila bersyukur pada Tuhan atas Priskila dan menerima pendapatnya diberbagai kejadian. Priskila merupakan salah satu wanita yang dimerdekakan, karena tidak ada sukacita dan kepuasan daripada kebebasan mentaati Firman Tuhan.

Mari kita bicara

    1. Apakah anda mencari kesempatan membagikan Kristus dimanapun anda pergi, seperti Paulus? Apakah mereka yang bersama anda menjadi tertular kasih Kristus yang anda miliki? Bagaimana anda meningkatkan hal ini?

    2. Kontribusi rohani apa yang anda buat bagi hidup orang lain? Apa lagi yang bisa anda perbuat untuk membagikan Firman Tuhan kepada orang lain?

    3. Bagaimana anda menggunakan rumah anda lebih efektif melayani Tuhan?

    4. Apakah anda saling membagikan Firman Tuhan ? Diskusikan penyelidikan Alkitab bersama yang anda pikir bisa berjalan, kemudian berjanji melakukannya bersama.

    5. Untuk suami: apakah anda risih kalau istri anda melebihi anda? Apa yang Tuhan ingin anda berlaku terhadap hal itu?

    6. Untuk istri: apakah anda mengancam suami anda melalui usaha membuktikan superioritas anda dibagian tertentu? Bagaimana anda menghindari hal ini?

    7. Apakah ada saat dimana anda merasa pasangan anda meremehkan anda didepan umum? Bagikan hal ini dengannya dan bicarakan bagaimana menghindarinya.

    8. Jika anda dan pasangan anda mempertimbangkan melakukan usaha bersama, maslaah apa yang bisa muncul? Apa yang bisa anda lakukan untuk menghindarinya?

    9. Bagaimana anda bisa menunjukan kualitas dalam Kristus pada suami atau istri anda?

Living In Love was originally published by Tyndale House in 1978, and has also been published under the title, Famous Couples In the Bible. This book is used by permission.

Related Topics: Christian Home, Issues in Church Leadership/Ministry, Marriage, Leadership

1. Human Nature

What makes someone human? This question starts us on the journey toward understanding our identity in Christ. We are called to Christ as human beings, so we must understand the fundamental purpose of human beings. This session explores God’s purpose in creating humankind. What binds us all together?

In future sessions, we’ll discuss aspects of our identity that are “earthly.” Our earthly identity includes those traits that all of humankind—both believers and nonbelievers—possess. After that, we’ll examine aspects of our identity that are entirely “heavenly” —characteristics we have because we’ve trusted in Christ.

For now, though, what do we share in common as human beings?

Session Aims

  • Individual Aim: To identify universal characteristics of human nature from chapters 1–2 of the book of Genesis.
  • Group Aim: To gain a greater understanding of human nature and its effects on human experiences.

Preparation

Complete Biblical Exercise: Genesis 1–2 beginning on page 20.

Read Session 1: Human Nature.

Biblical Exercise: Genesis 1–2

Read the first two chapters of Genesis. Also, read “A Method for the Biblical Exercises” beginning on page 17.

Observation — “What Do I See?”

1. Who are the persons (including God) in the passage? What is the condition of those persons?

2. What are they saying or doing? (Look especially for statements or actions that are emphasized, repeated, related, alike, unalike, or true to life.)

3. When did this take place?

4. Where did this take place?

5. Why did it happen?

  •  What changed between the beginning and the end of chapter 1?
  •  What changed between the beginning and the end of chapter 2?

Interpretation Phase 1 — “What Did It Mean Then?”

1. Coming to Terms —Are there any words in the passage that youdon’t understand? Write down anything you found confusing about the passage.

2. Finding Where It Fits—What clues does the Bible give about the meaning of this passage?

  •  Immediate Context (the passage being studied)
  •  Remote Context (passages that come before and after the one being studied)

3. Getting into Their Sandals—An Exercise in Imagination (Focus on Genesis 2 for this exercise.)

  •  How did it look?
  •  How did it sound?
  •  How did it smell?
  •  How did it feel?
  •  How did it taste?

Interpretation Phase 2 — “What Does It Mean Now?”

1. What is the timeless truth in the passage? In one or two sentences, write down what you learned about God from Genesis 1–2.

2. How does that truth work today?

Application — “What Can I Do to Make This Truth Real?”

