MENU

Where the world comes to study the Bible

2. Solusi Tuhan

Kandang Pelatihan

Salah satu dari kegembiraan terbesarku sebagai anak muda yang bertumbuh pada suatu peternakan kecil di Texas adalah mengendarai dan melatih kuda untuk terkekang sehingga mereka selalu di bawah kendali pengendara apakah mengeluarkan anak sapi dari suatusaluran atau mengatur lembu di suatu kandang atau suatu padang rumput terbuka. Kita mencintai semua kuda kita, tetapi yang terlatih memberi kegembiraan yang terbesar dan yang sangat berharga. Tetapi untuk melatih mereka diperlukan waktu yang lama, cinta, kesabaran, dan pekerjaan. Sebagian besar pelatihan diawal mengambil tempat didalam suatu kandang sebab suatu kuda muda secara otomatis mengetahui kalau dia ada dibawah suatu pengekangan tertentu. Memperoleh pengendalian dan perhatian kuda didalam suatu kandang suatu hal yang lebih mudah karena dia tidak punya tempat lain lagi. Jika dilakukan ditempat terbuka merupakan masalah lain, karena disana kuda suka berlari dan mudah terganggu. Sekali kendali tertentu, telah dibangun melalui pelatihan, hal jadi sangat berbeda. Oleh karena itu, kita selalu mempunyai kandang yang digunakan semata untuk pelatihan kuda. Lalu apa itu kandang? Itu merupakan suatu tempat pengurungan dan pengekangan, penggunaan utamanya untuk tujuan pelatihan.

Satu kuda yang saya latih dalam kandang seperti itu adalah suatu kuda sorrel quarter bernama Dolly. Dia akan berhenti untuk sepersepuluh dollar dan meninggalkan satu nikel. Saya bisa membawanya kemanapun dan tahu kalau dia akan sopan. Dia begitu taat sehingga rodeo atau kontes menjadi suatu yang menyenangkan. Saya bisa tetap tenang sebab saya bisa mengharapkan Dolly untuk mematuhi dan melakukan apa yang diperintahkan. Sesungguhnya, orang-orang mengenalnya oleh karena ketaatannya dan sering mengagumi seberapa baik dia dilatih.

Alkitab mengajar kita sebagai orang tua untuk mempunyai suatu kandang pelatihan untuk anak-anak mereka, bukan dibuat dari papan dan tonggak, tetapi dibangun dari material Tuhan. Material ini terdiri dari prinsip dan ajaran Alkitab , ketika dibawa bersama-sama, seperti sisi suatu kandang, menghasilkan suatu lingkungan untuk anak-anak yang tidak hanya memenuhi tentang perintah tertulis Alkitab tetapi menunjukan ketaatan dan memberi orang tua banyak istirahat dan kepuasan. Saya mengingatkan perkataan Amsal, “Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu” (Prov. 29:17).

Alkitab, berwibawa dan diilhami Tuhan, mempunyai banyak hal tentang orangtua, rumah, dan anak-anak. Sebagai contoh:

(1) Psalm 128:1-4 mengajar bahwa anak adalah karunia dari Tuhan; mereka adalah berkat dan kepercayaan dari Tuhan. Tapi Psalm 127:3-5 memperingatkan mengenai hal ini, orang tua harus mengijinkan Tuhan untuk membangun keluarga yang meliputi pelatihan anak-anak kita. Jika Tuhan diijinkan untuk membangun keluarga, kita harus menggunakan Materialnya, Perkakas, dan mengikuti Cetakbirunya. Kita harus membangun Kandang PelatihanNya.

(2) Amsal berkata, kita harus mendidik anak kita dijalan yang seharusnya (Prov. 22:6). Artinya mengarahkan anak-anak untuk masuk jalur yang benar. Tetapi apa yang merupakan arah atau jalan yang benar dan bagaimana cara orangtua melakukan ini, terutama dimasa sulit ini?

(3) Alkitab juga mengajar orang tua untuk mendidik anak-anak mereka (memelihara mereka) dalam disiplin (pelatihan) dan instruksi (peringatan) tentang Tuhan ( Eph. 6:4). Tuhan melatih anak-anak didalam JalanNya melaluiorang tua. Sebagai orang tua, kita adalah agen pelatihan untuk Tuhan.

(4) Para bapak, oleh karena itu, mengendalikan anak-anak dengan martabat ( 1 Tim. 3:4). Mengapa? Sebab anak-anak dilahirkan tanpa kendali. Suatu ilustrasi yang baik tentang ketiadaan kendali adalah kebutuhan akan popok. Kedudukan sebagai orang tua, oleh karena itu, berarti hak otoritas dan tanggung jawab mengendalikan anak-anak mereka menurut standard dan nilai-nilai Alkitab, tetapi tujuannya adalah untuk membawa anak di bawah kendali Tuhan melalui suatu hubungan denganNya.

Anak-anak adalah hadiah, stewardships, dari Tuhan dan untuk dikembalikan ke Tuhan melalui proses pelatihan atau disiplin berdasarkan Alkitab. Disiplin berdasarkan Alkitab tidaklah sewenang-wenang, tetapi untuk didasarkan pada prinsip yang diperoleh dari Alkitab.

Seperti yang akan ditunjukkan studi ini, disiplin berdasarkan Alkitab didasarkan pada kebenaran otoritas dan pengabdian selaku bawahan. Tuhan memberi otoritas ini ke orang tua, tetapi orang tua akhirnya harus dipertanggungjawabkan ke Tuhan baik tanggung jawab untuk disiplin dan untuk cara dan metoda disiplin. Fakta ini jelas dalam Ephesians 6:4.

Ephesians 6:4 mempunyai dua kata yang menguraikan tanggung-jawab dan metoda yang penting dalam pemeliharaan anak. Disiplin ( Nasb) Atau Pelatihan ( Niv) Yunaninya paideia dari modal, anak. menurut penggunaan kata ini ada dua gagasan mengenai disiplin Alkitab: ( a) instruksi atau pendidikan dan ( b) koreksi atau disiplin sebagai tongkat atau beberapa bentuk kendali koreksi. Ini terutama dapat digunakan untuk anak yang lebih kecil. Instruksi Yunaninya nouqesia dari nous, pikiran dan tiqhmi, untuk menaruh, menempatkan. Menurut penggunaan kata ini, melibatkan gagasan untuk pemikiran, nasehat, peringatan, dan teguran ramah atau lembut. Itu lebih sesuai kepada anak yang lebih tua ketika ia mempunyai pemahaman rohani yang lebih baik dan isu moral, terutama sekali perilaku dan sifat alaminya.

Anak-Anak muda, berumur tujuh dan delapan keatas, sering tidak mampu untuk menyerap konsep kerohanian didalam banyak masalah yang mereka menghadapi. Pada zaman ini, mereka jadilah lebih diorientasikan ke stimulus-response atau pleasure-pain mekanisme. Anak-Anak muda menghubungkan benar dan salah sebagai hasil dari tindakan mereka daripada pertimbangan rohani. Ketika mereka dewasa, anak-anak berkembang dalam kesadaran moral pribadi; mereka secara pribadi lebih bertanggung jawab ( mampu menjawab dengan suatu cara yang bijaksana) dan, mereka juga menjadi lebih bertanggung jawab untuk tindakan mereka.2


2 Jack Fennema, Nurturing Children in the Lord, Presbyterian and Reformed Publishing, Phillipsburg, NJ, 1978, p. 126.

Related Topics: Christian Home

3. Prinsip Otoritas

Hak Otoritas

Sebagai Pencipta yang berdaulat atas alam semesta dan yang mendirikan institusi perkawinan dan keluarga, Tuhan telah menempatkan anak-anak di bawah otoritas orang tua mereka. Ini jelas fakta bahwa berulang kali Tuhan menunjuk orang tua dan memberi mereka tanggung jawab untuk pelatihan anak-anak mereka, bukan status( cf. Deut. 6:7-9; Eph. 6:1; Col. 3:20). Otoritas orangtua, adalah suatu yang pemberian wewenang berarti orang tua tidaklah cuma-cuma melakukannya atas anak-anak sesuka mereka. Akhirnya, otoritas kita sebagai orang tua adalah otoritas Tuhan. Anak-anak adalah pelayanan dari Tuhan, berkat yang Ia telah berikan kepada orang tua untuk mengaturnya untuk Tuhan. Tetapi untuk menjadi pelayan yang baik, orang tua harus mendidik anak-anak mereka menurut otoritas dan petunjuk Tuhan agar anak-anak mengenali Tuhan dan mematuhi dan bertindak seperti anak-anak Tuhan. Tujuan kita untuk mengajar mereka kepatuhan sebagai suatu ketaatan kepada Tuhan, ini berarti orangtua dirancang demi Allah untuk ditaati ( Eph. 6:1f).

Sebagai orang tua, kita dibawah Tuhan; kita hanya mewakili otoritas Tuhan dan melakukannya seturut Standardnya. Kita tidak pernah untuk seenaknya menetapkan apa yang benar dan salah berdasarkan pendapat kita atau menurut masyarakat kecuali jika standard itu didasarkan pada Kata Tuhan. Pekerjaan orangtua adalah untuk menyatakan Kata Tuhan tentang apa yang benar dan salah dan menyatakannya dalam hidup mereka dan dalam hidup anak-anak mereka. Ketika ini tidak jadi masalah, orang tua sedang bertindak sebagai pemberontakan atas diri mereka dan merusak, dengan contoh negatif, stewardship Tuhan yang telah dipercayakan kepada mereka. Ini secara alami memimpin ke hal berikutnya.

Makna Otoritas

Otoritas berarti pendelegasian hak-hak untuk mengatur atau memimpin. Ini berarti kuasa untuk bertindak, memutuskan, memerintahkan, dan menilai; hak untuk menentukan kebijakan dan tanggung jawab untuk menentukan kendali dalam hidup anak-anak dalam batas otoritas yang diberi Allah. Tuhan mempunyai kemutlakan otoritas dan hak Pencipta yang berdaulat ( P. 47:2; 103:19; 115:3; Dan. 4:34b; Rom. 9:20b-21). Ada suatu pelajaran penting di sini. Bahkan kendali dan otoritas Tuhan tidak pernah sewenang-wenang sebab [itu] didasarkan pada Kebaikan dan KebajikanNya yang sempurna; itu selalu untuk yang kebaikan dan berkat bagi orang-orang. Sebagai contoh, perintah dari Tuhan tidaklah dirancang untuk menyingkirkan kesenangan kita dan hidup buatan yang menyedihkan. Melainkan, mereka dirancang untuk meningkatkan kapasitas kita untuk memberkati. Ini sesuai dengan karakter Tuhan yang kudus sempurna. Ini meliputi keadilan dan kebajikan sempurna Tuhan. Yang tidak bisa dipisahkan dengan semua ini adalah kebaikan Tuhan sebagai Penolong kasih kita. Sebagai suatu ilustrasi, ketika anak-anak kita masih muda kita memberi mereka sepeda roda tiga saat mereka cukup tua untuk mengendarainya, tetapi kita yang menetapkan aturan: mereka tidak bisa mengendarai sepeda roda tiga mereka dijalan mobil atau diatas trotoar kakilima tetapi di jalan. Aturan yang membatasi mereka keluar dari cinta dan tanggung jawab sebagai orangtua, tetapi tujuannya adalah untuk menjaga mereka untuk tidak digilas mobil.

Related Topics: Theology Proper (God), Christian Home

4. Prinsip Kontrol

Masalah Pemberontakan

Kenapa orang tua memerlukan kendali? Kendali diperlukan oleh karena ketidak dewasaan dan kebodohan anak-anak, tetapi juga oleh karena kecenderungan yang alami untuk pemberontakan. Oleh karena kejatuhan manusia, pemberontakan tidak bisa dipisahkan dalam kita. Sesungguhnya, kata-kata perlawanan, suka menentang, dan lain lain muncul 170 kali didalam NIV, 131 NASB, dan 143 NRSV. Sebelum kita memperhatikan beberapa prinsip mengenai pemberontakan, kendali, dan otoritas, mari kita mencatat beberapa sajak/ayat pada tentang isu ini:

Proverbs 29:15 reads, “Tongkat dan teguran mendatangkan hikmat, tetapi anak yang dibiarkan mempermalukan ibunya.” Kenapa? Karena dalam pemberontakannya, anak-anak mencerminkan kurangnya disiplin orangtua.3 1 Samuel 15:23 reads, “Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim.” Dengan adanya pemberontakan dan kebutuhan control Tuhan merupakan salah satu kualifikasi penatua yaitu “seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya” (1 Tim. 3:4).

Berkaitan dengan Permasalahan pemberontakan dan penentangan adalah, fakta Setan, biang pemberontak, dan dosa manusia. Kendali diperlukan oleh karena permasalahan pemberontakan yang tidak bisa dipisahkan dari keberdosaan manusia melalui kejatuhan ( Gen. 5:3; Rom. 5:12). Jika tidak ada pemberontakan, tidak usah untuk berlatih kendali. Tetapi pemberontakan adalah kenyataan yang harus dihadapi. Anak-Anak dilahirkan secara alami suka menentang dan mereka mendapatkannya dari orang tua mereka ( Ps. 51:5; 58:3; Prov. 29:15).

Tuhan telah mendirikan,tetapkan institusi otoritas ( rantai komando) seperti pemerintah dan keluarga untuk perlindungan masyarakat. Institusi ini dirancang untuk mewakili otoritas Tuhan di dalam batasan-batasan tertentu atau menentukan batas dalam rangka mengendalikan kecenderungan yang alami didalam manusia untuk memanfaatkan dan merugikan orang lain ( Rom. 13:1f; Eph. 5:22f; 6:1f; Heb. 13:7, 17). Tujuan otoritas ini adalah untuk membawa kendali sebagai rintangan bagi pemberontakan terbuka. Batas ini meliputi: ( a) mereka yang ada di bawah otoritas tertentu , dan ( b) tingkat dan cara di mana mereka melakukan otoritas ini.

Rantai institusi atau perintah otoritas ini adalah payung perlindungan Tuhan dan instrumen untuk administrasi yang rapi dari RencanaNya untuk ras manusia. Maksudnya adalah: Otoritas kita sebagai orangtua adalah cara Tuhan melindungi anak-anak; itu menjadi bagian dari PayungNya.

Apa yang adalah sebagian dari area otoritas ini di mana pemberontakan boleh terjadi dalam hidup?

  • Tuhan atas Malaikat dan manusia
  • Pemerintah dengan warganegara
  • Suami dengan isteri
  • Orang tua dengan anak-anak
  • Penatua dengan domba
  • Sesama orang percaya (Saling taat)
  • Para guru dengan para siswa
  • Orang percaya atas setan
  • Manusia dengan ciptaan

Secara alami, Setan, yang pertama dan pemimpin pemberontakan, melawan rencana dan otoritas Tuhan dan secara konstan menyerang institusi ini untuk menciptakan pemberontakan. Penting bahwa ular ( Setan dalam penyamaran)mendekati Hawa, bukan Adam dimana Tuhan telah beri tanggung jawab kepemimpinan. Ini jelas Adam telah diciptakan pertama dan Hawa ( berlawanan dengan pria dan binatang betina) diciptakan dari dia ( cf. 1 Tim. 2:13; 1 Cor. 11:8ff). Setelah Adam dan Hawa makan buah terlarang, alasan pertama yang Tuhan beri kepada Adam untuk pertimbangan adalah kepasifannya sebagai pemimpin. Adam telah mendengarkan isterinya. Ini adalah suatu gangguan dalam rantai kepemimpinan. Setan bekerja terus untuk menyebabkan suatu penyalah gunaan otoritas ( dominasi, kekejaman) dan untuk menyebabkan pemberontakan bahkan ketika ada kepemimpinan penuh kasih dan saleh dalam semua institusi otoritas.

Ketika itu datang ke pemberontakan, ada dua format yang terjadi dalam anak-anak:

Pemberontakan Aktif

Pemberontakan aktip adalah ketika seorang anak tidak akan mendengarkan atau menerima instruksi orangtuanya. Pemberontakan aktif dinyatakan melalui:

(1) Saat seorang anak melemparkan kemarahan, menjawab dengan menantang “ Tidak!” atau menentang dengan berjalan pergi selagi orangtua masih bicara dengan dia.

(2) Saat seorang anak lanjut bermain atau pusat perhatiannya menjauh dari ibu atau bapak atau kakek ketika mereka sedang bicara dengan dia atau memberi dia instruksi. Dalam kasus ini ia juga menyatakan pemberontakan.

(3) Saat seorang anak tidak menerima koreksi. Ini jelas ketika ia membantah ibu atau bapak, menyalahkannya pada orang lain, atau mencibir sebagai ganti mengakui rasa bersalahnya.

Pemberontakan Pasif

Pemberontakan pasif dipertunjukkan ketika anak-anak memenuhi kebutuhan eksternal untuk ketaatan, tetapi secara internal kecewa, yaitu., duduk tenang diluar, tetapi berdiri didalam.

(1) Pemberontakan pasif dirahasiakan, tetapi akan secepatnya muncul dipermukaan didalam guratan ekspresi sikap acuh tak acuh mereka, menjijikkan, marah, atau kurang hormat.

(2) Pemberontakan pasif dinyatakan oleh anak yang dengan sopan mendengarkan instruksi, tetapi yang secara konsisten gagal mengikutinya tanpa peringatan, ancaman, atau tekanan. Tentu saja, pada anak-anak lebih muda, kegagalan merupakan hasil dari perhatian singkat. Mereka berniat dan ingin mematuhi, tetapi menjadi disibukan oleh hal lain dan memerlukan suatu peringatan orangtua dan pengawasan.

(3) Salah satu bentuk pemberontakan pasif adalah lakukan apa yang diperlukan, tetapi bukan didalam cara yang seharusnya itu dilaksanakan atau dengan sikap yang benar. Seperti yang akan ditekankan kemudian, sikap sama pentingnya dalam tindakan ketaatan. Sikap tidak baik menyatakan diri mereka didalam tindakan penentangan atau pemberontakan terbuka.

(4) Jika pemberontakan tidak diatasi, pemberontakan pasif akan mengakibatkan revolusi untuk merobohkan otoritas.

Lalu apa itu kontrol? Itu adalah kuasa atau kemampuan untuk mengatur atau memandu. Ini berarti untuk menahan, mengendalikan, atau mengandangi. Tetapi tujuannya selalu untuk menyatakan ketaatan sebagai pengganti pemberontakan.


3 The focus on the mother in the last part is probably a rhetorical variation for the parent (see 17:21; 23:24-25) and is not meant to assume that she will do the training. See also 13:24 and 23:13 (The Expositor’s Bible Commentary, OT, Frank E. Gaebelein, General Editor, electronic media).

Related Topics: Christian Home

5. Hubungan Otoritas dan Kontrol

Kita dapat menangani masalahnya jika kita melihat hubungan antara otoritas dan kontrol.

( 1) Otoritas berarti tanggung jawab dan hak-hak untuk langsung dan menyebabkan orang lain mengikuti arah. Ini artinya tanggung jawab dan hak, sebagaimana diperlukan, untuk menyatakan kuasa mengendalikan, menahan, atau mengkandangkan, yaitu., kuasa untuk menggunakan otoritas seseorang untuk membawa tekanan pada seseorang agar tidak keluar jalur atau lepas kendali tersebut dalam Amsal 29:15.

( 2) Otoritas berarti tanggung jawab dan hak-hak untuk menetapkan standard yang menjadi ukuran atau test untuk membawa kendali. Diberi hak oleh Allah, orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan kendali didalam anak-anak yang dilahirkan tanpa kendali dan yang secara alami suka menentang, tersesat sejak kelahiran ( Propinsi. 29:15; P. 58:3). Seperti, kebutuhan popok bayi menyediakan suatu ilustrasi yang baik. Bayi harus mempunyai kendali eksternal ( popok) sampai kendali internal berkembang ( pelatihan ke kamar kecil). Saat orang tua gagal untuk mengendalikan dan kemudian melatih anak-anak mereka didalam berbagai area hidup, itu dapat diperbandingkan dengan kegagalan untuk menggunakan diapers dan tidak pernah melatih anak mereka ke kamar kecil. Apakah anda ingin menghadapi konsekwensi anak yang tidak berpopok dan tidak bisa kekamar kecil dalam rumahmu? Tentu saja tidak! Tetapi didalam hal lain, orang tua gagal untuk menetapkan kendali yang mempunyai konsekwensi merugikan diri sendiri, anggota keluarga lain, anak-anak mereka, dan orang lain didalam masyarakat. Pada pokoknya, permasalahan yang kita hadapi di sekolah merupakan masalah yang berkaitan dengan orangtua.

Related Topics: Christian Home

6. Prinsip Pemeliharaan (Didiklah Anakmu)

Definisi Pemeliharaan

Pemeliharaan mengacu pada lingkungan dimana anak-anak dibesarkan dan itu bersama-sama, seperti suatu gerbang kandang, semua sisinya dan ramuan untuk kandang pelatihan.

Didalam Ephesians 6:4, kata-kata, “ mendidik,” dari kata Yunani ektrefw yang berarti, “ untuk memelihara, menyediakan dengan penuh perhatian pemeliharaan, memberi makan, atau melatih.” Dengan kata lain kita ada untuk menyediakan kepedulian yang akan menghasilkan pengembangan dan pertumbuhan yang sehat. Tentu saja, konteksnya berhubungan dengan kerohanian dan pengembangan moral yang mengalir keluar suatu hubungan dengan Tuhan, berjalan di bawah kendali Tuhan, tetapi itu adalah buah kasih dari orang tua yang didalam Tuhan.

Harapan Pemeliharaan

Ketika kita menyediakan pemeliharaan yang jenis yang benar, saat kita menggunakan kandang pelatihan Tuhan, kita dapat dan mengharapkan anak-anak yang bahagia dan taat. Banyak orang tua sudah puas dengan hanya menerima ketaatan, tetapi ketaatan dan bahagia harus merupakan tujuannya. Ketaatan dan bahagia bukanlah harapan yang berlebihan. Catat ayat di atas seperti Mazmur 100:2, “ melayani Tuhan dengan kegembiraan,” dan Colossians, “ dengan gembira berterima kasih kepada Bapa.”

Didalam bukunya, Kamu dan Anak Mu, Charles R. Swindoll mempunyai suatu komentar sempurna mengenai sikap. Ia menulis,

Kita hadapi dengan sungguh-sungguh sikap didalam rumah seperti saat kita lakukan terhadap tindakan. Suatu sikap keras kepala merengut dihadapi secara serius seperti melakukan tindakan mencuri. Cara] anda berhadapan dengan para putra anda akan, sebagian besar, menentukan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap cara Tuhan berhubungan dengan mereka.4

Suatu ilustrasi: Ibu dan Jimmy kecil ada didalam supermarket dan Jimmy kecil melihat gula-gula ( pembuat rongga) di gerbang keluar:

Jimmy kecil: “ Ibu, aku ingin gula-gula.”

Ibu: “ Tidak sayang, tidak hari ini.

Jimmy kecil: “ Tetapi mengapa? aku ingin gula-gula. Aku lapar.”

Ibu: “ Itu terlalu dekat dengan makan malam dan kamu sudah makan cukup banyak gula-gula hari ini.”

Jimmy kecil: “ Tetapi aku ingin gula-gula, aku INGIN gula-gula...”

Ibu: “ Tidak Jimmy, sekarang kita pulang. Apakah kamu dengar?”

Dan demikianlah pertempuran itu. Jimmy kecil mulai berbaring di lantai menangis dan menendangan kakinya, atau ia akan tetap merebut segenggam penuh gula-gula. Akhirnya, didalam keputus-asaan dan karena orang-orang sedang melihat, ibunya berkata, “ Aduh baik, sudah ambil sedikit gula-gula, tetapi mari, ibu sedang terburu-buru.” Jimmy kecil telah memanipulasi ibunya. Ia belum dibuat mengerti, apalagi ketaatan dan bahagia. Ia juga telah mempelajari bahwa jika ia membuat suatu peristiwa didepan publik, ia pasti berhasil.

Tidak setiap orangtua akan bertindak dengan cara yang sama terhadap sikap keras kepala seperti itu, maka anak-anak dengan cepat belajar apa yang diperlukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Beberapa akan mencibir dan melolong; orang lain boleh tidur meringkuk dan memaki mata mereka, tetapi jika orangtua menyerah hasilnya sama saja. Dalam hal apapun, anak-anak ini tidaklah belajar ketaatan dan bahagia, tunduk pada otoritas, maupun rasa hormat atau penghormatan untuk apa yang benar. Sebagai gantinya mereka sedang belajar untuk menurut pada kemauan mereka sendiri dan untuk bertindak menurut kepentingan sendiri dan tidak hormat pada berbagai keinginan dan kebijaksanaan orangtua mereka.

Sebab penentangan anak-anak kecil dapat terlihat lucu( sedikitnya kepada kakek dan nenek dan orang tua mereka) kecenderungan adalah untuk tertawa dan berkata, “ bukankah dia lucu?” atau “ lihat dia memang pengacau?” Tetapi ketika kita lakukan ini (dan say temukan godaan ini lebih besar saat ini seperti saya sudah ke-delapan kali jadi kakek), kita sedang membantu menguatkan penentangan. Orang tua harus menaikkan tingkatan harapan mereka dan harapkan ketaatan tetapi dengan suatu wajah bahagia.

Roy Lessin menceritakan cerita ini.

Satu sore kita mengunjungi para teman untuk makan malam. Sesudah makan malam anak-anak melarikan diri untuk main dan kita orang tua mengunjungi ruang tamu . Segera waktu untuk pulang, maka saya memohon dan mengatakan kepada anak-anak bahwa sudah waktunya untuk pergi. “ Baik ayah,” datang jawaban yang cepat. Dan dalam beberapa detik kedua anak itu ada diruang tamu siap dengan mantel terpasang.

“lihat itu,” teman saya berseru kepada isterinya. “ Ya, aku lihat, itu mengagumkan,” dia menjawab.

“ Apa yang mengagumkan,” ia bertanya.

“ Anakmu,” teman menjawab. “ Saat kamu berkata sudah waktunya untuk pergi mereka mematuhi tanpa suatu percekcokan.”5

Apa yang para teman ini lihat sebagai hal yang mengagumkan, juga diharapkan para ayah yang lain. Ini adalah perilaku normal sebab ayah ini menggunakan kandang pelatihan Tuhan.

Tuhan ingin anak-anak untuk bahagia. Kebahagiaan menjadi bagian dari berkat Tuhan untuk anak-anak. Tuhan juga ingin anak-anak untuk taat. Ini adalah aturan dan rencana Tuhan, dan penting menyadari bahwa anak-anak durhaka tidak pernah sungguh-sungguh bahagia. Kedua hal ini saling berkaitan. Ketaatan dan bahagia meliputi sikap bahagia dan tindakan taat.

Unsur-unsur Pemeliharaan

Proverbs 22:6 Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu .

Ephesians 6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

Pemeliharaan atau Pelatihan seperti apa menyediakan ramuan yang, ketika dibawa bersama-sama bertindak seperti suatu kandang untuk menahan, mengendalikan, dan melatih anak-anak sehingga mereka dengan penuh kegembiraan mematuhi? Alkitab janjikan dan mengajar kalau anak-anak itu bisa merupakan suatu berkat. Orang tua tidak perlu menunggu didalam kekhawatiran dan takut untuk mengantisipasi ‘tahun-tahun remaja yang mengerikan.’ Tetapi mereka juga tidak bisa menunggu sampai tahun remaja itu untuk menerapkan prinsip kandang pelatihan. Lalu apa ramuan Alkitab untuk membuat kandang pelatihan Tuhan? Meskipun masing-masing akan dibahas dalam materi berikut, kandang pelatihan Tuhan berisi lima sisi penting: mencintai (konteks yang terpenting), instruksi (isi yang penting), dedikasi (tentang orangtua dan anak), disiplin (dalam kata-kata dan tindakan), dan contoh (kenyataan berkenaan dengan orangtua).

Mari mencatat beberapa ayat kunci:

( 1) Pepatah 29:17 Koreksi putra mu, dan ia akan memberimu penghiburan, Ia akan juga menggembirakan jiwa mu.

“ Benar” adalah kata Ibrani yasar, yang berarti “ untuk memperingatkan, disiplin, instruksikan.” Itu adalah koreksi dalam wujud nasihat, disiplin, atau instruksi yang mengakibatkan pendidikan, pemahaman yang benar. Seperti yang digunakan dalam PL, kata ini menyatakan menghukum untuk kebaikan, mengoreksi, instruksikan, dan menyediakan semua yang penting bagi pelatihan anak-anak. Hanyalah semua gagasan ini diharapkan untuk diungkapan dalam hubungan antar pribadi dengan cinta dan kepedulian. Kata ini digunakan untuk menunjukan kepedulian penuh kasih Tuhan dengan Israel dan tentang seorang bapak dengan putranya ( cf. Deut. 8:1-5).6 Janji yang umum diberi Tuhan dalam mengoreksi seorang anak adalah kenyamanan, ketenangan, dan sukacita. Untuk “ koreksi” adalah untuk menerapkan kandang pelatihan itu.

( 2) Pepatah 19:18 Diplin putramu selagi ada harapan, Dan tidak menginginkan kematiannya.

Suatu terjemahan lebih baik adalah “ sebab ada harapan” atau “ harapan yang pasti.” Bandingkan Kis 11:18 dan 14:7 di mana kita mempunyai konstruksi yang sungguh sama, tetapi itu diterjemahkan, “ sebab ada harapan.”

“ Ada” didalam Ibrani mengacu pada gagasan keberadaan absolut. Tuhan sedang mengatakan pada kita kalau ini adalah suatu kemutlakan perkataan Tuhan untuk dipercaya dan diterapkan. Ini adalah suatu janji, tidak hanya peringatan.

“ Dan tidak menginginkan kematian nya” secara harafiah “ tetapi bagi kematian nya tidak menyenangkan jiwa mu.” Dengan anak kalimat/ketentuan kedua ini , kita mempunyai suatu permasalahan dalam penafsiran. Ada dua pandangan yang mungkin: ( a) Itu menyediakan suatu peringatan spy hati2 thd disiplin yang tidak pantas, seperti disiplin yang keluar dari pembalasan dendam, ketidaksabaran, atau kemarahan tak terkendalikan. Dalam hal ini kita akan menterjemahkannya, “ tetapi jangan terbawa ( yaitu., didalam disiplinmu) kematiannya.” Atau, ( b) anak kalimat/ketentuan yang kedua menyediakan suatu peringatan spy hati2 thd konsekwensi kemurahan hati. Derek Kidner, didalam komentarnya tentang Amsal, memberi Judul ayat ini “ kemurahan yang mematikan.”7 melalui terjemahan mereka, ASV, KJV, NIV, NASB, dan versi lainnya nampaknya memahami anak kalimat/ketentuan dengan cara ini, meskipun NASB bisa dimengerti dengan penafsiran yang pertama. “ Untuk mengangkat jiwa itu” adalah suatu idiom Ibrani yang berarti, “ kehendak atau menginginkan sesuatu, untuk mendapatkan jantung seseorang atau menginginkan sesuatu.” ( Niv “ jangan jadi bagian dalam kematiannya.” NASB “ jangan menginginkan kematian nya”.)

Anak kalimat/ketentuan yang kedua menyediakan suatu kontras dengan sebelumnya. Untuk melalaikan disiplin oleh karena suatu ketidakyakinan dalam metoda Tuhan, atau oleh karena tangisan anak, atau oleh karena kemalasan orantua, atau perasaan halus, atau apapun, pada pokoknya untuk menginginkan kematian anak. Kemurahan hati mengijinkan sikap dan pola perilaku untuk tumbuh yang bisa menyebabkan suatu kematian anak oleh karena tidak ada disiplin dan kendali rohani. Jauh lebih baik tangis anak di bawah koreksi sehat dan penuh kasih dibanding orang tua menangis/berteriak di bawah buah pahit kegagalan disiplin ( cf. Prov. 23:13-14).

( 3) Ephesians 6:4 Dan, para bapak, jangan menimbulkan kemarahan anak-anakmu; tetapi didik mereka didalam disiplin dan instruksi Tuhan.

“ Disiplin” menunjuk secara luas kepada seluruh proses pelatihan, tetapi terutama sekali dalam bentuk disiplin. “ Instruksi” adalah suatu kata yang secara harafiah berarti untuk menaruh perasaan/pengertian didalam pikiran. Itu mengacu pada dorongan dan menenangkan jika itu diperlukan atau nasihat jika itu diperlukan.

( 4) Pepatah 22:6 Didiklah seorang anak didalam jalan/cara yang ia perlu pergi, Bahkan ketika ia tua ia tidak akan meninggalkan jalan itu.

Didalam ayat kecil ini ada suatu perintah untuk ditaati, “ mendidik,” dan suatu janji untuk menjalankannya, “ dan ketika ia tua (dewasa) ia tidak akan meninggalkan itu.” Didalam hal ini kita mempunyai tugaskan dan Janji Tuhan bagi tiap-tiap orangtua. Orang tua harus mengetahui maknanya dan percaya pada metoda nya . Masalahnya, tentu saja, adalah mengetahui apa maksud ayat itu dan memenuhi perintahnya. Bagi saya makna ayat ini jauh lebih dari apa langsung terlihat dan apapun yang sering pikirkan. Ayat ini tidaklah semata-mata membicarakan penyesuaian berkenaan dengan paksaan orangtua. Itu tidaklah berkata, mengirimkan anak-anakmu ke sekolah Minggu atau menyuruh mereka menghafal Sepuluh Perintah dan Segalanya akan berhasil. Ayat ini lebih dalam dari itu.

Kata “ melatih” adalah kata Ibrani chanak yang, menurut pemakaiannya dalam zaman lampau, mempunyai empat gagasan penting yang mengandung pelajaran pemahaman dan gambaran kandang pelatihan Tuhan. Jelas, konteksnya harus menentukan bagaimana chanak digunakan dalam konteks apapun, tetapi berbagai penggunaan menyediakan beberapa usul dan ilustrasi dari apa yang dilibatkan dalam pelatihan.

Pertama, chanak bisa berarti “ untuk mempunyai dedikasi.” Itu telah digunakan empat lain dalam PL dan pada setiap kasus yang gagasan utamanya adalah untuk melantik/memulai sesuatu yang melibatkan pengorbanan ( Deut. 20:5 [ dua kali], 1 Raj 8:63; dan 2 Chron. 7:5). Akan lebih banyak dibahas dalam dedikasi orangtua untuk membesarkan anak dalam pemeliharaan dan peringatan Tuhan.

Kedua, gagasan lain didalam chanak adalah “ untuk mencekik, membatasi, atau disiplin.” Dalam kata Arab, seorang bahasa saudara, kata ini digunakan untuk suatu tali dalam mulut kuda, seperti kekang untuk membuat binatang itu tunduk dan bisa dikendalikan. Ini jelas menggambarkan bagaimana pelatihan meliputi penggunaan disiplin, aplikasi dari kendali eksternal, dalam rangka membawa seorang anak di bawah kendali, yang akhirnya dibawah kendali Tuhan.

Ketiga, gagasan lain dalam chanak adalah “ instruksi.” Bagaimana itu mendapat arti ini? Dalam maksud/arti yang paling pokoknya bermaksud/arti “ untuk memulai, start,” atau “ memperkenalkan seseorang kepada sesuatu atau keseseorang.”8 Dari situ datang gagasan “ untuk melatih” sebab dalam instruksi, kita sedang memperkenalkan anak-anak kita kepada Tuhan dan kepada FirmanNya dan mulai meletakan mereka didalam jalan Tuhan.

Keempat, gagasan yang lain didalam chanak adalah untuk “ memulai, menciptakan suatu selera.” Sumber ini dari luar PL, hanya sedikitnya melalui ilustrasi itu mempunyai aplikasi kepada proses pelatihan.4 Kata itu benar-benar bermaksud/arti, “ langit-langit mulut, atap mulut.” yang dihubungkan dengan gagasan dasar inisiasi yang merupakan penggunaan kemudiannya dalam kata Arab untuk tindakan suatu bidan yang akan menggosok langit-langit mulut bayi dengan zaitun atau minyak dari biji yang dihancurkan dalam rangka memberi suatu rasa, untuk menciptakan suatu selera dan menyebabkan bayi menyusui. Pasti, salah satu dari ramuan yang perlu dalam pelatihan anak-anak adalah memberi anak-anak suatu rasa keberadaan Tuhan melalui teladan atau contoh orangtua. Kita tidak bisa harapkan anak-anak untuk nyata dengan Tuhan jika kita adalah orang yang palsu. Mereka meniru berdasar pada sikap dan pola kita apakah kita suka atau tidak. Siapa kita adalah hal penting, bahkan menentukan mereka akan menjadi seperti apa.


4 Roy Lessin, How to be Parents of Happy and Obedient Children, Omega Publications, Medford, OR, 1978, p. 81, quoting Charles R. Swindoll in, You and Your Child.

5 Lessin, pp. 55-56.

6 Theological Word Book of the Old Testament, R. Laird Harris, editor, Gleason L. Archer and Jr. Bruce K. Waltke, associate editors, Vol. I, Moody Press, Chicago, 1980, p. 387.

7 Derek Kidner, Proverbs: An Introduction and Commentary, The Tyndale Old Testament Commentaries, Tyndale Press, London, 1964, p. 134.

8 Theological Word Book of the Old Testament, Vol. I, p. 301.

Related Topics: Christian Home

7. Prinsip Pemeliharaan

(Mengenal Anakmu)9

Dasar Alkitab

    Psalm 139:1-6

1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; 2 Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. 3 Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. 4 Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN. 5 Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku. 6 Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya.

Konsep pengetahuan anak kita hanya berupa akal sehat, tetapi mempunyai akar dalam pemeliharaan Bapa surgawi kita. Didalam Mazmur 139:1-6 Daud menemukan keamanan dan kenyamanan besar dalam pengetahuan bahwa kemaha hadiran Tuhan adalah relational, bahwa Tuhan tidak hanya mengetahui tentang dia, tetapi bahwa Ia mengenal dia dengan intim dan mengetahui semua detil dari hidupnya sebagai Seorang yang mengawasi dia, bahkan seperti Orang yang menaruh Tangannya di sekitar hidup David's ( vs 5). Membaca ini, aku jadi berpikir tentang iklan Allstate , Kamu ditangan ahlinya dengan Allstate. Sebagai jawaban atas kebenaran ini, David berseru, . pengetahuan seperti itu terlalu bagus untuk aku; terlalu tinggi, aku tidak bisa mencapainya ( NIV). Kenyataan Tuhan terlibat dalam hidup umatnya, Anak-anak rohaninya ( Heb. 12:5-7), adalah di luar pengertian Daud. meski demikian, kebenaran ini memikatnya dan memberi dia kenyamanan besar

Sebagai orangtua surgawi kita, Tuhan terlibat seluruhnya dengan anak-anakNya. Ia mengetahui penipuan kita( Ia yang merancang kita), jalan kita, dan situasi, mental, emosional, spiritual dan phisik. Ia mengetahui kelemahan kita, kekuatan, pola pikir, alasan, dan kebiasaan. Betapa contoh yang indah untuk kita sebagai orang tua. Tentu saja, orang tua adalah segalanya kecuali mahatahu, meskipun demikian saya sering berpikir kalau ibu saya mempunyai mata dibelakang kepalanya. Meskipun demikian, model dari Bapa surgawi menunjukkan bagaimana orangtua harus mengamati dan mengenal anak-anak mereka sehingga mereka bisa membedakan kebutuhan phisik, rohani, dan emosional mereka.

Lihat juga Jeremiah 1:5 untuk ilustrasi lain ttg pengetahuan dan keterlibatan pribadi Tuhan dengan umatNya. Kita perlu mencatat komentar Daud dalam ayat 1, Kamu sudah mencari aku dan mengenal aku. Yang dicari Ibraninya chaqar, mencari sampai ketemu suatu pokok atau perihal, menyelidiki, menguji secara menyeluruh. Pengetahuan adalah hasil pengujian. Karena Tuhan, yang adalah abadi dan mengetahui masa depan seperti halnya sekarang, telah diketahui sejak kekekalan. Bagi orangtua, memerlukan studi saksama untuk mengenal anak-anak mereka, setiap anak, sebagaimana mereka ada. Perhatikan, penekanan dalam seluruh ayat awal ini ada pada pengujian Tuhan, pengetahuan, dan pengenalan semua detil hidup Daud.

Seperti Bapa Surgawi menyelidiki kita, demikian juga orang tua harus menyelidiki dan mengenal anak mereka sebaik mungkin. Kenapa? Perhatikan Psalm 139:23-24.

Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!.

Tujuannya adalah untuk memperhatikan cara menyakitkan dalam rangka membantu seorang anak masuk ke dalam hidup yang kekal, suatu hidup berlimpah-limpah dibumi dengan penghargaan abadi di surga

Saya akan menyarankan dua aplikasi di sini:

Pertama, orang tua harus mengenal anak-anak mereka dengan intim dalam rangka memimpin mereka ke luar dari jalan yang menyakitkan (secara harafiah, jalan duka cita). Ini adalah jalan dari sudut pandang manusia, kejasmanian, ketidak dewasaan, dan dosa, menuju ke dalam jalan kedewasaan dan pertumbuhan Alkitab, jalan yang memberi anak itu arti yang benar, kepuasan, dan keamanan dengan hasil abadi.

Kedua, sebagai bagian dari proses pelatihan, anak-anak harus mengenali, menghargai, dan bereaksi terhadap peran orang tua yang diberi Allah untuk menjadi agen perubahan (tidak hanya popok!). Sperti Daud berserah kepada orangtua surgawinya, maka anak-anak harus diajar untuk lakukan yang sama melalui pemahaman dan menghormati peran yang diberikan Tuhan kepada orang tua mereka. Tak seorangpun dapat mengenal seorang anak seperti orangtuanya-jika orangtuanya memperhatikan dan berjalan dekat dengan Tuhan.

    Proverbs 20:11-12

Anak-anakpun sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya. 12 Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN.

Prinsip akal sehat dan pelajaran yang jelas nyata didalam dua ayat ini adalah bahwa perilaku seorang anak bisa dipelajari; itu akan mengajar orang tua tentang anak mereka jika mereka mau memberi waktu dan usaha untuk belajar, mengamati, dan lihat apa yang terjadi didalam hidup anak mereka. Tetapi apa yang dicari orangtua? Apa yang bisa mereka harapkan dari anak-anak mereka? Kitab injil menetapkan sejumlah kebenaran yang akan memandu kita, tetapi barangkali tempat untuk mulai adalah ayat dasar, Amsal 22:6

    Proverbs 22:6

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu.

Seperti yang telah dicatat, ayat ini adalah suatu kunci seluruh tanggung jawab pelatihan anak, tetapi ada fokus tertentu di ayat ini yang menunjukan kalau suatu pelatihan anak dari orangtua harus didasarkan pada pengenalan akan anaknya. Penekanan ini tidak hanya jelas dalam bahasa Inggris seperti dalam teks Ibrani. Seperti dilihat sebelumnya, kata melatih, Ibraninya chanak, mempunyai maksud/arti utama, melatih, menginstruksikan, memulai, dan dapat juga berarti, untuk mempunyai dedikasi, mencekik atau disiplin. Didalam katakerja kita bisa melihat tanggung jawab utamanya. Orang tua ada untuk melatih dan mengajar anak-anak mereka untuk membawa kendali Tuhan ke dalam hidup anak. Dan pasti, karena anak-anak mereka adalah kepercayaan dari Tuhan, mereka harus mendedikasikan anak-anak ini kepada Tuhan dan mempersembahkan diri mereka kepada proses pelatihan.

Tetapi apa yang menjadi standard proses? Perkataan Tuhan adalah standardnya, tentu saja, tetapi ada hal lain yang harus memandu proses itu dan ini dilihat dalam, dalam jalan yang ia harus pergi. Teks Ibrani lebih kuat dari itu dan secara literal, menurut ukuran jalannya. Sesuai dengan, Ibraninya ' al pi, secara harafiah menurut mulut. Ini membawa gagasan menurut perintah, bukti atau kalimat, atau menurut ukuran. 10 Kata depan ' Al menandakan norma, standard, atau aturan dengan mana sesuatu diharapkan untuk yang diselesaikan. Pi Kata bendanya pe, mulut, pembukaan. Karena mulut atau lobang bidik kamera ukurannya beragam, mengembangkan konsep ukuran atau porsi. Dengan pemikiran ini, pe sering digunakan di kata depan yang berarti sebanding dengan. Seorang anak kecil secara normal mempunyai mulut jauh lebih kecil dibanding orang dewasa dan tidak bisa menerima sama besar seperti orang dewasa. Prinsip di sini mestinya sudah jelas. Pelatihan harus dilaksanakan menurut ukuran, kapasitas, atau kemampuan. Tetapi apa itu? Itu ditunjukkan dengan kata-kata jalannya.”

Teks Ibrani mempunyai kataganti orang berkait dengan kata benda jalan. Itu dibaca, jalannya dan tidak hanya didalam jalan yang ia perlu pergi. Jalan Ibraninya derek, jalan, perjalanan, cara. Itu digunakan untuk ( 1) suatu jalan, alur, perjalanan, tindakan, ( 2) gaya, kebiasaan, cara sebagai kondisi atau pengalaman biasa, dan ( 3) tentang tugas dan tindakan moral dan karakter baik dan jahat. 11 Dari pengenalan Alkitab dan dari pengenalan anak-anak, kita mengetahui berbagai hal tentang jalan mereka. pertama, kita mengetahui bahwa Tuhan, di dalam Kedaulatannya, mempunyai suatu rencana, suatu jalan yang dia ingin setiap anak mengikutinya. kedua, kita mengetahui bahwa tiap-tiap anak mempunyai suatu keadaan spesifik sebagai suatu individu dengan kemampuan tertentu, bakat, dan kecenderungan tertentu. Derek dari katakerja darak, untuk menginjak, berbaris, tetapi sering digunakan secara metafora meluncurkan sesuatu seperti melentur busur dalam rangka meluncurkan panah, atau suatu sergapan, atau pidato pahit, atau pertimbangan suatu arah tertentu ( cf. P. 7:13; La. 2:4; 3:12; P. 57:7; 64:3; 1 Chron. 5:18; 8:40; Isa. 21:15). Walau derek tidak mempunyai maksud/arti spesifik, penggunaan format katakerja menyediakan kita ilustrasi menarik yang mengenai sifat alami anak-anak menurut faktor warisan dan sebagaimana Tuhan telah merancang mereka.

Dengan hal ini, mari kita melihat beberapa pemikiran kunci dalam melatih anak menurut jalannya:

(1) Orang tua harus mengenal anak-anak mereka sebagai individu yang unik. Untuk melakukan ini, mereka harus dengan berdoa mengamati, belajar, dan mengenali karakteristik individu ( atau kebengkokan) dari tiap anak-anak mereka dan melatih mereka dengan tepat.

(2) Orang tua jangan pernah berpikir kalau seorang anak mendapatkan banyak pelatihan Alkitab atau pergi ke gereja sudah cukup. Pengajaran Alkitab, gereja, dan tumbuh dewasa dalam pengajaran Alkitab dirumah merupakan semua hal penting dan bagian penting dari proses, tetapi masing-masing anak perlu untuk diperlakukan sebagai individu unik dan tidak boleh langsung percaya. Orang tua harus mengambil catatan khusus dari apa yang sedang terjadi pada setiap respon anak, kelemahan, kebiasaan, sikap, dan lain lain. Lingkungan yang sama tidak berarti bahwa masing-masing anak akan menjawab dengan cara yang sama. Suatu pendekatan yang sama tidak akan berhasil. Beberapa ilustrasi Alkitab tentang respon akan yang berbeda terhadap pengajaran dan lingkungan yang sama di dalam keluarga yang sama adalah Cain dan Abel, Jacob dan Esau, dan Absolom dan Solomon.

(3) Orang tua jangan pernah mencoba untuk memaksa anak-anak mereka ke dalam jalan yang mereka sendiri. Maksud saya orang tua sering mencoba untuk memaksakan seorang anak ke dalam cetakan cita-cita mereka. Ini tak lain suatu usaha orantua, melalui pencapaian anak mereka, untuk mendapat pujian atau apapun juga yang mereka butuhkan, tetapi tidak pernah menerimanya. Sebagai contoh, suatu orangtua mungkin punya suatu mimpi melihat anak mereka menjadi seniman atau atlit besar dan melakukan segalanya untuk menggerakkan dan mendorong anak mereka kearah itu walau itu sama sekali tidak sesuai dengan bakat, kemampuan, atau keinginan anak itu sendiri- Membiarkan kehendak Tuhan jadi atas anak itu.

(4) Suatu busur dibuat oleh perancangnya untuk menekuk satu arah, sesuai caranya. Kita lihat bahwa format katakerja “jalan” digunakan suatu busur untuk meluncurkan sesuatu. Jika orang yang menggunakan busur itu tidak tahu cara busur dibengkokkan dan mencoba untuk menekuknya dengan cara yang berbeda, ia tidak akan hanya menghadapi suatu tugas sulit, tetapi ia bisa merusak busur itu. seperti juga, orang tua harus mengenali cara anak mereka dibengkokkan, baik melalui cara Tuhan yang telah merancang mereka dan cara dosa yang telah mempengaruhi mereka. Jika orangtua gagal untuk mengenali ini, mereka gagal membantu menempatkan anak mereka dalam rencana Tuhan bagi hidup mereka. Ini menyatakan bahwa anak-anak tidak seperti potongan tanah liat lembut yang bisa dibentuk sesuka orangtua. Melainkan, mereka adalah individu unik dengan suatu jalan telah ditetapkan dan perlu diketahui, diakui, dan dihadapkan dengan kebenaran Alkitab dan suatu pengamatan saksama dari orangtua.

Doktrin Manusia

Jika orang tua mau mengajar anak-anak mereka menurut Alkitab, percaya itu adalah Firman Tuhan, maka mereka harus pula mengetahui dan menerima apa yang diajarkan Alkitab tentang nature dan penciptaan manusia. Ini adalah suatu dasar yang perlu dan pemandu untuk apa yang harus harapkan dari seorang anak. Manusia modern katakan bahwa orang-orang pada dasarnya baik, dan permasalahan kita bersumber terutama dari lingkungan kita. Jika kita menyapu bersih lingkungan itu maka anak-anak akan jadi bagus. Isolasikan dan tempatkan anak-anak didalam suatu lingkungan sempurna dimana permasalahan nyaris menghilang lenyap. Tak seorangpun menyangkal bahwa lingkungan akan mempengaruhi karakter seorang anak secara negatif atau secara positif. Tentu saja, itulah mengapa Alkitab menempatkan penekanan yang kuat seperti itu pada keluarga dan pemeliharaan anak-anak. Tetapi Alkitab mengajar kita bahwa inti atau permasalahan dalam perilaku penuh dosa didalam anak-anak dan jalan yang mereka hasilkan ada diluar lingkungan. Permasalahannya adalah dosa. Meskipun diciptakan dalam gambaran Tuhan dan tanpa dosa, Adam berdosa dan ras kita jatuh. Alkitab mengajar kita:

(1) Adam’s dosa diteruskan turun temurun. Dalam Kejadian 5:1 kita diberitahu kalau Adam diciptakan serupa dengan Tuhan. Dengan suatu kepribadian ( kesadaran diri, akal, kemauan, dan emosi) manusia diciptakan segambar dengan Allah. Akan tetapi didalam ayat 3 kita lihat bahwa Adam mempunyai seorang putra yang serupa dengannya, menurut gambarannya. Dalam kaitan dengan kejatuhan ini tidak hanya termasuk phisik, mental, dan faktor emosional turunan, tetapi juga suatu nature penuh dosa atau bengkok kearah kejahatan, suatu natur yang didefinisikan Alkitab sebagai kejahatan yang tidak bisa disembuhkan, menipu, dan apa yang hanya dapat diketahui Allah ( cf. J. 17:9; Rom. 5:12; 7:17-18). Jika kita adalah untuk sungguh-sungguh mengenal diri kita dan anak-anak kita/kami, kita harus mengetahui apa yang dinyatakan Tuhan tentang hati manusia menurut FirmanNya.

Jeremiah 17:9 berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Walau nature berdosa ( di sini disebut hati) dapat dikendalikan oleh anugrah keselamatan Tuhan dan persucian didalam Kristus, itu tidak bisa dibasmi, dipindahkan, diubah atau diselamatkan. Jika, seperti kata Jeremiah dalam ayat 5-8, jalan berkat dan kutuk menjadi sangat jelas dan berbeda, mengapa seseorang memilih jalan berdosa? Jawaban sederhana. Sebab akar yang menyebabkan manusia memilih jalan dosa dan terkutuk ada dalam hati manusia—nature berdosanya. Tetapi darimana kondisi penuh dosa ini datang?

(2) Setiap anak mewarisi nature dosa dari orangtuanya. Daud menulis, “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” ( P. 51:5, NIV). Daud baru saja mengaku dosanya dalam Mazmur ini dan mengakui bahwa ia tidak bisa menyalahkan lingkungan atau keadaan. Ia adalah orang yang berdosa dan sudah begitu sejak lahir. Maksud Daud ia telah dilahirkan dalam keadaan berdosa, orang berdosa dengan natur dosa, dengan kecenderungan berbuat dosa.

(3) Bahkan anak kecil juga berdosa. Lalu apa yang orangtua harapkan? “Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah sesat” ( P. 58:3, NIV). Mengapa? Sebab anak telah melakukan dosa? Tidak! Seorang anak berdosa sebab didalam anak tidak bersalah ada kecenderungan alami ke arah kejahatan seperti menceritakan kepalsuan untuk melindungi dirinya dari konsekwensi perilaku tidak baik.

(4) Seorang anak yang dibiarkan akan membawa aib kepada orangtuanya. Apa sebabnya seorang anak yang tak berdisiplin, terbiar, membawa aib bagi orangtua ( Prov. 29:15)? Sebab, sungguhpun anak-anak kecil ada didalam satu pengertian tidak bersalah, ada suatu prinsip berdosa yang sedang bekerja yang menggerakan mereka ke arah perilaku berdosa dan egois. Maka anak-anak harus diajar untuk tidak berdusta atau mencuri. Mereka harus diajar untuk menjadi tak egois, untuk mencintai dan menghormati orang lain, dan untuk menghormati otoritas.

Dua Sisi Koin

Untuk mengajar seorang anak menurut jalannya orang tua harus mengetahui dan percaya bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dengan dua kecenderungan, kecenderungan kearah kejahatan ( kecenderungan suka menentang) dan kecenderungan kearah baik ( yang dapat digunakan untuk kemuliaan Tuhan dan berkat bagi yang lain).

    Kecenderungan Kearah Kejahatan

(1) Kecenderungan umum atau warisan dosa. Dari orangtua awal, Adam, semua anak-anak menerima nature berdosa. Untuk mengajar anak-anak berarti orangtua tidak akan dikejutkan tetapi sadar akan kecenderungan pemberontakan ini dan keinginan diri sendiri yang merugikan orang lain.

Mengerti ini bisa membantu orang tua menjadi lebih sabar dan lebih sedikit frustrasi ketika malaikat kecil mereka menunjukkan kecenderungan suka menentang atau menyimpan mengejar keinginan diri sendiri. Kita mengetahui kalau manusia kecil ini juga mengalami pertempuran dengan nature berdosa mereka seperti halnya kita. Betapapun, mereka mirip orangtuanya! Pengetahuan dan Pemahaman tentang hal ini akan membantu kesabaran dan pengertian kita, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan dan mengabaikan sikap atau perilaku tidak baik. Pemahaman tentang kecenderungan ini menolong orangtua menyadari bahwa hanya dengan menceritakan kepada anak apa yang diharapkan tidaklah menyelesaikan masalah. Anak mungkin ingin melakukan apa yang benar, tapi karena nature berdosa, kelemahan, ketidak-tahuan rohani, dan pergumulan dalam dirinya, ia memerlukan bantuan yang khusus, pelatihan, dan disiplin yang disediakan oleh orangtua. Karena prinsip keberdosaan ini tidak bisa dibasmi atau sungguh-sungguh diubah dan akan bersama dengan anak seumur hidup, orangtua harus berkomitmen untuk memindahkan anak dari kendali eksternal ( hukum) ke pengawasan intern ( anugrah) sehingga anak belajar untuk hidup dari kesaksian imannya dan hubungan akrab dengan Tuhan melalui Kristus.

(2) Kelemahan Karakter atau Kecenderungan spesifik. Setiap anak mempunyai kecenderungan spesifik atau kecenderungan ke arah perilaku penuh dosa dari keluarganya melalui keturunan ( genetically) dan dari faktor lingkungan ( kondisi-kondisi di rumah dan masyarakat). Dan tiap-tiap anak berespon dengan cara yang berbeda terhadap lingkungan mereka. Yang pasti, seringkali sukar untuk mengetahui di mana akhir factor keturunan dan awal factor lingkungan, tetapi satu hal sudah pasti, atmospir di mana seorang anak dibesarkan sangat mempengaruhi kecenderungan hereditas itu.

Walau masing-masing anak mempunyai kecenderungan berdosa, masing-masing anak sangat berbeda dalam menyatakan hal itu. Ini memerlukan pengetahuan dan pengamatan saksama dari tiap anak. Satu anak mungkin mempertunjukkan kecenderungan rendah diri atau perasaan tidak mampu, sedang anak lain dalam keluarga yang sama dapat percaya diri dan berpikir ia dapat melakukan apapun dan lebih baik daripada orang lain. Keduanya memerlukan kasih karunia yang sama, tetapi dalam arah yang berbeda. Seseorang harus mempunyai kepercayaan dalam Tuhan, apa bisa Dia lakukan melalui dan dengan mereka. Kebutuhan lain adalah suatu pemahaman tentang anugrah Tuhan yang akan membantu ke arah kerendahan hati dan pada waktu yang sama memberi harapan yang berpusat pada Tuhan.

Abraham dan keturunannya menyediakan kita ilustrasi yang baik bagaimana lingkungan, barangkali dikombinasikan dengan jenis tempramen, dapat mendorong atau merintangi godaan dosa. Dalam rangka melindungi dirinya, Abraham cenderung untuk berdusta. Lebih dari satu kali ia berbohong tentang isterinya Sarah. Dia adalah perempuan yang sangat indah dan takut raja daerah itu akan membunuh dia dalam rangka mengambil Sarah, ia mengklaim dia adalah saudarinya. Saya merasa pasti ia membenarkan ini dalam pikirannya sebab dia adalah saudari tirinya( cf. Kejadian. 12 dan 20). Dengan jelas ciri karakter ini terbawa keputranya, karena dalam Kejadian 26 kita temukan Isaac melakukan dengan tepat hal yang sama untuk melindungi dirinya dari Abimelech

    Kecenderungan Kearah Kebaikan

(1) Dari Kelahiran Phisik. Alkitab mengajar kita bahwa Tuhan terlibat dengan anak-anak sejak kelahirannya ( Ia yang membuka dan menutup kandungan ) melalui keseluruhan proses pembentukan anak didalam kandungan ibunya sampai kepada kelahirannya ( cf. Kej. 4:1; 15:3; 16:2; 20:17-18; 29:31; 30:22; P. 113:9; 127:3-5; 139:13-16; J. 1:5; Prov. 16:4). Seorang anak, kemudian, mestinya tidak saja dipandang sebagai suatu kunjungan dari Tuhan, tetapi sebagai kepercayaan khusus yang diberikan Tuhan. Melalui setiap karya Tuhan, tiap-tiap anak diciptakan oleh kehendak Tuhan dan keterlibatan pribadi dengan bakat spesifik, kecenderungan, kapasitas atau kemampuan phisik, dan artistik. Ini diberikan kedalam anak dari kedaulatan pemeliharaan Tuhan. Dalam Yohanes 9:1-12 orang yang dilahirkan buta, termasuk cacat kelahiran, meskipun ini niscaya dapat terjadi sebagai hasil kejatuhan dan dosa-dunia yang terkutuk. Kita bisa melihat ini dalam masyarakat kita oleh karena alkohol dan obat/racun berhubungan erat dengan cacat kelahiran. Walaupun demikian, kita tidak pernah berpikir Tuhan tidaklah secara berdaulat terlibat. Pertimbangkan yang berikut:

Dengan masyarakat kita yang tergantung pada pemikiran manusia bukannya otoritas Alkitab dan dengan etika situasi yang sekarang diajar banyak sekolah, banyak orang hari ini mendekati hidup dan berbagai kesulitannya seperti memandang cacat kelahiran dari sudut pandang manusia bukannya dengan sudut pandang Alkitab. Seorang guru yang ingin menggambarkan kekurangan pemikiran manusia situasi seperti ini kepada suatu kelas

Bagaimana kamu akan menasehati seorang ibu hamil berdasarkan fakta berikut.

Suaminya menderita sipilis. Dia menderita TBC. Anak pertama mereka dilahirkan buta. Anak kedua mereka meninggal. Anak ketiga mereka dilahirkan tuli. Anak keempat mereka menderita TBC.

Ibu itu sedang mempertimbangkan pengguguran. Akan kamu menasehatinya untuk mengandung lagi?

Mengingat fakta ini, kebanyakan dari para siswa menyetujui bahwa dia perlu melakukan pengguguran.

Guru itu kemudian mengumumkan, “ Jika kamu berkata ‘ Ya’ kamu baru saja membunuh penggubah musik yang besar Ludwig von Beethoven!”

Maka penting bagi orang tua untuk bersandar pada pengawasan kedaulatan Tuhan dalam hubungan dengan anak-anak mereka dan belajar serta mengetahui anak-anak mereka dalam rangka mengenali kemampuan mereka, karunia, kebutuhan, dan kecenderungannya yang ditentukan oleh Allah dalam rangka membantu mengembangkan bakat mereka, karunia, dan kemampuan alami, atau untuk mengalahkan ketidak-mampuan atau kelemahan (melihat masalahnya) sehingga Tuhan bisa dimuliakan melalui hidup anak itu.

(2) Dari Kelahiran Rohani. Tujuan terbesar yang harus dimiliki Orang tua Kristen untuk anak-anak mereka adalah membawa anak mereka percaya Kristus. Percaya Kristus mendatangkan kelahiran yang baru, dilahirkan ke dalam keluarga Tuhan dan ditempatkan kedalam tubuh Kristus sebagai anggota dengan karunia rohani tertentu dan suatu tujuan khusus didalam rencana Tuhan ( cf. 1 Cor. 12:11ff; Eph. 2:10; 1 Pet. 4:10). Ini adalah suatu area penting untuk diperhatikan dan dijaga orangtua. Anak-Anak perlu diamati untuk indikasi kecenderungan rohani mereka, karunia, minat, dan karya Tuhan dalam hidup mereka dan kemudian memelihara mereka. Kecenderungan melalaikan area ini untuk pengejaran hal lain atau untuk pergi ke ekstrim lain dan mencoba untuk memaksa itu. Saya sudah melihat orang tua yang ingin pergi ke bidang misi, tetapi tidak pernah melakukannya. Sebagai hasilnya mereka mencoba untuk memaksa anak-anak mereka ke dalam misi dan ini mendorong pemberontakan atau kepada suatu area di mana mereka tidaklah cocok. Pekerjaan orang tua adalah untuk menyediakan pemeliharaan dan konteks rohani yang mengarahkan hati anak kearah Tuhan sehingga Ia mempunyai kebebasan untuk memimpin mereka menurut Kehendaknya. Setelah memberi anak-anak mereka kepada Tuhan, orang tua hanya perlu melihat anak-anak mereka mengetahui, mencintai, dan mengikuti Tuhan di mana saja Ia pimpin.

Suatu ilustrasi baik dari apa yang orang tua mestinya tidak lakukan dapat ditemukan dalam hidup Jacob dan Esau. Dua saudara laki-laki ini adalah kembar, tetapi mereka jauh dari serupa. Kej 25:27-28 mengambarkan tentang mereka dan pilih kasih yang ia tunjukkan, “Lalu bertambah besarlah kedua anak itu: Esau menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang, tetapi Yakub adalah seorang yang tenang, yang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau, sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka kasih kepada Yakub.” Esau adalah orang yang suka diluar, yang berbeda dengan Isaac, tetapi terutama sekali ia mencintai permainan liar. Esau adalah kesayangan Isaac, dan untuk semua hal ia mungkin sedikit perhatian ke Jacob. Sebagai anak pertama, Esau mempunyai hak dan tanggung-jawab mencakup berkat phisik dan rohani, tetapi ia sedikit menghargai hak waris keturunannya yang akan secepatnya menjadi milik Yakub berdasarkan atas janji Tuhan ( lihat Kej. 25:22-23). Esau, dengan kecenderungannya, lebih memperhatikan hal diluar rumah dan berbagai hal material, dan menunjukkan sedikit perhatian dalam berkat rohani yang adalah miliknya sebagai anak pertama yang bertanggung jawab untuk mengabadikan perjanjian Abraham (yang mencakup janji Messianic). Isaac, akan jadi pelayan Esau, pasti telah mengetahui hal ini seharusnya bertindak untuk memberi perhatian rohani pada Esau, tetapi ia gagal untuk melakukannya.

Jacob pada sisi lain adalah orang suka tinggal di rumah, tetapi ia juga berminat pada berbagai hal rohani. Jelas, ia memperoleh inspirasinya dari Rebekah, yang bukannya bersandar padan janji Tuhan, melakukan apapun bagi putra kesayangannya. Isaac tidak tertarik atau terlalu lemah untuk mengikuti perkembangan curang Jacob dan Rebekah.

Dalam ilustrasi ini ada dua saudara laki-laki yang dibesarkan dalam satu keluarga dengan kecenderungan yang berbeda. Kita juga mempunyai ibu dan bapak yang gagal untuk bekerjasama dalam mengetahui anak-anak mereka agar mereka bisa menghadapi anak-anak dengan tepat. Sebagai gantinya, perbedaan itu menjadi suatu sumber pilih kasih pribadi yang hanya menciptakan permasalahan lebih besar didalam rumah dan menyebabkan makin kuatnya perselisihan. Ironisnya, Isaac berdoa tentang perihal dua anak-anak yang berjuang dalam kandungan Rebeka dan pada waktu itu menerima pernyataan dari Tuhan. Bagaimanapun, nampak ia gagal berdoa setelah mereka dilahirkan sehingga perbedaan menjadi jelas dan pergumulan makin kuat.

Prinsip untuk Orang tua

(1) Meskipun mereka harus diberi peluang sama, anak-anak tidak diciptakan sama. Anak-Anak didalam keluarga yang sama sering sangat berbeda seperti Esau dan Jacob. Mereka mempunyai bakat berbeda, kecenderungan, kapasitas dan kemampuan berpikir, secara phisik, artistik, dan secara emosional. Orang tua perlu, oleh karena itu, mempelajari anak-anak mereka untuk mengamati kemampuan dan kecenderungan khusus mereka dan mendorongnya dengan peluang dan motivasi rohani yang sesuai untuk menemukan kemampuan dan kecenderungan itu dan kemudian membantu anak mereka mengembangkannya menurut kehendak Tuhan dengan alasan dan tujuan yang benar. Anak-Anak perlu untuk termotivasi, layaknya, untuk menjadi yang terbaik didalam bakat dan kemampuan pemberian Tuhan. Tetapi tidak setiap anak ‘berbakat,’ maksudnya orang tua mestinya tidak menaruh anak-anak di bawah tekanan emosional, berusaha untuk membuat mereka menjadi sesuatu yang bukan diri mereka. Pada sisi lain, beberapa anak-anak memang berbakat di banyak area dan bisa mengejar banyak hal dengan sukses. Jadi orang tua harus mengawasi kecenderungan atau kecenderungan khusus.

Sepanjang masa remaja, orang muda cenderung untuk ingin dilibatkan dalam segala hal, tetapi itu sangat tidak bijak karena remaja dan seluruh keluarga akan kelelahan untuk menyesuaikan diri dengan jadwal yang ada. Suatu pendekatan lebih bijaksana adalah membantu mereka membuat prioritas berdasar pada kemampuan, keinginan, dan kecenderungan mereka. Ingat, seseorang dapat jadi‘ Orang serba tahu, tapi tidak menguasai apapun.’ Ini juga sangat menolong untuk ingat bagaimana anak belasan tahun dapat berubah total seperti minat mereka. Ini adalah bagian dari proses tumbuh dewasa. Sekali aktivitas atau proyek dimulai, sebaiknya dorong anak itu untuk setia kepada hal itu, sedikitnya sampai pekerjaan diselesaikan atau sampai mereka sudah mengembangkan keahliannya. Ini akan memenuhi dua hal: ( a) Itu akan menghalangi mereka menjadi orang yang menunjukkan gairah besar untuk memulai satu proyek keproyek lain, tetapi tidak pernah menyelesaikan apapun. ( b) Itu juga memberi mereka waktu untuk menemukan apakah mereka benar-benar menyukainya dan jika mereka mempunyai bakat atau kemampuan untuk mengejar itu, sedikitnya dalam hidupnya nanti.

(2) Tuhan adalah Pengarang bakat. Orang tua harus bijaksana untuk mengenali dan menyediakan peluang untuk anak-anak mereka sehingga mereka dapat mngembangkan bakat mereka. Sesungguhnya, kegagalan untuk melakukannya dapat menciptakan permasalahan disiplin. Orang tua jangan pernah mencoba untuk membuat satu anak seperti yang lain, atau memberi kesan seseorang lebih penting dibanding yang lain, atau bahwa kamu menghargai bakat satu dibanding yang lain. Masing-Masing anak harus mengetahui kalau dia istimewa dalam rencana Tuhan dan dicintai, dihargai, tidak berdasar karunia, bakat atau wajahnya.


9 For some of the ideas expressed in this section of the study, I am indebted to Joe Temple whom I heard teach on this subject by tape many years ago. He was at that time pastoring a Bible teaching church in Abilene, Texas. Since that time, a book has been compiled from this series entitled Know Your Child, Baker Book House, Grand Rapids, 1974.

10 Richard Whitaker, Editor, The Abridged Brown-Driver-Briggs Hebrew-English Lexicon of the Old Testament, Logos Research Systems, Oak Harbor, WA, 1997, electronic media.

11 Brown, Driver, and Briggs, pp. 202-203.

Related Topics: Man (Anthropology), Christian Home

18. David Devient Roi d’Israël

Le Livre de 1 Samuel 16 – 2 Samuel 10148

Introduction

« C’était le meilleur des temps, le pire des temps, … » Comme ça commence « The Tales of Two Cities » de Charles Dickens. C’est la façon dont ma femme et moi regardons en arrière sur les jours quand j’étais étudiant au séminaire. Dans ces deux premières années, nous ne savions pas souvent d’où l’argent allait venir pour la nourriture, les frais du séminaire ou les factures de l’hôpital. C’était des temps difficiles à beaucoup d’égards, mais ils étaient aussi les meilleurs. Maintes fois, nous avons vu la main de provision et de protection de Dieu. Nous avons fait l’expérience de la grâce et du soin de Dieu à travers beaucoup d’amis généreux et solidaires, et par les réponses inattendues à nos prières.

Je pense que David dirait la même chose de ses premières années, avant qu’il n’arrive au pouvoir comme le roi d’Israël. Il eut quelques temps difficiles. Il était le fils cadet, et il sembla récolter tout le sale travail. Ses frères ne s’occupaient pas de lui, mais le traitaient avec un grand manque de respect (1 Samuel 17:28). Il ne fut même pas présent pour la sélection du roi d’Israël (1 Samuel 16:10-11). Après avoir été proclamé roi d’Israël et avoir battu Goliath, il dut échapper à Saül, qui cherchait à perpétuer son règne en tuant son remplaçant.

Ces jours-là furent des jours difficiles pour David, mais ils furent aussi « les meilleurs ». David apprit à traiter avec le danger, et il apprit aussi à combattre (voir 1 Samuel 16:18). Il apprit à compter sur Dieu et à aimer Sa Parole. Il apprit l’obéissance et la soumission, même quand sa vie était en danger. Il développa des amitiés et des alliances très fortes.

C’est la première portion de la vie de David qui sera le sujet de notre étude dans cette leçon. Nous commencerons avec l’onction de David dans 1 Samuel 16, et nous finirons à la période quand David fut nommé roi d’à la fois Israël et Juda (2 Samuel 10). Il y a beaucoup d’histoires excitantes dans notre texte avec beaucoup de leçons importantes à apprendre pour nous, alors écoutons bien ce que Dieu doit nous dire à travers la vie de David, ses amis et ses ennemis.

David est Oint Comme Roi d’Israël (1 Samuel 16:1-13)

Dieu réprimanda Samuel pour continuer à porter le deuil pour Saül. Il ne devait pas être pris en pitié. Dieu s’était occupé de lui, à juste titre. Samuel fut alors ordonné d’aller voir un homme nommé Isaï à Bethléhem et d’oindre un de ses fils prochain roi d’Israël. Premièrement, la chose qui attira mon attention dans ce texte est la peur exprimée par Samuel et par les responsables de Bethléhem:

« 2 Samuel répondit:
   ---Comment puis-je faire cela? Saül l'apprendra et il me fera mourir!

   L'Eternel lui dit:
   ---Tu emmèneras une génisse et tu diras que tu vas m'offrir un sacrifice.

   3 Tu inviteras Isaï à y assister et je t'indiquerai alors ce que tu devras faire. Tu conféreras de ma part l'onction à celui que je te désignerai.

   4 Samuel fit ce que l'Eternel lui avait ordonné. Lorsqu'il arriva à Bethléhem, les responsables de la ville, inquiets, vinrent au-devant de lui et lui demandèrent:
   ---Ta venue annonce-t-elle quelque chose de bon? » (1 Samuel 16:2-4, mon accentuation en gras)

Nous avons besoin de nous rappeler que jusqu'à ce point, David n’avait pas été nommé le prochain roi. Goliath n’avait pas été tué par David. David était un jeune berger inconnu. En d’autres mots, Saül n’était pas menacé par David ; il n’était menacé par personne qui pourrait jouer un rôle dans la nomination de son remplaçant. Saül était un homme qui me rappelle beaucoup d’Herod, qui tuerait tous les jeunes enfants mâles vivant à et autour de Bethléhem, juste pour empêcher un d’eux de devenir le « roi d’Israël » (voir Matthieu 2:16-18). Samuel avait même peur que Saül le tuerait, car il était la personne logique pour oindre le prochain roi. Saül était un homme très dangereux.

Deuxièmement, la chose importante dans ces versets est qui Dieu choisit pour être le roi. Comme la plupart d’entre nous, Samuel regarda au fils ainé et assuma qu’il était celui que Dieu avait choisi. Il avait tort. Saül était le roi de l’homme, qu’Israël voulait pour son roi. Le fils ainé d’Isaï était probablement quelque chose comme Saül en termes d’âge, grandeur, et de stature. Saül était un homme qui dominait physiquement – il dépassait d’une tête ses compatriotes (1 Samuel 9:2), mais son cœur n’était pas tourné vers le Seigneur. Cette fois Dieu nommerait un homme dont le cœur était justement tourné vers Lui. David était un jeune homme séduisant (16:12), et il était vu comme un « brave guerrier », même avant d’avoir tué Goliath (16:18). Nous savons que l’armure de Saül était trop large et encombrante pour lui, alors David devait être un homme plus petit, au moins beaucoup plus petit que Saül ; et, il serait sûr de dire, il était plus jeune (17:33,43).

Il y a beaucoup d’inquiétude de nos jours à propos de « portrait racial », mais je vous suggèrerais que nous devrions aussi être inquiets en ce qui concerne le « portrait de dirigeants ». C’est un fait bien connu et communément accepté qu’un nombre disproportionné de dirigeants en Amérique sont des hommes qui sont « grands, bruns, et séduisants », pour ainsi dire. Dans la communauté chrétienne, nous avons notre propre version de « portrait de dirigeants ». Les comité de direction de l’église et des organisations chrétiennes sont le plus souvent des bureaucrates, des hommes d’affaires prospères. Quand nous cherchons des leaders, nous donnons une importance disproportionnée à l’éducation, l’intelligence, la confiance de soi, l’assurance, et plus que tout, la prospérité. Nous pourrions bien faire de penser davantage au choix de Dieu de David comme roi de l'Israël et ne pas nous permettre d'oublier les mots de l'Apôtre Paul sur cette question:

« 26 Considérez donc votre situation, frères: qui êtes-vous, vous que Dieu a appelés à lui? On ne trouve parmi vous que peu de sages selon les critères humains, peu de personnalités influentes, peu de membres de la haute société!

   27 Non! Dieu a choisi ce que le monde considère comme une folie pour confondre les «sages», et il a choisi ce qui est faible pour couvrir de honte les puissants.

   28 Dieu a porté son choix sur ce qui n'a aucune noblesse et que le monde méprise, sur ce qui est considéré comme insignifiant, pour réduire à néant ce que le monde estime important.

   29 Ainsi, aucune créature ne pourra se vanter devant Dieu.

   30 Par lui, vous êtes unis au Christ, qui est devenu pour nous cette sagesse qui vient de Dieu: en Christ, en effet, se trouvent pour nous l'acquittement, la purification et la libération du péché.

   31 Et il en est ainsi pour que soit respecté ce commandement de l'Ecriture:
      Si quelqu'un veut éprouver de la fierté,
      qu'il place sa fierté dans le Seigneur. » (1 Corinthiens 1:26-31)149

Rappelons-nous, les disciples n’étaient pas non plus des hommes que nous aurions choisis pour être les apôtres de notre Seigneur:

« 13 Les membres du Grand-Conseil étaient étonnés de voir l'assurance de Pierre et de Jean, car ils se rendaient compte que c'étaient des gens simples et sans instruction; ils les reconnaissaient pour avoir été avec Jésus. » (Actes 4:13)

Tenons compte de notre texte et des mots de l’Apôtre Paul. Prenons garde à ceux de Saül et recherchons ceux de David.

La nomination de David par Samuel le désigna comme le choix de Dieu comme prochain roi d’Israël. Il se pourrait bien que les frères de David furent soulagés, sachant que Saül essayerait de tuer n’importe qui qui semblerait menacer sa continuation comme roi. Mais au-delà de designer David comme le choix de Dieu comme roi, l’onction de David fut accompagnée par la descente de l’Esprit de l’Eternel sur lui:

« 13 Samuel prit la corne pleine d'huile et il en oignit David en présence de sa famille. L'Esprit de l'Eternel tomba sur David et demeura sur lui à partir de ce jour-là et dans la suite. Après cela, Samuel se remit en route et retourna à Rama. » (1 Samuel 16:13)

Comme avec l’onction de Saül (10:1-11), l’Esprit de Dieu fut donné pour responsabiliser le roi de Dieu, pour réaliser sa tâche. Quand l’Esprit abandonna Saül et vint sur David, c’était un signe sur que des choses allaient changer. À partir de ce moment là, les choses ne seraient jamais plus pareilles ni pour Saül, ni pour David.

Le Grand Echange d’Esprit (1 Samuel 16:14-23)

C’est en fait un des textes les plus difficiles de 1 Samuel. Il n’est pas vraiment surprenant de lire que l’Esprit de Dieu « se retira de Saül », mais il est surprenant de lire qu’ « un mauvais esprit de Dieu se mit à le tourmenter » (1 Samuel 16:14). Si Dieu prend le royaume de Saül et le donne à David, nous pouvons comprendre pourquoi l’Esprit quitta Saül (verset 14) au même instant qu’il est donné à David (verset 13). Mais pourquoi est-ce que Dieu enverrait « un mauvais esprit » pour tourmenter Saül ?

Nous devons surement nous demander, « Pourquoi est-ce que Dieu enverrait un mauvais esprit pour tourmenter n’importe qui ? » Nous espèrerions Satan de le faire, n’est-ce pas ? La réponse devrait probablement être trouvée dans les deux premiers chapitres du Livre de Job. Là, nous lisons que Satan dut demander la permission à Dieu avant d’amener beaucoup de souffrances à son saint. Bien que Satan soit la cause immédiate de la souffrance de Job, il ne pouvait rien faire sans la permission de Dieu. Job souffrit des mains de Satan, seulement parce que Dieu le permit. J’assume que la même chose est vraie dans notre texte et ainsi, l’auteur pourrait parler de cela comme « le mauvais esprit de Dieu ». Dieu n’est pas la cause immédiate des problèmes de Saül, mais Il est celui qui à la fin est au contrôle de toutes choses. Cela pourrait ne pas être complètement différent de ce que nous trouvons dans le Nouveau Testament:

« 2 C'était au cours du repas de la Pâque. Déjà le diable avait semé dans le cœur de Judas, fils de Simon Iscariot, le projet de trahir son Maître et de le livrer. » (Jean 13:2)

« 27 Dès que Judas eut reçu ce morceau de pain, Satan entra en lui.
   Alors Jésus lui dit:
   ---Ce que tu fais, fais-le vite. » (Jean 13:27)

« 5 qu'un tel homme soit livré à Satan en vue de la destruction du mal qui est en lui afin qu'il soit sauvé au jour du Seigneur.» (1 Corinthiens 5:5)

Le résultat est que Dieu est souverain, et rien ne peut arriver qui soit contraire à Son but et Son plan divin. Un mauvais Esprit peut tourmenter un homme seulement parce que Dieu le permet, et dans ce sens, il pourrait être dit qu’il « est un Esprit de Dieu ». Je dois aussi signaler que par la jalousie et la rage incontrôlée de Saül, il s’est lui-même ouvert à l’activité satanique.

Nous ne devrions pas manquer de voir la main providentielle de Dieu dans tout ça. Saül n’était pas juste maintenant soumis à des crises démoniaques. Ses servants les reconnurent comme étant démoniaques, et ils semblèrent savoir que la musique pouvait quelque fois apaiser une âme tourmentée comme celle de Saül. Alors ils engagèrent David, qui était un musicien de qualité, pour jouer de la lyre et ainsi calmer l’esprit troublé de Saül. Le résultat de cela – David fut introduit au protocole de la royauté, entraînement sur emploi pour quand il deviendrait roi.

Quelqu’un pourrait assumer que toutes les actions pécheresses de Saül étaient le résultat de cet « échange d’Esprit », mais je ne crois pas du tout que ce fut le cas. Rappelons-nous, les deux grands péchés150 de Saül qui « le privèrent de son royaume » furent commis avant l’arrivée du « mauvais Esprit » et durent être fait avant que le saint Esprit fut retiré ! De plus, le « mauvais Esprit » ne tourmentait pas constamment Saül, mais plutôt ne le tourmentait que de temps en temps. Le mauvais Esprit poussa Saül à jeter sa lance sur David (18:10-11), mais d’autres actes de Saül semblent être venus de Saül lui-même (20:30-33).

Il est important pour nous de remarquer que la jalousie et la rage incontrôlée de Saül n’apparurent pas soudainement quand Saül réalisa que David était son remplaçant. Saül fut diabolisé et sujet à des crises de rage, avant qu’il ne sut que David devrait le remplacer. David n’a pas rendu Saül comme il était ; Saül était comme ça, même avant que l’Esprit de Dieu ne le quitte. Avant que David ne fût oint, à la fois Samuel et les responsables de Bethléhem avaient très peur de Saül (16:2,4). Je crois qu’une personne pourrait faire un argument sur le sujet que le péché de Saül ouvrit la porte à son comportement diabolique.

Quelques fois nous sommes rapides à blâmer Satan pour nos péchés, alors que nous en sommes la source. À mon avis, le « mauvais Esprit » accrut simplement les péchés de Saül.170Un Homme Digne du Trône: David et Goliath (1 Samuel 17)

Le roi d'Israël devait être un homme qui dirigerait le pays pendant une guerre:

« 20 Nous voulons, nous aussi, être dirigés comme tous les autres peuples. Notre roi rendra la justice parmi nous et prendra notre commandement pour nous mener au combat. » (1 Samuel 8:20)

« 1 Samuel prit le flacon d'huile qu'il avait emporté et en répandit le contenu sur la tête de Saül, puis il l'embrassa et dit:
   ---Par cette onction, l'Eternel t'établit chef du peuple qui lui appartient. [C'est toi qui le gouverneras, tu le sauveras des ennemis qui l'entourent. Et voici la preuve que c'est l'Eternel qui t'établit chef de son peuple par cette onction.] » (1 Samuel 10:1)

Les deux grands péchés de Saül étaient liés à son rôle de commandant en chef de l’armée d’Israël. Dans le chapitre 17, nous montrerons comment Saül manqua à son devoir de roi, et comment David réalisa ses responsabilités comme le nouveau roi nommé.

« 1 Les Philistins mobilisèrent leurs troupes pour une expédition guerrière, ils se rassemblèrent à Soko en Juda et dressèrent leur camp entre Soko et Azéqa, à Ephès-Dammim.

  2 Saül, de son côté, rassembla les hommes d'Israël et ils campèrent dans la vallée du Chêne. C'est là qu'ils prirent position en ordre de bataille face aux Philistins.

  3 Ceux-ci occupaient un versant de la montagne et les Israélites le versant opposé; la vallée séparait les deux armées.

  4 Alors un champion sortit du camp des Philistins et s'avança vers Israël. C'était un géant mesurant près de trois mètres, nommé Goliath, originaire de Gath.

  5 Il était revêtu d'un casque de bronze et d'une cuirasse à écailles en bronze pesant une soixantaine de kilos.

  6 Ses jambes étaient protégées par des plaques de bronze et il portait en bandoulière sur ses épaules un javelot de bronze.

  7 Le bois de sa lance avait la grosseur d'un cylindre de métier à tisser, le fer de lance à lui seul pesait près de sept kilos. Il était précédé d'un homme qui portait son bouclier.

  8 Il se campa face aux troupes israélites, et leur cria:
   ---Pourquoi vous êtes-vous rangés en ordre de combat? Moi, je suis le Philistin, et vous, les esclaves de Saül. Choisissez parmi vous un homme, et qu'il m'affronte en combat singulier!

  9 S'il peut me battre et qu'il me tue, alors nous vous serons assujettis. Mais si c'est moi le vainqueur et si je le tue, c'est vous qui nous serez assujettis et vous serez nos esclaves.

  10 Puis il ajouta: Je lance aujourd'hui ce défi à l'armée d'Israël. Envoyez-moi un homme et nous nous affronterons en combat singulier.

  11 Quand Saül et toute son armée entendirent ces paroles du Philistin, ils furent démoralisés et une grande peur s'empara d'eux. » (1 Samuel 17:1-11)

Saül était celui qui devait mener ses soldats au combat. Il était aussi le « Goliath » d’Israël, car il était bien plus grand que le reste du peuple (1 Samuel 9:2 ; 10:23). Saül était le champion des soldats Israélites, pourtant on ne le trouvait pas en premières lignes de la bataille, mais observant d’une distance lointaine. Au moment où ses soldats avaient le plus besoin de Saül, il avait peur. Ce n’était pas étonnant que ses hommes avaient aussi peur (17:11,24).

Les Israélites et les Philistins se trouvaient face à face, chacun sur une colline, séparées par une vallée avec un cours d’eau. Pendant quarante jours, ces deux armées se firent face. Les Israélites semblaient avoir peur de ne pas battre les Philistins. Je suspecte que les Philistins essayaient d’attirer les Israélites en bas du coteau, pour qu’ils puissent utiliser leurs chariots dans la vallée (comparez 2 Samuel 18:8 ; 1 Rois 20:23). Les Israélites semblaient être silencieux, mais Goliath était arrogant et profane.