1. What can I do to make this truth real for myself?

2. For my family?

3. For my friends?

4. For the people who live near me?

5. For the rest of the world?

Introduction

“What am I doing here?” For those who believe in the one God of the Bible, the answer is found in the book of Genesis. Its first two chapters describe how God made humans and their world. Debates about the process by which God made the universe can become heated. However, the main topic of the chapters is God’s purpose in creating the world. The central figures are God and the human species. What we want to focus on in this session is the fundamental purpose of human beings. This session is not intended to address evolutionism and creationism. Rather, it centers on identifying God’s purpose for creating humankind.

Content

Genesis 1 describes creation in a pattern involving two purposes: ruling and multiplying. God created the sun, moon, and stars to rule impersonally over the earth. He created the animals to multiply on the earth. Humans, however, were created to both multiply and rule over creation. Obviously, our form of ruling over the earth is different from that of the sun, moon, and stars. Genesis 2 further explains that distinction by narrowing the lens to the creation of Adam and Eve.

This chapter adds a new element to the creation of humans: relationship. The heavenly bodies rule over the earth without personal relationships.

They have no sense of personhood. However, God gives to humankind the capacity of relationship, both with the Creator and with one another. Relationship involves the abilities to reason and to communicate through language.

After making these observations, we must interpret the passage’s meaning. First, from God’s actions in these chapters, what do we learn about Him?

  •  God is a God of order. (Creation is a process.)
  •  God is eternal. (As Creator He preexists all that is created.)
  •  God is omnipotent (all-powerful).
  •  God is sovereign. (He holds absolute authority.)
  •  God is relational. (He created humans to be in relationship with Him and with each other.)
  •  God creates with purpose (sun and moon to rule, birds and fish to multiply, mankind to multiply and rule).
  •  God alone is God—there is no other. (He is the Creator; no other god precedes Him.)
  •  Next, what do we learn about ourselves?
  •  We are significant (made by God, made in His image, highest of earthly creatures).
  •  We are created to rule the earth, not to be ruled by it. (We have work to do; we have purpose; we have responsibility.)
  •  We were created to be dependent upon the earth (given plants to eat).
  •  We are dependent upon God. (He gave us life; He gives us food to stay alive.)

What are the implications for us? First, every human has a broad purpose from the Creator God. We all share this universal aspect of our identity: We are to multiply and rule relationally. God intentionally created Adam with a relational nature. God saw Adam alone and said, “It is not good” (Genesis 2:18). Because we all share this relational nature, we must be designed to work together. Each person was not given his or her own “earth” to govern. Instead, we are all designed to rule, but to rule together as peers. No human has a right to rule in an absolute manner over any other. Hierarchy among human beings may be necessary for a purpose and even ordained by God in a particular context (such as parental authority over children and governing officials over citizens), but there is no indication in Genesis or elsewhere that one person has absolute authority over another. There is no class of humans that is above or below the others.

Second, God is in the business of bringing order out of chaos. From the formless mass He created an ordered universe. Likewise, part of the image of God in us is to bring order out of chaos. Rulers make judgments about what should be done. They choose between options on moral bases. The heavenly bodies are animated by fixed laws of nature. But humans are able to make choices based on moral judgment. They are not completely at the mercy of their environment but can order and change their environment.

Third, God made “male” and “female” in His own image. Humans were created to be an image or visible expression of God’s nature. Obviously, God’s image in humankind is limited. It’s not a replication of Him, like some sort of clone. Rather, men and women were created to display on earth a physically present image of its Creator. And because both Adam and Eve were created with this image, it’s clear that men and women both were designed to glorify their Creator.

So we see three aspects of human nature:

  •  Humankind was created to have a shared purpose of ruling over the earth in cooperation with one another and mutual submission to God’s authority (see Genesis 1:26-28).
  •  Humankind was created to order our own lives and the earth in accordance with moral imperatives (see Genesis 2:15-17). God designed humans to live in obedience to His commands.
  •  Humankind was created to reflect the Creator’s nature and glory (see Genesis 1:27; Exodus 34:29-35).

Conclusion

Human identity is grounded in God’s design: We are to be mutually submissive to God’s authority, rule over our lives and the earth with moral judgment, and display His image to the physical world. This insight gives Christians a distinctive view of the dignity of all human beings. Regardless of our circumstances, our lives have purpose. Our purpose depends not on what we do (for instance, our jobs) but on how we do what we do, as we will see in “Session 2: Roles.”

Assignment

Read Session 2: Roles.