Goliath était certainement un géant, mais les Israélites, qui étaient familiers avec l’histoire et avec la Parole de Dieu, n’auraient pas du être intimidés. Dans Genèse 12:3, Dieu dit clairement qu’Il s’occupera de n’importe qui qui maudira Son peuple. Cet incident à Qadech, enregistré dans Nombres 13, était à propos des peurs des Israélites des géants du pays de Canaan. Mais Dieu promit de leur livrer ces géants, et Il le fit. La prière d’Anne dans le chapitre 2 adresse aussi ce sujet:

«  9 Il gardera les pas de ses fidèles,
      mais les méchants périront dans la nuit,
      car aucun homme n'est vainqueur par la force.

   10 Ceux qui contestent contre Dieu sont brisés.
      Du haut du ciel, il tonnera contre eux.
      Il jugera les confins de la terre;
      il donnera la puissance à son roi
      et il élèvera l'homme qui, de sa part, a reçu l'onction d'huile.» (1 Samuel 2:9-10)

Dans le chapitre 14, Jonathan avait fait face à une situation similaire, mais il ne permit pas à la chance contre lui de l’empêcher de combattre les Philistins:

« 4 Dans le défilé que Jonathan cherchait à franchir pour atteindre le poste des Philistins se dressaient de part et d'autre deux pointes rocheuses appelées Botsets et Séné.

  5 L'une d'elles s'élève au nord en face de Mikmach et l'autre au sud en face de Guéba.

  6 Jonathan dit au jeune homme qui portait ses armes:
   ---Viens et attaquons le poste de ces incirconcis. Peut-être l'Eternel agira-t-il en notre faveur, car rien ne l'empêche de sauver par un petit nombre aussi bien que par un grand. » (1 Samuel 14:4-6)

C’était une situation qui exigeait foi en le Dieu d'Israël, et Saül manquait cette foi. Cela exigerait un autre individu, qui aurait une foi plus grande, pour affronter Goliath et les Philistins. Dieu orchestra divinement les évènements pour que David puisse voir et entendre lui-même le blasphème de Goliath. Son père l’envoya pour voir comment ses trois frères ainés allaient, qui combattaient les Philistins sous le commandement de Saül:

« 22 David déposa son chargement et le confia au gardien des bagages, puis il courut au front. Aussitôt arrivé, il vint demander de leurs nouvelles à ses frères.

   23 Pendant qu'il parlait avec eux, Goliath, le champion des Philistins, originaire de Gath, sortit de leurs rangs et lança son défi habituel. David l'entendit.

   24 A la vue de cet homme, tous les soldats d'Israël s'enfuirent terrorisés. » (1 Samuel 17:22-24)

Les Israélites avaient l’habitude de la fureur de Goliath, mais David la reconnut pour ce qu’elle était. Il savait que Goliath devait être opposé et réduit au silence: 

« 26 David demanda aux hommes qui se tenaient autour de lui:
   ---Qu'est-ce que l'on donnera à celui qui abattra ce Philistin et qui lavera le peuple d'Israël de la honte qui lui est infligée? Qu'est donc cet incirconcis de Philistin, pour oser insulter les bataillons du Dieu vivant?

  27 On répéta à David ce qui était promis comme récompense à celui qui tuerait le géant. » (1 Samuel 17:26-27)

Le frère ainé de David fut révolté par les mots de David. Ces paroles, sans aucun doute, touchèrent un point sensible. Pourquoi personne ne s’opposait-il pas à cette grande gueule philistine ? Alors Eliab riposta chaudement:

« 28 Lorsque son frère aîné Eliab l'entendit discuter avec les soldats, il se mit en colère contre lui et lui dit:
   ---Que viens-tu faire ici? A qui as-tu laissé nos quelques moutons dans la steppe? Je te connais bien, moi, petit prétentieux! Je sais quelles mauvaises intentions tu as dans ton cœur ! Tu n'es venu que pour voir la bataille! » (1 Samuel 17:28)

Quel dédain complet Eliab avait pour David. D’autres pouvaient recommander David à Saül comme étant un « brave guerrier » (16:18), mais pas Eliab. Nous ne devrions pas oublier qu’Eliab fut ignoré par Samuel (et ultimement par Dieu), qui nomma David comme le prochain roi d’Israël (1 Samuel 16:6-7). Tout ce qu’Eliab pouvait entendre des mots de David était une curiosité et stupidité enfantine. Peut-être pouvons-nous voir maintenant pourquoi Dieu négligea rapidement Eliab.

Saül répondit d’une manière très différente. Quelqu’un apprit au roi qu’il y avait quelqu’un disposé à opposer Goliath. Saül sembla désespérément sauter sur cette occasion– n’importe qui excepté lui pourrait défier Goliath. Saül ne négligea pas la jeunesse de David, et il chercha même à le décourager de combattre Goliath:

« 32 David lui dit:
   ---Que personne ne perde courage à cause de ce Philistin! Moi, ton serviteur, j'irai et je le combattrai.

  33 Mais Saül lui répondit:
   ---Tu ne peux pas aller lutter contre ce Philistin. Tu n'es qu'un gamin, alors que lui, c'est un homme de guerre depuis sa jeunesse.» (1 Samuel 17:32-33)

David informa Saül qu’il était prêt pour ce jour, parce qu’il avait combattu d’autres adversaires intimidant, pendant qu’il gardait les moutons de son père (une simple tâche sans importance, à l’Esprit d’Eliab, voir 17:28). Dieu avait donné la victoire à David contre un lion et un ours. Dieu ferait de même avec Goliath, spécialement puisque Sa réputation était en question:

« 36 Puisque ton serviteur a tué des lions et même des ours, il abattra bien cet incirconcis de Philistin comme l'un d'eux, car il a insulté les bataillons du Dieu vivant.

  37 Puis David ajouta:
   ---L'Eternel qui m'a délivré de la griffe du lion et de l'ours me délivrera aussi de ce Philistin.
   Finalement, Saül dit à David:
   ---Vas-y donc et que l'Eternel soit avec toi!» (1 Samuel 17:36-37)

Saül fut convaincu. C’était plutôt étonnant, puisque les actions de David auraient pu très bien précipiter une grande confrontation. Pour quelques raisons que ce soient, Saül laissa David aller avec sa bénédiction. Il lui offrit même son armure, mais elle était trop grande pour lui. Quel affront cela a dû être pour Saül de regarder David, impatient d’accomplir la tâche qui aurait dû être la sienne, puis de voir ce « jeune » avec une armure complète évoquant la stature de Saül, comme un rappel qu’il était le géant d’Israël qui aurait dû affronter Goliath.

David était déterminé à combattre Goliath avec les armes qu’il avait déjà utilisées. Il s’empressa vers les premières lignes pour confronter Goliath. Il n’avait pas d’armure, pas d’épée, seulement un bâton, sa fronde et son sac de berger, avec cinq pierres lisses. Quand Goliath réalisa que seul un gamin allait l’affronter, il fut offensé et en colère. Quelle insulte, d’envoyer un gosse pour combattre le champion des Philistins. L’auteur dit clairement que c’était une question spirituelle:

« 43 et lui lança:
   ---Est-ce que tu me prends pour un chien pour venir contre moi avec un bâton?
   Puis il le maudit par ses dieux.

  44 ---Approche un peu, ajouta-t-il, pour que je donne ta chair à manger aux oiseaux du ciel et aux bêtes des champs!

  45 A quoi David répondit:
   ---Tu marches contre moi avec l'épée, la lance et le javelot, et moi je marche contre toi au nom de l'Eternel, le Seigneur des armées célestes, le Dieu des bataillons d'Israël, que tu as insulté.

  46 Aujourd'hui même, l'Eternel me donnera la victoire sur toi, je t'abattrai, je te couperai la tête et, avant ce soir, je donnerai les cadavres des soldats philistins à manger aux oiseaux du ciel et aux bêtes sauvages de la terre. Alors toute la terre saura qu'Israël a un Dieu.

  47 Et toute cette multitude assemblée saura que ce n'est ni par l'épée ni par la lance que l'Eternel délivre. Car l'issue de cette bataille dépend de lui, et il vous livre en notre pouvoir. » (1 Samuel 17:43-47)

David courut vers Goliath, sa fronde tournant dans l’air. Des années de pratique (sans mentionner la main de Dieu) avaient préparé David pour ce moment. Nous savons que certains Israélites étaient très habiles avec la fronde (Juges 20:16). La pierre avait été bien précisément visée et trouva son objectif – le front du géant. La pierre frappa avec assez de force pour rendre Goliath incapable de réagir. Cela donna à David le temps de se ruer sur le géant, d’« emprunter » son épée, et de lui couper la tête, avant qu’il ne puisse se défendre lui-même. Les Israélites commencèrent à poursuivre les Philistins. David amena la tête de Goliath à Saül, qui observait d’une bonne distance, et puis demanda l’identité du père de David.171La Renommée de David et les Peurs de Saül

La victoire de David sur Goliath le propulsa dans une proéminence instantanée, quelque chose comme la foi et le courage de Cassie Bernall, la jeune fille de 17 ans qui fut tuée au Lycée Columbine de Littleton, Colorado. Mais, alors que David gagna de plus en plus de renommée, Saül en vint à le craindre. David était beaucoup aimé, à la fois par Jonathan, le fils de Saül (1-4), et pas sa fille Mikal (18-20). Saül, toujours pas prêt à mener son armée au combat, chargea David de cette tâche. Cela fut très bien reçu par les soldats et aussi par l’administration de Saül. Finalement, tout cela s’arrêta quand il entendit quelques femmes chantant les louanges de David après une victoire de guerre:

« 6 Lorsqu'ils étaient revenus de la guerre, après que David eut tué le Philistin, les femmes étaient sorties de toutes les villes d'Israël à la rencontre du roi Saül en chantant, en dansant et en poussant des cris de joie au son de tambourins et de cymbales.

    7 Elles chantaient en cœurs alternés, tout en dansant:
      Saül a vaincu ses milliers
      et David ses dizaines de milliers. » (1 Samuel 18:6-7)

Ce fut tout ce qui fut nécessaire pour Saül, qui maintenant regardait David comme un challenger pour le trône:

« 8 Saül le prit très mal et se mit dans une grande colère.
   ---Elles en attribuent dix mille à David, dit-il, et à moi seulement mille! Il ne lui manque plus que la royauté!

  9 A partir de ce moment-là, Saül regarda David d'un mauvais œil. » (1 Samuel 18:8-9)

D’un coté, Saül avait absolument raison – David était celui qui deviendrait le roi d’Israël à sa place. Mais il avait tort de ne pas lui faire confiance, comme s’il cherchait à le détrôner. La jalousie s’éprit de Saül, et il chercha à le tuer avec une lance lorsqu’il joua de son instrument dans sa maison.

À partir de ce jour-là, Saül s’efforça de tuer David. En premier, il essaya la méthode indirecte. Il l’encouragea à combattre les ennemis d’Israël, espérant qu’il serait tué à la guerre. Saül offrit même ses filles en mariage, s’il se montrait courageux au combat. Au lieu de mourir au combat, David décrocha victoire sur victoire, et devint plus populaire auprès du peuple. Le plan de Saül échoua. Quand David tua 20 000 Philistins en dot, Saül lui donna Mikal sa fille en mariage. Les peurs de Saül ne furent que multipliées.

Finalement, Saül décida d’essayer une approche directe. Il ordonna à ses serviteurs de tuer David (19:1). Jonathan aimait beaucoup son ami David, et il l’avertit que son Père voulait le tuer. Jonathan parla aussi avec son père et le persuada temporairement que David était un serviteur fidèle. Saül promit de ne pas lui faire de Mal. Cela dura jusqu'à ce que David retourna au combat et eut à nouveau de grandes victoires. La jalousie de Saül, alimentée par un mauvais Esprit, le poussa à essayer de tuer David avec une lance pour la seconde fois. Puis Saül envoya ses serviteurs à la maison de David pour l’arrêter et le mettre à mort. Avec l’aide de Mikal, David fut capable de s’évader. Il alla chez Samuel et lui raconta tout ce qui se passait. Saül apprit que David et Samuel était à Rama et envoya une troupe pour l’arrêter. Mais à chaque fois que la troupe arrivait, ils prophétisaient. Qui, sous le contrôle de l’Esprit de Dieu, pourrait capturer l’Oint de Dieu ? Finalement, après avoir envoyé en vain des messagers armés pour la troisième fois, Saül y alla lui-même, seulement pour être surmonté par l’Esprit et prophétiser lui-même (19:23-24). Ne vous demandez-vous pas ce que Saül prophétisa ? Je me demande s’il prophétisa que David deviendrait en fait le prochain roi d’Israël ?

David Prend la Fuite

Sachant que Saül chercherait encore une fois à le tuer, David s’enfuit dans la campagne à Rama. Là, David rencontra secrètement Jonathan, qui lui assura qu’il ne permettrait pas à son père de lui faire du mal. Il lui promit qu’il chercherait à découvrir les intentions de son père en ce qui concernait David. Saül devit si enragé avec Jonathan qu’il essaya de le tuer:

« 30 Alors Saül se mit en colère contre Jonathan et lui cria:
   ---Fils de chienne, fils de rebelle! Crois-tu que je ne sais pas que tu as pris parti pour le fils d'Isaï, à ta honte et à celle de ta mère?

  31 Aussi longtemps que le fils d'Isaï sera en vie, tu ne pourras pas t'imposer ni établir ta royauté. C'est pourquoi, fais-le chercher et ordonne qu'on me l'amène sans retard, car il mérite la mort.

  32 Jonathan répliqua à Saül son père:
   ---Pourquoi devrait-il mourir? Qu'a-t-il fait?

  33 Alors Saül brandit sa lance contre lui pour le frapper. Jonathan comprit que son père avait fermement décidé de faire mourir David. » (1 Samuel 30-33)

Alors David et Jonathan se rencontrèrent encore une fois en secret. Jonathan informa David des intentions de Saül et lui conseilla vivement de partir, mais avec un traité de paix entre eux:

« 42 Alors Jonathan lui dit:
   ---Va en paix, puisque nous nous sommes engagés l'un envers l'autre par serment au nom de l'Eternel en disant: Que l'Eternel soit garant entre toi et moi, entre tes descendants et les miens, à tout jamais. » (1 Samuel 20:42)

À partir de là, David fut vraiment un fugitif. Il s’enfuit d’endroit à endroit, juste un peu à l’avance de Saül. C’est là que nous arrivons au « meilleur des temps » et au « pire des temps ». Ce ne fut pas toujours une bonne période pou David, parce qu’il avait quelques fois peur et qu’il fit des choix qui sembleraient difficilement être sage et pieux. Une de ses erreurs coûta à quelques hommes leurs vies. Dans le chapitre 2, David s’enfuit chez Ahimélek, le prêtre à Nob. Il ne lui dit pas toute la vérité. David demanda une épée et fut donné l’épée de Goliath, qu’il avait prit du Philistin quand il le tua. Il demanda aussi du pain et fut donné un peu de pain sacré normalement réservé pour les prêtres et leurs familles. Doëg, l’Edomite, était là et vit David. Quand plus tard Doëg apprit cela à Saül, Saül fit mettre les prêtres et leurs familles à mort, bien qu’ils n’avaient rien fait de mal.

David s’enfuit deux fois au pays des Philistins, et chaque fois cela sembla être une erreur. Dans le chapitre 21, David alla à Gath et chercha asile chez Akich, le roi de Gath. Ce fut cette chanson qui une fois de plus le mit en difficulté.

« 10 Le prêtre répondit:
   ---Il y a l'épée de Goliath, le Philistin que tu as vaincu dans la vallée du Chêne. La voilà, enveloppée dans un drap derrière l'éphod. Si tu veux, tu peux la prendre, car c'est la seule arme que nous ayons ici.
   ---Oui, donne-la moi, dit David, elle est sans pareille.

   11 Puis David partit ce même jour pour s'enfuir loin de Saül. Il se rendit chez Akich, le roi de Gath.

   12 Les hauts fonctionnaires d'Akich dirent au roi:
   ---N'est-ce pas David, le roi du pays? N'est-ce pas celui pour qui l'on chantait en dansant: «Saül a vaincu ses milliers et David ses dizaines de milliers »?

   13 David prit ces paroles très au sérieux. Il eut une grande peur d'Akich, le roi de Gath.

   14 Alors il fit semblant devant eux d'avoir perdu la raison: il se comportait de manière extravagante et faisait des marques sur les battants des portes et laissait la bave couler sur sa barbe.

   15 Akich dit à ses familiers:
   ---Vous voyez bien que cet homme est fou. Pourquoi me l'avez-vous amené? » (1 Samuel 21:10-15)

Plus tard, David s’enfuit une deuxième fois chez le roi de Gath, avec 600 hommes (1 Samuel 27:1-12 ; 29:1-11:30:1-31). Il dit à Akich qu’il ne voulait pas être un fardeau pour lui et lui demanda où lui, ses hommes et leurs familles pourraient vivre. Le roi lui donna la ville de Tsiqlag. Par des déceptions habiles, David le convainquit que lui et ses hommes faisaient des raids sur les villes Israélites, avançant ainsi les intérêts Philistins. Eventuellement, le plan de David échoua d’une paire de façons. Premièrement, la ville de Tsiqlag fut attaquée par une bande d’Amalécites, et toutes les familles et les possessions de David et de ses hommes furent capturées et prises comme butin de guerre. Deuxièmement, quand les Philistins allèrent en guerre contre Israël, David et ses hommes purent à peine éviter d’aller avec eux.

David eut des moments très sombres pendant les années qu’il fuyait Saül, mais il y eut quelques points brillants. Quand David était un fugitif, les vrais amis de David mirent leurs propres vies en danger pour le défendre. Jonathan chercha David plus d’une fois pour l’encourager:

« 16 Jonathan, le fils de Saül, se mit en route et se rendit auprès de David à Horecha pour l'encourager en affermissant sa confiance en Dieu.

  17 Il lui dit:
   ---Sois sans crainte! Mon père ne réussira pas à mettre la main sur toi; tu régneras sur Israël, et moi je serai au second rang près de toi; mon père lui-même sait bien qu'il en sera ainsi.

  18 Tous deux renouvelèrent leur pacte d'amitié devant l'Eternel. David resta à Horecha et Jonathan rentra chez lui. » (1 Samuel 23:16-18)

Abigaïl encouragea aussi David et lui donna quelque très bons conseils:

« 28 Veuille aussi pardonner la faute de ta servante. Certainement, l'Eternel ne manquera pas d'accorder à mon seigneur une dynastie stable, car mon seigneur livre les guerres de l'Eternel et, si l'on considère toute la durée de ta vie, on ne te trouve coupable d'aucun mal.

  29 Si quelqu'un s'avise de te poursuivre pour t'ôter la vie, l'Eternel ton Dieu gardera la vie de mon seigneur pour que tu restes au nombre des vivants. Mais il jettera la vie de tes ennemis au loin comme avec une fronde.

  30 Lorsque l'Eternel aura accompli pour mon seigneur tous les bienfaits qu'il t'a promis, et qu'il t'aura institué comme chef d'Israël,

  31 alors mon seigneur n'aura ni remords ni trouble de conscience pour avoir tué quelqu'un inutilement et s'être vengé lui-même. L'Eternel fera du bien à mon seigneur et tu te souviendras de ta servante. » (1 Samuel 25:28-31)

Le mari d’Abigaïl, Nabal, était vraiment un fou. Quand David demanda un signe d’appréciation, il dédaigna sa requête. Ce n’était pas une erreur innocente, parce que Nabal savait qui David était:

« 10 Nabal leur répondit:
   ---Qui est David, et qui est le fils d'Isaï? De nos jours il y a trop de serviteurs qui s'enfuient de chez leurs maîtres.

  11 Et vous croyez que je vais prendre de mon pain, de mon eau et de ma viande, que j'ai fait débiter pour mes tondeurs, pour les donner à des gens venus de je ne sais où? » (1 Samuel 25:10-11)

La folie de Nabal est encore plus apparente quand ses mots des versets 10 et 11 sont comparés à ceux d’Abigaïl des versets 28-31. Elle savait que David allait être le prochain roi d’Israël, et le traita en conséquence. Quand Abigaïl intercepta David, en route pour tuer tous les hommes de la famille de Nabal, elle prouva lui être un grand encouragement.

Même Saül fut un encouragement pour David. Quand David risqua sa vie pour faire appel à Saül, il répondit par ces mots:

« 20 Si quelqu'un surprend son ennemi, le laisse-t-il avec bienveillance poursuivre sa route? Que l'Eternel te récompense pour ce que tu as fait pour moi en ce jour!

  21 Maintenant, tu vois, je sais que tu seras certainement roi un jour et que le royaume d'Israël sera stable sous ton autorité. » (1 Samuel 24:20-21)

Quel encouragement d’entendre ces mots des lèvres de Saül. Saül savait que David serait en fait roi un jour, prenant sa place. Entendre cela de Saül était un encouragement pour David dans ses heures les plus sombres.

David avait ses moments de doutes et de désespoir:

« 1 David réfléchit et se dit:
   ---Un jour ou l'autre, Saül finira bien par me tuer. Ce que j'ai de mieux à faire, c'est de m'enfuir pour de bon et de me réfugier au pays des Philistins, pour qu'il renonce à me traquer dans tout le territoire d'Israël; ainsi j'échapperai à son emprise.» (1 Samuel 27:1)

Mais ces moments passèrent. C’était pendant les jours où Saül cherchait à tuer David que celui-ci montra ce qu’il était capable de faire. Ceux-ci furent quelques-uns des meilleurs moments de David. Il montra qui il était quand les circonstances lui fournirent l’opportunité de tuer Saül et quand ses hommes lui conseillèrent vivement de saisir le moment.

La première instance est enregistrée dans 1 Samuel 24. David et ses hommes se cachaient de Saül dans une grotte. Saül s’arrêta à cet endroit pour se soulager en privé. Vous pouvez imaginer comment cela a dû faire de voir le roi si prêt et de savoir que ses hommes étaient juste à coté. Si Saül avait su qu’ils étaient là, ils auraient été piégés. Les hommes de David lui dirent que le Seigneur lui donnait l’opportunité de tuer Saül, mais David refusa:

« 7 Il dit à ses hommes:
   ---Que l'Eternel me garde de jamais faire une chose pareille et de porter la main sur mon seigneur à qui Dieu a conféré l'onction, car c'est de la part de l'Eternel qu'il a été oint.

  8 Par ces paroles, David arrêta ses hommes; il ne les laissa pas se jeter sur Saül. Le roi sortit de la grotte et continua son chemin. » (1 Samuel 24:7-8)

David n’était pas assez prêt de Saül pour couper un morceau de son vêtement, alors après que Saül s’éloigna de la grotte, David l’appela et lui fit savoir qu’il a eut l’opportunité de le tuer mais qu’il ne l’avait pas prise. Il voulait que Saül sache qu’il était toujours son serviteur fidèle, et que ceux qui lui avaient dit que David voulait sa vie avaient tort. Saül fut très touché par les actions de David et lui demanda de promettre qu’il ne détruirait pas ses descendants après qu’il deviendra roi. David promit à Saül, et ils se séparèrent. Malheureusement, le changement de cœur de Saül fut temporaire.

La deuxième opportunité pour David de tuer Saül est enregistrée dans 1 Samuel 26. Les gens de Ziph trahirent David en indiquant à Saül où il se cachait. Quand Saül arriva, David et ses hommes localisèrent son camp. David, avec Abichaï, le frère de Joab, s’introduisirent dans le camp de Saül pendant que tout le monde dormait. Ils se faufilèrent parmi les soldats et passèrent les gardes de Saül. Abichaï était plus disposé à tuer Saül:

« 8 Alors Abichaï dit à David:
   ---Cette nuit, Dieu livre ton ennemi en ton pouvoir. Permets-moi de le clouer au sol d'un seul coup de lance, je n'aurai pas à y revenir à deux fois. » (1 Samuel 26:8)

Une nouvelle fois, David refusa de lever la main contre Saül, l’oint du Seigneur. Si Saül devait être éliminé, Dieu devra être Celui qui le fera:

« 9 ---Non, lui dit David, ne le tue pas. Car qui resterait impuni après avoir porté la main sur celui à qui l'Eternel a conféré l'onction?

  10 Aussi vrai que l'Eternel est vivant, ajouta-t-il, c'est l'Eternel qui le frappera, soit en le faisant mourir de mort naturelle, soit en le faisant périr à la guerre.

  11 Que l'Eternel me garde de porter la main sur celui qui a reçu l'onction de la part de l'Eternel! Prenons seulement la lance qui est à son chevet et la cruche d'eau, et allons-nous-en. » (1 Samuel 26:9-11)

David prit alors la lance de Saül et une cruche d’eau, comme preuve qu’il était venu prêt du roi pendant qu’il et ses gardes dormaient. Il cria au roi, attirant l’attention sur le fait que quand il eut l’opportunité de le tuer, il ne l’avait pas fait. Encore une fois, Saül admit qu’il avait tort:

« 21 Alors Saül s'écria:
   ---J'ai commis une faute, reviens, mon fils David, je ne te ferai plus de mal, puisque cette nuit tu as épargné ma vie. J'ai agi comme un *insensé et j'ai commis une grave erreur.

  22 David répondit:
   ---Voici ta lance, ô roi! Envoie l'un de tes jeunes gens pour venir la prendre.

  23 Que chacun de nous soit traité selon sa justice et sa fidélité par l'Eternel, car il t'avait livré aujourd'hui en mon pouvoir, mais je n'ai pas voulu porter la main sur celui qui a reçu l'onction de sa part.

  24 Comme ta vie a été pour moi d'un grand prix aujourd'hui, ainsi ma vie sera d'un grand prix pour l'Eternel, et il me délivrera de toute détresse.

  25 Alors Saül reprit:
   ---Sois béni, mon fils David! Certainement tu accompliras beaucoup de choses et tu réussiras tout ce que tu entreprendras.
   Puis David reprit son chemin, tandis que Saül retourna chez lui. » (1 Samuel 26:21-25)

La Mort de Saül

L’histoire de la mort de Saül est tragique. Quand les Philistins se rassemblèrent pour combattre Israël, David et ses hommes furent très prêts d’en faire parti (28:1-2 ; 29:1-11). Saül était terrifié, et Samuel était mort. ce fut une des occasions quand Saül chercha des conseils divins, mais il était trop tard. En désespoir, Saül chercha des conseils de la tombe. Il ne chercha pas des conseils des dieux païens, mais de Samuel, le prophète décédé. Pour faire cela, il dut utiliser un médium. Cela, bien sur, était clairement interdit. Saül lui-même avait éliminé les médiums et les magiciens du pays (28:3). Il instruisit ses serviteurs de trouver un médium, une femme d’Eyn-Dor. Se déguisant, Saül alla la trouver et lui demanda de faire apparaitre Samuel. La femme fut terrifiée quand Samuel apparut. Chaque indication prouva que c’était vraiment Samuel. Son message pour Saül était certainement consistant. Au moins cette fois, il n’avait pas à s’inquiéter que Saül allait le tuer ! Samuel informa Saül que Dieu s’était tourné contre lui et qu’il allait mourir au combat. Demain, Dieu le livrerait aux Philistins. Lui et ses fils mourront, et la prophétie de Dieu par Samuel serait exaucée.

Le jour suivant, les Philistins s’imposèrent sur Saül et les Israélites. Les trois fils de Saül, Jonathan inclut, furent tués (31:2). La mort de Saül n’arriva pas aussi facilement ou rapidement. La flèche d’un archer blessa sérieusement Saül. Sachant qu’il allait mourir, Saül implora son archer de le tuer rapidement, plutôt que de le laisser tomber entre les mains de ses ennemis et d’être torturé. Son archer ne put pas tuer le roi, et Saül se tua avec sa propre lance. Cela ne sembla pas avoir marché non plus, si nous devons croire les paroles d’un jeune Amalécites:

« 6 Le jeune homme lui dit:
   ---Je me trouvais justement sur le mont Guilboa; Saül était appuyé sur sa lance, tandis que les chars et les cavaliers allaient l'atteindre.

   7 S'étant retourné, il m'a aperçu et m'a appelé. J'ai répondu: «Oui, je viens!»

   8 Alors il m'a demandé: «Qui es-tu?» J'ai dit: «Je suis un Amalécite.»

   9 Alors il m'a ordonné: «Approche-toi et donne-moi la mort, car je suis pris d'un malaise bien que je sois encore plein de vie.»

   10 Je me suis approché de lui et je lui ai donné un coup mortel parce que je savais qu'il ne survivrait pas à sa défaite. Puis j'ai enlevé la couronne de sa tête et le bracelet qu'il avait au bras. Les voici, je te les apporte, mon seigneur. » (2 Samuel 1:6-10)

Saül n’aurait pas pu mourir d’une mort plus misérable, mais l’humiliation ne fut pas terminée:

« 8 Le lendemain, les Philistins vinrent sur le champ de bataille pour détrousser les cadavres. Ils découvrirent Saül et ses trois fils qui étaient tombés sur le mont Guilboa.

  9 Ils coupèrent la tête du roi et le dépouillèrent de ses armes. Ils firent annoncer la nouvelle de leur triomphe à travers tout le pays des Philistins, dans les temples de leurs idoles et parmi la population.

  10 Ils disposèrent les armes de Saül dans le temple de leurs déesses, les Astartés, et suspendirent son cadavre sur le rempart de Beth-Chân. » (1 Samuel 31:8-10)

Quand David entendit la nouvelle de la mort de son roi et de son ami bien aimé Jonathan, il fut très touché. Son deuil pour Saül, comme pour Jonathan, était dur et sincère. L’hommage de David dans 2 Samuel 1 rend honneur à Saül pour tous ses accomplissements et oublia tous ses péchés (« l’amour couvre une multitude de péchés »). David exécuta le jeune Amalécite pour son rôle dans la mort du roi. C’était la fin d’une époque.

David Devient Roi

Maintenant que Saül était mort, David devint rapidement – et presque automatiquement – roi d’Israël. Ce ne fut pas du tout le cas. Il faudra plus de sept ans après la mort de Saül pour que David devienne le roi de tout Israël. Il chercha les conseils de Dieu et retourna à Hébron, où il reçut l’onction royale sur Juda (2 Samuel 2:1-4). Le premier acte royal de David fut de récompenser le peuple de Yabéch Galaad pour enlever courageusement le corps de Saül de la vue publique et l’ensevelir dans un tombeau (2:5-7).

Abner, l’oncle de Saül et général dans l’armée de Saül, prit Ich-Bocheth, le fils de Saül, et l’installa comme roi d’Israël. Israël avait ainsi deux Rois: David était roi sur Juda, et Ich-Bocheth était roi sur le reste des tribus d’Israël. Les semences de la division future d’Israël furent plantées durant les années où Israël eut deux rois. Une confrontation insensée arriva entre Israël et Juda, du largement aux égos de Joab et Abner. Une dispute explosa en une brève guerre dans laquelle beaucoup d’hommes moururent. Abner tua le frère de Joab, Asaël, avant que le combat ne prenne fin.

Comme le conflit entre la maison de Saül et la maison de David continuait, Abner prit une des concubines de Saül, une action qui apparut signaler une revendication du trône (voir 1 Rois 2:13-25). Ich-Bocheth avait raison d’être inquiet, mais quand il défia Abner, son général (qui était mieux placé pour organiser un coup militaire ?), Abner réagit fortement. Ce fut ce défit qui poussa Abner à changer son support vers David comme le roi légitime d’Israël, plutôt que le descendant de Saül, Ich-Bocheth. Il négocia un arrangement avec David, mais quand Joab l’apprit, il tua Abner, vengeant ainsi le sang de son frère Asaël.

La réponse de David à la vengeance de Joab joua un rôle crucial dans la guérison du pays. David porta publiquement le deuil de la mort d’Abner et réprimanda fermement Joab pour ses actions. Les Israélites reconnurent que rien n’était la faute de David et qu’il n’était pas d’accord avec (2 Samuel 3:36). Peu de temps après, deux serviteurs d’Ich-Bocheth le tuèrent et amenèrent sa tête à David à Hébron. Ils avaient sérieusement fait une erreur de calcul sur sa réponse, car David les fit exécuter pour leur action. Il, lui qui ne voulait pas devenir roi en tuant Saül, ne récompenserait pas ceux qui tuèrent son fils. Finalement, après sept ans et demi de guerre, David devint roi de tout Israël:

« 1 Des représentants de toutes les tribus d'Israël vinrent auprès de David à Hébron et lui dirent:
   ---Nous voici! Nous sommes de ta race et de ton sang.

  2 Autrefois déjà, du temps où Saül était notre roi, c'est toi qui dirigeais les expéditions militaires d'Israël. Or l'Eternel t'a promis que tu serais le berger d'Israël son peuple et que tu en deviendrais le chef.

  3 Ainsi tous les responsables d'Israël vinrent trouver le roi à Hébron. Là, le roi David conclut une alliance avec eux devant l'Eternel, et ils lui conférèrent l'onction pour le faire roi d'Israël.

  4 David était âgé de trente ans à son avènement, et son règne dura quarante ans.

  5 Il régna sept ans et six mois sur Juda à Hébron, et il régna trente-trois ans sur tout Israël et Juda à Jérusalem. » (2 Samuel 5:1-5)

À ce moment, Jérusalem (connu alors sous le nom de Yébous) était contrôlé par les Yebousiens. David captura la ville et l’occupa comme sa capitale. Pas de doute, sa forte position défensive, qui rendrait difficile de la conquérir, fit que Jérusalem était attirante à David comme ville plus facilement défendable comme sa capitale:

« 9 David s'installa dans la forteresse qu'il appela la cité de David. Il fit des constructions tout autour, depuis les terrasses aménagées pour les cultures jusque vers l'intérieur.

  10 David devenait de plus en plus puissant, et l'Eternel, le Dieu des armées célestes, était avec lui. » (2 Samuel 5:9-10)

Quelqu’un pourrait imaginer pourquoi les Philistins auraient fortement réagi à la nouvelle que David était devenu le roi de tout Israël. Quand ils arrivèrent en force, cherchant à trouver David, David et ses armées furent divinement instruits d’attaquer, et Dieu donna à David une victoire décisive sur les ennemis d’Israël. En s’enfuyant, les Philistins, abandonnèrent leurs idoles parce qu’elles n’étaient qu’un poids mort inutile (5:21).

David chercha alors à amener le coffre de l’alliance de Dieu à Jérusalem. Le problème était qu’il ne fit pas attention à transporter le coffre de l’alliance de la façon que Dieu avait prescrite. Au lieu de ça, il fut transporté comme les Philistins l’avaient transporté, sur un chariot. Quand un des bœufs trébucha, il semblerait que le coffre de l’alliance se retourna, alors Ouzza tendit sa main pour le stabiliser et Dieu le tua sur place pour son irrévérence. David fut en colère parce qu’il sembla que Dieu gâcha tout. La cérémonie se termina abruptement, et le coffre de l’alliance resta à la maison d’Obed-Edom.

Il y a dû avoir un sérieux examen de conscience après la mort d’Ouzza, mais David réalisa pourquoi cette tragédie était arrivée. Alors, ils amenèrent le coffre de l’alliance à Jérusalem:

« 11 David appela les prêtres Tsadoq et Abiatar et les lévites Ouriel, Asaya, Joël, Chemaeya, Eliel et Amminadab.

  12 Il leur dit:
   ---Vous êtes les chefs des groupes familiaux des lévites, purifiez-vous, vous et tous les membres de vos familles, pour être en mesure de transporter le coffre de l'Eternel, le Dieu d'Israël, à l'emplacement que je lui ai préparé.

  13 En effet, c'est parce que vous n'étiez pas présents la première fois, que l'Eternel notre Dieu a fait une brèche parmi nous: nous ne nous sommes pas occupés selon la Loi de ce qui le concerne.

  14 Les prêtres et les lévites se purifièrent donc pour le transport du coffre de l'Eternel, le Dieu d'Israël.

  15 Les lévites portèrent le coffre de Dieu avec des barres[b]sur leurs épaules, conformément aux ordres que Moïse avait donnés d'après la parole de l'Eternel[c]. » (1 Chronicles 15:11-15)

« 13 Quand ceux qui portaient le coffre de l'Eternel eurent avancé de six pas, ils s'arrêtèrent et l'on offrit en sacrifice un taureau et un veau gras.

  14 David dansait de toutes ses forces devant l'Eternel, vêtu seulement d'un vêtement de lin semblable à celui des prêtres.

  15 Ainsi David et tout le peuple d'Israël transportèrent le coffre de l'Eternel en poussant des cris de joie et en faisant résonner les cors. » (2 Samuel 6:13-15)

L’Alliance Avec David (2 Samuel 7:1-17)

« 1 Comme le roi s'était installé dans son palais, et que l'Eternel lui avait accordé une existence paisible en le délivrant de tous ses ennemis à l'entour,

  2 il dit au prophète Nathan:
   ---Regarde! J'habite dans un palais de cèdre, alors que le coffre de Dieu est installé au milieu d'une tente de toile.

  3 Nathan lui répondit:
   ---Va et réalise les projets qui te tiennent à cœur, car l'Eternel est avec toi.

  4 Cependant, la nuit suivante l'Eternel adressa la parole à Nathan en ces termes:

  5 ---Va dire à mon serviteur David: «Voici ce que déclare l'Eternel: Tu veux me bâtir un temple où je puisse habiter?

  6 Je n'ai jamais résidé dans un temple depuis le jour où j'ai fait sortir les Israélites d'Egypte jusqu'à aujourd'hui. J'ai cheminé sous une tente, logeant dans le tabernacle.

  7 Pendant tout ce temps où j'ai accompagné les Israélites, ai-je jamais dit à un seul des chefs d'Israël que j'avais établis pour diriger mon peuple: Pourquoi ne me bâtissez-vous pas un temple en bois de cèdre?»

  8 Voici maintenant ce que tu diras à mon serviteur David: «Ainsi parle l'Eternel, le Seigneur des armées célestes: je suis allé te chercher dans les pâturages où tu gardais les moutons, pour faire de toi le chef de mon peuple Israël.

  9 Je t'ai soutenu dans toutes tes entreprises et je t'ai débarrassé de tous tes ennemis. Je te ferai un nom très glorieux comme celui des grands de la terre.

  10 J'attribuerai un territoire à mon peuple Israël où je l'implanterai pour qu'il puisse habiter chez lui et ne soit plus inquiété et opprimé comme auparavant par des hommes méchants,

  11 comme à l'époque où j'avais établi des chefs pour mon peuple Israël. Je t'accorderai une existence paisible en te délivrant de tous tes ennemis. Enfin, l'Eternel t'annonce qu'il te constituera une dynastie.

  12 Quand le moment sera venu pour toi de rejoindre tes ancêtres décédés, j'établirai après toi l'un de tes propres descendants pour te succéder comme roi, et j'affermirai son autorité royale.

  13 C'est lui qui construira un temple en mon honneur et je maintiendrai à toujours son trône royal.

  14 Je serai pour lui un père, et il sera pour moi un fils; s'il fait le mal, je me servirai d'hommes pour le corriger par des coups et des châtiments,

  15 mais je ne lui retirerai jamais ma faveur, comme je l'ai retirée à Saül, que j'ai écarté pour te faire place.

  16 Oui, je rendrai stable pour toujours ta dynastie et ta royauté, et ton trône sera inébranlable à perpétuité.»

  17 Nathan rapporta fidèlement à David toutes ces paroles et toute cette révélation. » (2 Samuel 7:1-17)

David s’était installé à Jérusalem. Il avait construit un palais pour lui-même, mais il semblait inapproprié pour le coffre d’être gardé dans une tente. David conçut l’idée de construire un temple à Jérusalem, et il proposa l’idée à Nathan, le prophète. Nathan répondit positivement mais sans consulter Dieu. Cela semblait être une bonne idée, mais ce serait Salomon qui construirait le temple, non pas David.

La réponse de Dieu à Nathan – qu’il transmit à David – mit la question d’un temple dans sa perspective. Dieu dit clairement qu’Il n’avait pas demandé une «  maison » où résider. Depuis qu’Il avait sorti les Israélites d’Egypte, Dieu avait choisi d’habiter dans une tente, et Il était très satisfait avec ces arrangements. Le fait était que Dieu ne pouvait pas être restreint dans de tels logements. C’est précisément l’argument qu’Etienne eut dans le Livre d’Actes:

« 46 Celui-ci (David) obtint la faveur de Dieu et demanda de pouvoir donner une demeure au Dieu de Jacob.

  47 Mais ce fut Salomon qui bâtit le Temple.

  48 Cependant, le Dieu très-haut n'habite pas dans des édifices construits par des mains humaines. C'est ce que dit le prophète:

  49 Mon trône, c'est le ciel,
      la terre, l'escabeau où je pose le pied.
      Quelle est donc la maison que vous me bâtirez, dit le Seigneur,
      ou quel lieu de repos pourrait me servir de demeure?

  50 N'est-ce pas moi qui ai créé tout cela? » (Actes 7:46-50)

Dieu changea le plan. David construira-t-il une maison pour Dieu ? Non. Dieu ne permettra pas à David de faire cela, mais Salomon le fera. Mais Dieu allait construire une « maison » (c'est-à-dire une dynastie) pour David. Dieu élèverait les descendants de David pour être sur le trône de leur Père. Ce sera une dynastie perpétuelle. Cette alliance sera certainement observée; elle sera observée et pour tous quand Jésus, le « Fils de David » sera sur le trône:

« 30 L'ange lui dit alors:
   ---N'aie pas peur, Marie, car Dieu t'a accordé sa faveur.

   31 Voici: bientôt tu seras enceinte et tu mettras au monde un fils; tu le nommeras Jésus.

   32 Il sera grand. Il sera appelé «Fils du Très-Haut», et le Seigneur Dieu lui donnera le trône de David, son ancêtre.

   33 Il régnera éternellement sur le peuple issu de Jacob, et son règne n'aura pas de fin. » (Luc 1:30-33)

Conclusion

Finalement, Israël a un roi, un roi qui adorait la loi de Dieu, et dont le cœur voulait et cherchait la volonté de Dieu. On pourrait se demander pourquoi Dieu ne nomma pas immédiatement David roi, plutôt que de s’embêter avec Saül. Je crois qu’il y avait plusieurs raisons pour lesquelles Dieu donna Saül à Israël comme son premier roi. Premièrement, les Israélites demandèrent inadéquatement. Ils avaient rejeté Dieu comme leur roi et Samuel comme leur prophète et juge. Leur donner un roi pieux aurait et récompenser Israël pour leur péché. Deuxièmement, Saül était précisément le genre de roi que les Israélites pensaient ils voulaient. Il était grand, peut-être brun, et surement beau. Il était un homme qui avait toutes les qualités physiques d’un grand dirigeant, ou ils le pensaient. Troisièmement, Dieu leur donna Saül, pour que les Israélites apprécient David pour qui il était et ce qu’il faisait, en contraste à Saül. Finalement, Dieu donna Saül à Israël comme roi, pour qu’il puisse aider à équiper David pour son rôle de roi. La persécution de David par Saül fut utilise par Dieu pour faire de David un homme dévot.

Notre texte est incroyable, avec beaucoup de leçons pour ceux qui apprendraient de celui-ci. Permettez-moi de suggérer plusieurs domaines d’application.

Premièrement, il nous apprend quelques leçons de valeur regardant la soumission. Quel modèle de soumission David est dans sa relation à Saül. Même quand Saül cherche à tuer David, il ne leva pas une main contre l’oint de Dieu. Quand David eut l’opportunité de prendre la vie de Saül, il ne le fit pas. Il compte sur Dieu pour destituer Saül. La soumission n’est pas toujours une question simple, comme certains semblent penser. Quelques fois, la soumission devient compliquée, comme notre texte indique. Jonathan dut faire face à beaucoup de choix durs en ce qui concerne la soumission. Lui, comme fils, et comme un sujet du roi, devait se soumettre à son père. Mais Jonathan dut obéir à Dieu plutôt qu’aux hommes. Ainsi, il ne voudra pas et ne tuera pas David, même quand son Père lui donne l’ordre de le tuer. Puisque David doit devenir le prochain roi d’Israël, Jonathan doit aussi se soumettre à lui. Jonathan doit avoir une hiérarchie d’autorité distincte, pour qu’il puisse lui-même se soumettre à ceux qui ont plus d’autorité que lui.