Read Life Inventory: Introduction on page 89.

Complete the Life Inventory: Roles exercise beginning on page 91.

Related Topics: Man (Anthropology)

2. Roles

“Who am I?” This question goes beyond the question asked at the beginning of session 1. It doesn’t ask who human beings are corporately but rather who each of us is as an individual. Though a simple question, it often leads to myriad complex answers. And despite its importance, many of us have never taken the time to answer it.

Many people assume that we know who we are. Some may have the attitude that life is better spent in action than in reflection. After all, if I’m a salesperson, I need to focus primarily on making sales. If I’m an avid mountain biker, I will make time to go on as many rides as I can. However, such descriptions miss the mark. Understanding your identity in such terms can blind you to God’s design in your life.

The assumption that most people have a handle on who they are currently and how they need to grow and change in the future is incorrect. “Who am I?” We begin to answer this question by exploring the relationship between our identity and our roles.

Session Aims

  • Individual Aim: To identify individual roles and their relationship to your identity.
  • Group Aim: To discuss the relationship between identity and roles and to begin to distinguish between the two.

Preparation

Read Session 2: Roles.

Read Life Inventory: Introduction on page 89.

Complete the Life Inventory: Roles exercise beginning on page 91.

Introduction

The wisdom of the prudent is to give thought to their ways, but the folly of fools is deception. (Proverbs 14:8)

Content

Life in twenty-first-century America is transient. Job changes and relocations uproot people from home, church, and even family and friends. Changes of this magnitude disrupt and change one’s sense of identity.

It’s challenging enough to find our way around a new town—locating grocery stores, figuring out what auto mechanic we can trust, and discovering the fun recreation spots. But the real challenge of moving is establishing an entirely new set of relationships. For some period of time, we lack community. We neither know nor are known by others.

We may begin to question who we are and how others perceive us. We may feel destabilized and vulnerable. But even an identity crisis can be a blessing. There’s no better time to evaluate our identity than when we are forced to see ourselves in a new light.

Consider some times of transition from your own life, such as moving to a new city. Did you wrestle with your identity? How often during that time were you asked questions such as “Where do you work?” or “Where are you from?” These questions are often attempts to ask the fundamental question “Who are you?”

Often, our first response to such questions is to list our various roles. Depending upon how the questions are asked, we might describe the roles we have at our workplace (“I’m an accountant”), in our home (“I have three kids”), or in our hobbies (“I play on a softball team”).

On the surface we may feel we fully understand our identity when we list all of our roles. Though we may find great significance and even stability in the roles we fulfill, can we say they completely encompass our identity? For example, can someone describe who he or she truly is by stating, “I’m a buyer for a retail company, I’m the mother of two teenage daughters, and I am an active member of the PTA”? If that were the case, our identity would undergo a major transition every time we made a life change.

While describing roles may be how we attempt to reveal our identity, those roles don’t truly encompass who we are. It’s better to seek our identity in how we perform our roles.

For instance, the following are statements of roles (what a person does):

  •  I am an engineer.
  •  I am a hospital volunteer.
  •  I am a mother of three.

By contrast, the following statements tell how a person lives out his or her roles:

  •  I am trustworthy.
  •  I am reserved.
  •  I am ambitious.

These statements are much more useful indicators of identity. They remain more stable when the person leaves his or her engineering job or when his or her children grow up and leave home.

Your roles are the interface between you and the world around you. The way a man fathers his kids demonstrates core aspects of his identity. Is he gentle, or harsh? Is he actively involved, or distant? How a waitress performs her responsibilities reveals a part of who she is. Is she courteous, or rude? Is she hardworking, or lazy? Observing patterns in the way people live out their roles gives insight into their identity.

You are not what you do,
but how you do what you do reveals who you are.

Thinking of your roles like this may be a new concept for you. When you begin to view your identity in these terms, it can be difficult to get a handle on it. The rest of this study will help you gain clarity.

Conclusion

Evaluating our identity is a difficult and sometimes confusing process. Though our identity affects the way we live out our roles, our identity and our roles are not one and the same. Roles are based on our present circumstances. Certain aspects of our identity develop over time, whereas others are “given” as part of God’s design. Gender is one of those aspects. We will discuss that issue in session 3.

Assignment

Read Session 3: Gender.

Complete the Life Inventory: Gender exercise beginning on page 94.

Related Topics: Man (Anthropology), Spiritual Life

Pages