La même chose est vraie pour Abigaïl. Son idiot de mari, Nabal, rejette David comme le prochain roi d’Israël. Il ne donnera à David aucun des dons qu’il a requit. Abigaïl a une obligation de se soumettre à Nabal, comme son mari, mais elle est aussi obligée de se soumettre à David comme le prochain roi d’Israël. Elle, comme Jonathan, est dans une situation d’obéissance et de soumission très dangereuse en cherchant à être soumise à Nabal, quand elle faisait ce qu’il avait interdit.172Souvenons-nous, elle risqua sa vie pour sauver son mari. Elle ne cherchait pas à satisfaire ses propres intérêts, mais les siens.

Deuxièmement, notre texte a quelque chose à nous apprendre à propos de la spiritualité dans le monde spirituel. La visite de Saül à la femme d’Eyn-Dor est effectivement bizarre. Il ne semble pas non plus être normal. Même la femme est surprise et terrifiée par ce qui arrive. Je crois que dans cette instance, Dieu fit quelque chose de très inhabituel, comme faisant parti de la discipline divine que Saül méritait. Saül sauta sur ce fruit défendu, et Dieu lui donna un aperçu de l’autre monde – celui qui lui fit une peur bleue.

Il semble y avoir un contraste intentionnel entre Saül et David quand on parle de la présence de l’Esprit de Dieu avec chacun d’entre eux. Dans 1 Samuel, nous voyons la manifestation visible de l’Esprit dans la vie de Saül en plusieurs occasions. Au début, l’Esprit vient sur Saül peu après avoir été oint par Samuel (1 Samuel 10:10). A nouveau, l’Esprit « tomba sur Saül » quand il entendit comment les Ammonites avaient menacé Yabéch Galaad (1 Samuel 11:6). L’Esprit de Dieu le saisit aussi à Rama, l’empêchant de tuer David (1 Samuel 19:23-24).

Puis il y eut aussi les occasions quand le mauvais Esprit vint sur Saül, le poussant à opposer David. Cela arriva deux fois (18:10-11 ; 19:9-10), résultant en Saül lançant avec violence sa lance à David. Remarquez que ce mauvais Esprit rendant capable les attentats contre la vie de David échoua. Ce « mauvais Esprit du Seigneur » était le mauvais Esprit que notre Seigneur autorisa à stimuler Saül, mais l’empêcha aussi de succéder.

Comme je vois Saül dans 1 Samuel, un Esprit le domine souvent. Quelques fois, il est maîtrisé par l’Esprit de Dieu ; plus souvent il est possédé par un mauvais Esprit. Quand l’Esprit de Dieu vient sur Saül, c’était un acte souverain qui le rendait capable de faire quelque chose, un acte qui n’aurait pu être réalisé par Saül lui-même. Quand un mauvais Esprit lui tombait dessus, cela semblait être parce que ses propres péchés avaient presque invité le diable.

Saül, un homme très impie, était fréquemment donné du pouvoir par un Esprit, bon ou mauvais. David, d’un autre coté, était un homme très spirituel, et pourtant nous ne lisons qu’une fois de l’Esprit de Dieu tombant sur lui:

« 13 Samuel prit la corne pleine d'huile et il en oignit David en présence de sa famille. L'Esprit de l'Eternel tomba sur David et demeura sur lui à partir de ce jour-là et dans la suite. Après cela, Samuel se remit en route et retourna à Rama. » (1 Samuel 16:13)

Ça me rappelle d’un texte dans les Evangiles:

« 30 C'est de lui que je vous ai parlé lorsque je disais: «Un homme vient après moi, il m'a précédé, car il existait avant moi.»

  31 Moi non plus, je ne savais pas que c'était lui, mais si je suis venu baptiser dans l'eau, c'est pour le faire connaître au peuple d'Israël.

  32 Jean-Baptiste rendit ce témoignage:
   ---J'ai vu l'Esprit descendre du ciel comme une colombe et se poser sur lui.

  33 Je ne savais pas que c'était lui, mais Dieu, qui m'a envoyé baptiser dans l'eau, m'avait dit: Tu verras l'Esprit descendre et se poser sur un homme; c'est lui qui baptisera dans le Saint-Esprit. » (Jean 1:30-33, mon accentuation en gras)

L’Esprit de Dieu ne tomba sur David qu’une fois, et resta sur lui. L’Esprit de Dieu tomba sur Saül à plusieurs reprises, mais il est évident qu’Il ne resta pas sur lui. On nous dit clairement que l’Esprit de Dieu abandonna Saül. Puis, un mauvais Esprit vint et repartit. Saül n’était pas du tout un homme spirituel. David l’était. L’Esprit de Dieu vint sur David et resta sur lui. La seule fois que David eut peur que l’Esprit de Dieu ne l’oublie fut quand il pécha (Psaumes 51:10-11).

Il y a ceux qui assimileraient la spiritualité avec des manifestations spectaculaires de l’Esprit. Je ne doute ou ne questionne pas que Dieu soit libre de Se manifester de différentes façons, certaines desquelles pouvant être spectaculaires. Mais je questionne l’hypothèse qu’une manifestation spectaculaire de l’Esprit prouve que la personne impliquée est vraiment spirituelle. N’oublions pas que ce genre de « spiritualité » fut souvent vu dans le Livre des Juges, quand l’Esprit de Dieu tomba sur des hommes comme Samson. Même l’ânesse de Balaam pouvait nous impressionner par ces standards, mais ces hommes n’étaient pas des instruments volontaires dans les mains de Dieu ; ils n’étaient pas spirituels.

David est un exemple d’homme qui est « rempli de Saint-Esprit ». L’Esprit tomba sur lui une fois, et resta sur lui, tout comme l’Esprit vint sur notre Seigneur et resta sur Lui. Les manifestations de l’Esprit ne furent souvent pas spectaculaires. Dans le cas de David, comme avec notre Seigneur, leur spiritualité était évidente dans leur amour pour Dieu et dans leur désir d’accomplir Sa volonté. Maintes fois, nous trouvons David cherchant à connaître la volonté de Dieu. Rarement voyons-nous cela avec Saül. Quand Dieu ne se révèle pas à Saül, Saül essaye de contacter quelqu’un qui est mort (par un medium à Eyn-Dor). Faisons attention de ne pas juger la spiritualité par les apparences extérieures (1 Samuel 16:7). La présence de l’Esprit est plus certainement connue par le caractère d’une personne que par son attraction. Paul a beaucoup à dire à propos de ça dans 1 Corinthiens.

Troisièmement, notre texte a beaucoup à nous apprendre sur la souffrance. La souffrance était le moyen de Dieu de préparer David pour le trône. (Saül ne fit pas l’expérience d’une telle souffrance). Ces années à être considéré inférieur par ses frères, à s’occuper d’un petit troupeau de moutons, à être détesté et poursuivi par Saül, faisaient parti du processus de Dieu de le préparer à régner. Ce fut durant cette période de souffrance que David fut tenté de tuer Saül, mais il refusa. Ce fut durant ces temps de souffrance que David écrivit quelques uns des plus beaux Psaumes. La souffrance prépara David à régner:

« 10 Heureux ceux qui sont opprimés pour la justice, car le royaume des cieux leur appartient.» (Matthieu 5:10)

« 16 L'Esprit Saint lui-même et notre esprit nous témoignent ensemble que nous sommes enfants de Dieu.

  17 Et puisque nous sommes enfants, nous sommes aussi héritiers: héritiers de Dieu, et donc cohéritiers du Christ, puisque nous souffrons avec lui pour avoir part à sa gloire. » (Romains 8:16-17)

« 10 Je supporte donc patiemment toutes ces épreuves, à cause de ceux que Dieu a choisis, pour qu'eux aussi parviennent au salut qui est en Jésus-Christ, et à la gloire éternelle qui l'accompagne.

  11 Car ces paroles sont certaines:
      Si nous mourons avec lui,
      avec lui nous revivrons,

  12 et si nous persévérons,
      avec lui nous régnerons.
      Mais si nous le renions,
      lui aussi nous reniera. » (2 Timothée 2:10-12)

« 7 Ainsi, au cours de sa vie sur terre, Jésus, avec de grands cris et des larmes, a présenté des prières et des supplications à celui qui pouvait le sauver de la mort, et il a été exaucé, à cause de sa soumission à Dieu.

  8 Bien qu'étant Fils de Dieu, il a appris l'obéissance par tout ce qu'il a souffert.

  9 Et c'est parce qu'il a été ainsi amené à la perfection qu'il est devenu, pour tous ceux qui lui obéissent, l'auteur d'un salut éternel:

La souffrance de David servit aussi à tester de fidélité de ses amis. Ce fut les vrais amis de David qui endurèrent avec lui les temps d’adversité. Jonathan se prouva être un vrai ami de David quand Saül chercha à le tuer. Maintes fois, nous voyons Jonathan encourager David au milieu de ses épreuves. Plus tard dans la vie de David, quand Absalom prit temporairement le royaume, la souffrance prouvera à David qui ses vrais amis sont.

La souffrance révéla clairement qui les ennemis de David étaient. Il y avait les gens de Ziph, qui trahirent la location de David au roi Saül (1 Samuel 23:19). Il y avait Doëg, qui informa Saül que David avait été à Nob, où il obtint de la nourriture et son épée. Ce fut sa trahison qui couta aux prêtres et à leurs familles leurs vies (1 Samuel 22:9). Nabal révéla ses vraies couleurs, aussi bien par son rejet de David comme prochain roi d’Israël (1 Samuel 25).

Nous aussi pourrions être soit un Nabal, ou une Abigaïl, un Doëg ou un Jonathan. Nous avons été appelé à nous identifier avec Christ, qui fut rejeté par les hommes et crucifie sur la crois au Calvaire:

« 17 Voici donc ce que je vous commande: aimez-vous les uns les autres.

  18 ---Si le monde a de la haine pour vous, sachez qu'il m'a haï avant vous.

  19 Si vous faisiez partie du monde, il vous aimerait parce que vous lui appartiendriez. Mais vous n'appartenez pas au monde parce que je vous ai choisis du milieu du monde; c'est pourquoi il vous poursuit de sa haine.

  20 Souvenez-vous de ce que je vous ai déjà dit: le serviteur n'est jamais supérieur à son maître. S'ils m'ont persécuté, ils vous persécuteront vous aussi; s'ils ont gardé mes paroles, ils garderont aussi les vôtres.

  21 Mais c'est à cause de moi qu'ils agiront ainsi, parce qu'ils ne connaissent pas celui qui m'a envoyé. » (Jean 15:17-21)

« 10 C'est ainsi que je pourrai connaître le Christ, c'est-à-dire expérimenter la puissance de sa résurrection et avoir part à ses souffrances, en devenant semblable à lui jusque dans sa mort,

  11 afin de parvenir, quoi qu'il arrive, à la résurrection d'entre les morts. » (Philippiens 3:10-11)

« 24 Maintenant, je me réjouis des souffrances que j'endure pour vous. Car, en ma personne, je complète, pour le bien de son corps --- qui est l'Eglise --- ce qui manque aux détresses que connaît le Christ. » (Colossiens 1:24)

« 12 Mes chers amis, vous avez été plongés dans la fournaise de l'épreuve. N'en soyez pas surpris, comme s'il vous arrivait quelque chose d'anormal.

  13 Au contraire, réjouissez-vous, car vous participez aux souffrances du Christ, afin d'être remplis de joie quand il paraîtra dans toute sa gloire.

  14 Si l'on vous insulte parce que vous appartenez au Christ, heureux êtes-vous, car l'Esprit glorieux, l'Esprit de Dieu, repose sur vous. » (1 Pierre 4:12-14 ; voir aussi 2:18-25)

En plus de nous identifier avec Christ dans Ses souffrances, nous sommes appelés à nous identifier avec ceux qui souffrent pour Christ:

« 32 Rappelez-vous au contraire les premiers temps où, après avoir reçu la lumière de Dieu, vous avez enduré les souffrances d'un rude combat.

  33 Car tantôt vous avez été exposés publiquement aux injures et aux mauvais traitements, tantôt vous vous êtes rendus solidaires de ceux qui étaient traités de la même manière.

  34 Oui, vous avez pris part à la souffrance des prisonniers et vous avez accepté avec joie d'être dépouillés de vos biens, car vous vous saviez en possession de richesses plus précieuses, et qui durent toujours. » (Hébreux 10:32-34)

La souffrance au nom de la justice – la souffrance innocente – est un test de notre foi et de notre endurance, ainsi qu’un test pour les autres qui doivent choisir s’ils s’identifieront ou non avec celui qui souffre. Chaque semaine, nous observons le Souper de notre Seigneur (la communion). Nous célébrons la souffrance du Seigneur et Sa mort à notre place. Rappelons-nous que nous ne sommes pas seulement appelés à nous identifier avec Ses souffrances à l’église, mais nous sommes appelés à nous identifier avec Ses souffrances comme Christ vit Sa vie en nous pendant la semaine. Alors que nous préférerions éviter ce temps de souffrance et de rejet, cela joue un rôle vital dans nos vies et dans le déroulement du programme de rédemption de Dieu.

Quatrièmement, comme je lis les expériences de David dans ce texte, je suis frappé avec les similarités entre son royaume et le royaume de notre Seigneur. David était apparemment une personne sans réputation ou proéminence quand il fut présenté comme le roi de l'Israël. Notre Seigneur vint sur terre comme un enfant né dans une famille pauvre ; l’endroit de Sa naissance était une étable. David était méprisé et abandonné par ses frères ; de même le fut notre Seigneur. La vie de David fut mise en danger par un roi qui était terrifié et intensément jaloux de tout autre roi qui pourrait défier son royaume. Le roi Herod, qui Le percevait comme une menace pour son royaume, mis la vie de notre Seigneur en danger. David fut introduit comme le roi d’Israël bien avant qu’il ne devienne réellement roi. Notre Seigneur fut introduit comme le roi d’Israël, et pourtant Il doit encore revenir pour revendiquer le trône. Ceux qui étaient les parias de la société entouraient David. Beaucoup de ceux qui suivirent Christ étaient ceux qui étaient les parias de la société (voir Actes 4:13 ; 1 Corinthiens 1:26-31). Quand David vint à régner en roi, il dut unir ceux de Juda avec les autres tribus d’Israël qui étaient en guerre. Le royaume de notre Seigneur unira les riches et les pauvres, les Juifs et les païens, les esclaves et les libres.

Comme nous réfléchissons sur notre texte et sur l’ascension de David comme roi d’Israël, regardons au-delà et plus loin que lui, pour voir Celui dont le royaume anticipe – notre Seigneur Jésus Christ. Mon ami, John Maurer, conduisait un des groupes de discussion dans notre église qui débattait cette leçon. Il nous rappela la déclaration d’un des autres groupes. En général, John dit, « N’oublions pas qu’alors que David était une héro, il n’était pas un héro parfait. Le vrai héro de toute l’histoire est Dieu et Dieu seul. » A Lui revient la gloire.

Ceux qui rejetèrent David furent tous détruits. Saül ne réussit pas à tuer David ; Dieu s’occupa que Saül perdit sa vie. Ceux qui rejetèrent David devinrent ses ennemis. Plus que ça, ils devinrent les ennemis de Dieu, et pour cela, ils payèrent un prix eternel. Jésus est le Roi de Dieu, le Sauveur de Dieu. L’adopter comme Roi des Rois et le Sauveur des pécheurs est choisir la vie éternelle. Le rejeter, est choisir le tourment eternel. Je prie qu’Il soit votre Roi.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 18, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 These would be: (a) His failure to wait for Samuel in chapter 13; and, (b) his failure to totally annihilate the Amalekites in chapter 15.

Related Topics: Demons

17. Israël Obtient un Roi

Le Livre de 1 Samuel 1:1 - 16:23148

Introduction

Il y a des années, notre famille est allée à un parc d’amusement, avec une autre famille de notre église. C’était une journée magnifique, et beaucoup d’autres familles avaient choisi de faire de même. Il y avait des lignes d’attente pour tous les bons manèges. Après avoir passé plusieurs heures à cela, je me suis tourné vers notre ami et dit, « Tu sais, c’est une illustration excellente du péché – ce tour de manège ne dure pas longtemps, et le prix est élevé ! ». Depuis, j’ai pensé à une autre dimension: « Si le tour de manège est bon, il te terrifiera à mort. » Comme nous arrivons au règne du Roi Saül, je trouve que les mots ci-dessus sont une bonne description. Le tour de manège est court, et le prix est élevé, et terrifiant.

Quand nous arrivons au Livre de 1 Samuel, nous venons de la période des Juges (Juges, Ruth, 1 Samuel 1-7) à la nouvelle monarchie (1 Samuel 8). À l’insistance d’Israël, ils auront un roi, et Saül sera le premier. Son règne sera court, pour Israël et pour Saül (40 ans n’est pas vraiment longtemps). Ses fils ne règneront pas après sa mort. Un nouveau roi, David, règnera à sa place. Le prix pour Saül est élevé. Il perd sa dynastie, son fils Jonathan, et sa propre vie. Le prix est aussi élevé pour Israël, comme Samuel l’explique clairement (1 Samuel 9-10-18). Le règne est aussi effrayant. Si les Israélites pensaient qu’un roi leur donnerait la sécurité et la paix ininterrompues, ils avaient tort. Sous la direction de Saül, il y eut beaucoup de moments terrifiants (voir 1 Samuel 13:7 ; 14:15).

Comme je l’ai indiqué, notre texte nous mène de la période des Juges à la monarchie – le règne des rois d’Israël, commençant avec Saül. La structure de notre texte est très simple. Les chapitres 1-7 décrivent la fin de la période des Juges. Eli et ses fils seront destitués du clergé et de juger Israël, et ils seront remplacés par Samuel et ses fils. Les chapitres 8-15 racontent l’histoire de comment Israël obtint son premier roi. Alors que Saül ne mourra pas avant la fin du Livre, les péchés qui lui coutèrent son royaume seront documentés dans les chapitres 13 et 15. Sa contribution positive est illustrée par sa victoire sur Nahach et les Ammonites dans le chapitre 11. Ses faiblesses de caractère sont illustrées dans les chapitres 13-15. Son règne est moins qu’idéal, et ses derniers jours ne sont pas moins que tragiques.

Le Livre de 1 Samuel décrit beaucoup « de tournants » pour des individus comme Saül, et pour le pays Israël. Ce Livre contient quelques-unes des histoires de la Bible les plus populaires et les plus aimées de tous les temps, mais il est important que nous les comprenions dans le contexte du « drame de rédemption  qui se déroule » de Dieu. Alors, écoutons bien ce que Dieu nous dit par cette portion de Sa Parole inspirée.

La Fin de la Période des Juges (1 Samuel 1-7)

Au début, Samuel n’était qu’un Livre, pas deux, et il suivait immédiatement le Livre des Juges. Cela veut dire que les mots qui précèdent immédiatement 1 Samuel seraient:

« 25 En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël. Chacun faisait ce qu'il jugeait bon. » (Juges 21:25)149

Dans ce temps la, les hommes et les femmes ne vivaient pas selon la Loi de Moïse, la Parole révélée de Dieu ; ils vivaient selon leurs propres standards, leurs propres sens de bien et de mal – et ce fut un désastre. En conséquence, Dieu fut silencieux pendant un certain temps:

« 1 Le jeune Samuel accomplissait le service de l'Eternel auprès d'Eli. A cette époque, l'Eternel parlait rarement aux hommes et les révélations que Dieu leur montrait n'étaient pas fréquentes. » (1 Samuel 3:1)

La naissance de Samuel, tout comme la naissance de Jean le Baptiste, était une initiative divine par laquelle le silence de Dieu fut brisé. Elqana avait deux épouses, Anne et Peninna. Anne était l’épouse la plus aimée, mais elle n’avait pas d’enfant, et Peninna profitait de cela, ce qui faisait mal à Anne en faisant l’étalage du fait qu’elle pouvait avoir des enfants, alors qu’Anne ne pouvait pas. (Il est apparent que Peninna n’avait aucune idée du fait que Dieu empêchait délibérément Anne de concevoir des enfants, jusqu'à ce point – voir 1:6, 19-20).

Ce fut par l’agonie de son cœur qu’elle fit appel au Seigneur, L’implorant d’avoir un enfant. Elle promit que si Dieu lui donnait un enfant masculin, elle le Lui dédierait, et que (comme Samson – voir Juges 13) il serait un homme totalement consacré à l’Eternel (1 Samuel 1:11). Eli vit cette femme désespérée et prit sa conduite comme celle de quelqu’un en état d’ébriété. Quand il la réprimanda, elle expliqua rapidement ses circonstances et en réponse, Eli l’a béni avec l’assurance qu’elle aurait un fils. Pas longtemps après ça, Anne devint enceinte, et quand son fils fut sevré, elle l’emmena à la maison de l’eternel à Silo, le laissant avec Eli.

L’auteur inclût alors ce Psaume de louange, composé par Anne:

« 1 Alors Anne prononça cette prière[a]:
      La joie remplit mon cœur, c'est grâce à l'Eternel;
      oui, grâce à l'Eternel, mon front s'est relevé
      et j'ai de quoi répondre à ceux qui me blessaient.
      Oui, je jubile, car Dieu m'a secourue.

  2 Nul ne l'égale. L'Eternel seul est saint,
      et, à part lui, il n'y a pas de Dieu,
      pas de rocher semblable à notre Dieu.

  3 Que cessent donc, vos paroles hautaines
      et les bravades sortant de votre bouche!
      Car l'Eternel est un Dieu qui sait tout,
      c'est lui qui pèse les actes des humains.

  4 Voilà brisé l'arc des guerriers!
      Ceux qui chancellent sont armés de vigueur.

  5 Tous les repus s'embauchent pour du pain,
      les affamés seront comblés de biens
      et la stérile met sept enfants au monde,
      alors que celle qui en avait beaucoup sera flétrie.

  6 C'est l'Eternel qui fait mourir et vivre,
      il fait descendre dans le séjour des morts et en fait remonter.

  7 L'Eternel seul dépouille et enrichit,
      il humilie, et il élève aussi.

  8 De la poussière, il arrache le pauvre,
      et il relève l'indigent de la fange
      pour l'installer au milieu des puissants
      et lui donner une place d'honneur.
      A l'Eternel sont les fondements de la terre,
      et c'est sur eux qu'il a posé le monde.

  9 Il gardera les pas de ses fidèles,
      mais les méchants périront dans la nuit,
      car aucun homme n'est vainqueur par la force.

  10 Ceux qui contestent contre Dieu sont brisés.
      Du haut du ciel, il tonnera contre eux.
      Il jugera les confins de la terre;
      il donnera la puissance à son roi
      et il élèvera l'homme qui, de sa part, a reçu l'onction d'huile. » (1 Samuel 2:1-10)

Nous ne pouvons pas essayer d’expliquer ce Psaume magnifique dans une étude comme celle-ci, mais j’aimerais faire quelques observations, qui serviraient à améliorer notre appréciation de ce Psaume de louange, résultant à améliorer notre propre adoration.150

Premièrement, c’est une prière.

Deuxièmement, cette prière est de la poésie, un Psaume de louange à Dieu.

Troisièmement, c’est un Psaume divinement inspiré. Il est devenu une partie des Ecritures, et alors nous sommes assurés de son inspiration divine (2 Timothée 3:16). Comme tel, nous savons que Dieu l’a inclus dans les Ecritures pour notre éducation et notre instruction (2 Timothée 3:16-17).

Quatrièmement, ce Psaume est un Psaume de louange et de remerciement, provoqué par la réponse de Dieu aux prières d’Anne pour un fils.

Cinquièmement, c’est un Psaume qui est concentré sur Dieu. Contrairement au « Psaume » de Jonas dans Jonas 2:2-9, Anne ne s’éternise pas sur ses expériences ; elle s’éternise sur Dieu, Sa souveraineté, Sa puissance, et Sa grâce. Voilà une leçon que nous pourrions tous prendre à cœur dans notre vénération. Combien de nos témoignages et vénérations sont centrés sur nous-mêmes ?

Sixièmement, c’est un Psaume qui est assez similaire au Magnificat de Marie dans Luc 1:46-55. Il semblerait certainement que les paroles de Marie étaient influencées par le Psaume d’Anne.

Septièmement, ce Psaume de louange va au-delà de l’expérience personnelle d’Anne vers l’espoir et l’assurance d’Israël ; en effet, il attend impatiemment la venue du Messie (voir 2:10).

Anne ne pouvait pas avoir d’enfant, et était très désespérée. Peninna était l’ennemi d’Anne, qui l’harassait constamment à propos de son incapacité d’avoir des enfants. Dieu entendit la prière d’Anne, ne lui donna pas un seul enfant, mais plusieurs. De son expérience, Anne pouvait voir et se réjouir en la souveraineté de Dieu. Elle pouvait voir que Dieu était un Dieu qui élevait l’humble et le brisé, et qui humiliait le puissant et le fier. Ce que Dieu avait fait pour elle, elle savait qu’Il le ferait pour les autres. Dieu humiliera les ennemis d’Israël, exaltera le faible, et amènera le jugement et la justice. Finalement, cela arrivera quand Dieu ressuscitera Ses « consacrés », Son Messie (2:10).

Quelle grande foi Anne avait, quand elle écrivit ce Psaume. Elle vit la main de Dieu dans sa vie, et sut que ce n’était qu’un exemple du travail de Dieu parmi Son peuple. Alors que le Livre des Juges finit avec,

« 25 En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël. » (Juges 21:25a)

Le Psaume d’Anne attend le jour quand Dieu enverra Son Elu pour régner. À cette période, les vérités de son Psaume seront complètement et définitivement réalisées.

Je me demande si Anne vécut assez longtemps pour voir la raison de ses souffrances ? Dans ses jours sans enfants, avec Peninna « versant constamment du sel sur ses plaies », Anne ne pouvait que croire que Dieu causerait d’une façon ou d’une autre des circonstances qui finiraient bien. Et à la fin, elles le firent. Anne était si impatiente d’avoir un fils qu’elle promit qu’elle dédierait ce garçon à Dieu, et qu’elle l’abandonnerait. Ça a dû être difficile pour elle de placer Samuel entre les mains d’Eli, sachant combien il avait échoué de s’occuper de ses propres fils. Elle ne savait pas que c’était l’intention de Dieu que Samuel soit élevé par Eli et grandisse dans la maison du Seigneur, pour qu’il puisse devenir le remplaçant d’Eli. Ce n’est que quand nous regardons en arrière que nous voyons comment Dieu utilisa la souffrance d’Anne pour son bien, et pour Sa gloire.

Les fils d’Eli étaient excessivement corrompus. Ils refusèrent d’attendre et pour manter le bœuf bouilli qui leur appartenait, et au lieu de ça, ils prirent de force la viande avant qu’elle ne soit cuite, avant même que la graisse ne soit offerte 0 Dieu. Notre auteur résume tout ça quand il nous dit qu’ils

« 17 … ils profanaient les offrandes faites à l'Eternel. » (2:17)

Non seulement ils péchèrent en ce qui concerne les offrandes, ils péchèrent aussi en ayant des relations sexuelles avec les jeunes femmes qui travaillaient à l’entrée de la Tente de la Rencontre (2:22). Samuel réprimanda verbalement ses fils, mais il ne suivit jamais ses réprimandes avec des actions. À la fin, Samuel aurait dû les congédier, et par la loi ils auraient dû être lapidés (Deutéronome 21:18-21).

Les parents aujourd’hui feraient bien de considérer la bêtise d’Eli élevant ses fils. Il y a une période quand de simples mots ne sont pas suffisants, et quand des actions plus agressives sont requises. Cela ne justifie certainement pas l’abus. Notre génération est caractérisée par des enfants qui ne connaissent pas le sens du mot « Non », et qui sont convaincus que s’ils désobéissent, leurs parents hausseront simplement les épaules et renonceront. Ce fut le problème d’Eli: un petit mot et pas d’actions.

La Parole de Dieu était rare à cette période (3:1), alors Eli aurait dû être dûment impressionné quand un « homme de Dieu » lui rendit visite (2:27). Ce prophète rappela à Eli comment Dieu avait nommé sa famille pour servir pour toujours comme Ses prêtres (2:28,30). Cela viendrait à une fin soudaine, en raison de leurs péchés. Il est important de voir que Dieu tint Eli responsable comme complice:

« 29 Pourquoi donc méprisez-vous les sacrifices et les offrandes qui me sont destinés et que j'ai ordonné d'offrir dans ma demeure? Pourquoi honores-tu tes fils plus que moi en vous engraissant des meilleurs morceaux des sacrifices que mon peuple Israël vient m'offrir?» » (1 Samuel 2:29)

L’homme de Dieu dit clairement qu’Eli récolta les fruits de la conduite pécheresse de ses fils. Nous savons qu’il était un homme très gros (4:18), et Dieu l’informa que lui et ses fils « s’étaient engraissés » en mangeant la viande qu’ils dévorèrent. Eli sut ce qu’il avait mangé. Il savait comment cette viande était cuite, et comment elle était obtenue. Néanmoins, il l’a mangea avec ses fils. Pas étonnant qu’il ne fit rien d’autre que de les réprimander. Il profitait des fruits des péchés de ses fils. L’heure du jugement d’Eli et de ses fils arriva. Dieu détruirait la maison d’Eli, et ses fils mourraient le même jour et Dieu élèverait un autre pour prendre la place d’Eli (2:33-35).

C’est à ce point là que nous sommes informés que des révélations (comme celle donnée par l’homme de Dieu dans le chapitre 2) étaient extrêmement rares (3:1). Soudainement, dans ces jours sombres, Dieu commença à nouveau à parler – à, et par, le jeune Samuel. Nous connaissons tous l’histoire. Nous connaissons tous l’histoire de comment Dieu appela Samuel trois fois dans la nuit. Dieu confirma les paroles du prophète d’avant concernant Eli et ses fils (3:11-14). Encouragé par Eli à être complètement honnête, Samuel dit à Eli tout ce que Dieu lui a révélé. La réponse d’Eli n’est pas vraiment très encourageante:

« 18 Alors Samuel lui rapporta toutes les paroles de l'Eternel sans rien lui cacher. Eli déclara:
   ---C'est l'Eternel. Qu'il fasse ce qu'il jugera bon! » (1 Samuel 3:18)

Il y a une sorte de fatalisme dans les paroles d’Eli que je trouve troublante. Moïse serait intervenu, je crois, et n’aurait par renoncé avant que Dieu soit accorde sa pétition ou la dénie fortement. Eli semble juste accepter passivement le verdict de Dieu, sans aucune repentance, et sans prendre aucune action corrective.

Au moins, Eli reconnaît que les paroles de Samuel étaient une révélation divine. L’auteur nous informe que ce ne fut pas une prophétie isolée de la part de Samuel ; c’était la première de beaucoup d’autres prophéties. Samuel fut reconnu être un prophète, et pour de bonnes raison, car Dieu ne permit à aucune de ses prophéties dites d’échouer. Même avant la mort d’Eli, tout Israël en était arrivé à reconnaître que Samuel était un prophète, par lequel Dieu parlait.

Les chapitres 3-7 décrivent les derniers épisodes de la période des Juges. Ces chapitres tournent autour de deux termes liés: (a) le coffre de l’alliance, sa perte et sa récupération ; et (b) le conflit continuel d’Israël avec les Philistins. Quand les Israélites déclarèrent la guerre avec les Philistins, ils souffrirent une défaite humiliante, et la perte de 4 000 hommes (3:1-2). Les anciens étaient troublés à propos de pourquoi Dieu leur permettait de souffrir cette défaite. Ils étaient déterminés à retourner sur le champ de bataille, mais cette fois, avec le coffre de l’alliance. Cela garantirait surement la présence et la puissance de Dieu avec eux. Et cela sembla être vrai. Quand le coffre fut amené dans le camp des Israélites, les guerriers laissèrent échappés un grand cri qui put être entendu par les Philistins. Ils furent terrifiés et furent certains qu’ils souffriraient une défaite des mains des Israélites. Néanmoins, ils étaient déterminés à se battre – et à mourir – comme des hommes. À l’étonnement de tous, les Philistins gagnèrent la bataille. Ils tuèrent 30 000 guerriers d’infanterie, et aussi Hophni et Phinéas, les fils d’Eli (4:10-11), réalisant ainsi un aspect de la prophétie d’auparavant. Quand les mots de la tragédie arrivèrent à Eli, il tomba de sa chaise, se brisant son cou dans sa chute (4:18). En tout, Eli jugea Israël pendant 40 ans. Apprenant les nouvelles, la belle-fille d’Eli, la femme de Phinéas accoucha. L’enfant vécut, mais la femme mourut. Avant de mourir, elle nomma le bébé I-Kabod, voulant dire « la gloire nous a quitté ».

Le récit du bref séjour du coffre (sept mois – voir 6:1) dans le pays des Philistins est à la fois amusant et instructif. Le coffre de l’alliance était le symbole de la présence et puissance de Dieu. Quand les Philistins battirent les Israélites et capturèrent le coffre, ils conclurent faussement que leur dieu, Dagon, avait battu le Dieu d’Israël. Alors ils prirent le coffre comme trophée de guerre et le placèrent dans le temple de Dagon à Asdod (5:1-2). Tôt le lendemain, l’idole de Dagon était étendue parterre devant le coffre. Les Philistins la mirent debout, pour la découvrir à nouveau sur le sol devant le coffre le lendemain – mais cette fois avec sa tête et ses bras cassés. Manifestement, Dagon se prosternait devant le Dieu d’Israël, brisé et impuissant de se sauver.

Ce fut seulement le commencement des problèmes d’Asdod. Un fléau éclata dans la ville, provoquant des plaies et des tumeurs. Une infestation de rongeurs sembla aussi accompagner cette épidémie (voir 6:3-5). Le peuple de la ville suspecta que la présence du coffre était la source de leur affliction et alors ils renvoyèrent le coffre à la ville philistine de Gath, où le même fléau suivit. Le coffre fut alors envoyé à Ekron, mais le peuple de cette ville ne voulait pas subir les mêmes souffrances ; ils insistèrent que le coffre soit renvoyé à Israël, d’où il venait.

Il fut conclu que le coffre devait être retourné, et avec une offrande de réparation (cinq « images de tumeurs en or » et cinq « rats en or »). Il est des plus intéressant de voir la logique de ceux qui réalisèrent ce qui allait honorer le Dieu d’Israël:

« 5 Vous fabriquerez donc des effigies de vos tumeurs et des rats qui dévastent le pays, et vous les offrirez en hommage au Dieu d'Israël. Peut-être cessera-t-il de vous frapper sévèrement, vous, vos dieux et votre pays.

   6 Ne vous obstinez pas comme les Egyptiens et le pharaon. Rappelez-vous qu'après avoir été malmenés par ce Dieu, ils ont dû laisser partir les Israélites.» (1 Samuel 6:5-6, mon accentuation en gras)

Ces païens n’entendirent pas seulement parler à propos de l’exode des Israélites ; ils apprirent de celui-ci. Ils ne voulaient pas être comme Pharaon et les Egyptiens. Ils ne voulaient pas être détruits par la colère de Dieu. Si les Egyptiens durent être persuadés de libérer les Israélites « d’une façon dure (par les fléaux), les Philistins ne voulaient pas être si insensibles. Ils libéreraient le coffre et le renverraient, avec des cadeaux, tout comme les Egyptiens l’avaient fait avec les Israélites.

Ils voulaient aussi être sûrs que ces fléaux venaient de la main du Dieu d’Israël, et alors ils imaginèrent un plan très ingénieux. Ils placeraient le coffre sur un nouveau chariot et utiliseraient deux vaches pour le tirer. Ces vaches seraient séparées de leurs veaux, pour que leurs instincts naturels les guideraient vers le pays de Philistins (où leurs veaux seraient attachés, braillant pour leurs mères). Si ces deux vaches tiraient le chariot directement vers Israël, sans se retourner, alors les Philistins sauraient que tout cela aurait été le travail de Dieu. Les Philistins regardant stupéfaits, grandement soulagés de voir le coffre partant de leur pays, les vaches allèrent directement pour la ville israélite de Beth-Chémech.

Il y a certainement une leçon à être apprise du coffre. Les Israélites apprirent que le coffre n’était pas magique ; sa présence ne garantissait pas nécessairement la présence et puissance de Dieu, comme nous pouvons voir dans le chapitre 4. D’un autre coté, Dieu était lié de près avec le coffre, pour qu’Il puisse affaiblir les Philistins (et leur dieu). L’armée d’Israël, avec le coffre, était impuissante contre les Philistins sans la présence de Dieu. Le coffre de Dieu, sans l’armée Israélite, était puissant contre les philistins quand Dieu était présent. Dieu n’avait pas besoin des Israélites pour s’imposer sur les Philistins, mais les Israélites avaient surement besoin de Dieu pour l’emporter.

Quand le coffre retourna à Israël, les Israélites eurent aussi besoin d’être rappeler de la terreur du Seigneur. Le peuple stupidement regarda dans le coffre et ce jour, 50 070 moururent. Le peuple de Beth-Chémech posa une question très importante,

« ---Qui pourrait subsister devant l'Eternel, ce Dieu saint? » (6:20)

La réponse était, « Personne ». Dieu fournissait toujours une sorte de barrière de protection entre Sa présence sacrée et le peuple pécheur parmi lequel Il choisissait de vivre. Dans un esprit similaire à celui du peuple d’Asdod (5:6-7), le coffre devait maintenant passer devant le peuple de Qiryath-Yearim. Le fils d’Abinadab, Eléazar, fut chargé du travail de garder le coffre du Seigneur. Le coffre resta dans la maison d’Abinadab pendant 20 ans (7:2).

Le dernier incident des jours des Juges est enregistré dans 1 Samuel 7. C’est la meilleure conclusion pour la période des Juges. Les Israélites avaient très envie du Seigneur, et Samuel appela la nation à se repentir:

« 3 Alors Samuel dit à tous les Israélites:
   ---Si c'est de tout votre cœur que vous voulez revenir à l'Eternel, faites disparaître de chez vous les dieux étrangers et les idoles d'Astarté, et attachez-vous de tout votre cœur à l'Eternel et rendez-lui un culte à lui seul. Alors il vous délivrera des Philistins.

   4 Les Israélites firent disparaître de chez eux les Baals et les Astartés, et ils ne rendirent plus de culte qu'à l'Eternel. » (1 Samuel 7:3-4)

Samuel appela alors toute la nation à se rassembler à Mitspa, où il prierait pour eux. Le peuple jeûna et pria, pendant que Samuel les conduisait. Mizpah était situé à quelques kilomètres au nord de Jérusalem et dans une région élevée. Le nom « Mizpah » veut dire « tour de guet » ou « endroit de surveillance ». C’était un genre de vigie, sur la campagne environnante. Les Philistins apprirent que les Israélites étaient assemblés là, et semblèrent avoir pris cette réunion pour une manœuvre militaire. C’était, après tout, un endroit parfait pour se défendre d’une attaque. Les Philistins rassemblèrent leurs forces et marchèrent sur les Israélites, qui étaient en train de vénérer. Quand les Israélites réalisèrent que les Philistins les attaquaient, ils furent terrifiés. Ils n’avaient que peu d’armes, parce que les Philistins avaient confisqué toutes les armes de fer et tous les outils nécessaires pour faire des produits de fer:

« 19 A cette époque, il n'y avait pas de forgeron dans tout le pays d'Israël, car les Philistins avaient voulu empêcher que les Hébreux fabriquent des épées et des lances.

   20 Tous les Israélites devaient donc se rendre chez les Philistins pour faire affûter leurs socs de charrue, leurs pioches, leurs haches, leurs bêches

   21 lorsque leurs bêches, leurs pioches, leurs tridents et leur haches étaient émoussés, ainsi que pour redresser leurs aiguillons.

   22 C'est pourquoi, le jour de la bataille, les hommes qui étaient avec Saül et Jonathan n'avaient ni épée ni lance; seuls Saül et son fils Jonathan en possédaient. » (1 Samuel 13:19-22)

Les Israélites semblèrent être dans une situation terrible, quelque chose similaire aux Israélites quittant l’Egypte et se trouvant entre la Mer Rouge, les montagnes, et l’armée égyptienne. Puisque le peuple ne pouvait pas vraiment se batte, ils furent forcés d’implorer Dieu pour de l’aide (7:8-9). Dieu sauva les Israélites d’une façon des plus incroyables – Il utilisa la technique militaire avancée des Philistins contre eux. Leur avantage technique était leurs armes en fer – leurs épées et boucliers, et aussi leurs chariots bardés de fer (Josué 17:16,18 ; Juges 1:19 ; 4:3,13). Les Philistins s’approchaient des Israélites au sommet du terrain où ils se blottissaient les uns contre les autres. Ils levèrent leurs épées dans les airs, attendant pour leur commandant de crier « Chargez ! ». À ce moment, Dieu envoya une tempête électrique, et les plus puissantes armes du monde devinrent des éclairs. Les Philistins, parés de leurs armures à toute épreuve, tenant leurs épées à bout de bras debout dans leurs chariots bardés, étaient comme des aimants, attirant les éclairs sur eux-mêmes. Ce fut le commencement d’une grande victoire pour Israël, et une défaite terrible pour les Philistins (7:13). Et à cause de la façon dont les Philistins furent détruits, il était évident que tout était de la main de Dieu. Je penserais que les Philistins auraient rapidement jetés les armes et fuit, pour que les Israélites n’aient qu’à ramasser ces armes (une fois refroidies) et les poursuivre.

Dans le chapitre suivant de 1 Samuel, le peuple insistera à avoir un roi qui ira devant eux et combattra leurs batailles. Saül ne s’est pas prouvé être ce genre de leader militaire. Pourquoi les Israélites voudrait un roi comme Saül, quand ils pouvaient avoir un libérateur comme Dieu, qui par lui-même secourut Israël de ses ennemis ? L’échec de la période des Juges n’était pas l’échec de Dieu, mais celui de l’homme. Serait-il différent dans la monarchie, quand les rois règneraient ? Les chapitres suivants nous donneront certainement la réponse.

La Monarchie Commence (1 Samuel 8-15)

Même avant la mort d’Eli, tout le monde savait que Samuel était un prophète, par lequel Dieu parlait. Samuel était, en fait, le dernier (et le plus grand) juge d’Israël (1 Samuel 7, spécialement verset 7). Comme prophète, cela aurait aussi été son devoir de designer les deux premiers rois, Saül et David. Mais en faisant cela, Samuel aurait dû démissionné comme le juge d’Israël (ou libérateur).

Si nous vivions dans les derniers jours de Samuel, nous serions certainement inquiets pour l’avenir, comme les Israélites l’étaient:

« 1 Samuel, devenu vieux, confia à ses fils l'administration de la justice en Israël.

   2 L'aîné s'appelait Joël et le cadet Abiya. Ils s'établirent à Beer-Chéba pour y rendre la justice.

   3 Mais ils ne suivaient pas les traces de leur père: comme ils étaient corrompus par l'amour de l'argent, ils acceptaient des pots-de-vin et faussaient le droit. » (1 Samuel 8:1-3)

L’avenir ne se présentait pas particulièrement bien pour les fils de Samuel servant comme juges. Ils n’étaient pas du tout comme leur Père. On pourrait se demander pourquoi Samuel nommerait ses fils comme Juges. A-t-il pensé qu’ils continueraient à sa place après sa mort ? Etaient-ils déjà corrompus avant d’avoir été nommés Juges ou est-ce que leurs positions les avaient corrompus ? Est-ce que Samuel suivait les pas d’Eli, négligeant les péchés de ses propres fils ? Quelques soient les raisons de Samuel, le peuple n’était pas impatients d’avoir ses fils comme Juges. Même si quelques unes des inquiétudes du peuple étaient valides, la solution qu’elles nécessitaient ne faisait pas plaisir à Samuel ou à Dieu.

« 4 C'est pourquoi tous les responsables d'Israël se réunirent auprès de Samuel à Rama.

   5 Ils lui déclarèrent:
   ---Te voilà devenu âgé, et tes fils ne suivent pas tes traces; maintenant, établis sur nous un roi pour qu'il nous dirige comme cela se fait dans toutes les autres nations.

   6 Cette demande d'établir sur eux un roi pour les diriger déplut à Samuel et il pria l'Eternel.

   7 L'Eternel lui répondit:
   ---Ecoute ce peuple et accepte toutes leurs demandes. En effet, ce n'est pas toi qu'ils rejettent, c'est moi: ils ne veulent plus que je règne sur eux.

   8 Ils agissent à ton égard comme ils n'ont cessé d'agir envers moi depuis le jour où je les ai fait sortir d'Egypte jusqu'à aujourd'hui: ils m'ont abandonné pour rendre un culte à d'autres dieux. » (1 Samuel 8:4-8)

Cet incident est tellement pertinent à la vie d’Israël. Je l’ai vu arrivé de cette façon de nombreuses fois dans mon ministère. Les gens ont un certain mauvais cours d’actions qu’ils veulent poursuivre, et ils font toutes sortes d’excuses qui apparaissent les justifier. C’est, dans les mots du Livre de Proverbes, « un lion qui barre la route »151 - cette excuse fascinante pour faire ou ne pas faire ce qu’on désire. Le paresseux refuse d’aller en dehors de sa maison et refuse de travailler, parce qu’ « il y a un lion qui barre la route ». Si, effectivement, il y avait un lion qui barrait la route, une personne serait stupide de sortir de sa maison. Mais ce n’est souvent qu’une excuse.

Les Israélites se souviennent surement des paroles de destruction de Dieu dans la loi de Moïse:

« 14 ---Lorsque vous serez entrés dans le pays que l'Eternel vous donne, que vous en aurez pris possession et que vous y serez installés, il se peut que vous disiez: «Donnons-nous un roi comme toutes les nations qui nous entourent.»

   15 Vous établirez alors sur vous le roi que l'Eternel votre Dieu aura choisi; c'est l'un de vos compatriotes que vous prendrez pour régner sur vous; vous ne pourrez pas choisir un étranger pour roi.

   16 Ce roi ne devra pas avoir une importante cavalerie, et il ne renverra pas le peuple en Egypte pour s'y procurer des chevaux en grand nombre. Car l'Eternel vous a dit: «Vous ne retournerez plus par ce chemin-là.»

   17 Qu'il ne prenne pas un grand nombre de femmes, pour qu'il ne se corrompe pas. Qu'il n'amasse pas non plus de grandes quantités d'argent et d'or.

   18 Quand il accédera au trône, il écrira sur un livre pour son usage personnel, une copie de cette Loi que lui communiqueront les prêtres-lévites.

   19 Cette copie ne le quittera pas, il y lira tous les jours de sa vie afin qu'il apprenne à révérer l'Eternel son Dieu, en obéissant à toute cette Loi et en appliquant toutes ces ordonnances.

   20 Ainsi, il ne s'enorgueillira pas pour s'élever au-dessus de ses compatriotes et il ne déviera de la Loi ni dans un sens ni dans l'autre. De la sorte, il s'assurera, ainsi qu'à ses descendants, un long règne sur le trône d'Israël. » (Deutéronome 17:14-20)

Les Israélites des jours de Samuel lirent ce texte comme une permission pour ce qu’ils voulaient faire. Ils le virent comme le seau d’approbation de Dieu sur leur plan d’avoir un roi. Leur attitude était très similaire à celle des Juifs des jours de Jésus en ce qui concerne le divorce:

« 3 Des pharisiens s'approchèrent de lui avec l'intention de lui tendre un piège. Ils lui demandèrent:
   ---Un homme a-t-il le droit de divorcer d'avec sa femme pour une raison quelconque?

   4 Il leur répondit:
   ---N'avez-vous pas lu dans les Ecritures qu'au commencement le Créateur a créé l'être humain homme et femme

   5 et qu'il a déclaré: C'est pourquoi l'homme quittera son père et sa mère pour s'attacher à sa femme, et les deux ne feront plus qu'un?

   6 Ainsi, ils ne sont plus deux; ils font un. Que l'homme ne sépare donc pas ce que Dieu a uni.

   7 Mais les pharisiens objectèrent:
   ---Pourquoi alors Moïse a-t-il commandé à l'homme de remettre à sa femme un certificat de divorce quand il divorce d'avec elle?

   8 Il leur répondit:
   ---C'est à cause de la dureté de votre cœur que Moïse vous a permis de divorcer d'avec vos épouses. Mais, au commencement, il n'en était pas ainsi.

   9 Aussi, je vous déclare que celui qui divorce et se remarie, commet un adultère --- sauf en cas d'immoralité sexuelle.

   10 Les disciples lui dirent:
   ---Si telle est la situation de l'homme par rapport à la femme, il n'est pas intéressant pour lui de se marier.

   11 Il leur répondit:
   ---Tous les hommes ne sont pas capables d'accepter cet enseignement. Cela n'est possible qu'à ceux qui en ont reçu le don.

   12 En effet, il y a ceux qui ne peuvent pas se marier parce que, de naissance, ils en sont incapables; d'autres le sont devenus par une intervention humaine. D'autres, enfin, renoncent à se marier à cause du royaume des cieux. Que celui qui est capable d'accepter cet enseignement, l'accepte! » (Matthieu 19:3-12)

Le divorce était une provision de Dieu pour les homes, dû à leur dureté de cœur. Ce n’était pas plaisant à Dieu. Notre Seigneur le dit clairement qu’il serait mieux pour une personne de ne pas se marier du tout, que de se marier avec une possibilité de divorcer. L’idéal pour Dieu – qui était agréable à Sa vue – était pour un homme de marier une femme pour toute sa vie.

Il était de même avec Israël ayant un roi. Dans Deutéronome 17, Dieu donne de claires instructions aux Israélites en ce qui concerne qui devrait être leur roi (uniquement un Israélite) et comment il devrait être sélectionné (le choix de Dieu). Il établit aussi des règles regardant la conduite et les practices du roi. Mais ayant noté ça, ne manquons pas de sentir la note de désapprobation dans Deutéronome 17:14:

« 14 ---Lorsque vous serez entrés dans le pays que l'Eternel vous donne, que vous en aurez pris possession et que vous y serez installés, il se peut que vous disiez: «Donnons-nous un roi comme toutes les nations qui nous entourent.» » (mon accentuation en gras)

Ces mots de Moïse étaient à la fois un avertissement et une prophétie. Comparez les mots de Moïse avec les mots du peuple à Samuel dans 1 Samuel 8:5:

« 5 Ils lui déclarèrent:
   ---Te voilà devenu âgé, et tes fils ne suivent pas tes traces; maintenant, établis sur nous un roi pour qu'il nous dirige comme cela se fait dans toutes les autres nations. » (mon accentuation en gras)

Dans les deux textes, c’est le peuple qui demande un roi, tout comme dans les deux, leur motivation était d’être « comme les autres nations ». Si les Israélites ne pouvaient pas imiter les autres nations par l’immoralité et l’idolâtrie, ils les imiteraient en ayant un roi. Ce que les Israélites manquèrent de comprendre était que leur désir d’avoir un roi était de l’idolâtrie:

« 7 L'Eternel lui répondit:
   ---Ecoute ce peuple et accepte toutes leurs demandes. En effet, ce n'est pas toi qu'ils rejettent, c'est moi: ils ne veulent plus que je règne sur eux.

   8 Ils agissent à ton égard comme ils n'ont cessé d'agir envers moi depuis le jour où je les ai fait sortir d'Egypte jusqu'à aujourd'hui: ils m'ont abandonné pour rendre un culte à d'autres dieux. » (1 Samuel 8:7-8, mon accentuation en gras)

Ici, nous voyons que les idoles ne sont pas toujours des objets de métal ou pierre, des mots, faits par les hommes ; des idoles peuvent aussi être des hommes. La raison pour laquelle les hommes font des idoles est parce qu’ils veulent voir qui ou quoi ils vénèrent. Les idoles assurent le fidèle de succès, que ce soit victoire à la guerre, abondante reproduction, ou pluie pour ses récoltes. Un roi fort et puissant pourrait sembler être la clef du succès. Et souvenez-vous, certains rois étaient actuellement vénérés comme des dieux (voir Daniel 3 ; Actes 12:20-24). Puisque Dieu est invisible, il ne peut y avoir de représentation de Lui sous la forme d’une idole (Deutéronome 4:15-19). Les Israélites voulaient un leader qu’ils pouvaient voir, quelqu’un en qui ils pouvaient mettre toute leur confiance pour les sauver. Ils voulaient un roi, comme les autres nations.

Les idoles pouvaient donc être des hommes, et ce n’était pas simplement les rois qui pouvaient être vénérés (soit littéralement ou raisonnablement). Beaucoup des jeunes de notre pays pratiquement vénèrent certaines célébrités, spécialement des musiciens, acteurs, et actrices. Certains Chrétiens idéalisent des dirigeants chrétiens proéminents alors que d’autres (malheureusement pouvant être Chrétiens) suivent aveuglement des chefs persuasifs de cultes. Soyons attentifs de montrer le respect à ceux d’autorité, mais prenons garde à ne pas devenir des adorateurs d’hommes. N’espérez jamais des hommes ce que Dieu seul peut faire ; ne donnez jamais aux hommes ce que Dieu mérite.

Samuel répondit aux Israélites ce que Dieu lui avait dit. À ce point là, il ne les accuse pas de refuser Dieu, bien qu’ils l’aient fait. Au lieu de ça, il fait remarquer les droits très nombreux des Rois:

« 10 Samuel rapporta au peuple qui lui demandait un roi toutes les paroles de l'Eternel.

  11 Il leur dit:
   ---Voilà quels seront les droits du roi qui régnera sur vous. Il prendra vos fils pour en faire ses soldats et les affectera au service de ses chars de guerre et de ses chevaux, et ils auront à courir devant son char personnel.

  12 Il choisira certains parmi eux pour en faire des officiers commandant de «milliers» et de «cinquantaines ». Il en prendra d'autres pour labourer ses champs et récolter ses moissons, ou pour fabriquer ses armes et l'équipement de ses chars.

  13 Il prendra vos filles comme parfumeuses, cuisinières et boulangères.

  14 Il prendra vos champs, vos vignes et vos meilleurs oliviers pour les donner à ses hauts fonctionnaires.

  15 Il prélèvera une redevance de dix pour cent sur les produits de vos champs et de vos vignes et il la distribuera à ses courtisans et à ses hauts fonctionnaires.

  16 Il prendra vos serviteurs, vos servantes et vos jeunes gens vigoureux, et même vos ânes, et il s'en servira pour ses propres travaux.

  17 Il prélèvera une bête sur dix dans vos troupeaux et vous deviendrez ses serviteurs.

  18 Ce jour-là, vous vous lamenterez à cause du roi que vous aurez choisi, mais l'Eternel ne vous écoutera pas. » (1 Samuel 8:10-18)

Les Israélites étaient déjà requis de payer la dîme et de faire des offrandes pour prendre soin des pauvres et pour le soutien de ceux qui servent comme les prêtres. Ayant un roi doublerait pratiquement leurs dépenses. Avoir un roi ne coûterait pas seulement plus d’argent, cela limiterait aussi leur liberté. Le roi qu’ils désiraient tellement prendrait leur propriété de force et l’utiliserait, ou la donnerait à ses amis, comme il prendrait leurs enfants comme serviteurs. Ce que les Israélites demandaient non seulement offensait Dieu, cela n’était même pas dans le meilleur de leurs intérêts. Alors que les pécheurs pensaient qu’ils amélioraient leurs propres intérêts, en fait ils faisaient le contraire. Le péché est contre-productif et autodestructif. C’est sans doute une bonne chose à se rappeler quand nous cherchons à dissuader un autre de ses péchés. Laissons le pécheur comprendre que le prix du péché est élevé, et le tour ne dure pas longtemps (et souvent effrayant).

Je devrais signaler une chose qui est très importante concernant les mots d’avertissement de Samuel à propos du coût élevé des rois. Samuel n’avertit pas simplement les Israélites que leur premier roi (dont nous savons sera Saül) ne vaudra pas le coût. Dieu le dit clairement que chaque roi – même le meilleur – leur coûtera un prix très élevé. Quelqu’un n’aurait qu’à demander à Urie à ce propos, car le Roi David fut capable de marier sa femme, au coût de la vie de son fidèle guerrier. Plus tard, Salomon opprimerait le peuple d’Israël avec ses taxes (voir 1 Rois 4:7-22-25; 9:1; 12:4).

Je vais continuer pour dire quelque chose qui sera reconnu comme assez politique, mais qui a besoin d’être dit parce que je crois que c’est vrai. Bien trop de gens aujourd’hui regarde le gouvernement comme s’il était leur dieu. Ils regardent vers le gouvernement pour avoir prospérité et paix. Ils regardent vers le gouvernement pour « la vie en rose », et c’est pourquoi, pour quelques-uns, le plus grand le gouvernement devient et le mieux c’est. Les paroles de Samuel ne s’appliquent pas seulement aux Rois, mais à tout gouvernement, et spécialement, « les grands gouvernements ». Il est intéressant qu’inscrit sur les billets notre gouvernement imprime les mots « Nous Faisons Confiance en Dieu ». Je me demande combien de gens aujourd’hui font plus confiance en leur gouvernement qu’en Dieu ? Peut-être devrions-nous lire notre argent et prendre ces mots à cœur. Nous devrions certainement prendre plus sérieusement à cœur les mots de Samuel.

Le peuple ne sera pas dissuadé. Ils insistèrent à avoir leur roi. Alors, Dieu dit à Samuel de renvoyer le peuple avec l’assurance qu’Il leur donnerait le roi qu’ils demandaient. Comme le peuple retournait à leurs maisons, ils ne savaient pas qui serait leur roi, alors tous les yeux se posaient sur Samuel pour voir qui il nommerait comme roi.

Les chapitres 9 et 10 décrivent le processus par lequel Dieu révéla l’identité du roi d’Israël. Dans 9:1-10:16, l’auteur lie la façon dont Dieu en privé révéla à Saül qu’il deviendrait le roi d’Israël. Le chapitre 10:17-27 enregistre le processus par lequel Dieu identifia publiquement Saül aux Israélites comme leur roi.

Saül était juste le genre d’homme que les Israélites cherchaient. Il venait d’une famille proéminente, il était un homme séduisant, et il était le Goliath d’Israël:

« 1 Un homme de la tribu de Benjamin nommé Qich avait pour ancêtres en ligne ascendante: Abiel, Tseror, Bekorath et Aphiah, qui descendaient d'un Benjaminite. Qich était un vaillant guerrier.

  2 Il avait un fils nommé Saül. C'était un beau jeune homme, aucun Israélite n'avait plus belle allure que lui; il les dépassait tous de la tête. » (1 Samuel 9:1-2)

Tout a commencé avec quelques ânesses fugueuses que Qich avait envoyé son fils Saül chercher. Saül, accompagné par un des ses jeunes serviteurs, les poursuivit pendant plusieurs jours. Quand ils n’eurent presque plus de nourriture, Saül était prêt à abandonner et à retourner à la maison. Son servant reconnut qu’ils arrivaient à la ville où un prophète vivait. (Il sembla que Saül ne le savait pas, ce qui donne un indice de son état spirituel). Le serviteur croyait que le prophète (ou le voyant) pourrait leur dire où trouver leurs ânesses perdues et fut disposé à fournir l’argent pour le payer pour ses services. Saül suivit le conseil du serviteur, et ils arrivèrent à la ville et demandèrent où le prophète habitait. (Dieu avait déjà révélé à Samuel que le roi d’Israël arriverait, et qu’il serait un Benjaminite – voir 9:15-16).

Samuel fit de Saül son invité d’honneur, et plus tard il l’oignit en privé comme roi d’Israël. Saül donna à Samuel plusieurs signes pour le convaincre que c’était la volonté de Dieu. Samuel dit à Saül que les ânesses avaient déjà été trouvées – avant même que Saül eut l’opportunité de mentionner qu’ils les cherchaient. Samuel dit à Saül qu’il rencontrerait deux hommes, qui lui assureraient que les ânesses de son père avaient été trouvées, et que son père était inquiet à propos de lui (10:2). À propos, cela était à peu près ce que Saül avait dit auparavant dans 9:5. Saül rencontrerait alors trois hommes qui allaient à Béthel. Un homme porterait trois chevreaux, un autre aurait trois pains, et le troisième un pot de vin. Samuel dit à Saül que l’homme avec le pain lui donnerait deux pains. Il dit aussi à Saül qu’il rencontrerait un groupe de prophètes, et qu’il prophétiserait. Toutes ces choses arrivèrent, comme Samuel l’avait indiqué.

Samuel donna aussi à Saül une instruction très spécifique:

« 8 Tu me précéderas à Guilgal où je te rejoindrai pour offrir des holocaustes et des sacrifices de communion. Tu m'attendras sept jours jusqu'à ce que je vienne te retrouver. Alors je te ferai savoir ce que tu dois faire. » (1 Samuel 10:8)

Malheureusement, cette instruction ne serait pas obéie, comme nous le verrons bientôt. Quand Saül arriva à la maison, son oncle (Abner ? – voir 14:50) était des plus intéressé par ce que Samuel avait à dire à son neveu, une fois qu’il apprit que Saül avait parlé au prophète. Pas étonnant. Tout le monde savait que Samuel oindrait un nouveau roi. Tous ceux qui traiteraient avec Samuel seraient considérés comme des candidats possibles pour devenir roi.

Maintenant, Samuel appela le pays à s’assembler devant le Seigneur à Mitspa (souvenez-vous la dernière fois cela arriva dans le chapitre 7). Samuel commença avec un mot de réprimande:

« 18 Il dit aux Israélites:
   ---Voici ce que déclare l'Eternel, le Dieu d'Israël: «Je vous ai moi-même fait sortir d'Egypte et je vous ai libérés des Egyptiens et de tous les royaumes qui vous opprimaient.

   19 Et vous, aujourd'hui, vous avez rejeté votre Dieu, qui pourtant vous a délivrés de tous vos maux et de toutes vos détresses. Vous lui avez dit: Il faut que tu établisses un roi sur nous. Eh bien, puisqu'il en est ainsi, présentez-vous devant l'Eternel, par tribus et par familles.» » (1 Samuel 10:18-19)

Le cas de Samuel contre Israël en est un simple. Depuis les jours de leur exode d’Egypte, Dieu avait libéré Son peuple des mains de leurs ennemis. Dieu fit tout cela sans un roi. Maintenant Samuel réprimanda le peuple pour rejeter Dieu comme leur Roi et Libérateur. Maintenant, ils demandaient un roi à la place de Dieu. Les mots de réprimande de Samuel précèdent la nomination de Saül comme leur roi. Bien sur, Samuel savait qui ce roi serait, mais il ne nomme pas simplement Saül. Samuel procéda par élimination de tirer au sort. Premièrement, la tribu de Benjamin fut tirée au sort, puis la famille de Matri, puis finalement Saül. Saül ne fut pas trouvé, alors ils demandèrent à Dieu. Il les informa que Saül se cachait parmi les bagages. Il n’agissait certainement pas comme un roi. Certains prirent rapidement note de cela, questionnant comment un tel individu pourrait sauver Israël (10:27). D’autres remarquèrent qu’il était bien plus grand que les autres Israélites (10:23 ; voir 9:2). Ceux qui acceptèrent Saül comme leur roi lui apportèrent des cadeaux. Ceux qui le haïssaient n’amenèrent rien.

Je dois dire, un peu entre parenthèse, que j’ai remarqué ce sujet de cadeaux durant notre offrande dimanche dernier. J’ai attiré l’attention sur la façon dont les mages de l’est apportèrent des cadeaux à Celui qu’ils pensaient était le « Roi des Juifs » (Matthieu 2:1-12). Si nous reconnaissons quelqu’un comme roi en lui faisant des cadeaux, que cela veut-il dire quand nous venons à l’église semaine après semaine, et ne donnant rien à Celui que nous professons être le Roi des rois ? C’est tristement vrai que pratiquement dans toutes les églises, il y a un nombre important de gens qui ne donnent jamais. Ce texte devrait les faire réfléchir. Et de peur que ceux d’entre nous qui donnons ne nous sentions trop fiers de nous-mêmes, je devrais aussi dire que la taille du don dit aussi quelque chose sur combien notre Roi représente pour nous.

C’est dans les chapitres 11 et 12 que le droit de Saül de régner est établi d’une façon très publique. Est-il étrange que certains se demandèrent comment celui-ci, qui se cacha parmi les bagages, pourrait diriger les Israélites pendant une guerre ? Dieu montra comment dans le chapitre 11, quand Nahach l’Ammonite marcha contre la ville de Yabéch en Galaad. Les habitants de cette ville savaient qu’ils étaient surpassés en nombres et étaient disposés à capituler conformément aux termes ordinaires. Nahach ne voulait pas pour ce peuple de simplement se soumettre ; il voulait les humilier complètement. S’ils voulaient se soumettre à lui, ils devraient lui permettre de leur crever leurs yeux droits. Les dirigeants de la ville lui demandèrent une semaine pour lui donner leur décision, pendant laquelle ils cherchèrent à apprendre si un de leurs frères viendraient à leur rescousse. (Il semblerait que Nahach était assez confiant qu’ils ne seraient pas secourus, ce qui voulait dire qu’il avait aussi l’avantage avec les autres villes, puisque les Israélites démontreraient ainsi leur manque d’unité).

Quand Saül entendit le dilemme dans lequel le peuple de Yabéch en Galaad était, l’Esprit de Dieu descendit sur lui puissamment. Il prit ses bœufs et les sacrifia, les découpant en morceaux, qu’il envoya dans tout le pays (comme la façon dont le Lévite envoya les morceaux de sa femme dans le pays dans Juges 19:29-30). Il menaça de tuer tout homme qui ne viendrait pas et joindrait leurs frères pour la bataille contre les Ammonites. Cela motiva la nation entière à s’assembler pour la guerre: 300 000 Israélites et 30 000 hommes de Juda (11:8). Saül et cette armée battirent les Ammonites et secoururent la ville. Maintenant, il était clair à tous que Saül était capable de diriger la nation en guerre contre leurs ennemis. Certains voulaient même punir ceux qui avaient questionné le droit de régner de Saül, mais Saül leur interdit de le faire (11:12-13).

Le peuple était débordant de joie, alors Samuel leur ordonna de se rassembler à Guilgal, où ils devaient établir la royauté (11:13). Saül fut alors proclamé roi à l’unanimité, et des offrandes de communion furent offertes. Ce fut un temps de célébration, mais ce fut aussi le temps pour Samuel de dire clairement à Israël combien sérieux leur péché était en demandant un roi. Samuel commença en défiant n’importe qui d’amener une accusation contre lui. Tous reconnurent qu’il avait traité correctement le peuple (12:1-5). Cela donna à Samuel l’autorité morale dont il avait besoin pour réprimander les Israélites pour leurs péchés.

« 6 Samuel dit encore au peuple:
   ---C'est l'Eternel qui a établi Moïse et Aaron et qui a fait sortir nos ancêtres d'Egypte.

   7 Maintenant donc, comparaissez en sa présence et je vais vous citer tous les actes puissants qu'il a accomplis pour vous sauver, vous et vos ancêtres.

   8 Après que Jacob fut venu en Egypte, lorsque vos ancêtres ont imploré l'Eternel, il a envoyé Moïse et Aaron qui les ont fait sortir d'Egypte pour les établir dans le pays où nous sommes.

   9 Mais eux, ils ont délaissé l'Eternel leur Dieu. C'est pourquoi il les a livrés à Sisera, le chef de l'armée de Hatsor, aux Philistins et au roi de Moab qui leur ont fait la guerre.

   10 Alors ils ont de nouveau imploré l'Eternel en confessant: «Nous avons péché, car nous avons abandonné l'Eternel et nous avons adoré les dieux Baals et Astartés. Mais à présent, délivre-nous de nos ennemis et nous te servirons.»

   11 Alors l'Eternel a envoyé Gédéon, Baraq et Jephté, et finalement moi, Samuel. Il vous a délivrés de tous les ennemis qui vous entourent et vous avez habité le pays en sécurité.

   12 Lorsque152 vous avez vu Nahach le roi des Ammonites venir vous attaquer, vous êtes venus me dire: «Nous ne voulons pas continuer ainsi; il faut qu'un roi règne sur nous.» Comme si l'Eternel n'était pas votre roi!

   13 Eh bien, maintenant, voici votre roi selon ce que vous avez choisi et demandé. C'est l'Eternel qui l'a établi sur vous.

   14 Si désormais vous révérez l'Eternel, si vous lui rendez votre culte, si vous lui obéissez sans vous révolter contre ses paroles et si vous et votre roi qui règne sur vous, vous suivez l'Eternel votre Dieu, tout ira bien.

   15 Mais si vous n'écoutez pas l'Eternel et si vous êtes rebelles à ses commandements, l'Eternel vous frappera sévèrement, ainsi que votre roi, comme il a frappé sévèrement vos ancêtres. » (1 Samuel 12:6-15)

Voici la réprimande la plus complète que Samuel donna à la demande des Israélites d’avoir un roi. Il cita instance après instance la protection et les soins que Dieu avait pour Son peuple, en étant leur roi. Il accentua que leurs plus récentes difficultés avec des pays étrangers étaient le résultat de leurs péchés, et qu’en réponse à leurs pétitions pour recevoir de l’aide, Dieu leur envoya un libérateur. Samuel sembla stresser le fait que quelque chose « craqua » (nous pourrions dire) quand Nahach et les Ammonites attaquèrent Israël. D’une façon ou d’une autre il les terrorisa, pour qu’ils aient l’impression d’avoir besoin d’un roi. Bon maintenant, Israël avait leur roi, mais le peuple de Dieu devait savoir que leurs demandes pour un roi constituaient un péché encore plus sérieux. C’était un échec de ne pas croire en Dieu. C’était croire en l’homme, plutôt qu’en Dieu.

Pourtant, Dieu était disposé à accorder leur requête et à leur donner un roi, et à continuer à honorer Son alliance avec eux. Cependant, le changement à une monarchie ne mit pas de coté l’Alliance Mosaïque et ses exigences. Dieu continuerait à bénir Israël, si ils et le roi obéissaient Ses commandements. S’ils ou leur roi se rebellaient contre Ses commandements, alors Dieu amènerait le jugement sur eux.

Pour souligner la magnitude des péchés d’Israël et les mots de réprimande que Samuel avait juste dit, Dieu envoya une tempête qui détruisit une partie des récoltes et attira l’attention d’Israël. Le peuple avait peur d’à la fois Samuel et du Seigneur:

« 19 Tous supplièrent Samuel:
   ---Intercède pour tes serviteurs auprès de l'Eternel ton Dieu afin que nous ne mourions pas, car nous avons ajouté à toutes nos fautes celle de demander un roi pour nous. » (1 Samuel 12:19)

La réponse de Samuel fit réfléchir et était réconfortante:

« 20 Samuel rassura le peuple:
   ---Soyez sans crainte! Oui, vous êtes bien coupables de ce mal, mais ne vous détournez pas de l'Eternel et servez-le de tout votre cœur.

   21 Ne vous éloignez pas de lui, sinon vous courrez après des choses de néant qui sont inutiles et incapables de secourir, parce qu'elles ne sont que néant.

   22 Il a plu à l'Eternel de faire de vous son peuple. C'est pourquoi il ne vous abandonnera pas, car il tient à faire honneur à son grand nom.

   23 En ce qui me concerne, que l'Eternel me garde de commettre une faute contre lui en cessant de prier pour vous. Je continuerai à vous enseigner le bon et droit chemin.

   24 De votre côté, révérez l'Eternel et servez-le sincèrement de tout votre cœur en considérant les grandes choses qu'il a accomplies pour vous.

   25 Mais si vous faites le mal, vous serez détruits, vous et votre roi. » (1 Samuel 12:20-25)

Je suis spécialement impressionné par les mots du verset 21. Ces mots ressemblent beaucoup à un avertissement contre l’idolâtrie, n’est-ce pas ? En fait, la version NIV (New International Version) traduit le verset 21 de cette façon:

« Ne vous tournez pas vers des idoles inutiles. Elles ne vous aideront pas, ni ne vous secourront pas, parce qu’elles sont inutiles. » (mon accentuation en gras)

Bien que ce mot, traduit « choses de néant » soit un des mots les plus fascinant, digne de plus d’étude, il sera suffisant pour cette étude d’indiquer simplement que « les rois » ne sont que des « choses de néant » et des « idoles inutiles » quand nous nous tournons vers eux pour nous sauver, plutôt que vers Dieu. ce n’est pas la noblesse et la puissance des rois humains, mais la puissance, la souveraineté, et l’amour loyal (l’alliance) de Dieu qui nous assure de notre sécurité terrestre et céleste.

« 9 Ceux qui fabriquent des idoles ne sont tous que néant,
      et leurs plus belles œuvres ne sont d'aucun profit.
      Leurs témoins ne voient rien
      et ils ne savent rien;
      ils rougiront de honte. » (Esaïe 44:9)

« 22 Or, pour celui qui siège sur son trône au-dessus du cercle de la terre,
      ses habitants sont pareils à des sauterelles.
      Il a tendu le ciel comme une toile
      et il l'a déployé comme une tente
      pour l'habiter.

   23 Il réduit à néant les princes de la terre
      et fait évanouir les dirigeants du monde. » (Esaïe 40:22-23)

Bien que le règne de Saül ait juste commencé, et il règnera sur Israël pendant 40 ans, les chapitres suivants (13-15) décrivent ses défauts du caractère de Saül (chapitres 13 et 14) et décrivent les deux échecs qui lui coûtent une dynastie éternelle et même son propre royaume (chapitres 13:1-14 et 15).

Commençons avec les défauts du caractère de Saül. Notre première claire indication du manque de courage de Saül vient au moment de son introduction publique comme roi d’Israël, quand il fut trouvé se cachant parmi les bagages (10:22). Dans les premiers versets du chapitre 13, je crois que nous voyons un autre signe d’avertissement:

«3 Jonathan abattit la stèle dressée par les Philistins à Guéba. Alors se répandit rapidement parmi les Philistins la nouvelle que les Hébreux s'étaient révoltés. Saül fit annoncer la chose au son du cor dans tout le pays:
   ---Que les Hébreux le sachent! » (1 Samuel 13:3, mon accentuation en gras)

Comme nous pouvons le voir, Israël est toujours occupé par les philistins. Guéba est une ville sur le territoire de Benjamin, juste quelques kilomètres au nord de Jérusalem. Les Philistins maintenaient une garnison là, un symbole de leur domination et de leur contrôle sur Israël, et un moyen d’application.153 Saül fut couronné roi sur Israël pour « combattre leurs batailles » (8:20). Alors, pourquoi hésita-t-il à attaquer les Philistins, qui maintenaient des garnisons en Israël ? J’ai bien peur que c’était dû au manque de courage et de foi. Saül maintenait un genre de « squelette d’armée », qui n’aurait pas été assez grande pour provoquer les Philistins. Ils semblaient être un genre de force de police pour le pays, et plus pour protéger le pays, et plus que tout, pour protéger Saül. Contrairement à son père, Jonathan n’était pas intimidés par les Philistins. Il attaqua la garnison philistine de Guéba, et seulement après cela, Saül déclara la guerre. Quoi d’autre aurait-il pu faire ? L’armée de Saül avait attaqué les Philistins, et il savait qu’ils étaient sûrs de riposter en force, comme ils le firent:

« 5 Les Philistins mobilisèrent leurs troupes pour combattre Israël. Ils avaient trois mille chars de guerre et six mille soldats sur char, ainsi qu'une multitude de fantassins, nombreux comme les grains de sable des mers. Ils allèrent prendre position à Mikmach à l'est de Beth-Aven.

   6 Les hommes d'Israël virent qu'ils étaient dans une situation extrêmement critique, car ils étaient serrés de près par l'ennemi. Ils se cachèrent dans les grottes, les buissons, les cavernes, les souterrains et les citernes.

   7 Certains Hébreux franchirent le Jourdain et se réfugièrent dans le territoire de Gad et de Galaad. Pendant ce temps, Saül était toujours à Guilgal, au milieu de son armée qui tremblait d'épouvante. » (1 Samuel 13:5-7)

Les Israélites ne semblèrent pas être aussi nombreux qu’avant, à Yabéch Galaad. Saül ne sembla pas disposé ou capable de prendre l’offensive. En résultat, ses soldats étaient terrifiés et se cachaient où ils pouvaient. On ne peut pas s’empêcher de sentir que la peur des soldats de Saül n’était que la réflexion des peurs de Saül. Ce serait Jonathan, avec son serviteur, qui attaquerait la garnison philistine au col de Mikmach (13:23), avec Saül agissant seulement quand il apparut que les philistines étaient prêts à battre en retraite. Saül ne chercha pas le conseil divin, comme il aurait dû (14:3,16-19), ne le faisant que quand il était sous la contrainte, ou quand il était poussé à le faire (14:36-37). Quand stupidement Saül ordonna à ses hommes de prêter serment de jeûner (un serment qui rappelle celui de Jephté dans Juges 11), Jonathan ne le savait pas et involontairement le viola (1 Samuel 14:24-30). Jonathan pouvait facilement voir la folie de cette décision. Et quand il fut apprit que Jonathan était celui qui avait violé le serment de Saül, son père allait le faire mettre à mort. Ce fut seulement le peuple qui sauva Jonathan de la mort. Saül était un homme avec de sérieux défauts de caractère, et ceux-ci ne deviendront que plus évidents quand David deviendra populaire avec les Israélites.

Saül était coupable de deux péchés précis qui lui coûtèrent son royaume. Le premier est enregistré dans 1 Samuel 13:

« 8 Il attendit sept jours le rendez-vous fixé par Samuel. Celui-ci n'arrivant pas, les soldats commencèrent à abandonner Saül et à se disperser.

   9 Alors Saül dit:
   ---Amenez-moi les bêtes de l'holocauste et des sacrifices de communion.
   Et il offrit lui-même l'holocauste.

   10 Au moment où il achevait de l'offrir, Samuel arriva. Saül alla à sa rencontre pour le saluer.

   11 Samuel lui demanda:
   ---Qu'as-tu fait?
   Saül répondit:
   ---Quand j'ai vu que mes soldats se dispersaient loin de moi, que tu n'arrivais pas au rendez-vous fixé et que les Philistins étaient concentrés à Mikmach,

   12 je me suis dit: «Les Philistins vont tomber sur moi à Guilgal avant que j'aie pu implorer l'Eternel.» Alors je me suis fait violence et j'ai offert l'holocauste. » (1 Samuel 13:8-12)

Saül était certainement sous pression. Les Philistins semblaient avoir l’avantage, et son armée s’était vaporisée sous ses yeux. À quelque distance de là, il semblerait certainement que les instructions données par Dieu au moment de la nomination privée de Saül comme roi furent le commandement que Saül désobéit:

« 7 Quand ces signes se seront réalisés pour toi, agis selon ce que tu trouveras à faire, car Dieu est avec toi!

   8 Tu me précéderas à Guilgal où je te rejoindrai pour offrir des holocaustes et des sacrifices de communion. Tu m'attendras sept jours jusqu'à ce que je vienne te retrouver. Alors je te ferai savoir ce que tu dois faire. » (1 Samuel 10:7-8)

Etant donné tout ce que nous savons de Saül, mon impression est qu’une fois que Dieu notifia Saül qu’il devait devenir roi, Dieu lui donna une certaine quantité de pouvoirs discrétionnaires. Du verset 7, il semblerait que Dieu informa Saül que dès que les signes de confirmation étaient survenus, il était libre de commencer à agir comme le roi d’Israël. En d’autres mots, il était libre de déclarer la guerre aux Philistins, comme, en fait, son fils Jonathan le fit. Dieu promit d’être avec Saül et Il le fut. Mais que fit Saül ? Pratiquement rien, avant d’être persuadé de le faire. Son action la plus décisive arriva quand les Ammonites menacèrent le peuple d’Yabéch Galaad,154 du coté est du Jourdain, mais Saül ne prit pas l’initiative d’attaquer les Philistins, qui menaçaient Israël de l’ouest.

Je suis enclin de conclure que bien que Dieu avait donné à Saül l’autorisation d’attaquer les Philistins, il ne l’avait pas fait, à cause de sa peur et de sa passivité. Mais avant de mener cette attaque, Saül fut instruit d’aller à Guilgal, où Samuel offrirait des offrandes de communion et des offrandes entièrement brûlées. Ce serait à ce moment que Samuel lui donnerait des instructions précises concernant la bataille. Saül fut instruit d’attendre Samuel pendant sept jours. Il avait tergiversé si longtemps pour attaquer que maintenant ses hommes le désertaient. Maintenant, dû à sa passivité, Saül estima qu’il ne pouvait plus attendre davantage, et il offrit le sacrifice lui-même. Il m’apparaît qu’en le faisant, Saül commit deux péchés. Premièrement, il désobéit clairement les instructions de Dieu. Deuxièmement, il n’honora pas la « séparation de pouvoir » que Dieu avait établie. Le roi ne pouvait pas usurper la fonction des prêtres, et il devait être guidé par des révélations prophétiques. Il agit unilatéralement, mettant de coté la division de pouvoir de Dieu.

Cette stupide action pécheresse de la part de Saül lui couterait chèrement:

« 13 Samuel dit à Saül:
   ---Tu as agi comme un insensé. Tu n'as pas obéi au commandement que l'Eternel ton Dieu t'avait donné. Si tu l'avais fait, l'Eternel aurait affermi ton autorité royale sur Israël et il aurait fait en sorte que tes descendants y gardent pour toujours la royauté.

   14 Mais puisque tu as désobéi aux ordres de l'Eternel, ta royauté ne subsistera pas. L'Eternel a décidé de se chercher un homme qui corresponde à ses désirs et de l'établir chef de son peuple. » (1 Samuel 13:13-14)

Le royaume de Saül ne durerait pas plus longtemps que son règne de roi. Il n’aura pas de dynastie durable – ses fils ne règneront pas comme roi après lui. Dieu chercherait un roi qui obéirait Ses ordres (souvenez-vous Deutéronome 17:14-20 ; 1 Samuel 12:14-15, 24-25), mais Saül avait désobéit. Sous entendu dans les mots de Samuel de 13:14 est le fait que Dieu remplacerait Saül comme roi. Cette question sera traitée avec fermeté au moment du second grand acte de désobéissance de Saül en tant que roi. Le plus pénible de tout est que même quand Samuel réprimanda Saül pour ses péchés, il n’y eu pas un seul indice de repentance. Saül ne confessa pas qu’il avait péché. Lui et Samuel se séparèrent simplement.

Le second acte de rébellion de Saül est décrit dans le chapitre 15. Dieu instruisit Saül par Samuel de déclarer la guerre aux Amalécites:

« 1 Un jour, Samuel dit à Saül:
   ---C'est moi que l'Eternel a envoyé pour te conférer l'onction qui t'a établi roi de son peuple, Israël. Maintenant donc, écoute les paroles de l'Eternel.

  2 Voici ce que déclare l'Eternel, le Seigneur des armées célestes: «J'ai décidé de punir les Amalécites pour ce qu'ils ont fait au peuple d'Israël, en se mettant en travers de sa route quand il venait d'Egypte.

  3 Maintenant, va les attaquer et voue-les moi en les exterminant totalement avec tout ce qui leur appartient. Sois sans pitié et fais périr hommes et femmes, enfants et bébés, bœufs, moutons, chèvres, chameaux et ânes. » » (1 Samuel 15:1-3, mon accentuation en gras)

Rien ne pourrait être plus clair que ses instructions. Les Amalécites devaient être tous annihilés – les hommes, les femmes, les enfants, et le bétail. Rien ne devait rester vivant. Saül assembla une armée de 210 000 et déclara la guerre les Amalécites et Amalec. Il les battit, mais ne les annihila pas tous:

« 8 Il captura Agag, roi d'Amalec, vivant, et extermina toute la population par l'épée.

   9 Saül et ses soldats épargnèrent Agag ainsi que les meilleurs animaux du butin: moutons, chèvres et bœufs, bêtes grasses et agneaux; ils ne voulurent pas les détruire pour les vouer à l'Eternel. Par contre, ils détruisirent tout ce qui était méprisable et sans valeur. » (1 Samuel 15:8-9)

Il apparaitrait que Saül garda Agag en vie comme un roi de trophée ou pour une raison égoïste. Saül tua tout ce qui est inutile, mais garda les choses de plus grandes valeurs. Saül était un autre Akân (Josué 6:17-19 ; 7:19-21), seulement sur une plus grande échelle, et cela fut fait publiquement. Ce fut une grande erreur, une qui allait lui coûter son royaume. Contrairement à Akân, Saül ne se repentit pas. Au début, il nia son péché, puis essaya de l’excuser. Quand Samuel vint le voir, Saül était occupé à faire un monument à lui-même:

« 12 Le lendemain matin, il partit trouver Saül. En chemin, il apprit que celui-ci s'était rendu à Karmel pour y ériger un mémorial, puis qu'il était reparti en direction de Guilgal.

   13 Finalement, Samuel le rejoignit. Saül l'aborda par ces mots:
   ---Que l'Eternel te bénisse! J'ai exécuté l'ordre de l'Eternel.

   14 Mais Samuel lui demanda:
   ---D'où viennent donc ces bêlements de moutons qui résonnent à mes oreilles et ces mugissements de bœufs que j'entends?

   15 Saül répondit:
   ---Ils les ont ramenés de chez les Amalécites, car les soldats ont épargné les meilleures bêtes parmi les moutons et les bœufs pour les offrir en sacrifice à l'Eternel ton Dieu; le reste nous l'avons totalement détruit.

   16 ---Assez, interrompit Samuel. Je vais t'apprendre ce que l'Eternel m'a dit cette nuit.
   ---Parle, lui dit Saül.

   17 Et Samuel lui déclara:
   ---Alors que tu te considérais comme un personnage peu important, tu es devenu le chef des tribus d'Israël et l'Eternel t'a oint pour t'établir roi d'Israël.

   18 Il t'a envoyé en campagne avec cet ordre précis: «Va et détruis les Amalécites pour me les vouer, ce peuple de pécheurs, en les combattant jusqu'à leur totale extermination.»

   19 Alors pourquoi n'as-tu pas obéi à l'ordre de l'Eternel? Pourquoi as-tu fait ce qu'il considère comme mal en te précipitant sur le butin?

   20 Saül répliqua:
   ---Mais si, j'ai obéi à l'ordre de l'Eternel et j'ai accompli la mission qu'il m'avait confiée: j'ai ramené Agag, roi d'Amalec, et j'ai exterminé les Amalécites pour les vouer à l'Eternel.

   21 Mais les soldats ont prélevé sur le butin les meilleurs moutons et les meilleurs bœufs qui devaient être voués à l'Eternel par destruction, pour les offrir en sacrifice à l'Eternel ton Dieu à Guilgal. » (1 Samuel 15:12-21, mon accentuation en gras)

Saül essaya d’excuser ses actions, prétendant que les animaux qui avaient été gardés vivant devaient servir comme animaux sacrificiels. Cela poussa la réponse de Samuel, qui fit la distinction entre les simples observances rituelles et l’obéissance de foi:

« 22 Samuel lui dit alors:
      Les *holocaustes et les sacrifices
      font-ils autant plaisir à l'Eternel
      que l'obéissance à ses ordres?
      Non! Car l'obéissance est préférable aux sacrifices,
      la soumission vaut mieux que la graisse des béliers.

   23 Car l'insoumission est aussi coupable que le péché de divination
      et la désobéissance aussi grave que le péché d'idolâtrie.
      Puisque tu as rejeté les ordres de
      l'Eternel,
      lui aussi te rejette et te retire la
      royauté. » (1 Samuel 15:22-23)

Le péché de désobéissance de Saül était le péché de rébellion et était ainsi aussi mal que les péchés de divination et d’idolâtrie. Dieu n’est pas aussi content par les sacrifices rituels qu’Il l’est par l’obéissance par la foi. Finalement, Saül admit sa culpabilité, mais prétendit qu’il le fit par peur de son armée:

« 24 Alors Saül répondit à Samuel:
   ---J'ai péché, car j'ai transgressé l'ordre de l'Eternel et tes instructions, parce que j'ai eu peur de mécontenter mes soldats, et j'ai cédé à leurs demandes.

   25 A présent, je t'en prie, pardonne ma faute; et reviens avec moi pour que je me prosterne devant l'Eternel. » (1 Samuel 15:24-25)

Ce chef prétendit avoir été induit en erreur. Il maintint que ce ne fut pas vraiment sa faute du tout. Son péché était excusable à cause de ses circonstances. Saül ne se repentait toujours pas ; il ne pensait qu’à se débarrasser des conséquences de son péché. Combien cela semble familier ! Je l’ai vu de nombreuses fois dans mon ministère. Saul était maintenant rejeté par Dieu comme le roi d'Israël. Pour autant que Saül chercha à sauver son titre, ou au moins sa dignité, Dieu avait parlé, et Il ne changerait pas d’avis:

« 27 Comme Samuel se retournait pour partir, Saül le saisit par le pan de son manteau et le morceau fut arraché.

   28 Alors Samuel lui déclara:
   ---C'est ainsi que l'Eternel t'arrache aujourd'hui la royauté d'Israël pour la donner à un autre qui est meilleur que toi.

   29 Sois-en certain: Celui qui est la gloire d'Israël ne ment pas et ne se rétractera pas, car il n'est pas comme un être humain pour se rétracter.

   30 Saül répéta:
   ---J'ai péché! Toutefois, en ce moment, je t'en supplie, continue à m'honorer devant les responsables de mon peuple et devant Israël. Reviens avec moi et je me prosternerai devant l'Eternel ton Dieu!

   31 A la fin, Samuel l'accompagna et Saül se prosterna devant l'Eternel. » (1 Samuel 15:27-31)

Ce fut Samuel qui personnellement exécuta Agag, roi des Amalécites (15:32-33). Quand Saül et Samuel se séparèrent ce jour-là, ce fut pour la dernière fois. Ils ne se reverraient jamais face à face. Samuel eut ses regrets à propos de la punition de Saül, mais Dieu n’en avait aucun:

« 34 Puis il retourna à Rama, et Saül rentra chez lui à Guibea de Saül.

   35 Samuel n'alla plus voir Saül jusqu'au jour de sa mort; mais il était dans l'affliction à son sujet parce que l'Eternel avait décidé d'annuler ce qu'il avait fait en l'établissant roi sur Israël. » (1 Samuel 34-35)

Des années passèrent avant que cette sentence pour Saül ne fut exécutée, mais son destin était maintenant irréversiblement déterminé. Dans le chapitre suivant, Samuel oindra David comme le remplaçant de Saül.

Conclusion

Il y a une leçon à apprendre de la désobéissance de Saül, une que nous devrions tous retenir:

Obéissance Partielle est Vraiment Désobeissance

Saül était content de n’obéir les commandements du Seigneur que partiellement, supposant que Dieu trouverait ça acceptable. Les standards de Dieu sont inflexibles. Si nous n’obéissons pas les commandements de Dieu complètement, alors nous les avons désobéis. Ce genre de péché est si commun, et si communément accepté, que nous devrions nous arrêter pour réaliser combien de fois et de façon si flagrante c’est fait aujourd’hui, même par des Chrétiens. Nous nous excusons nous-mêmes en disant des choses comme « Bon, je ne suis qu’humain… » Quelques fois les gens diront quelques choses comme, « Et alors, même le roi David pécha. » Il est vrai qu’il pécha, et il souffrit les conséquences de sa désobéissance.

Souvent nous choisissons les commandements de la Bible, et même les commandements de notre Seigneur. Jésus dit à Ses disciples,

« 18 Alors Jésus s'approcha d'eux et leur parla ainsi:
   ---J'ai reçu tout pouvoir dans le ciel et sur la terre:

   19 allez donc dans le monde entier, faites des disciples parmi tous les peuples, baptisez-les au nom du Père, du Fils et du Saint-Esprit

   20 et apprenez-leur à obéir à tout ce que je vous ai prescrit. Et voici: je suis moi-même avec vous chaque jour, jusqu'à la fin du monde. » (Matthieu 28:18-20)

Il dit aussi:

« 15 ---Si vous m'aimez, vous suivrez mes enseignements. » (Jean 14:15)

« 10 Si vous obéissez à mes commandements, vous demeurerez dans mon amour, tout comme moi-même j'ai obéi aux commandements de mon Père et je demeure dans son amour. » (Jean 15:10)

Combien de commandements de notre Seigneur en fait pratiquons-nous ? Nous trouvons de nombreuses excuses pour ne pas faire ce qu’Il commanda. Cela devrait nous perturber profondément et nous rendre coupable. Mais nous sentons-nous coupables ? On nous dit de nous soumettre à l’autorité humaine, mais combien d’entre nous ignorons les limites de vitesse?

C’est juste le point que quelqu’un pourrait objecter, « Mais c’est le légalisme ! » No, ce ne l’est pas ! L’obéissance à tous les commandements de Dieu n’est pas du légalisme. Le Nouveau Testament a beaucoup à dire à propos du légalisme, mais nous ne pouvons pas entrer dans cette discussion ici. Jésus obéit complètement les commandements de Son Père. Fut-ce cela du légalisme ? Certainement pas.

« 17 ---Ne vous imaginez pas que je sois venu pour abolir ce qui est écrit dans la Loi ou les prophètes; je ne suis pas venu pour abolir, mais pour accomplir.

   18 Oui, vraiment, je vous l'assure: tant que le ciel et la terre resteront en place, ni la plus petite lettre de la Loi, ni même un point sur un i n'en sera supprimé jusqu'à ce que tout se réalise.

   19 Par conséquent, si quelqu'un n'obéit pas à un seul de ces commandements --- même s'il s'agit du moindre d'entre eux --- et s'il apprend aux autres à faire de même, il sera lui-même considéré comme «le moindre» dans le royaume des cieux. Au contraire, celui qui obéira à ces commandements et qui les enseignera aux autres, sera considéré comme grand dans le royaume des cieux.

   20 Je vous le dis: si vous n'obéissez pas à la Loi mieux que les spécialistes de la Loi et les pharisiens, vous n'entrerez pas dans le royaume des cieux. » (Matthieu 5:17-20)

« 41 Puis il se retira à la distance d'un jet de pierre, se mit à genoux et pria ainsi:

   42 ---O Père, si tu le veux, écarte de moi cette coupe! Toutefois, que ta volonté soit faite, et non la mienne. » (Luc 22:41-42)

« 46 Qui d'entre vous peut m'accuser d'avoir commis une seule faute? Si je dis vrai, pourquoi ne me croyez-vous pas?» (Jean 8:46)

« 8 Il s'abaissa lui-même
      en devenant obéissant,
      jusqu'à subir la mort,
      oui, la mort sur la croix. » (Philippiens 2:8)

« 7 Ainsi, au cours de sa vie sur terre, Jésus, avec de grands cris et des larmes, a présenté des prières et des supplications à celui qui pouvait le sauver de la mort, et il a été exaucé, à cause de sa soumission à Dieu.

   8 Bien qu'étant Fils de Dieu, il a appris l'obéissance par tout ce qu'il a souffert.

   9 Et c'est parce qu'il a été ainsi amené à la perfection qu'il est devenu, pour tous ceux qui lui obéissent, l'auteur d'un salut éternel:

   10 Dieu, en effet, l'a déclaré grand-prêtre dans la ligne de Melchisédek. » (Hébreux 5:7-9)

« 5 Voilà pourquoi, en entrant dans le monde, le Christ a dit:
      Tu n'as voulu ni sacrifice, ni offrande:
      tu m'as formé un corps.

   6 Tu n'as pris nul plaisir aux holocaustes, aux sacrifices pour le péché.

   7 Alors j'ai dit: Voici je viens
      --- dans le rouleau du livre, il est question de moi ---
      pour faire, ô Dieu, ta volonté. » (Hébreux 10:5-7)

Mes enfants, je veux vous parler sur obéir vos parents. Ce n’est pas de l’obéissance quand vous obéissez seulement à des instructions que vous aimez ou avec lesquelles vous êtes d’accord. L’obéissance est vraiment prouvée quand vous obéissez à des commandements que vous préféreriez désobéir. La vrai obéissance est l’obéissance complète, pas seulement faire ce qu’on nous dit de faire car nous le trouvons acceptable.

Je veux dire seulement une chose de plus sur le sujet de l’obéissance partielle. Saül chercha à excuser sa désobéissance en regardant ses circonstances comme étant exceptionnelles. Il excusa son refus d’attendre Samuel parce que c’était une situation urgente (une urgence qu’il avait créée). Son échec d’annihiler tous les Amalécites et leurs troupeaux fut aussi dû à des circonstances exceptionnelles. J’ai souvent entendu cet argument. « Je sais que Dieu est (en général) contre le divorce, mais mon Mari (ou ma femme) … », « Je sais que c’est mal de marier cette personne, mais je suis sûr que Dieu voudrais que je sois heureux (se) ». « Je sais que la Bible me dit que je devrais confronter celui qui a péché comme ça, mais c’est mon patron et il pourrait me virer ». Les urgences ne mettent pas les commandements de Dieu de coté, ou n’excusent pas notre désobéissance.

Ce que nous avons vu jusqu'à présent (et allons continuer à voir à travers le reste de l’Ancien Testament) est qu’aucun système humain de gouvernement ne marchera comme il devrait tant que les hommes en sont une partie. Les saints individuels comme Adam, Noé, Abraham, Jacob, et même Moïse échoueront. La période des Juges échoua à cause des « erreurs humaines ». À la fin, aucun système de gouvernement ne succèdera si de simples hommes sont impliqués. Le problème n’est pas autant avec ces systèmes qu’il ne l’est avec l’homme lui-même. Nous arrivons bientôt à voir que seul le monde parfait viendra quand il sera gouverné par Dieu et quand le péché cessera d’exister. Si nous supposons qu’avoir un roi changerait les choses, nous avons tort. Le Royaume de Dieu viendra quand le Roi Lui-même reviendra dans ce monde pour y régner. Jusque là, nous ne pouvons que prier,

« 10 que ton règne vienne,
      que ta volonté soit faite,
      et tout cela, sur la terre comme au ciel. » (Matthieu 6:10)


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 11, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 For a more thorough look at this psalm, see my exposition of 1 Samuel on the Biblical Studies Foundation Website at /docs/ot/books/1sa/deffin/1sam-02.htm.

151 See Proverbs 26:13.

152 It seems to me that the conjunction here must be translated as adversative, “but.” This is consistent with the flow of thought of the passage, and it is the way several other translations (e.g., the NIV) have rendered it.

153 As we can see from 1 Samuel 13:19-22, the Philistines would not allow the Israelites to manufacture or maintain any iron products. The garrison at Geba (and perhaps other garrisons elsewhere) would see to it that this technology embargo was observed. This would be something like the U.N. arms inspectors in Iraq (although I suspect that the Philistines were more successful).

154 It is interesting to recall that the people of Jabesh Gilead did not go to battle with the Benjamites in Judges 21:9. Did this in any way predispose Saul, a Benjamite, to come to their aid?

16. Une Lumière Dans des Jours Sombres

Le Livre des Ruth148

Introduction

Il y a plusieurs années, je me suis trouvé au milieu d’une dispute théologique concernant la dîme. Une église loin de chez nous cherchait à spécifier combien ses dirigeants devaient payer pour la dîme. Est-ce qu’un dirigeant devrait payer la dîme ? Et combien ? Est-ce que la dîme devrait être calculée sur le revenu net ou brut ? Quand je fus invité à donner mon opinion, j’ai sauté directement sur l’occasion, totalement convaincu d’avoir la réponse biblique. Je croyais que j’avais la bonne réponse du point de vue technique, mais mon attention fut alors dirigée sur le Livre de Ruth. Après considérer le message de ce grand petit Livre, et spécialement l’exemple de Booz, j’ai réalisé que mon approche complète à ce débat était fondamentalement mauvaise. J’ai dû écrire à un des hommes avec qui j’avais communiqué et leur dire que j’avais changé d’avis.

Ruth est un Livre des plus incroyables. Il n’a que quatre chapitres, mais il nous raconte une histoire des plus réconfortantes sur une veuve juive, sa belle-fille païenne, et un homme plus âgé avec un très grand cœur. Bien qu’elle soit courte, c’est une histoire très importante. Elle a des implications pour les anciens Juifs, et elle continue à avoir aussi beaucoup à dire aux saints d’aujourd’hui. Nous devrions bien écouter ce que ce Livre dit, demandant au Saint-Esprit d’ouvrir nos cœurs et nos esprits à son message.

L’histoire de Ruth se passe durant les jours sombres des Juges, les chefs (1:1). Le Livre des Juges est un Livre des plus troublants, car il décrit les jours où Israël n’avait pas de roi, et quand les hommes et les femmes agissaient d’eux-mêmes – ils/elles « faisaient ce que bon leur semblait ». Ils ne vivaient pas selon la loi, mais n’en faisaient qu’à leur tête et selon leurs envies. Nous lisons d’un cercle de péchés sans fin, de jugement divin, implorant l’aide de Dieu, une libération divine, puis ils retournaient à leurs péchés. Nous lisons à propos d’hommes faibles et de femmes fortes, d’un prêtre lévite à louer aux enchères, et d’un autre qui découpa sa femme en 12 morceaux, qu’il envoya aux tribus d’Israël. Dans ces jours sombres de l’histoire d’Israël, vivait là une veuve juive, une femme païenne nommée Ruth, et un homme juif charmant et pieux nommé Booz. Ils ont beaucoup à nous apprendre.

Avant d’aller plus loin, je dois dire un mot sur les Moabites. Ruth, l’héroïne de notre histoire, est une Moabite. Les Moabites étaient une race qui résultait de l’union de Lot et de sa fille aînée, décrit dans Genèse 19:30-38. Les Moabites n’étaient pas Cananéens. Bien que les Moabites furent interdits d’entrer dans l’assemblée du Seigneur jusqu'à la dixième génération (Deutéronome 23:3), les Israélites ne furent pas ordonnés de les annihiler, et ne furent pas ordonnés de ne pas se marier avec eux (Deutéronome 20:10-15 ; 21:10-14 ; contraste avec 7:1-6 ; 20:16-20). Vous vous rappellerez que quand David avait été poursuivit par Saul, il emmena ses parents chez le roi de Moab pour protection (1 Samuel 22:3). Au moins certains des Moabites étaient apparentés à David.

Mon approche de cette leçon sera de donner une brève vue d’ensemble de l’histoire du Livre de Ruth, puis de considérer chacun des trois caractères principaux. Finalement, nous chercherons à trouver la contribution de ce Livre à la Bible, et explorerons sa pertinence et son application pour les hommes et les femmes d’aujourd’hui.

L’Histoire du Livre de Ruth

Le Livre de Ruth commence avec une famine dans le pays d’Israël. Cette famine poussa Elimélek à quitter Israël avec sa famille et de séjourner temporairement à Moab. Elimélek sembla mourir relativement peu de temps après être arrivé à Moab. Elimélek et sa femme, Noémi, avaient deux fils. Chaque fils maria une femme moabite, et éventuellement, le deux fils moururent sans avoir d’enfants.

Noémi resta seule, avec ses deux belles-filles, Ruth et Orpa. Elle apprit que Dieu était intervenu pour Son peuple et qu’il y avait à nouveau du grain dans le pays d’Israël. Noémi décida d’y retourner, mais elle conseilla vivement à ses belles-filles de rester à Moab. Elle arriva à persuader Orpa de retourner chez ses parents, mais Ruth était déterminée à rester avec Noémi, quoi qu’il arrive. Elle ne put pas être persuadée du contraire, alors Noémi, avec Ruth, retourna dans le pays d’Israël.

Quand elles arrivèrent dans la ville de Noémi, Bethléhem, le peuple la reconnut immédiatement et était excité qu’elle soit revenue. Noémi leur raconta rapidement ses malheurs, attribuant ses problèmes à Dieu, qui semblait lui en vouloir, elle impliqua (1:20-22).

Immédiatement Ruth s’arrangea pour fournir ce dont Noémi avait besoin. Elle commença à glâner dans le champ voisin d’un homme qui « se trouva être » un parent proche d’Elimélek (2:3). Rapidement, Ruth attira l’attention des gens travaillant dans le champ parce qu’elle travaillait diligemment, ne s’arrêtant presque pas pour se reposer (2:7). Booz la remarqua aussi et s’arrangea pour que Ruth soit protégée et soit pourvue avec du grain à glâner car elle cherchait à prendre soin de sa belle-mère.

Noémi réalisa que Booz montrait beaucoup de gentillesse à Ruth, alors elle agit comme un marieur, cherchant à arranger le mariage de Ruth avec Booz. Noémi formula un plan où Ruth pourrait indiquer son besoin pour un mari et son désir de marier Booz. Le plan marcha, et Booz indiqua qu’il serait ravi de marier Ruth, excepté qu’il n’était pas son parent le plus proche. Booz rencontra le parent le plus proche de Ruth à la porte de la ville, lui donnant l’opportunité d’acheter la terre d’Elimélek, et d’acquérir Ruth comme épouse. Le parent proche était disposé à acheter la terre d’Elimélek mais ne voulait pas marier Ruth, alors Booz acquit à la fois la terre et Ruth. Ils se marièrent, et l’enfant que Ruth eut de Booz fut appelé Obed. Obed fut le grand-père de David.

Les Trois Caractères Principaux du Livre de Ruth

Noémi

J’ai autant à confesser à mes lecteurs que Noémi n’est pas un de mes caractères préférés de la Bible. Elle n’est certainement pas une héroïne, comme Ruth. Je la vois comme un genre de mélange de Jacob, Job, Jonas, et Esther. Noémi aurait pu facilement avoir mérité le titre d’une des « Mauvaises Filles de la Bible ». J’ai bien peur que beaucoup de Chrétiens aient été induits en erreur par certaines propagandes populaires qui cherchent à « sanctifier » Noémi. Permettez-moi de communiquer quelques-unes de mes inquiétudes à propos de Noémi.

Dans le chapitre 1, on nous dit que le mari de Noémi mourut, la laissant seule avec et ses deux fils (1:3). J’ai l’impression qu’Elimélek mourut peu de temps après qu’ils arrivèrent à Moab. Les garçons semblèrent se marier plus tard, après la mort de leur père. On nous dit qu’ils épousèrent des femmes moabites. J’en ai conclu qu’ils se marièrent après la mort de leur Père, et à une période où Noémi aurait fonctionnée comme chef de famille. Noémi arrangea ces mariages avec les femmes Moabites, ou elle les permit passivement et les accepta. Noémi et ses fils vivaient à Moab pendant à peu près dix ans (Ruth 1:4). Pendant toute cette période, Noémi ne fit apparemment pas d’efforts pour retourner en Israël alors que l’intention de son mari était de ne rester à Moab que pendant que la famine sévissait.

Quand Noémi décida finalement de retourner en Israël, c’était parce qu’elle avait entendu que Dieu avait fournit à nouveau du grain pour Son peuple. Aucune mention n’est faite que cette famine était la discipline de Dieu pour les péchés et l’idolâtrie d’Israël. Cela n’a aucun sens de penser que quitter Israël était quitter l’endroit spécial de la présence et de bénédictions de Dieu. Il n’y avait pas de désir apparent de retourner en d’Israël. Ses raisons pour retourner au pays semblaient plus pragmatiques que nobles.

Ce qui est troublant est que Noémi insiste que ses filles restent à Moab, et qu’elles trouvent des maris là. Encore pire est l’indifférence claire qu’elles devraient rester à Moab en tant que Moabites, vénérant les dieux de Moab:

« Noémi lui dit:
   ---Regarde: ta belle-sœur est partie rejoindre son peuple et ses dieux, fais comme elle: retourne chez les tiens! » (Ruth 1:5)149

Une personne ne peut pas savoir quels étaient les motifs de Naomi ici, mais si elle avait compris les maux de l’idolâtrie, elle aurait réalisée que pousser les belles-filles à rester à Moab et vénérer les dieux moabites étaient accablant.

Finalement dans le chapitre 1, Noémi rend Dieu responsable pour sa souffrance:

« 13 attendriez-vous qu'ils aient grandi et renonceriez-vous pour cela à vous remarier? Bien sûr que non, mes filles! Je suis bien plus affligée que vous, car l'Eternel est intervenu contre moi.» » (1:13, mon accentuation en gras)

« 20 Elle leur répondit:
   ---Ne m'appelez plus Noémi (L'heureuse), appelez-moi Mara (L'affligée), car le Tout-Puissant m'a beaucoup affligée.

   21 Je suis partie d'ici comblée, et l'Eternel m'y fait revenir les mains vides. Alors pourquoi m'appeler encore Noémi quand l'Eternel s'est prononcé contre moi et que le Tout-Puissant m'a plongée dans l'affliction? » (1: 20-21, mon accentuation en gras)

Quand Naomi retourna dans sa ville natale de Bethléhem, elle fut immédiatement reconnue et accueillie joyeusement. Il y a une ambiance de célébration joyeuse, mais rapidement Noémi « gâcha » la fête. Elle ne confessa pas ses péchés. Elle parla de Dieu comme Celui qui était tout-puissant, mais aussi Celui qui était cruel et capricieux. Dieu était la source de sa souffrance, qui n’a rien à voir avec ses péchés, ou avec les péchés de son peuple.

Dans le chapitre 2, nous voyons Ruth travaillant dur pour prendre soin de sa belle-mère et elle-même, mais on ne nous dit rien de Noémi allant glâner dans les champs. On pourrait avoir l’impression qu’Elimélek et Noémi étaient assez riches avant la famine (ils « étaient comblés » – 1:21). Est-ce que Noémi ne travaillait pas parce qu’elle était âgée et infirme ? Peut-être. Mais n’est-il pas aussi possible qu’elle ne fit pas comme Ruth faisait parce qu’elle pensait que c’était indigne d’elle, parce qu’elle était trop fière ? Bien des fois à Taiwan et ailleurs, je fus émerveillé combien les personnes âgées travaillaient dur pour aider à supporter leurs familles.

Dans le chapitre 3, les actions de Noémi soulèvent beaucoup de questions. Noémi décide d’arranger les choses pour que Ruth trouve un mari et un foyer. Plus que n’importe quoi, cela ne semble pas être une mauvaise idée. Mais sa méthode de le faire se réaliser est douteuse, au mieux. Premièrement, alors que certains ont cherché à montrer que la méthode de Noémi était une coutume familière de ces jours, je ne crois pas que c’était le cas du tout ici. Considérez les mots de Leon Morris:

« Nous ne connaissons que très peu de choses à propos des coutumes en vogue en Israël de l’antiquité et les arrangements pour les mariages soulignés ici ne sont confirmés nulle part ailleurs. »150 

« Le contexte rend clair que cela décrivait la façon par laquelle Ruth signifiait à Booz son désir de l’épouser. Des méthodes ordinaires d’approche étaient sans aucun doute difficiles et celle-là fournissait un bon milieu. Mais la raison pour laquelle cela devait être fait comme ça, nous ne savons pas. Ni savons nous si c’était ou non une coutume largement pratiquée. »151

Deuxièmement, Booz n’était pas le parent le plus proche d’Elimélek. Je doute beaucoup que Ruth savait cela avant que Booz ne l’informe du fait (3:12) ; mais Noémi le savait certainement. Alors pourquoi est-ce que Noémi chercha à arranger le mariage de Ruth avec Booz, plutôt qu’avec le parent le plus proche ?

Troisièmement, il semble bizarre que Ruth aurait été celle qui aurait proposée le mariage. Pourquoi Noémi ne demanda-t-elle pas à Booz s’il voulait prendre Ruth pour épouse ?

Quatrièmement, Noémi choisit un moment, un endroit, et une méthode d’approche pour faire appel à des désirs sensuels, plutôt qu’à un engagement raisonnable. Noémi ordonna à Ruth d’aller vers Booz pendant le battage, un temps joyeux de célébration. C’était dans une occasion similaire que Judas eut une liaison avec une femme qu’il croyait être une prostituée sacrée, mais qui était en fait sa belle-fille (Genèse 38:11-30). Noémi dit à Ruth d’aller avec Booz à la nuit tombée, après qu’il ait mangé et bu – en d’autres mots, aller coucher avec lui après qu’il ait assez bu pour que « son cœur soit très content ».

« 3 Lave-toi donc et parfume-toi, puis mets tes plus beaux habits et rends-toi à l'aire où il bat son orge. Mais ne fais pas connaître ta présence avant qu'il ait fini de manger et de boire. » (Ruth 3:3, mon accentuation en gras)

« 7 Booz mangea et but et il fut très content, puis il alla se coucher au bord du tas d'orge. Alors Ruth s'approcha tout doucement, elle écarta la couverture pour découvrir ses pieds et se coucha là. » (Ruth 3:7, mon accentuation en gras)

Quelqu’un pourrait supposer que je lis trop entre les lignes. Pas du tout ! Vous pouvez pratiquement voir la même expression (littéralement, « faire la fête » – être content) dans Juges 19:6, 9, où le Père de la femme offre une grande hospitalité à son beau-fils. Elle est utilisée avec Nabal, quand il devint ivre (1 Samuel 25:36). Nous la trouvons dans 2 Samuel 22:11,13, où David essaye d’intoxiquer Urie, pour qu’il rentre à la maison et couche avec sa femme, couvrant ainsi le péché d’adultère de David. Puis, il y a 2 Samuel 13:28 où Absalom ordonne ses serviteurs d’intoxiquer Amnôn et de le tuer. L’expression est aussi trouvée dans Esther 1:10 où le roi perse, en état d’ébriété, demande à ce que la reine apparaisse devant lui et ses chefs.

Cinquièmement, Noémi avait voulu que l’approche de Ruth vers Booz le charme au niveau physique:

« 3 Lave-toi donc et parfume-toi, puis mets tes plus beaux habits et rends-toi à l'aire où il bat son orge. Mais ne fais pas connaître ta présence avant qu'il ait fini de manger et de boire.

   4 Quand il se couchera pour dormir, note bien l'endroit où il s'installe, approche-toi, écarte la couverture pour lui découvrir les pieds et puis, couche-toi là. Il te dira alors ce que tu devras faire. » (Ruth 3:3-4)

Arrêtez-vous et pensez un peu à cela. Booz travailla dur à la moisson, et c’était l’heure de manger et de boire. Son cœur était gai, pas seulement à cause de l’occasion festive, mais à cause du vin qu’il avait bu. Une belle jeune femme vient et se couche près de lui, parfumée, portant sa plus belle sa robe. N’êtes-vous pas d’accord que c’est loin d’être une mise en scène platonique ?

Sixièmement, Naomi dit à Ruth que tout ce que Booz lui demande de faire, elle le fasse (3:4).

Maintenant, si quelqu’un trouve que mes suspicions vont un peu trop loin, permettez-moi de vous signaler comment Booz répondit. Il dit à Ruth que personne ne doit savoir qu’elle a été sur l’aire de battage (3:14). Si c’était une méthode ordinaire de proposer le mariage, alors pourquoi tout le monde ne comprendrait-il pas la présence et les actions de Ruth ? Pourquoi sa présence menacerait-elle la réputation de Booz, ou de Ruth ? Pas étonnant que Morris signale les dangers de l’approche que Noémi proposa:

Le narrateur utilise une délicatesse suprême, mais il est clair que le plan de Noémi n’était pas sans dangers. Le fait qu’elle était préparée à conseiller vivement ce plan à Ruth est la mesure de sa confiance en les deux participants. D'autant plus que ça arrive dans ancien Proche-Orient où les pratiques immorales aux temps des récoltes n’étaient en aucune façon rares, et apparaissent effectivement avoir été encouragées par les rites de fertilité pratiqués dans certaines régions.152

Je dois conclure de tous ces faits que Noémi cherchait à provoquer le mariage de Ruth d’une façon provocatrice et manipulatrice, plutôt que d’une façon pratique. A mon avis, cela ne dit rien de bien de Noémi.

Ruth

Je suis sur que quand nous lisons d’une « femme de noble caractère » dans Proverbes 31, nous avons tendance à penser à une femme juive. En lisant le Livre de Ruth, je pense à elle en tant que « femme de noble caractère », comme le « genre de femme du Proverbes 31 ». Ruth est surement une femme de noble caractère comme nous allons le voir.

Dans le chapitre 1, Ruth s’attache à Noémi, en dépit du fait que sa belle-mère lui conseille vivement de retourner chez ses parents, dans sa patrie, et vers ses dieux païens:

« 15 Noémi lui dit:
   ---Regarde: ta belle-sœur est partie rejoindre son peuple et ses dieux, fais comme elle: retourne chez les tiens!

   16 Mais Ruth lui répondit:
   ---N'insiste pas pour que je te quitte et que je me détourne de ta route; partout où tu iras, j'irai; où tu t'installeras, je m'installerai; ton peuple sera mon peuple et ton Dieu sera mon Dieu.

   17 Là où tu mourras, je mourrai aussi et j'y serai enterrée. Que l'Eternel me punisse avec la plus grande sévérité, si autre chose que la mort me sépare de toi! » (Ruth 1:15-17)

Noémi est une vieille femme amère, qui pense que son Dieu l’a mal traitée. Elle conseille vivement à Ruth de retourner dans son pays de Moab, chez ses parents, et à son dieu. Quelqu’un aurait pu penser qu’il aurait été tentant pour Ruth d’« obéir » sa belle-mère et de retourner chez elle. En effet, les paroles de Ruth sont quelques fois utilisées comme vœux matrimoniaux. Par sa promesse, Ruth se lie à Noémi, au pays d’Israël, et au Dieu d’Israël. Sa loyauté n’est pas de courte durée, jusqu'à la mort de Noémi. Le lien de Ruth à Israël et au Dieu d’Israël dure toute sa vie. Ruth dit à Noémi qu’elle restera en Israël après la mort de sa belle-mère. En fait, Ruth dit à Noémi qu’elle aussi sera enterrée avec sa belle-mère en Israël. Comme je comprends les paroles de Ruth, elle exprime sa conversion et sa promesse d’adorer Yahwé, le Dieu d’Israël pendant toute sa vie. De ces paroles de Booz, je crois qu’il comprit Ruth de la même façon:

« 11 Booz lui répondit:
   ---On m'a bien raconté tout ce que tu as fait pour ta belle-mère après la mort de ton mari. Je sais que tu as quitté ton père et ta mère et ton pays natal pour venir vivre chez un peuple que tu ne connaissais pas auparavant.

   12 Que l'Eternel te récompense pour ce que tu as fait et que le Dieu d'Israël, sous la protection duquel tu es venue t'abriter, t'accorde une pleine récompense! » (Ruth 2:11-12, mon accentuation en gras)

Dans le chapitre 2, c’est Ruth qui prend l’initiative de chercher le support de Noémi en glanant dans les champs. Ce n’est pas seulement une évidence du fait qu’elle était une bonne travailleuse ; c’est aussi une évidence de sa foi. Ce qu’elle proposait de faire était dangereux. Une belle jeune femme célibataire étrangère était vulnérable. Il y avait ceux qui n’hésiteraient pas à profiter d’elle (souvenez vous des hommes dans la ville de Guibea dans Juges 19). Le danger est évident par la façon dont Booz a cherché à la protéger:

« 8 Booz dit à Ruth:
   ---Ecoute bien, ma fille: Ne va pas glâner dans un autre champ; reste ici et suis mes servantes!

   9 Regarde bien où mes hommes moissonneront et suis les femmes qui ramassent les épis. J'ai interdit à mes serviteurs de t'ennuyer. Et si tu as soif, va boire aux cruches qu'ils ont remplies. » (Ruth 2:8-9 ; voir les commentaires de Noémi dans 2:22)

Booz avertit Ruth qu’elle ne devrait travailler que dans son champ, et qu’elle devrait travailler uniquement qu’à coté des ses employées. En plus, Booz avertit ses serviteurs de ne pas l’embêter ; en fait, ils ne devaient même pas lui faire de reproches (2:16). En dépit des risques, Ruth était disposée à travailler dans les champs, pour qu’elle puisse prendre soin de Noémi et d’elle-même.

Quand Ruth alla dans le champ de Booz pour glâner, elle travailla dur pendant toute la journée, ne se reposant que très peu. Les travailleurs de Booz l’informèrent:

« 7 Elle nous a demandé la permission de glâner les épis entre les gerbes derrière les moissonneurs. Elle est venue ce matin et, depuis, elle a été à pied d'œuvre jusqu'à maintenant et s'est à peine reposée un instant. » (Ruth 2:7)

Quand elle fut invitée à s’asseoir à la table de Booz et de ses serviteurs, elle garda un peu d’épis grillés pour sa belle-mère, plutôt que de les manger tous (2:14,18).

Bien que Ruth était une attrayante jeune femme, elle n’utilisa pas sa beauté pour séduire, mais était humble et sans prétention:

« 10 Ruth s'inclina jusqu'à terre, se prosterna et lui dit:
   ---Pourquoi m'accueilles-tu avec tant de faveur et t'intéresses-tu à moi qui ne suis qu'une étrangère ?... 

13 Ruth dit:
   ---Mon maître, tu m'accueilles avec tant de faveur que j'en suis réconfortée. Tes paroles me touchent, moi ta servante, bien que je ne sois pas même au rang de tes servantes. » (Ruth 2:10,13)

Quand nous arrivons au chapitre 3, nous voyons Ruth suivant docilement les instructions que Noémi lui avait données, agissant en foi et avec modestie et humilité. Elle n’était pas une séductrice. La réponse de Booz en est une qui concentre sur son caractère pieux:

« 10 ---Que l'Eternel te bénisse, ma fille, lui dit-il. Ce que tu viens de faire est une preuve d'amour envers ta belle-mère encore plus grande que ce que tu as déjà fait. En effet, tu aurais pu courir après les jeunes hommes, qu'ils soient pauvres ou riches. » (Ruth 3:10)

Dans l’ensemble, Ruth était regardée comme une femme noble et digne:

« 11 Maintenant, ma fille, ne t'inquiète pas: je ferai pour toi tout ce que tu demandes, car tous les gens de l'endroit savent que tu es une femme de valeur. » (Ruth 3:11, mon accentuation en gras)

« 14 Les femmes de Bethléhem dirent à Noémi:
   ---Béni soit l'Eternel qui ne t'a pas privée d'un soutien de famille! Que son nom devienne célèbre en Israël!

   15 Il te rendra une raison de vivre et prendra soin de toi dans tes vieux jours, puisque c'est ta belle-fille qui t'aime qui t'a donné ce petit-fils. Elle vaut mieux pour toi que sept fils. » (Ruth 4:14-15, mon accentuation en gras)

Boaz

Boaz est un homme des plus mémorables. Cela semblerait assez évident qu’il était un homme un peu plus âgé (3:10), et très riche. Il était aussi un homme d’intégrité et de grand caractère. Il y aurait des gens qui seraient enclins à penser que Booz montra du favoritisme envers Ruth principalement à cause de sa beauté. Je suis fortement en désaccord. A mon avis, Booz était bon et courtois envers tout le monde, et non pas uniquement envers Ruth. Nous pouvons voir qu’il y a un respect mutuel entre Booz et ses employés:

« 4 Un peu plus tard, Booz lui-même vint de Bethléhem et salua les moissonneurs en leur disant:
   ---Que l'Eternel soit avec vous!
   Ils lui répondirent:
   ---Que l'Eternel te bénisse! » (Ruth 2:4)

Quand il remarqua Ruth, Booz ne la vit pas comme quelqu’un de « disponible », mais comme quelqu’un qui est déjà promise:

« 5 Booz demanda au serviteur qui était responsable des moissonneurs:
   ---A qui est cette jeune femme ? » (Ruth 2:5)

Sa préoccupation pour Ruth est une préoccupation « paternelle ». Au moins deux fois (2:8 ; 3:10), Booz fait référence à Ruth l’appelant « ma fille », contrairement à « chérie », « cocotte » et autres. Booz reconnaît que Ruth est une femme de caractère, et qu’elle cherchait à prendre soin de Noémi. En conséquence, il la traita généreusement. Il la laissa s’asseoir à sa table et boire l’eau qui était pour ses serviteurs (2:9,14). Il prit d’autres mesures pour être sur que rien ne lui arrive (2:8-9,16). Il ordonna à ses employés de laisser quelques grains à glâner pour elle (2:15-16). Il était enchanté de son caractère pieux, sa fidélité à Noémi, et par le fait qu’elle croyait en le Dieu d’Israël. Il prononça des bénédictions de Dieu sur elle (2:11-12).

Le caractère pieux de Booz est particulièrement évident dans les chapitres 3 et 4. Booz agit honorablement envers Ruth quand il découvrit qu’elle était couchée à ses cotés, lui demandant symboliquement de l’épouser. Il ne profita pas d’elle. Il lui dit qu’il n’était pas son parent le plus proche, ne pouvant pas la marier avant d’avoir résolue cette question. Il protégea son honneur en la renvoyant avant que quelqu’un ne la voit. Dans le chapitre 4, Booz résout le problème publiquement à la porte de la ville. Il n’essaie pas du tout de déformer ou de falsifier la procédure, de dissuader le parent le plus proche d’acheter la propriété d’Elimélek et d’épouser Ruth. Tout ce qu’il fait est honnête et au-dessus de tout reproche.

Conclusion

Quelle histoire magnifique, réconfortante le Livre de Ruth est. Cependant, ce n’est pas juste une histoire romantique ; c’est une histoire avec des leçons pour Israël et pour nous. En concluant, considérons le sens et le message de ce Livre.

Premièrement, le Livre de Ruth nous donne la généalogie de David, une des plus célèbres généalogies des rois d’Israël de tous les temps. Leon Morris écrit:

Il est un fait intéressant que bien que David soit le plus grand roi connu dans les livres historiques, et bien qu’il soit vu par les générations suivantes comme le roi idéal, il n’y a aucune généalogie de lui dans 1 Samuel. Là, il y a simplement « le fils d’Isaï  ». Le Livre de Ruth finit avec la généalogie retournant jusqu'à Pérets, le fils de Juda. Il est suggéré que le Livre fut écrit pour fournir la généalogie manquante.153

Deuxièmement, nous voyons que peu importe comment sombres les jours deviennent, Dieu préserve toujours un reste juste. Quelques années plus tard, Elie pensa « qu’il avait été laissé seul » (1 Rois 19:10,14).

Le fait était que Dieu avait préservé 7000 qui « ne s’étaient pas agenouillés devant Baal » (1 Rois 19:18). C’est pendant les périodes de grande obscurité que la « lumière » de l’Evangile brille plus splendidement à travers les vies et les témoignages des saints:

« 10 si tu donnes ton pain
      à celui qui a faim
      et si tu pourvois aux besoins de l'opprimé,
      la lumière luira pour toi au milieu des ténèbres,
      et ton obscurité se changera pour toi en clarté de midi, » (Esaïe 58:10)

« 12 La nuit tire à sa fin, le jour va se lever. Débarrassons-nous de tout ce qui se fait dans les ténèbres, et revêtons-nous de l'armure de la lumière. » (Romains 13:12)

« 8 Autrefois, certes, vous apparteniez aux ténèbres, mais à présent, par votre union avec le Seigneur, vous appartenez à la lumière. Comportez-vous donc comme des enfants de la lumière --- » (Ephésiens 5:8)

« 15 pour être irréprochables et purs, des enfants de Dieu sans tache au sein d'une humanité corrompue et perverse. Dans cette humanité, vous brillez comme des flambeaux dans le monde,

   16 en portant la Parole de vie. Ainsi, lorsque viendra le jour du Christ, vous serez mon titre de gloire, la preuve que je n'aurai pas couru pour rien et que ma peine n'aura pas été inutile. » (Philippiens 2:15-16)

Troisièmement, nous sommes rappelés par notre texte que nos actions peuvent avoir un impact sur les générations futures. Les vies justes de Ruth et de Booz ne furent non seulement une bénédiction pour Noémi, elles furent une bénédiction pour toutes les générations suivantes. L’enfant né de Ruth et de Booz deviendra le grand-père du roi David (Ruth 4:18-22). Nous ne réalisons pas souvent combien nos décisions et nos actions pourraient impacter ceux qui viennent après nous.

Quatrièmement, Booz est une illustration de la « vraie religion ».

« 9 Quand vous ferez les moissons dans votre pays, tu ne couperas pas les épis jusqu'au bord de ton champ, et tu ne ramasseras pas ce qui reste à glaner.

   10 De même, tu ne cueilleras pas les grappes restées dans ta vigne et tu ne ramasseras pas les fruits qui y seront tombés. Tu laisseras tout cela au pauvre et à l'immigré. Je suis l'Eternel, votre Dieu. » (Lévitique 19:9-10)

« 17 car l'Eternel votre Dieu est le Dieu suprême et le Seigneur des seigneurs, le grand Dieu, puissant et redoutable, qui ne fait pas de favoritisme et ne se laisse pas corrompre par des présents.

   18 Il rend justice à l'orphelin et à la veuve et témoigne son amour à l'étranger en lui assurant le pain et le vêtement.

   19 Vous aussi, vous aimerez l'étranger parmi vous, car vous avez été étrangers en Egypte. » (Deutéronome 10:17-19)

« 19 Quand tu moissonneras ton champ, si tu oublies une gerbe dans le champ, ne retourne pas pour la ramasser, laisse-la pour l'immigré, pour l'orphelin ou la veuve, afin que l'Eternel ton Dieu te bénisse dans tout ce que tu entreprendras. » (Deutéronome 24:19)

« 17 Efforcez-vous de pratiquer le bien,
      d'agir avec droiture,
      assistez l'opprimé,
      et défendez le droit de l'orphelin,
      plaidez la cause de la veuve! » (Esaïe 1:17)

« 8 On te l'a enseigné, ô homme, ce qui est bien
      et ce que l'Eternel attend de toi:
      c'est que tu te conduises avec droiture,
      que tu prennes plaisir à témoigner de la bonté
      et qu'avec vigilance tu vives pour ton Dieu. » (Michée 6:8)

Quel homme remarquable Booz est. La Loi de Moïse lui ordonnait de laisser les bords de son champ non coupés, et de ne pas ramasser les gerbes d’orge qui tombaient aux bords du champ. Booz ordonna à ses serviteurs d’abandonner délibérément du grain pour que Ruth puisse les trouver. Booz fournit aussi de l’eau et de la nourriture pour elle. Il la traita comme une de ses employées. Il chercha à la protéger de ceux qui pourraient lui faire du mal ou l’abuser. Booz n’était pas un frère du mari décédé de Ruth, et à cause de ça comme je le vois, il n’était pas légalement obligé de la marier. Néanmoins, il le fit, en faisant plus que nécessaire dans presque tous les cas pour prendre soin de Noémi et Ruth.

Mon point dans tout cela est que Booz ne regardait pas à la loi comme une obligation qu’il devait faire à contrecœur, un peu de la même façon dont nous regardons payer nos impôts (nous n’avons pas l’intention de donner au gouvernement un centimes de plus que ce que la loi exige). Booz regardait la loi au standard minimum. Il considérait même une plus grande compassion et plus grande générosité comme étant son privilège, et son plaisir. Voilà un homme qui aimait la loi de Dieu, et qui vivait sa vie avec un esprit qui était ravi de servir Dieu et les autres.

Cinquièmement, le Livre de Ruth est un excellent commentaire sur la charité chrétienne. Quel contraste la charité de Booz est au bien-être de nos jours. Trop souvent, les aides sociales en fait découragent (ou même pénalisent) les bons travailleurs. Les aides sociales dégradent aussi les gens, plutôt que de leur fournir des moyens honorables d’obtenir ce dont ils ont besoin pour eux et leurs familles. Ruth ne fut pas donnée l’aumône ; elle fut donnée une opportunité de travailler, et elle l’a prit volontiers. Son travail dur lui apporta le respect de la communauté toute entière. C’est le genre de charité que nous devrions nous efforcer de pratiquer à nos loisirs.

La question avec laquelle j’ai un problème est celle-ci: « Dans notre âge technologique, qu’est-ce qui constitue le « bord de mon champ ? » Je ne suis pas un fermier, comme la plupart d’entre vous. Alors, comment pratiquer le principe de la charité d’une façon qui prend soin des besoins des pauvres, et pourtant d’une façon qui maintient (et même promeut) leur dignité ? C’est un vrai challenge, et la réponse pour chacun d’entre nous pourrait être un peu différente. Je réalise que pas tout le monde n’est capable de travailler, mais ceux-là sont la minorité. Pour ceux qui peuvent travailler, nous devrions leur faciliter le chemin. Il n’y a pas de réponses rapides et faciles ici, mais le principe est clair, et je crois que les réponses sont là pour ceux qui les recherchent sincèrement.

Sixièmement, le Livre de Ruth nous fournit un aperçu incroyable du rôle des païens dans le « drame de la rédemption de Dieu qui se déroule ». Booz était assez sensible pour réaliser qu’une femme païenne qui embrasse le Dieu d’Israël par la foi pourrait recevoir les bénédictions des Juifs. Cela est compris dans la bénédiction qu’il prononça sur Ruth dans 2:11-12. Ce fut pour cette raison que Booz n’avait aucune réservation pour marier Ruth et avoir des enfants avec elle. Grâce à cet aperçu et à la maturité de Booz, l’élévation d’un saint païen est achevée, à une certaine mesure par les gens de la ville:

« 11 Alors tous ceux qui se trouvaient à la porte et tous les responsables dirent:
   ---Oui: nous en sommes témoins! Que l'Eternel rende la femme qui entre dans ta famille semblable à Rachel et à Léa qui, à elles deux, ont donné naissance à tout le peuple d'Israël! Puisses-tu toi-même prospérer à Ephrata et devenir célèbre à Bethléhem!

   12 Que l'Eternel t'accorde, par cette jeune femme, une descendance aussi nombreuse que celle de Pérets, le fils que Tamar a donné à Juda. » (Ruth 4:11-12, mon accentuation en gras)

Il m’a fallu un moment pour voir cela, mais c’est assez évident une fois que vous le voyez. En bénissant Ruth, le peuple de Bethléhem fait référence à trois femmes, qui étaient toutes des étrangères d’un point de vue israélite. Rachel et Léa étaient parentes, mais pour obtenir ces femmes comme épouses, Jacob dut quitter Canaan et aller a Paddân-Aram, où il acquit Léa et sa jeune sœur Rachel. Sans le savoir Juda réalisa les devoirs d’un mariage de levirate quand il eut des relations sexuelles avec Tamar, sa belle-fille (Genèse 38). Le peuple de Bethléhem réalisa que Dieu avait béni Israël par ces femmes « étrangères », et ainsi il ne fut pas trop difficile pour eux de croire que Dieu bénirait Israël à travers Ruth. Et Dieu fit cela, d’une façon qui surpassa leurs plus grandes espérances. Ruth deviendrait l’arrière grand-mère du Roi David (Ruth 4:18-22).

Maintenant, nous avons vu Dieu « intégrer » un nombre de païens dans la lignée du « Messie » promis. Tout d’abord, nous voyons Rahab adoptée par Israël, à cause de sa foi (Josué 2:1 ; 6:17-25). En effet, Rahab était la femme de Salma, et la mère de Booz. Est-ce une partie de la raison pour laquelle Booz put adopter Ruth comme un membre de la famille de foi ? Si sa mère était une païenne, pourquoi pas aussi sa femme ? A part Rahab et Ruth, il y eut aussi Tamar, Léa, et Rachel. Dieu n’a pas exclu les païens de Son plan de rédemption, mais les a « intégrés » comme faisant partis de Son plan.

Septièmement, Noémi, Ruth, et Booz symbolisaient chacun une personne ou un groupe particulier. Noémi personnifia Israël d’une façon moins que flatteuse. Elle représente une attitude d’avoir droit à quelque chose, et elle était amère envers Dieu pour ne pas avoir été bénie. Elle ne semble pas de saisir la grâce de Dieu, et elle ne reconnaît certainement aucun péché de sa part. Elle semble ne pas être consciente de l’animosité de cette période, et du fait du jugement de Dieu. Elle quitta Israël avec son mari, mais n’y retourna pas avant plusieurs années, après que ses fils aient marié des femmes moabites. Sa raison pour retourner en Israël était qu’il y avait de nouveau de la nourriture là-bas. Noémi avait peu d’égard pour le bien-être spirituel de ses belles-filles. Elle essaya de les renvoyer dans leurs familles et à leur religion païenne. En cela, elle semble manifester un peu de l’esprit de Jonas. Elle est quelque peu manipulatrice, comme cela peut être vu dans la manière dont elle utilisa pour marier Ruth à Booz. En faisant cela, elle semble avoir un peu de Jacob dans son sang. Même si mon évaluation de Noémi est excessivement dure, il n’y a que peu de bonne choses à dire en sa faveur. Ce fut en dépit de ses échecs et de son amertume que Dieu déversa gracieusement ses bénédictions sur elle, et à un grand degré, à travers une païenne. Paul ne parle-t-il pas du salut des païens faisant parti du plan de Dieu pour sauver les Juifs (voir Romains 11:32) ?

Ruth est une illustration de ces païens croyants que Dieu greffa sur la « vigne » de Ses bénédictions de l’alliance (Jean 10:16 ; Romains 11:17). Elle ne revendique pas ces bénédictions, comme si elle les méritait, mais les accepte humblement comme une manifestation de la grâce de Dieu. Elle est un exemple d’une vraie Israélite, pas en vertu de ses ancêtres, mais par vertu de sa foi:

« 26 Maintenant, par la foi en Jésus-Christ, vous êtes tous fils de Dieu.

   27 Car vous tous qui avez été baptisés pour le Christ, vous vous êtes revêtus du Christ.

   28 Il n'y a donc plus de différence entre les Juifs et les non-Juifs, entre les esclaves et les hommes libres, entre les hommes et les femmes. Unis à Jésus-Christ, vous êtes tous un.

   29 Si vous lui appartenez, vous êtes la descendance d'Abraham et donc, aussi, les héritiers des biens que Dieu a promis à Abraham. » (Galates 3:26-29 ; voir aussi 3:7 ; 6:16 ; Romains 9:6 ; Philippiens 3:3)

Comme Dieu unit Ruth (une païenne) à Booz (un juif) par le mariage, Il a réconcilié les Juifs et les païens en Christ:

« 11 C'est pourquoi, vous qui portez, dans votre corps, la preuve que vous n'êtes pas des Juifs et qui donc êtes traités d'«incirconcis» par ceux qui se disent «les circoncis» à cause d'un rite accompli sur leur corps et par des hommes, rappelez-vous quelle était votre situation autrefois.

  12 En ce temps-là, vous étiez sans Messie, vous n'aviez pas le droit de faire partie du peuple d'Israël, vous étiez étrangers aux alliances conclues par Dieu pour garantir sa promesse, sans espérance et sans Dieu dans le monde.

  13 Mais maintenant, par votre union avec le Christ, Jésus, vous qui, autrefois, étiez loin, vous êtes devenus proches grâce au sacrifice du Christ.

  14 Car nous lui devons notre paix. Il a, en effet, instauré l'unité entre les Juifs et les non-Juifs et abattu le mur qui les séparait: en livrant son corps à la mort, il a annulé les effets de ce qui faisait d'eux des ennemis,

  15 c'est-à-dire de la Loi de Moïse, dans ses commandements et ses règles. Il voulait ainsi créer une seule et nouvelle humanité à partir des Juifs et des non-Juifs qu'il a unis à lui-même, en établissant la paix.

  16 Il voulait aussi les réconcilier les uns et les autres avec Dieu et les unir en un seul corps, en supprimant, par sa mort sur la croix, ce qui faisait d'eux des ennemis.

  17 Ainsi il est venu annoncer la paix à vous qui étiez loin et la paix à ceux qui étaient proches.

  18 Car, grâce à lui, nous avons accès, les uns comme les autres, auprès du Père, par le même Esprit.

  19 Voilà pourquoi vous n'êtes plus des étrangers ou des résidents temporaires, vous êtes concitoyens des membres du peuple de Dieu, vous faites partie de la famille de Dieu.

  20 Dieu vous a intégrés à l'édifice qu'il construit sur le fondement que sont les apôtres, ses prophètes, et dont Jésus-Christ lui-même est la pierre principale.

  21 En lui toute la construction s'élève, bien coordonnée, afin d'être un temple saint dans le Seigneur,

  22 et, unis au Christ, vous avez été intégrés ensemble à cette construction pour former une demeure où Dieu habite par l'Esprit. » (Ephésiens 2:11-22)

Booz est l’illustration de Dieu, et plus particulièrement de notre Seigneur Jésus Christ. C’est lui qui, comme Christ, accueille les païens dans la famille de foi (voir, par exemple, Luc 4:16-30), spécialement les versets 23-27). Il est le rédempteur de famille, qui « sauve » Noémi et Ruth en période de besoin. Comme Booz devint « un » avec Ruth, continuant la lignée du Messie promis, notre Seigneur Jésus devint chair humaine, devenant un d’entre nous dans notre humanité, pour que nous puissions devenir un avec Lui par la foi, et ainsi être sauvé. Booz mit de coté son propre intérêt (contrairement au parent le plus proche), pour qu’il puisse être une bénédiction pour ceux dans le besoin.

Huitièmement, Ruth et Booz exemplifient le genre d’amour loyal que nous devrions montrer envers ceux qui sont « désagréables ». Je l’ai dit assez clairement que je regarde Noémi comme étant une femme amère, qui blâme Dieu pour ses difficultés dans sa vie. Ce n’est pas le genre de personne dont vous ou moi aimerions être autour. Les joyeux commentaires des amis et voisins de Noémi sont dénigrés par sa réponse très négative (1:19-21). Si j’étais Ruth, j’aurais été tentée d’obéir ses instructions de l’abandonner et de retourner chez ma famille. Mais Ruth persévéra, pas parce que Noémi était si charmante (comme son nom suggèrerait normalement) ou adorable, mais à cause de son amour pour les gens désagréables. L’amour de Ruth pour Noémi n’était pas en réponse au charme de Noémi, mais en dépit de son amertume. Son amour fut provoqué par le besoin de Noémi.

L’endurance et la persistance de Ruth est absolument incroyable, non seulement pendant sa période, mais dans la nôtre. Combien de maris et de femmes se sont séparés à cause d’irritation avec leur compagnon ? Ruth n’avait aucune obligation légale envers Noémi, seulement l’obligation d’amour. Parce que Ruth resta loyale et fidèle à sa belle-mère, elle fut grandement admirée et grandement récompensée par Dieu.

Je me demande si vous, mes lecteurs, avez considérez vous séparer quand vous auriez du persévérer ? Qui est votre Noémi ? Cela pourrait être un ami, ou un parent (une belle-mère), ou même votre époux (se). Qu’est ce que le livre de Ruth a à vous dire à propos de persévérer? Je pense qu’il nous réprimande pour nos attitudes égoïstes et notre manque de disposition à aider les autres ou d’obligation à ceux autour de nous. Apprenons à endurer dans nos relations avec les autres, tout comme Dieu a persisté dans Sa fidélité à nous, même quand nous Lui sommes infidèles (voir 2 Timothée 2:13).

Neuvièmement, nous voyons que les péchés de Noémi n’ont pas empêché Ruth de croire en le Dieu d’Israël. Je sais que beaucoup de gens ont excusé leur incrédulité en signalant à un Chrétien témoignant et les accusant d’hypocrites. Noami était un exemple d’une Israélite à son pire, mais il y en avait d’autres, comme Booz, qui étaient des saints merveilleux. Aucun d’entre nous ne sera excusé pour être une Noémi, mais aucun incrédule ne sera épargné de la furie éternelle de Dieu parce que certains saints étaient des hypocrites. Les échecs de Noémi n’ont pas empêche Ruth d’avoir la foi. Ne laissez pas un hypocrite devenir votre excuse pour atterrir en enfer. Croyez en le Seigneur Jésus Christ, la seule provision de Dieu pour votre salut eternel. Leçon 19 – Israël Reçoit un Roi.154


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 4, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 Arthur E. Cundall, Judges, and Leon Morris, Ruth (Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press, 1973 [reprint]), p. 284.

151 IBID, p. 287

152 Leon Morris, Ruth, p. 287.

153 Leon Morris, Ruth: An Introduction and Commentary; Judges Ruth (Downers Grove, Ill.: Inter-Varsity Press, 1973 [reprint]), p. 241.

154 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on March 11, 2001.

Related Topics: Law, Suffering, Trials, Persecution

15. Les Périodes Noires d’Israël

Le Livre des Juges148

Introduction

Il y a plusieurs années, je prêchais sur le Livre des Juges. Notre coutume était qu’un des hommes de notre église lise le texte des Ecritures et pour moi de prier avant mon sermon. Le texte était Juges 19. Ce texte est si triste que quelque chose arriva pour la première fois de ma carrière – ma requête de lire le texte biblique et de prier fut refusée. Remarquez, ce n’est pas arrivé qu’une seule fois ; cela arriva deux ou trois fois de plus, jusqu'à ce qu’un homme fut d’accord pour lire les Ecritures. Le dimanche matin, quand le moment fut venu de lire le passage, il dit quelque chose comme ça: « Je sais que c’est notre coutume de lire le texte et de prier, mais si cela ne vous dérange pas, j’aimerais prier avant de lire. »

Le Livre des Juges est un livre très déconcertant, et ce n’est pas non plus juste cet incident. Le Livre tout entier est pénible. Tout récemment, j’ai reçu un mail de quelqu’un concernant un autre passage. C’était un peu comme ça:

J’ai lu quelque chose dans la Bible qui me trouble vraiment, qui ébranla les fondations de ma foi. Je n’ai jamais pensé que je puisse lire que Dieu accepta un sacrifice humain. Je m’attendais à ce que Dieu allait arrêter Jephté et lui dire de ne pas sacrifier sa fille. Est-ce que c’est mentionné quelque part ailleurs dans la Bible ? Dieu approuva-t-il ? Comment est-ce que Dieu a-t-il pu permettre ça ?

L’auteur faisait référence à une autre histoire du Livre des Juges, où Jephté fit un vœu stupide:

« 30 Jephté fit un vœu à l'Eternel et dit:
   ---Si vraiment tu me donnes la victoire sur les Ammonites,

   31 je te consacrerai et je t'offrirai en holocauste la première personne qui sortira de ma maison pour venir à ma rencontre, quand je reviendrai en vainqueur de la bataille contre les Ammonites. » (Juges 11:30-31)149

Un peu plus tard dans l’histoire, nous lisons que la fille de Jephté sortit de sa maison pour venir à sa rencontre, et qu’il tint sa promesse, aussi stupide qu’elle était (Juges 11:39-40).

Le Livre des Juges décrit une période très sombre de l’histoire d’Israël, et pourtant les évènements de ce Livre arrivent très tôt après les « années d’or » de la « génération de Josué ». Ce n’est pas le genre de lecture que nous faisons pour notre plaisir, mais c’est une période importante dans l’histoire d’Israël, une période que nous avons besoin de comprendre, et de laquelle nous devrions apprendre des leçons importantes. Il est triste de dire que c’est une période qui était très similaire à nos jours, la rendant un message des plus pertinents pour nous. Ecoutons bien, et faisons attention au message que Dieu a pour nous dans ces pages difficiles.

La Structure du Livre des Juges

La structure de Livre des Juges est très simple:

Chapitres 1-3:6 Introduction à la période des Juges

Chapitres 3:7 – 16:31 Description du règne des Juges

Chapitres 17-21 Prologue: Deux histoires qui caractérisent la période des Juges

Comprendre le Livre des juges

Qu’est-ce qu’un juge ?

Quand nous arrivons à étudier le Livre des Juges, il est important que nous comprenions ce qu’un juge est, et n’est pas. A cette période en Israël, un “juge” n’était presque jamais une personne qui passait jugement sur certains cas, ou qui résolvait des disputes, bien qu’il y avait un tel rôle (voir Exode 18 ; Nombres 11). Débora avait un genre de rôle judiciaire (Juges 4:4-5), mais cela semble être plus lié à son rôle de prophétesse qu’à un des Juges d’Israël. Aucun des autres « juges » dans le Livre des Juges ne « jugea » vraiment dans le sens le plus commun du mot.

Les Juges ne furent pas un premier prototype des rois d’Israël. Les Juges étaient principalement « des libérateurs » de l’oppression des ennemis d’Israël. Quelques fois, ils agissaient indépendamment, comme le fit Samson, qui était un genre de « juge Lone Ranger ». Quelques-uns des Juges conduisirent les forces militaires d’une ou de plusieurs tribus contre leurs ennemis. Ces Juges ne menèrent pas les forces militaires du pays tout entier, mais seulement quelques-unes de ses sections. En règle générale, ils n’avaient aucune fonction administrative, qu’un roi aurait. Dieu nomma ces Juges spontanément, à cause de l’oppression d’Israël par leurs ennemis. Il n’y avait pas de succession, ni de dynastie. Normalement, les Israélites n’étaient pas opprimés tant que le juge vivait.

Le Livre des Juges et l’Alliance Avec Moïse

La clef de la compréhension du Livre des Juges est l’Alliance Mosaïque que Dieu avait conclue avec Son peuple, les Israélites. Les bénédictions et les malédictions de l’alliance Mosaïque sont d’abord établies dans Lévitique 26. Puis elles sont répétées en plus grand détails dans Deutéronome 28. Ces bénédictions sont résumées dans les versets 1 et 2:

« 1 ---Si vous écoutez attentivement la parole de l'Eternel votre Dieu et si vous obéissez à tous les commandements que je vous donne aujourd'hui, si vous les appliquez, alors l'Eternel votre Dieu vous fera devenir la première de toutes les nations de la terre[a].

  2 Si vous obéissez à l'Eternel votre Dieu, voici toutes les bénédictions dont Dieu vous comblera. » (Deutéronome 28:1-2)

Mais tout comme Dieu promit Ses bénédictions à ceux qui obéiraient Ses commandements, il y avait aussi des malédictions pour ceux qui désobéiraient:

« 15 ---Par contre, si vous n'obéissez pas à l'Eternel votre Dieu, si vous ne veillez pas à appliquer tous ses commandements et ses lois que je vous transmets moi-même aujourd'hui, voici quelles malédictions fondront sur vous:

   16 Vous serez maudits à la ville comme aux champs.

   17 La malédiction reposera sur votre corbeille à fruits et sur votre pétrin.

   18 Dieu maudira vos enfants et vos récoltes, et les portées de vos troupeaux de gros et de petit bétail.

   19 Maudits serez-vous dans vos allées et venues, au départ comme à l'arrivée. » (Deutéronome 28:15-19, voir aussi les versets 20-68)

Les derniers paroles de Josué aux Israélites répétèrent l’avertissement transmit plus tôt à Israël par Moïse:

« 9 Alors l'Eternel dépossédera en votre faveur des peuples nombreux et puissants; or, jusqu'à ce jour, personne n'a pu vous résister.

   10 Un seul d'entre vous en mettait mille en fuite, car l'Eternel votre Dieu combattait pour vous, comme il vous l'avait promis.

   11 Veillez donc sur vous-mêmes pour aimer l'Eternel votre Dieu!

   12 Car si vous vous détournez de lui et si vous vous associez au reste de ces peuples qui subsistent parmi vous, si vous vous alliez à eux par des mariages et si vous avez des relations avec eux,

   13 sachez bien que l'Eternel votre Dieu ne continuera pas à déposséder ces peuples en votre faveur. Alors ils deviendront pour vous des pièges et des filets, ils seront des fouets à vos côtés, et des épines dans vos yeux. Et vous finirez par disparaître de ce bon pays que l'Eternel votre Dieu vous a donné.

   14 Voilà que je m'en vais par le chemin que prend tout être humain. Reconnaissez de tout votre cœur et de tout votre être qu'aucune des promesses de bienfait que l'Eternel votre Dieu vous a faites n'est restée sans effet: elles se sont toutes accomplies pour vous, sans exception aucune.

   15 Eh bien, comme il a tenu toutes ses promesses de bienfaits, l'Eternel votre Dieu accomplira aussi toutes ses menaces contre vous, jusqu'à vous faire disparaître de ce bon pays qu'il vous a donné[c].

   16 Si vous violez l'alliance qu'il a établie pour vous et si vous allez rendre un culte à d'autres dieux en vous prosternant devant eux, l'Eternel se mettra en colère contre vous et vous disparaîtrez sans tarder de ce bon pays qu'il vous a donné. » (Josué 23:9-16, mon accentuation en gras)

L’Introduction du Livre des Juges: Juges 1:1 – 3:6

Dans Juges 1 et 2, nous trouvons une explication pour le déclin spirituel des Israélites. La chute d’Israël commence tôt après la mort du Josué. Quand le Livre de Josué finit, la génération de Josué meurt, alors, il appelle la génération suivante des Israélites à embrasser l’alliance que Dieu à conclue avec leurs ancêtres comme la leur. Il les appelle à décider qui ils allaient servir:

« 14 ---Maintenant donc, dit Josué, respectez l'Eternel et servez-le de façon irréprochable et avec fidélité. Rejetez les dieux auxquels vos ancêtres rendaient un culte de l'autre côté de l'Euphrate et en Egypte, et rendez un culte à l'Eternel seulement.

  15 S'il vous déplaît de servir l'Eternel, alors choisissez aujourd'hui à quels dieux vous voulez rendre un culte: ceux que vos ancêtres adoraient de l'autre côté de l'Euphrate ou ceux des Amoréens dont vous habitez le pays; quant à moi et à ma famille, nous adorerons l'Eternel. » (Josué 24:14-15, mon accentuation en gras)

En dépit de leur détermination exprimée de servir Dieu, Josué les avertit qu’ils ne pourraient pas tenir leur promesse. Ils ne pourraient simplement pas être fidèles aux normes d’un Dieu saint:

« Alors Josué dit au peuple:
   ---Vous ne serez pas capables de servir l'Eternel, car c'est un Dieu saint, un Dieu qui ne tolère aucun rival. Il ne tolérera ni vos révoltes ni vos péchés. » (Josué 24:19)

Il ne nous faut pas beaucoup de temps pour voir la vérité dans les paroles de Josué. Leurs réalisations commencent tôt dans le Livre des Juges, dans le chapitre 1. Bien que la force des Rois Cananéens fût détruite par Josué, il restait aux tribus individuelles à annihiler le reste des Cananéens du pays. Dans les chapitres 1 et 2, l’auteur fournit au lecteur une explication pour la chute de la nation, ainsi qu’une raison pour laquelle Dieu laissa les Cananéens dans le pays. Dans ces deux chapitres, nous observons la série suivante.

Numéro Un: Victoire Partielle

Les tribus de Juda et de Siméon eurent un certain succès (1:17), mais pas total (1:19). Les Benjaminites ne purent pas complètement déposséder les Yebousiens les laissant à Jérusalem:

« 19 L'Eternel lui-même était avec eux, et c'est ainsi que les hommes de Juda purent conquérir la région montagneuse. Ils ne réussirent pas à déposséder les habitants de la vallée, car ceux-ci disposaient de chars de combat bardés de fer.

   20 On attribua Hébron à Caleb, comme Moïse l'avait dit. Il en expulsa les trois descendants d'Anaq.

   21 Les descendants de Benjamin ne dépossédèrent pas les Yebousiens qui habitaient Jérusalem; ceux-ci y vivent encore aujourd'hui avec les Benjaminites. » (Juges 1:19-21)

Les hommes de Juda ne purent vaincre les gens vivant sur la plaine côtière, qui avaient les dernières technologies (charriots bardés de fer). Les hommes de Joseph firent raisonnablement bien (1:22-26). Mais le reste du chapitre 1 des Juges est l’histoire d’une victoire incomplète. Les hommes de Manassé (1:27-28), Ephraïm (1:29), Zabulon (1:30), Aser (1:31-32), Nephtali (1:33), et Dan (1:34-35) ne conquirent pas complètement et ne purent détruire les Cananéens dans leur pays. La victoire partielle sur les Cananéens voulait dire vivre avec eux, le pas suivant dans la spirale de la chute.

Numéro Deux: Coexistance avec l’Ennemi

Parce que les Israélites ne détruisirent pas complètement les Cananéens, ils durent coexister avec eux dans le pays. Dans certains cas, les Cananéens servirent d’esclaves, mais ils ne furent pas exterminés:

« 33 Les gens de Nephtali ne dépossédèrent pas les habitants de Beth-Chémech ni ceux de Beth-Anath. Ils s'installèrent au milieu des Cananéens qui habitaient le pays et ils soumirent à des corvées les habitants de ces deux villes.

   34 Les Amoréens refoulèrent les Danites dans la région montagneuse et les empêchèrent de descendre dans la vallée. » (Juges 1:33-34, mon accentuation en gras)

Numéro Trois: Coopération avec l’Ennemi

Quand une personne vit parmi un autre peuple, il devient « nécessaire » de faire des alliances et des associations officielles avec eux. Par exemple, nous trouvons que Héber le Qénien (un descendant du beau-frère de Moïse) devint un allie du roi Yabîn de Canaan (1:16 ; 4:11,17). Ce genre de coopération amena une réprimande divine:

« 1 L'ange de l'Eternel monta de Guilgal à Bokim et déclara au peuple d'Israël:
   ---Je vous ai fait sortir d'Egypte et je vous ai amenés dans le pays que j'ai solennellement promis à vos ancêtres. J'ai déclaré que je ne romprais jamais mon alliance avec vous.

  2 Et vous de même, vous ne conclurez pas d'alliance avec les habitants de ce pays et vous démolirez leurs autels. Or, vous ne m'avez pas obéi. Pourquoi avez-vous fait cela?

  3 Aussi ai-je résolu de ne pas déposséder les habitants du pays en votre faveur. Ils resteront pour vous des adversaires et leurs dieux seront un piège pour vous. » (Juges 2:1-3, mon accentuation en gras)

Officialiser les alliances avec les Cananéens devait les légitimiser ; cela devait reconnaître leur droit d’exister quand Dieu avait ordonné aux Israélites de les exterminer.

Numéro Quatre: Etre Corrompus par les Cananéens

« 6 Après que Josué eut renvoyé le peuple, les Israélites se rendirent chacun dans son patrimoine pour prendre possession du pays.

   7 Ils servirent l'Eternel pendant toute la vie de Josué et, après sa mort, tant que vécurent les responsables qui avaient vu toute l’œuvre de l'Eternel en faveur d'Israël.

   8 Josué, fils de Noun, serviteur de l'Eternel, mourut à l'âge de 110 ans.

   9 On l'enterra dans le domaine qu'il avait reçu pour propriété à Timnath-Hérès, dans la région montagneuse d'Ephraïm, au nord du mont Gaach.

   10 Tous ceux de sa génération disparurent à leur tour. Une nouvelle génération se leva, qui ne connaissait pas l'Eternel, et n'avait pas vu les œuvres qu'il avait accomplies en faveur d'Israël.

   11 Alors les Israélites firent ce que l'Eternel considère comme mal, et ils se mirent à rendre un culte aux dieux Baals.

   12 Ils abandonnèrent l'Eternel, le Dieu de leurs ancêtres qui les avait fait sortir d'Egypte, et se rallièrent à d'autres dieux, à ceux des peuples qui vivaient autour d'eux. Ils se prosternèrent devant ces dieux et irritèrent l'Eternel.

   13 Ainsi, ils abandonnèrent l'Eternel pour rendre un culte aux Baals et aux Astartés. » (Juges 2:6-13, mon accentuation en gras)

La chose dont laquelle Dieu avait si souvent et ardemment avertit les Israélites, les Israélites la firent. De simplement tolérer les Cananéens, les Israélites en vinrent à les imiter. Ils commencèrent par se marier avec eux et vénérer leurs dieux. La nation qui devait être sainte et rester séparée du mode de vie coupable des Cananéens embrassèrent les mêmes péchés qui ont amenés la colère de Dieu sur eux.

Numéro Cinq: La Discipline Divine

« 14 Alors l'Eternel se mit en colère contre les Israélites et il les abandonna aux violences de pillards qui les dépouillèrent; il les livra au pouvoir de leurs ennemis d'alentour, de sorte qu'ils ne furent plus capables de leur résister.

   15 Chaque fois qu'ils entreprenaient une campagne, l'Eternel intervenait contre eux pour leur malheur, comme il le leur avait déclaré, et même annoncé par serment. Ainsi ils furent réduits à la plus grande détresse. » (Juges 2:14-15)

Les malédictions de l’Alliance Mosaïque étaient maintenant exécutées contre le pays Israël. Les Israélites souffriraient maintenant une défaite militaire des mains (ou épées) de leurs ennemis. Dieu cesserait de faire pleuvoir pour leurs récoltes, et leurs troupeaux ne prospèreraient ou ne se reproduiraient plus. Ce que Dieu avait prévenu Il ferait, maintenant commença à arriver.

Numéro Six: La D2livrance Divine

« 16 Alors l'Eternel leur suscita des chefs qui les délivrèrent des pillards.

   17 Mais les Israélites n'obéirent pas non plus à ces chefs, ils se prostituaient avec d'autres dieux et se prosternaient devant eux. Ils s'écartèrent très vite du chemin qu'avaient suivi leurs ancêtres qui obéissaient aux commandements de l'Eternel; ils ne suivirent pas leur exemple. » (Juges 2:16-17, mon accentuation en gras)

En réponse à leur souffrance, les Israélites crièrent à Dieu pour les délivrer. Dieu, dans Sa grâce, fournit un libérateur, un juge, qui les délivrerait de l’oppression de leurs ennemis. Cette libération durait normalement tant que le libérateur était vivant.

Numéro Sept: Avancant dans l’Apostasie

« 19 Mais après la mort du chef, le peuple recommençait à se corrompre encore plus que les générations précédentes, en se ralliant à d'autres dieux pour leur rendre un culte et se prosterner devant eux; ils refusaient d'abandonner leurs pratiques et s'obstinaient dans leur conduite. » (Juges 2:19, mon accentuation en gras)

Quelqu’un espèrerait certainement qu’après un cycle douloureux de péchés, de jugement, et de soulagement, les Israélites auraient appris leur leçon et vivraient selon les commandements de Dieu. Ce ne fut pas le cas du tout. Après la mort de leur libérateur, les Israélites retournèrent vers leurs mauvaises habitudes. Ils n’ont pas seulement repris où ils avaient arrêtés ; ils devinrent encore plus diaboliques qu’avant. Leurs péchés s’aggravèrent. Les choses allèrent de mal en pis.

Laissés Derrière: Une Déclaration à But Divin (Juges 2:20–3:6)

« 20 L'Eternel se mit donc en colère contre Israël et déclara:
   ---Puisque ce peuple a violé l'alliance que j'avais conclue avec leurs ancêtres et qu'il ne m'écoute pas,

  21 désormais, je ne déposséderai plus devant eux une seule des nations qui subsistaient dans le pays à la mort de Josué.

  22 Elles me serviront à éprouver les Israélites pour voir si oui ou non ils suivent la voie que je leur ai prescrite et m'obéissent comme l'ont fait leurs ancêtres.

  23 L'Eternel laissa donc subsister, sans se presser de les déposséder, ces nations qu'il n'avait pas livrées au pouvoir de Josué.

1 Voici quelles nations l'Eternel laissa subsister pour mettre à l'épreuve les Israélites qui n'avaient pas participé aux guerres pour la conquête de Canaan.

  2 Il voulait que les nouvelles générations d'Israélites, qui n'avaient pas connu la guerre, apprennent ce qu'est la guerre.

  3 L'Eternel laissa donc dans le pays les cinq principautés philistines, tous les Cananéens et les Sidoniens, les Héviens qui habitaient la chaîne du Liban depuis la montagne de Baal-Hermon jusqu'à Lebo-Hamath.

  4 Ces nations servirent à éprouver les Israélites pour savoir s'ils obéiraient aux commandements que l'Eternel avait donnés à leurs ancêtres par Moïse.

  5 Ainsi les Israélites habitèrent au milieu des Cananéens, des Hittites, des Amoréens, des Phéréziens, des Héviens et des Yebousiens.

  6 Ils épousèrent leurs filles, donnèrent leurs propres filles à leurs fils et adorèrent leurs dieux. » (Juges 2:20–3:6)

Nous aurions tort de penser que Josué détruisit l’opposition cananéenne, puis laissa les opérations de « nettoyage » aux tribus individuelles. Comme nous le voyons dans les versets ci-dessus et du texte ci-dessous, Dieu avait un but pour laisser les Cananéens dans le pays:

« 20 De plus, il enverra contre eux les frelons pour faire périr les rescapés qui se seraient cachés pour t'échapper.

   21 Ne tremble pas devant eux, car l'Eternel ton Dieu qui est au milieu de toi est un Dieu grand et redoutable.

   22 C'est seulement petit à petit que l'Eternel ton Dieu chassera ces nations devant toi, tu ne pourras pas les éliminer d'un seul coup, sinon les bêtes sauvages se multiplieraient dangereusement chez toi.

   23 L'Eternel ton Dieu livrera ces peuples en ton pouvoir et les mettra en déroute, jusqu'à leur destruction totale.

   24 Il te livrera leurs rois, et tu feras disparaître leur nom de dessous le ciel; personne ne pourra te résister: tu les extermineras tous. » (Deutéronome 7:20-24, mon accentuation en gras)

Moïse dit aux Israélites que Dieu enlèverait les Cananéens petit à petit, parce qu’autrement les animaux sauvages envahiraient le pays. Je prends cela voulant dire que la population n’aurait pas été suffisante pour « dominer » ce pays, et ainsi il serait envahi par les animaux sauvages. Comme la population grandissait, les Israélites chasseraient les Cananéens, contrôlant ainsi le pays tout entier. Jusqu'à ce que cela arrive, les Cananéens seraient permis de rester.

Pourtant dans Juges 2, nous sommes donnés une autre raison pour laquelle Dieu laissa les Cananéens dans le pays pour quelques temps. C’était pour tester et éduquer Israël. Les Cananéens testeraient l’engagement d’Israël d’exécuter toutes les exigences de la loi de Dieu. Est-ce que les Israélites pourraient finir le travail que Josué avait si bien commencé ? Et est-ce que les Israélites resteraient séparés des Cananéens en ne prenant pas leurs femmes en mariage ou en ne vénérant pas leurs dieux ? Les Cananéens furent aussi laissés derrière pour instruire aux générations suivantes d’Israélites comment conduire une guerre sainte (3:2). Dieu ne voulait pas que les Israélites deviennent « mous ». Ils avaient besoin de devenir fort, pour qu’ils puissent défendre leurs frontières des nations environnantes. Les Cananéens faisaient partis d’une partie du programme d’entrainement et de tests.

La première génération d’Israélites fut testée par Dieu dans le désert, comme Moïse leur rappela:

« 1 ---Vous vous appliquerez à obéir à tous les commandements que je vous donne aujourd'hui, afin que vous viviez, que vous deveniez nombreux et que vous puissiez entrer dans le pays que l'Eternel a promis par serment à vos ancêtres et en prendre possession.

  2 N'oublie jamais tout le chemin que l'Eternel ton Dieu t'a fait parcourir pendant ces quarante ans dans le désert afin de te faire connaître la pauvreté pour t'éprouver. Il a agi ainsi pour découvrir tes véritables dispositions intérieures et savoir si tu allais, ou non, obéir à ses commandements.

  3 Oui, il t'a fait connaître la pauvreté et la faim, et il t'a nourri avec cette manne que tu ne connaissais pas et que tes ancêtres n'avaient pas connue. De cette manière, il voulait t'apprendre que l'homme ne vit pas seulement de pain, mais aussi de toute parole prononcée par l'Eternel.

  4 Le vêtement que tu portais ne s'est pas usé sur toi et tes pieds ne se sont pas enflés pendant ces quarante ans. » (Deutéronome 8:1-4, mon accentuation en gras)

Les Israélites ratèrent ces tests. Ils murmuraient et se plaignaient constamment à chaque fois qu’ils manquaient de quelque chose dont ils avaient besoin, ou qu’ils voulaient (comme de la viande). Ils étaient menés par leurs appétits charnels et non pas par un engagement de croire et d’obéir à Dieu en observant Ses commandements (voir 1 Corinthiens 10:1-13).

Cette génération échoua aussi à passer le test des Cananéens qui furent « laissés derrière ». Au lieu de rester séparés d’eux et de les chasser tous du pays, ils commencèrent à les marier et à vénérer leurs dieux (3:5-6). Et à cause de ça, Dieu laissa ces nations dans le pays pour discipliner les Israélites pour leur désobéissance.

Etudes de Quatre Cas: Débora et Baraq, Gédéon, Jephté, et Samson

L’auteur des Juges parle de la libération d’Israël par plus d’une douzaine de gens. Nous ne savons presque rien de six juges: Chamgar (3:31), Tola (10:1-2), Yaîr (10:3-5), Ibtsân (12:8-10), Elôn (12:11-12), et Abdôn (12:13-15). Les juges les plus importants dans le Livre sont Débora (et Baraq – chapitres 4 et 5), Gédéon (chapitres 6-8), Jephté (10:6 – 12: 7), et Samson (chapitres 13-16). Je me concentrerais donc sur ces quatre Juges, parce qu’ils réçurent des places de premier plan dans ce Livre.

Débora et Baraq (Juges 4-1 – 5:31)

Israël était opprimé par le roi Yabîn de Canaan, assisté par Sisera, le commandant de ses forces armées. Quand les Israélites implorèrent de l’aide, Dieu nomma Débora, la prophétesse (Juges 4:4). Les paroles de Débora à Baraq sont des plus intéressantes et instructives:

« 6 Un jour, elle envoya chercher Baraq, fils d'Abinoam, de Qédech en Nephtali, et lui dit:
   ---Voici ce que t'ordonne l'Eternel, le Dieu d'Israël: «Va recruter dix mille hommes dans les tribus de Nephtali et de Zabulon et conduis-les sur le mont Thabor. » (Juges 4:6)

La Bible NET transcrit la première partie de ce verset comme une question, tout comme la version King James ainsi que la version du New King James, et quelques autres. Il est possible, bien sur, que ce soit simplement un ordre. Mais une remarque dans la marge de la New American Standard Bible indique que cela puisse, en fait, être une question. Si cela doit être comprit comme la Bible NET l’a transcrit, alors le lecteur a l’impression que les mots d’instruction de Débora ne sont pas les premiers que Baraq ait entendus. Le lecteur pourrait facilement avoir l’impression que Dieu avait déjà ordonné Baraq de faire ce que Débora lui demanda. Cela soulignerait la peur et l’insécurité de Baraq, une peur qui lui provoqua de refuser d’attaquer Sisera et son armée à moins que Débora ne l’accompagne.

Dans un sens, Baraq a le droit de s’inquiéter. L’armée du roi Yabîn, sous le commandement de Sisera, a 900 chariots bardés de fer (Juges 4:13 ; voir aussi 1:19). La foi de Baraq était certainement faible. Bien qu’il fût ordonné d’attaquer les forces de Sisera par une prophétesse, Baraq ne voulait pas le faire seul. Ce n’était pas parce qu’il manquait de respect pour Débora, parce qu’il insista qu’il n’irait seulement à la guerre que si Débora allait avec lui. Elle n’était qu’une femme, pas un soldat, une épouse et mère, pas un génie militaire. Débora consentit à aller avec lui, mais indiqua que la victoire ne lui amènerait pas la gloire:

« 8 Baraq répondit à Débora:
   ---Si tu m'accompagnes, j'irai; mais si tu ne viens pas avec moi, je n'irai pas.

   9 ---Soit, lui répondit-elle, j'irai avec toi; mais sache que ce n'est pas à toi que reviendra l'honneur de l'expédition que tu vas entreprendre, car c'est entre les mains d'une femme que l'Eternel livrera Sisera.
   Débora se mit donc en route pour se rendre avec Baraq à Qédech. » (Juges 4:8-9)

Baraq va chez Yaël150

Barak et ses forces vainquirent l’ennemi, qui furent tous tués, excepté pour Sisera, qui s’enfuit à pied. Il courut jusqu'à ce qu’il soit complètement épuisé, puis il chercha refuge à la maison d’Héber le Qéniens, qui avait fait un traité avec le roi Yabîn que Sisera servait. Cependant, Héber n’était pas à la maison, seule sa femme, Yaël, l’était. Son allégeance était à juste titre avec le peuple de Dieu et non pas avec ce roi Cananéen et son commandant en chef.

Yaël reçut Sisera terrifié et épuisé dans sa tente. Il demande de l’eau, mais elle lui donne du lait chaud. Elle lui assure qu’il est en sécurité, puis le couvre d’une couverture pour qu’il puisse se reposer. Quand il s’endormit, Yaël s’agenouille près de lui avec un piquet de sa tente et un marteau, et lui transperça le crane, le tuant instantanément. Quand Baraq arriva, Yaël lui montra son trophée mort dans sa tente. Ce jour-là, le roi Yabîn fut humilié, ainsi que Baraq, parce que la victoire était vraiment due à deux femmes: Débora et Yaël.

Le cantique dans Juges 5 parle de Débora, Baraq, et Yaël et de la part qu’ils jouèrent dans cette victoire. Il honore aussi Dieu, qui était la vraie source de la victoire. On nous dit d’une façon poétique que Dieu utilisa toute la nature pour amener la défaite aux ennemis d’Israël:

« 4 O Eternel, lorsque tu sortis de Séir,
      lorsque tu t'avanças depuis les champs d'Edom,
      la terre se mit à trembler et le ciel se fondit en eau:
      les nuées déversèrent une pluie abondante.

   5 Devant toi, Eternel, les montagnes ont vacillé, devant le Dieu du Sinaï,
      oui, devant l'Eternel, Dieu d'Israël. » (Juges 5:4-5)

« 20 Dans le ciel, même les étoiles ont pris part au combat;
      du haut de leurs orbites, elles combattaient Sisera.

   21 Le torrent de Qichôn les a tous balayés,
      le torrent de Qichôn, celui des temps anciens.
      Marchons avec hardiesse! » (Juges 5:20-21)

Ce qui est de grand intérêt est que ce cantique souligne qui a participa ou ne participa pas à la bataille:

« 14 Ceux qui ont vaincu Amalec sont sortis d'Ephraïm.
      Benjamin t'a suivi, il est parmi tes troupes.
      De Makir sont venus ceux qui ont commandé,
      et de Zabulon ceux qui tiennent le bâton de commandement.

   15 Les princes d'Issacar ont rejoint Débora,
      et toute sa tribu sur les pas de Baraq
      s'est précipitée dans la plaine.
      Dans les rangs de Ruben, on a délibéré
      et discuté sans fin.

   16 Pourquoi es-tu resté au milieu des enclos,
      écoutant bêler les troupeaux?
      Dans les rangs de Ruben, on a délibéré
      et discuté sans fin!

   17 Galaad est resté au-delà du Jourdain,
      et Dan n'a pas bougé d'auprès de ses vaisseaux.
      Aser est demeuré près du bord de la mer
      et il s'est cantonné auprès des ports paisibles.

   18 Zabulon est un peuple qui a bravé la mort,
      et Nephtali aussi,
      sur les hauteurs, dans la campagne. » (Juges 5:14-18)

« 23 L'ange de l'Eternel dit: Maudissez Méroz;
      maudissez, maudissez ses habitants:
      ils ne sont pas venus prêter main forte à l'Eternel,
      prêter main forte à l'Eternel au milieu de ses braves. » (Juges 5:23)

Ayant dit que Débora, Baraq, et Yaël étaient mentionnés dans ce cantique, ce n’est pas Baraq qui est le grand héro de cette bataille, mais plutôt Yaël. Elle est celle dont les actions sont le plus soulignées. L’honneur va à Débora et à Yaël quand il aurait pu (et aurait dû) aller à Baraq. Néanmoins, Dieu donna la paix au pays pour 40 ans.

Voilà une victoire qui est moins qu’une victoire complète. C’est une victoire sur les oppresseurs d’Israël, une victoire que Dieu donna à Israël sur un ennemi puissant. C’est une victoire qui est à la fois douce et aigre. Pendant que quelques tribus ont relevé le challenge et combattirent avec et pour leurs frères, d’autres détournèrent simplement leur regard à leur grande honte. C’est pratiquement le mieux que ça sera dans le Livre des Juges et cela va devenir bientôt bien plus mal.

Gédéon, Homme Puissant de Valeur (Juges 6-8)

Une fois encore les Israélites sont coupables de pratiquer ce qui est mal à la vue de Dieu. Cette fois Dieu utilise les Madianites comme le bâton de réprimande. Alors, les Israélites implorent Dieu de les libérer, et Dieu leur envoya un homme nomme Gédéon. Un ange vint à Gédéon pendant qu’il était en train de battre le blé dans un pressoir à raisin (6:11). Normalement, une personne battrait le blé sur un terrain élevé où le vent emmènerait la paille. Gédéon ne pouvait pas faire ça parce qu’il serait alors en pleine vue des Madianites, qui viendrait voler le grain.

Je vois un gars apeuré battant son blé, regardant furtivement pour tous signes des Madianites. Cela semble certainement ironique qu’un ange vienne à Gédéon avec les mots,

« 12 L'ange de l'Eternel lui apparut et dit:
   ---L'Eternel est avec toi, vaillant guerrier! » (6:12)

J’ai pensé que l’ange a dû avoir des difficultés à garder un visage sérieux sans éclater de rire. Maintenant, je vois ces mots comme prophétiques. L’ange parla à Gédéon, pas comme il était à ce moment-la, mais selon ce qu’il serait dans l’avenir. Et de peur de trouver cela difficile à comprendre, c’est quelque chose comme la Parole de Dieu nous appelant « saints ». Ce que nous pourrions être (effectivement, nous le sommes), mais pas dû à aucune « sainteté » de notre part.

La réponse de Gédéon fut de demander à Dieu où Il était au milieu de la souffrance de Son peuple:

« 13 Gédéon lui répondit:
   ---De grâce, mon seigneur, si l'Eternel est avec nous, pourquoi tant de malheurs s'abattent-ils sur nous? Où sont donc tous ces prodiges que nos pères nous ont racontés en nous disant que l'Eternel nous a fait sortir d'Egypte? En réalité, l'Eternel nous a abandonnés et nous a livrés au pouvoir des Madianites. » (Juges 6:13)

La réponse de Dieu ne fut pas celle que Gédéon attendait ou voulait ! Dieu informa Gédéon qu’il amènerait maintenant la délivrance à Son peuple, à travers lui.

« 14 Alors l'Eternel se tourna vers lui et dit:
   ---Va avec cette force que tu as, et délivre Israël des Madianites. N'est-ce pas moi qui t'envoie? » (Juges 6:14)

Gédéon voulait l’assurance que c’était vraiment Dieu qui lui parlait. Il demande un signe (6:17) et l’obtient – l’ange enflamma l’offrande de Gédéon. En réponse, Gédéon construit un autel là pour le Seigneur.

Il semble que Dieu donna à Gédéon quelque heure pour réfléchir à ce qui venait d’arriver avant que l’ange revienne avec un autre challenge pour sa foi. (Jusqu'à maintenant, Dieu avait seulement dit d’une façon générale que Gédéon devrait délivrer son peuple).

Construire ce premier autel était un « petit pas » de foi pour Gédéon, mais maintenant Dieu demanda une plus grande foi et obéissance. Cette nuit même le Seigneur instruisit Gédéon de détruire l’autel de Baal et le poteau sacré que son Père avait érigés. Gédéon devait alors construire un autel pour le Seigneur à sa place et offrir un sacrifice. Il obéit, mais plus tard dans la nuit dans l’obscurité. Ce ne fut pas avant le matin que les hommes de la ville découvrirent ce qui était arrivé pendant la nuit et qui l’avait fait. Ils demandèrent que le Père de Gédéon mette son fils à mort, mais son Père refusa, insistant que Baal devait être assez puissant pour protéger ses propres intérêts. Bonne logique !

C’est une chose extraordinaire, n’est-ce pas, que le peuple de cette ville était impatient de voir Gédéon mis à mort pour sa vénération du Dieu d’Israël, et pour blasphémer Baal ? Ils auraient dû mettre le Père de Gédéon à mort pour construire un autel pour un dieu païen. A quelle vitesse les Israélites avaient chuté des « jours d’or » de la génération de Josué.

Ensuite, Dieu ordonna à Gédéon de déclarer la guerre aux nations orientales (6:33). Rendu courageux par l’Esprit de Dieu, Gédéon sonna une trompette, ordonna aux tribus des alentours de le suivre (6:34-35). Gédéon sentit le besoin d’une autre confirmation, et il requit deux signes. C’est le fameux signe de la toison de Gédéon. Premièrement, la toison devait être mouillée, mais le sol devait rester sec. Puis la toison devait être sèche, mais le sol autour devait être mouillé. Dieu accorda les deux requêtes et Gédéon est maintenant disposé à aller à la guerre.

Cependant, Dieu n’était pas encore prêt. Trente deux milles Israélites arrivèrent pour la bataille, et ce fut pour faire face à une armée de bien plus de 100 000 hommes (voir 8:10). Dieu savait qu’une armée de la taille d’Israël serait tentée de se créditer de la victoire. Alors, Il ordonna à Gédéon de renvoyer tous ceux qui avaient peur, deux-tiers de ses hommes. Même les 10 000 hommes qui restaient était toujours un nombre trop grand pour Dieu, alors Il diminua finalement les soldats israélites jusqu'à ce qui ne resta simplement que 300 hommes. Dieu savait que Gédéon aurait besoin d’un autre signe, alors, Il l’invita à aller au camp Madianite. Là, Gédéon entendit un soldat parler avec un autre, révélant la peur que les Madianites avaient de Gédéon et de son armée. Ce fut aussi encourageant pour Gédéon que Rahab le fut pour les deux espions, et les Israélites (voir Josué 2:8-11, 23-24).

La victoire initiale de Gédéon et de ses 300 hommes est une histoire extraordinaire. Il divisa ses 300 hommes en 3 groupes de 100 hommes. Il donna à chaque homme un cor et une cruche vide avec une torche à l’intérieur. Les 3 groupes encerclèrent le camp ennemi. Le texte nous donne à ce point un détail très spécifique:

« Peu avant minuit, Gédéon et les cent hommes de son groupe arrivèrent aux abords du camp. On venait juste de remplacer les sentinelles. Soudain, ils sonnèrent du cor et cassèrent les cruches qu'ils tenaient à la main. » (Juges 7:19, mon accentuation en gras)

Pourquoi nous dit-on que cela arriva au milieu de la nuit et que les sentinelles venaient juste d’être relevées ? Il était apparemment 22:00 heures. Puisque les gardes avaient juste été changés, les nouvelles sentinelles venaient juste de prendre leurs postes, et les autres gardes seraient en train de retourner à leurs tentes. En d’autres mots, ce fut le moment précis durant l’heure de nuit où il y aurait le plus grand nombre de soldats madianites éveillés dans le camp. C’est ma théorie151 que si les soldats israélites avaient des épées, ils ne les avaient pas en main. Comment pourraient-ils, tenant une cruche dans une main et un cor dans l’autre ? Après avoir sonné leurs cors, ils brisèrent les cruches, exposant les torches. Les Madianites paniquèrent et commencèrent à se tuer les uns les autres. Comment cela a-t-il pu arriver ? C’est mon avis que les cors surprirent l’armée déjà paniquée (7:20-21) et que la lumière les aveugla. Leurs yeux étaient accoutumés à l’obscurité, et ces lumières les aveugla, comme une biche dans les phares d’une voiture. Ils crurent qu’ils étaient attaqués, et ne pouvant voir très bien, ils commencèrent à embrocher tout ce qui bougeait. Les seuls qui se tenaient près d’eux étaient leurs camarades madianites. Les 300 soldats Israélites se tenaient à l’extérieur du camp, bien à l’écart des épées. Le plus les Madianites paniquaient (et étaient embrochés par leurs camarades-soldats), le plus ils combattaient – les uns avec les autres. La fin résulta en les Madianites se massacrant alors que les Israélites les observèrent stupéfaits à la lumière de leurs torches. Réalisant qu’ils se détruisaient (bien qu’ils ne savaient pas qu’ils se tuaient), les Madianites cherchèrent à s’échapper dans la nuit. Cela voulait dire qu’ils n’avaient pas toutes leurs armes et leurs réserves, les abandonnant pour Gédéon et ses hommes. Cela n’est peut-être pas arrivé précisément comme ça, mais je m’avancerais à dire que c’était probablement arrivé comme ça.

Il était temps maintenant pour leurs camarades Israélites de les joindre et de finir cette bataille:

« 23 Les hommes d'Israël se rassemblèrent, ceux des tribus de Nephtali, d'Aser et de tout Manassé s'unirent et se lancèrent à la poursuite des Madianites. » (Juges 7:23)

Cependant, les hommes d’Ephraïm furent indignés. Ils protestèrent qu’ils avaient été ordonnés très tard dans le conflit (7:24 – 8:1). Ce fut la réponse prudente et calme de Gédéon qui les apaisa (8:2-3). Ce ne fut que la première des réponses hostiles des hommes d’Ephraïm. Cependant, il y en eut d’autres hommes, qui ne collaboreraient pas du tout:

« 4 ---Lorsqu'il atteignit le Jourdain, Gédéon le traversa avec les trois cents hommes qui l'accompagnaient. Malgré leur fatigue, ils continuaient à poursuivre l'ennemi.

  5 Arrivés à la ville de Soukkoth, Gédéon dit à ses habitants:
   ---Donnez, je vous prie, des miches de pain aux hommes qui m'accompagnent, car ils sont épuisés et je suis à la poursuite des deux rois madianites Zébah et Tsalmounna.

  6 Mais les chefs de Soukkoth lui répondirent:
   ---Tiens-tu déjà Zébah et Tsalmounna en ton pouvoir pour que nous donnions du pain à ta troupe?

  7 ---Eh bien, riposta Gédéon, quand l'Eternel aura livré Zébah et Tsalmounna en mon pouvoir, je vous fouetterai avec des chardons et des épines du désert!

  8 De là, Gédéon se rendit à Penouél où il adressa la même demande aux habitants. Il reçut la même réponse qu'à Soukkoth

  9 et déclara aux gens de Penouél:
   ---Quand je repasserai, une fois le combat terminé, je démolirai cette tour. » (Juges 8:4-9)

Soukkoth et Penouél étaient deux villes israélites dans le territoire de Gad sur la côte est du Jourdain. Ainsi, une fois encore, certains Israélites n’étaient pas disposés à aider leurs frères qui étaient dans le besoin. L’unité entre les tribus d’Israël que nous voyons dans le Livre de Josué s’érode rapidement dans le Livre des Juges.

Après que Gédéon ait mit ses ennemis à la déroute, il retourna à Soukkoth et Pénouél, où il punit leurs chefs et les exécuta. Il détruisit aussi la tour de Pénouél. Gédéon tua les deux Rois ennemis, Zébah et Tsalmounna, et pris les ornements qui étaient aux cous de leurs animaux.

Les hommes d’Israël étaient si contents avec la direction de Gédéon qu’ils voulaient en faire leur roi, une offre que Gédéon refusa sagement. La triste nouvelle est que Gédéon profita de leur gratitude. Il leur demanda une partie du butin de guerre qu’ils avaient pris des Madianites. Ils la donnèrent volontiers à Gédéon, mais de ce butin Gédéon fit un éphod qu’il garda dans sa ville natale, et cet éphod devint un objet de vénération. De cette façon, le grand libérateur d’Israël devint un obstacle pour ses compatriotes israélites, leur causant de retomber dans l’idolâtrie qui amènerait le prochain cycle de discipline divine.

Jephté (Juges 10:6 – 12:7)

Passant au dessus d’un certains nombres de juges, nous arrivons à Jephté, une des grandes énigmes du Livre des Juges. Contrairement à Gédéon tôt dans sa vie, Jephté était un valeureux militaire. Il était aussi le fils d’une prostituée (11:1). Quand le demi-frère de Jephté grandit, ils le forcèrent de quitter sa famille, mais quand les Ammonites commencèrent à les opprimer, le peuple de Galaad lui conseilla vivement de revenir comme leur chef (11:15-16). Jephté dut d’accord, à condition qu’ils adresseraient ses doléances avec sa famille et les autres à Galaad. Puis, Jephté commença à négocier avec le roi ammonite. Nous n’aurons pas le temps d’étudier ce texte, mais l’échange entre Jephté et le roi ammonite est un excellent résumé de la lutte pour le pays d’Israël comme il est aujourd’hui (voir 11:12-28).

Quand les négociations échouèrent, Jephté conduisit les Israélites contre les Ammonites. Avant d’aller au combat, Jephté fit un stupide vœu:

« 30 Jephté fit un vœu à l'Eternel et dit:
   ---Si vraiment tu me donnes la victoire sur les Ammonites,

   31 je te consacrerai et je t'offrirai en holocauste la première personne qui sortira de ma maison pour venir à ma rencontre, quand je reviendrai en vainqueur de la bataille contre les Ammonites. » (Juges 11:30-31)

Jephté et son armée battirent les Ammonites, et quand ils retournèrent chez eux, sa fille courut pour l’accueillir. Par conséquent, Jephté réalisa son vœu imprudent concernant sa fille. Parce qu’il est si difficile de croire que ce père pourrait sacrifier sa fille, d’autres explications ont été suggérées, mais aucune ne laisse une personne avec une bonne impression à propos de ce père ou de son vœu.

Une fois encore, nous lisons d’une guerre avec les gens d’Ephraïm (8:1-3). Ils semblaient avoir été querelleurs. Ils se disputaient avec Jephté parce qu’il ne les avait pas appelés à participer à la bataille (pour qu’ils puissent partager la gloire ?). Le résultat final de ce conflit fut la guerre entre les forces de Jephté et les hommes d’Ephraïm (12:1-7). Les choses allèrent de mal en pis. Au début, les Israélites combattirent ensemble, contre de ennemis communs. Maintenant, ils luttaient entre eux.

Samson (Juges 13-16)

Comme avec Gédéon, beaucoup d’attention est portée sur Samson dans le Livre des Juges. Il est une figure spécialement importante. Tout d’abord, Samson est le dernier juge du Livre des Juges. Deuxièmement, Samson est une figure tragique, un homme totalement asservit par la chair. Troisièmement, Samson est une image du pays Israël. Je suis particulièrement endetté pour les commentaires d’Albert H. Baylis, dans son bon livre, From Creation to the Cross152:

Alors que Jephté libère Israël à l’est du Jourdain, Samson devient un juge à l’ouest (chapitres 13-16). L’auteur passe plus de temps sur Samson que sur aucun autre juge. Il fut choisi pour être juge avant sa naissance, alors ses débuts rivalisent avec ceux de Samuel, Jérémie, et Jean le Baptiste. Beaucoup devrait être certainement attendu de cet homme. Mais il est tristement décevant. Il néglige régulièrement la loi, se marie avec les philistines, et a recours à son pouvoir pour réaliser des actes de violence imprévus.

Pourquoi passer tant de temps sur l’échec de Samson ? Parce qu’il est l’apothéose du message du Livre des Juges. Sa vie correspond à celle même du pays. Samson, comme Israël, avait une vocation spéciale mais l’a désertée pour poursuivre ses propres désirs. Son pouvoir, bien que grand et conféré par Yahwé, n’a pas tenu ses promesses parce que sa vie fut marquée par l’infidélité à Yahwé et son mariage consanguin avec les nations du pays.

Je ne suis pas d’accord avec quelques-uns des commentaires de Baylis,153 mais je suis certainement d’accord avec ses pensées principales ici. Samson était le « fond de la barrique » en ce qui concerne être le libérateur d’Israël, et une personne devait être vraiment corrompue pour gagner cette honneur. Alors que d’autres libérateurs surmontèrent leurs débuts, Samson n’aurait pas pu être plus privilégié. Sa naissance et son ministère furent annoncés à l’avance d’une façon qui le met au niveau de Jean le Baptiste. Ses parents étaient des disciples fidèles et engagés pour Dieu. Ils étaient assidus à rechercher les conseils de Dieu en ce qui concernait comment ils devraient élever ce fils, et ils les suivaient aussi bien que possible. Ils élevèrent Samson comme un homme consacré, et pourtant il sembla mépriser son droit de naissance spirituel. Le seul indice de toute repentance et d’obéissance de sa part vint dans les derniers moments de sa vie. Effectivement, il était une figure dramatique.

Les faiblesses dans le caractère de Samson sont apparentes dans sa première romance avec une femme philistine dans le chapitre 14. Ici était une femme dont la seule qualité était son apparence, et c’était suffisant pour Samson. Samson fit des erreurs à chaque tournant, de manger du miel de la carcasse d’un lion mort à ne pas tenir compte des conseils de ses parents en ce qui concerne choisir son épouse. La future épouse dupa Samson à lui révéler le secret (la réponse à la devinette), parce qu’elle avait peur de ceux qui la menaçait si elle ne leur révélait pas l’information (14:15-17). Quand Samson réalisa qu’elle l’avait dupée, sous l’emprise de sa colère il frappa les Philistins. Il ne les détruisit pas au nom de ses compatriotes israélites, mais plutôt pour venger sa fierté blessée. Quand cette femme fut donnée à son témoin en mariage, Samson sous l’emprise de la colère les frappa à nouveau. Il était complètement égoïste. Quelle chose terrible de voir une personne rendue si puissante par l’Esprit de Dieu, et pourtant si dominée par la chair.

Quelqu’un pourrait espérer que Samson apprit sa leçon de ce premier désastre pour acquérir une épouse des Philistins, mais quand il rencontre Dalila, il répète sa folie à un degré qu’il est à nouveau amadoué à révéler à une femme étrangère ses secrets intimes (la source de son pouvoir). Cela amène à la captivité et la cécité de Samson. C’est seulement après que ses cheveux poussèrent et qu’il implora Dieu de lui rendre sa force qu’il fut capable de se venger en faisant écrouler le temple où il était exhibé.

Epilogue: L’Histoire des Deux Lévites (Juges 17-21)

Les derniers chapitres de Juges sont un épilogue. Au lieu de se concentrer sur les péchés du peuple, ou des Juges qui les délivrèrent, les cinq derniers chapitres examinent les vies de deux Lévites. Qu’est-ce qui arrive aux chefs religieux de la nation ? Nous allons voir que la direction religieuse ne tenait pas la nation responsable pour son péché, mais au lieu de ça, se complaisait dans les pistes brûlantes de conduite pécheresse. L’aspirateur spirituel auquel je fais allusion était impliqué dans les premiers chapitres des Juges. Dans les Juges 2:1-4, c’est un « ange » qui réprimande le pays pour ses péchés. A nouveau dans 2:20-32, Dieu parle. Seulement la prophétesse Débora (4:4) et un prophète non nommé (6:7-10) semblent avoir parlé pour Dieu dans le Livre des Juges. Où sont les prêtres ou les prophètes ? N’y a-t-il aucun homme qui défendra Dieu ? Apparemment non ! Comme Paul le dira plus tard,

« 19 J'espère, en comptant sur le Seigneur Jésus, vous envoyer bientôt Timothée pour être moi-même encouragé par les nouvelles qu'il me donnera de vous.

  20 Il n'y a personne ici, en dehors de lui, pour partager mes sentiments et se soucier sincèrement de ce qui vous concerne.

  21 Car tous ne s'intéressent qu'à leurs propres affaires et non à la cause de Jésus-Christ. » (Philippiens 2:19-21)

Les deux Lévites dans notre texte sont des hommes qui ne cherchent pas les intérêts de Dieu, ou les intérêts des autres, mais les leurs.

Des Prêtres Sans Emplois à Louer au Plus Offrant (Juges 17-18)

Quelle histoire incroyable. Le jeune prêtre, un lévite de Bethléhem, n’est jamais nommé, mais son patron – Mika – l’est. Mika était dans la région montagneuse d’Ephraïm. Il avait volé de l’argent de sa mère et l’avait entendu prononcer une malédiction sur le voleur. Il sembla avoir peur que la malédiction le pousserait à confesser. En réponse, sa mère prononça une bénédiction sur lui, puis dédia une partie de l’argent « pour le Seigneur » pour le bénéfice de son fils. Puis elle engagea un orfèvre pour faire une idole. Un endroit de culte fut construit dans la maison de Mika. Mika créa alors une collection d’idoles, incluant un éphod, et engage un de ses fils comme prêtre.

Il y avait un jeune Lévite qui habitait temporairement à Bethléhem, parmi le peuple de Juda. J’ai l’impression qu’il était sans emploi. (Avec le collapse spirituel de la nation, qu’est-ce qu’un prêtre pouvait faire ? Il serait comme un directeur de pompes funèbres dans un monde sans mort). Le jeune Lévite déménagea à la recherche d’un autre endroit pour vivre, et arriva dans la région montagneuse d’Ephraïm. Là, il trouva la maison de Mika, qui lui offrit rapidement un emploi comme son prêtre personnel (Quoi de mieux que d’avoir un Lévite comme son propre prêtre ?). C’était une offre que le jeune Lévite ne pouvait refuser. Mika était maintenant assurà, dans son esprit, que Dieu le bénirait:

« 13 Mika dit:
   ---Maintenant, je suis certain que l'Eternel me fera du bien, puisque j'ai pu avoir un lévite pour prêtre. » (Juges 17:13)

La tribu de Dan cherchait un endroit où s’installer, et ils envoyèrent cinq hommes pour explorer le pays. Dans leur voyage, ils arrivèrent à la maison de Mika, où ils passèrent la nuit. Quand ils entendirent le jeune prêtre parler, ils reconnurent son accent et surent qu’il n’était pas du pays. Il leur dit comment Mika l’employait comme son prêtre personnel. Apprenant qu’il était un prêtre, ils demandèrent qu’il cherche à obtenir une révélation divine concernant leur recherche d’habitation. Le jeune prêtre les assura du succès (Quel prêtre à louer ne le ferait pas ?), et ils continuèrent leur chemin.

Quand ces espions retournèrent chez eux, ils avaient de bonnes nouvelles à propos de Laïch, un endroit tranquille d’abondance qui était éloigné et sans défense. Les Danites allèrent alors vers Laïch, s’arrêtant chez Mika en chemin. En approchant la maison de Mika, les cinq espions informèrent les autres des idoles et de l’éphod, et du jeune prêtre. S’il allaient dévaliser Laïch, ils avaient autant voler aussi les idoles de Mika (L’éphod n’était-il pas l’instrument par lequel ils avaient appris leur destin ?). Ils discutèrent avec le jeune prêtre pendant qu’ils volaient les idoles. Quand le prêtre réalisa ce qu’ils faisaient, il les défia, mais fut rapidement réduit au silence. D’autre part, ils lui offrirent un meilleur travail, les servir avec les mêmes idoles comme leur prêtre. C’était une chance de promotion, et il accepta rapidement. Mika, qui avait été comme un père pour le jeune prêtre (17:10), protesta, mais il était surpassé en nombre et abandonna. Les Danites, accompagnés par le jeune prêtre, continuèrent vers Laïch, détruisant et s’installant dans la ville pour eux-mêmes. Là, ils vénérèrent la statue sculptée, alors même que le sanctuaire d’Israël pour vénérer était Silo (18:31).

L’histoire du Lévite est une fenêtre sur le caractère moral et religieux du pays Israël et de ses chefs spirituels. Ce prêtre ne fut pas engagé dans ses devoirs officiels, probablement parce que le pays avait cessé de vénérer Dieu selon la Loi. Au lieu de ça, « chaque homme faisait ce qui leur semblait bon ». Bien que sans travail, ce Lévite sembla se foutre quel « dieu » il servait, tant que la paye était bonne. Et si une meilleure offre se présentait, comme elle arriva, il oublierait alors ses engagements préalables et ferait ce que serait le mieux pour lui, d’après lui. Les chefs spirituels d’Israël étaient pourris à la source.

Un Regard à un Second Lévite (Juges 19-21)

Pour la troisième fois dans cet épilogue, nous lisons:

« 1 A cette époque où il n'y avait pas de roi en Israël, … » (Juges 19:1a, mon accentuation en gras)

L’histoire du second Lévite est alors racontée. Ce gars vivait temporairement dans la région montagneuse d’Ephraïm. Lui aussi semblait ne pas avoir de travail. Il n’est pas à l’ endroit légitime de vénération d’Israël – Silo (voir 18:31). Il avait acquis une femme de Bethlehem, mais elle le quitta et retourna chez son père à Bethléhem. Le Lévite la poursuivit, espérant la convaincre de revenir avec lui. Quand il arriva à la maison de son père, il fut bien accueilli, et sa mission réussit. Elle fut disposée à retourner avec lui. Ils seraient partis plus tôt, excepté pour l’hospitalité de son père. Jour après jour, il persuada son beau-fils de rester un peu plus longtemps, et son hospitalité valait bien la peine de rester.

Finalement le Lévite et sa femme purent quitter la maison du père de la femme et commencèrent leur voyage de retour. Ils ne partirent que tard dans la journée, et l’obscurité menaçait de tomber alors qu’ils étaient encore en route. Approchant Yébous (Jérusalem), le servant du Lévite voulait passer la nuit là. Puisque ce n’était pas une ville israélite à cette période là, le Lévite voulait continuer à voyager jusqu'à ce qu’ils soient sur le territoire israélite. Alors ils continuèrent jusqu'à ce qu’ils arrivent à Guibea, une ville sur le territoire de la tribu des Benjamins juste quelques kilomètres plus loin. Ils arrivèrent à la grand place de Guibea à la nuit tombée, où ils s’attendirent à être accueillis et invités dans une des maisons des Benjamins. Finalement, un homme âgé revenait des champs. Il n’était pas un Benjamin ; sa maison était dans la région montagneuse d’Ephraïm, mais il vivait temporairement à Guibea. Quand il vit le voyageur, il lui parla. Le Lévite expliqua qu’il avait beaucoup de provisions ; il avait seulement besoin d’un endroit pour passer la nuit. Le vieil homme l’invita chez lui pour la nuit, insistant qu’il lui fournirait la nourriture. Ils venaient juste de finir de manger quand les hommes de la ville vinrent frapper à la porte et insistèrent que le vieil homme mit le Lévite à la porte pour qu’ils l’attaquent sexuellement. C’était Sodome revécut (comparez Genèse 19:1-13).

Le vieil homme offrit sa fille vierge à la foule, avec la femme du Lévite. Les hommes de la ville refusèrent son offre, mais le Lévite saisit sa femme et la jeta dehors, où les hommes de la ville l’abusèrent toute la nuit. Au matin, le Lévite était prêt à reprendre la route. Quand il ouvrit la porte, il trouva sa femme étendue sur le sol, ses mains sur le seuil de la porte. Sans une note de compassion, le Lévite ordonna à sa femme de se lever pour qu’ils puissent partir. Il ne réalisa pas qu’elle était morte. Quand il le réalisa, il mit son corps sur son âne et l’emmena chez lui, où il découpa son corps en 12 morceaux, envoyant un morceau et un message à chaque tribu d’Israël. C’était évidemment un message choquant:

« 30 A tous ceux qui voyaient cela, les émissaires demandaient:
   ---A-t-on jamais vu un crime aussi horrible depuis que les Israélites sont sortis d'Egypte? Réfléchissez, consultez-vous, et prenez une décision! » (Juges 19:30)

Les hommes de la tribu de Benjamin refusèrent de traiter avec leurs frères entêtés de Guibea, et ainsi le reste des Israélites trouvèrent nécessaire de déclarer la guerre avec la tribu toute entière. Par les instructions du Seigneur, Juda conduisit la charge contre les 26 000 guerriers benjaminites. Les hommes de la tribu de Benjamins réussirent à tuer 22 000 Israélites le premier jour de la bataille. Les Israélites pleurèrent devant le Seigneur à cause de leurs pertes et demandèrent s’ils devraient continuer leur attaque. Le Seigneur les instruisit d’attaquer, mais les Gabaonites tuèrent 18 000 Israélites ce jour là. L’armée entière d’Israël alla à Béthel où ils jeûnèrent et pleurèrent devant le Seigneur. Ils offrirent des sacrifices au Seigneur et demandèrent à nouveau s’ils devaient continuer à attaquer. Le Seigneur leur dit d’attaquer à nouveau, mais cette fois Il leur assura de la victoire (20:28). Les Israélites se mirent en embuscade et feignirent la défaite,154 pour que les Benjaminites poussent leur attaque, laissant la sécurité de la ville. Alors les forces battant en retraite firent demi-tour et attaquèrent. La bataille fut très violente, mais quand le jour se termina plus de 25 100 guerriers Benjaminites étaient morts. L’armée benjaminite fut décimée. Seulement 600 soldats survécurent et s’enfuirent dans le désert. Alors les Israélites détruisirent complètement les villes benjaminites, tout comme ils avaient annihilé les Cananéens (20:48).

Les Israélites prêtèrent aussi serment ce jour de ne permettre à aucune de leurs filles de marier un homme benjaminite (21:1). Ce fut peu de temps après que l’ampleur de cette tragédie commença à les pénétrer et les Israélites regrettèrent le fait qu’une de leurs tribus avait presqu’été annihilée. Le lendemain les Israélites offrirent un sacrifice au Seigneur, puis cherchèrent à trouver une façon de sauver cette tribu de la disparition. Ils se renseignèrent à propos de qui n’avaient pas été à la guerre contre les Benjaminites, et ainsi qui n’avaient pas prêté serment de ne pas donner leurs filles en mariage aux Benjaminites. En bref, les Israélites se repentaient de leur zèle de traiter avec la méchanceté des Benjaminites.

Le peuple de Yabéch Galaad ne s’était pas rassemblé pour combattre leurs camarades israélites contre les Benjaminites (21:8-9). En conséquence, 12 000 guerriers israélites furent envoyés pour exterminer les hommes, femmes, et enfants de Yabéch Galaad pour ne pas participer au conflit avec les Benjaminites. Seules les femmes vierges furent épargnées, pour servir comme femmes pour les Benjaminites survivants. Quatre cent jeunes femmes furent épargnées, et elles furent emmenées à Silo. Des messagers furent envoyés aux 600 Benjaminites survivants pour les assurer qu’ils ne seraient pas blessés ou tués. Les 400 jeunes femmes leur furent données comme épouses. Ils conçurent aussi un plan pour organiser un festival à Silo, pour que les Benjaminites puissent être donnés l’opportunité de kidnapper quelques unes des jeunes femmes de Silo et les épouser (21:19-21). C’était en quelque sorte une bonne fin pour le récit d’une période tragique de l’histoire d’Israël. A la fin, les Israélites ne sont pas meilleurs que les Cananéens qu’ils devaient déposséder.

Conclusion

Nous n’aurons pas le temps de montrer toutes les ramifications pratiques et les applications de ce Livre incroyable. Cependant, je ferais quelques commentaires généraux et suggérerais quelques thèmes cruciaux pour réfléchir et étudier un peu plus.

Premièrement, nous devrions reconnaître la contribution unique du Livre des Juges au canon des Ecritures. Voilà un Livre qui décrit une période tragique de l’histoire d’Israël, une période de transition entre la possession du pays sous le commandement de Josué et l’institution de la monarchie de 1 Samuel 8 et suivant. La répétition de la phrase, 

« En ces temps-là, il n'y avait pas de roi en Israël… » (17:6 ; 18:1 ; 19:1 ; 21:25)

Cela implique que si Israël avait eu un roi, les choses auraient pu être différentes. Israël ne profita de la paix seulement pendant la vie de leur Juge ou libérateur. S’il y avait eu un roi, avec des fils pour lui succéder, il n’y aurait pas eu un manque de chef. Peut-être c’était la clef de la paix. Bien sur, nous allons apprendre le contraire, mais le Livre des Juges aide à préparer le lecteur à accueillir un roi. Sans un roi, Israël ne marcha pas très bien pendant les jours de Juges.

Deuxièmement, je trouve nécessaire d’accentuer le fait que le livre des Juges n’est pas l’endroit pour trouver des hommes et des femmes dont nous devrions suivre les exemples. En règle générale, les libérateurs d’Israël ne sont pas des gens que nous devrions chercher à imiter. Samson n’est ni un fils modèle, ni un chef modèle. Il n’est certainement pas un modèle pour « Comment Trouver une Femme Pieuse ». Nous ne sommes pas encouragés à suivre l’exemple de Gédéon et de constamment rechercher des signes. Bien que j’ai un grand respect pour Débora, je recommanderais que vous fassiez bien attention si vous cherchez à utiliser l’histoire de Débora et Baraq comme preuve pour que les femmes s’affirment comme des leaders à la place d’hommes. Il est clair dans ce Livre que le rôle de direction de Débora (que je ne nie pas, et dont j’admire et respecte le caractère) dans les Juges représente une réprimande aux hommes qui ont échoué à diriger. Je voudrais aussi signaler que Débora refusa de conduire l’armée, et à la fin, ce fut les hommes qui assumèrent le commandement.

Il y a plusieurs thèmes qui dominent le Livre des Juges. Permettez-moi d’en mentionner quelques-uns et de faire quelques suggestions pour plus de considérations.

UNITE. Je trouve dans le Livre des Juges que le plus longtemps les Israélites vivent parmi les Cananéens, le plus intimes leurs associations deviennent avec ces Cananéens. Les Israélites deviennent de plus en plus comme les Cananéens et de plus en plus unis avec eux. Ils commencèrent à se marier avec eux, et ils embrassèrent la vénération de leurs idoles. De certaines façons (comme dans la perversion des Gabaonites – chapitre 19), ils surpassèrent même les Cananéens en impureté. Cela me rappelle des mots de Paul aux Corinthiens en ce qui concerne les péchés trouvés dans l’église de Corinthe:

« 1 On entend dire partout qu'il y a de l'immoralité parmi vous, et une immoralité telle qu'il ne s'en rencontre même pas chez les païens: l'un de vous vit avec la deuxième femme de son père!    

  2 Et vous vous en vantez encore! Vous devriez au contraire en être vivement affligés et faire en sorte que l'auteur d'un tel acte soit exclu du milieu de vous. » (1 Corinthiens 5:1-2)

L’unité des forces Israélites, sous le commandement de Josué, se désintégra rapidement dans le Livre des Juges. Alors que les Israélites poursuivaient l’unité avec les Cananéens (par exemple, le traité d’Héber155 avec le roi Yabîn), leur unité des uns avec les autres fondit. Au début du Livre, Juda fit équipe avec Siméon, et ils furent victorieux (1:3). Quand nous arrivons à Débora et Baraq, le cantique de victoire (Juges 5), nous voyons certaines tribus honorées pour participer à la bataille et d’autres réprimandées pour ne pas les joindre (5:14-18,23). Quand Gédéon combattit les Madianites, les hommes d’Ephraïm se plaignirent qu’ils avaient été exclus (8:1). Les Israélites de Soukkoth (8:5-7) et Pénouél (8:8-9) refusèrent de donner de l’eau et de la nourriture aux hommes de Gédéon. Dans le chapitre 9, Abimélek tua ses frères, et dans le chapitre 12, les Israélites sous le commandement de Jephté durent combattre les hommes d’Ephraïm. Finalement, le pays tout entier fut ordonné de déclarer la guerre à la tribu de Benjamin.

LA PAROLE DE DIEU NEGLIGEE. C’est la période quand les hommes négligent et désobéissent la Parole de Dieu. « Faire ce qu’ils voulaient faire » est synonyme de ne pas tenir compte de la loi de Dieu:

« 1 ---Voici les ordonnances et les lois auxquelles vous obéirez et que vous appliquerez dans le pays que l'Eternel, le Dieu de vos ancêtres, vous donne en possession, aussi longtemps que vous y vivrez.

  2 Vous ferez totalement disparaître tous les lieux où les nations que vous allez chasser ont adoré leurs dieux, sur les sommets des hautes montagnes et des collines et sous tout arbre verdoyant.

  3 Vous démolirez leurs autels, vous briserez leurs stèles sacrées, vous brûlerez leurs pieux sacrés, vous mettrez en pièces les idoles de leurs dieux et vous effacerez leur souvenir de cette contrée.

  4 Vous agirez tout autrement à l'égard de l'Eternel votre Dieu.

  5 L'Eternel votre Dieu choisira un lieu au milieu des territoires de toutes vos tribus pour y établir sa présence et pour en faire sa demeure; c'est là seulement que vous irez l'invoquer.

  6 Là, vous apporterez vos holocaustes et vos sacrifices, vos dîmes et vos offrandes prélevées sur le fruit de votre travail, celles que vous ferez pour accomplir un vœu, vos dons spontanés et les premiers-nés de votre gros et de votre petit bétail.

  7 Là aussi, vous prendrez vos repas cultuels en présence de l'Eternel votre Dieu, et vous vous réjouirez, vous et vos familles, de tous les produits de votre travail par lesquels l'Eternel votre Dieu vous aura bénis.

  8 Vous n'agirez donc plus comme nous agissons ici aujourd'hui, où chacun fait ce qui lui semble bon. » (Deutéronome 12:1-8)

Les hommes de la ville de Gédéon étaient prêts à l’exécuter pour obéir Dieu, pendant qu’ils cherchaient à protéger et préserver la vénération de Baal.

L’esprit de cet âge était un esprit d’autonomie personnelle et une rébellion forte contre les lois de Dieu. Il est effrayant de réaliser combien notre culture d’aujourd’hui est semblable à cette période. Par exemple, c’est maintenant un « droit » chéri d’une femme d’être souveraine sur son corps. Cela s’applique à sa conduite sexuelle (comme pour les hommes – homosexuel ou hétérosexuel). Cela s’applique aussi aux meurtres de l’enfant pas encore né. La loi Roe contre Wade de la Cour Suprême était basée sur le principe de l’intimité de l’autonomie personnelle. « Il n’y a pas d’autorité (de loi) aujourd’hui, et chaque homme et femme fait ce qui est juste à leurs propres yeux, incluant le meurtre de leurs enfants innocents pas encore nés. »

VIOLENCE. Ce Livre est rempli de violence de toutes sortes. Je ne doute pas que certains parents seraient mal à l’aise avec leurs enfants lisant certaines parties de Livre des Juges. La violence peut-être la plus horrible du Livre est trouvée dans le chapitre 19, où le Lévite donne sa femme aux hommes de la ville de Guibea pour être violée, et puis il découpe son corps mort et l’envoie à ses compatriotes israélites. Cela ne semble-t-il pas être presque inconcevable ? Et pourtant cela arrive pratiquement quotidiennement dans notre pays, avec très peu de protestations. Ça s’appelle l’« avortement de naissance partielle ». Le corps d’un enfant vivant est démembré dans le ventre de sa mère et est extrait morceau par morceau. Je vous demande, mes amis, sommes-nous de meilleures personnes que les Israélites de l’ancien temps à leurs pires ? Je ne pense pas. Cela ne nous sert-il pas à nous avertir que le temps du jugement divin est proche ?

LEADERSHIP. Le thème de direction semble se répandre dans ce Livre. Il semble être une détérioration persistante des dirigeants d'Israël dans le livre des Juges, de dirigeants assez bons comme Otniel, Ehoud, Débora et Baraq aux hommes comme Jephté et Samson (sans parler des deux Lévites à la fin du Livre). Les mauvais dirigeants corrompent la nation (comme Gédéon le fait quand il provoque Israël à vénérer son éphod). Les bons dirigeants encouragent les hommes à faire ce qui est juste devant Dieu (par exemple, Josué).

Je crois qu’il est aussi légitime de déduire que Dieu donna à Israël le genre de dirigeants qu’ils méritaient. Samson était un homme dont l’attitude et la conduite étaient très parallèles à celles du pays d’Israël. Ils, comme Samson, étaient dominés par leur appétits charnels et non pas par leurs désirs de faire confiance et d’obéir Dieu.

Il se peut que nous n’aimons pas l’admettre, mais je crois que le Livre des Juges nous informe (comme nous le trouvons ailleurs) que Dieu n’utilise pas seulement des « bons dirigeants » pour réaliser Ses buts. Dieu utilise un Pharaon au cœur dur (Romains 9:17) tout comme Il utilisa Moïse. Dieu n’est pas restreint à utiliser seulement des gens pieux. C’est certainement notre avantage de vivre pieusement, mais Dieu peut aussi utiliser des gens impies pour accomplir Ses buts. Croyez-le ou pas, Dieu utilisa Jephté, Samson, et d’autres caractères indésirables pour réaliser Ses fins.

LE ROLE DES FEMMES DANS LE LIVRE DES JUGES. Un de mes amis, Hampton Keathley IV, a écrit un excellent article sur le sujet du « Rôle des Femmes dans le Livre des Juges. »156 Je le recommanderais vivement au lecteur. Les Cananéens étaient certainement une culture corrompue, et elle se manifestait dans leurs attitudes et leurs actions envers les femmes. Mais quand nous arrivons au Livre des Juges, nous trouvons qu’une nation décadente comme Israël était aussi mauvaise ou pire. Un père fait un vœu qui exige qu’il sacrifie sa fille (Jephté). Un Benjaminite jette sa femme « aux loups » de Guibea, pour se sauver sa peau, et d’un ton bourru lui ordonne de se lever du sol. Quand il découvre qu’elle est morte, il l’a découpe en morceaux. Les femmes semblent avoir plus de pouvoirs dans le Livre des Juges. Débora et Yaël sont justement honorées. Une femme lance une meule de moulin sur la tête d’Abimélek, le tuant (9:53). Et une femme séduit Samson et l’amadoue pour qu’il lui dise ses plus grands secrets. Mais alors que les femmes semblent avoir plus de pouvoirs, elles manquent certainement d’honneur (excepté pour quelques cas). Cette période n’était pas une dans lesquelles les femmes étaient chéries et honorées. Elles étaient utilisées et abusées. Une société pourrait bien être jugée par son traitement des femmes, et si elle l’est, la période des Juges et la nôtre seront trouvées ne pas être à la hauteur.

Que Dieu nous permette d’apprendre ces leçons du Livre des Juges que les Israélites d’autres fois n’avaient pas apprises.


148 This is the edited manuscript of a message delivered by Robert L. Deffinbaugh, teacher and elder at Community Bible Chapel, on February 25, 2001.

149 Unless otherwise indicated, all Scripture quotations are from the NET Bible. The NEW ENGLISH TRANSLATION, also known as THE NET BIBLE, is a completely new translation of the Bible, not a revision or an update of a previous English version. It was completed by more than twenty biblical scholars who worked directly from the best currently available Hebrew, Aramaic, and Greek texts. The translation project originally started as an attempt to provide an electronic version of a modern translation for electronic distribution over the Internet and on CD (compact disk). Anyone anywhere in the world with an Internet connection will be able to use and print out the NET Bible without cost for personal study. In addition, anyone who wants to share the Bible with others can print unlimited copies and give them away free to others. It is available on the Internet at: www.netbible.org.

150 Sorry for the pun. I couldn’t resist.

151 I confess this is speculative, but it would help to explain how the next events took place.

152 Albert H. Baylis, From Creation to the Cross: Understanding the First Half of the Bible (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), p. 175. I must also say to the reader that I was not familiar with this book or its author until after I had entitled this series, “From Creation to the Cross.” I apologize for any confusion I have created by using the same title.

153 I think Samson did deliver Israel.

154 Much as they did at Ai; see Joshua 8.

155 Strictly speaking, Heber may not be a Jew, biologically, but his ancestor was the father-in-law of Moses, who did join himself to Israel (Judges 1:16)

Related Topics: Introductions, Arguments, Outlines

Pages