MENU

Where the world comes to study the Bible

Getirnya Kekalahan (Yosua 7:1-26)

Related Media

Translated by Berens

Pendahuluan

Setelah kemenangan yang gemilang di Yerikho, Yosua bab 7 berisi kekalahan yang mengejutkan. Tiba-tiba kita disodorkan dengan sejumlah kegagalan yang sangat bertolakbelakang dengan kemenangan yang gemilang pada keenam bab sebelumnya. Kita bisa memperoleh pelajaran yang sangat berharga dalam bab ini jika kita mau mempelajarinya sungguh-sungguh. Kemenangan yang menggembirakan dengan cepat diganti oleh getirnya kekalahan. Ini adalah cerita kehidupan, dan sesuatu yang harus kita hadapi dalam perjalanan hidup sehari-hari. Belum satu menit kita hidup dalam kemenangan kita bisa kalah pada menit berikutnya.

Jarak antara satu kemenangan besar dengan kekalahan yang mengenaskan hannyalah dalam satu langkah, dan kadang-kadang hanya dengan langkah yang pendek. Dalam kenyataannya di dunia yang berdosa ini kita bisa mengalami keberhasilan luar biasa secara rohani, dan setelah itu kita mendapati diri kita berada dalam lembah kegagalan dan keputusasaan rohani. Pada satu saat kita bisa menjadi seperti Elia yang berdiri penuh kemenangan di Gunung Karmel, dan pada saat berikutnya bersembunyi dalam gua, kuatir akan keselamatan hidup kita, dan mengeluh kepada Tuhan (1 Raja-raja 19:10).

Ai adalah tujuan berikut dalam peperangan karena lokasinya yang strategis. Sama seperti peperangan melawan Yerikho, mengalahkan Ai penting untuk bisa menguasai seluruh tanah Kanaan. Ai lebih kecil dari Yerikho, namun adalah penting untuk menguasainya karena Ai akan memberi Israel kendali atas jalan utama yang membentang sepanjang pegunungan dari utara ke selatan sepanjang dataran tinggi yang menjadi bagian utama tanah Kanaan.

Yerikho adalah tempat yang dilarang, sesuai dengan istilah Ibraninya, herem, yang artinya “sesuatu yang harus direlakan, satu larangan.” Bentuk kata kerja, haram, berarti “melarang, mengkhususkan, atau menghancurkan sama sekali.” Pada dasarnya, kata ini berarti pelarangan satu benda untuk digunankan atau disalahgunakan manusia dalam penyerahan mutlak kepada Tuhan. Kata ini berkaitan dengan kata Arab yang berarti “dilarang, khususnya untuk penggunaan pada umumnya.” Kata “harem,” artinya tempat khusus untuk para istri Muslim berasal dari kata yang sama. Jadi, menyerahkan sesuatu kepada Tuhan berarti mengkhususkannya untuk pelayanan kepada Tuhan atau berarti melarangnya dan menghancurkannya sama sekali.1

Sesuatu yang dilarang, bisa berarti dua hal.

(1) Segala yang hidup harus dihancurkan sama sekali. Ini memang tidak beradab atau primitif—sama seperti membunuh yang tidak bersalah, namun orang Kanaan bukan tidak bersalah. Mereka adalah bangsa yang bengis yang mempraktekan kenajisan yang paling luar biasa termasuk pengorbanan anak. Tuhan memberikan mereka kesempatan empatratus tahun untuk bertobat, namun pelanggaran mereka telah penuh (lihat Kejadian 15:16; Imamat 18:24-28). Satu-satunya keluarga yang berbalik kepada Tuhan (yaitu Rahab dan keluarganya) dibiarkan selamat. Seperti juga Sodom dan Gomorah, seandainya terdapat sepuluh saja orang yang benar, maka Tuhan akan menyelamatkan kota tersebut (Kejadian 18), namun karena bahkan sepuluhpun tidak ditemukan, maka Tuhan membiarkan Lot dan keluarganya saja yang diselamatkan (Kejadian 19). Lebih lanjut, jika satu kota mau bertobat seperti yang dilakukan Ninewe saat Yunus berkhotbah, maka Ia akan membiarkan kota tersebut, namun meskipun mereka sudah mendengar karya Tuhan yang penuh mujizat, mereka tidak bertobat, mereka tetap berfoya-foya dalam kehancuran mereka. Norman Geisler memberi komentar:

… peperangan yang dihadapi Israel tidak hanya peperangan agama saja; itu adalah peperangan teokrasi. Israel secara langsung diperintah oleh Tuhan dan pemusnahan tersebut merupakan perintah langsung dari Tuhan (bandingkan Keluaran 23:27-30; Ulangan 7:3-6; Yosua 8:24-26). Tidak ada bangsa yang sebelum atau sesudah Israel yang adalah satu bangsa teokratis. Jadi, perintah tersebut adalah unik, Israel sebagai negara teokrasi saat itu merupakan alat penghakiman tangan Tuhan.2

(2) Semua benda berharga seperti emas dan perak harus diberikan untuk perbendaharaan Tuhan. Ini jelas harus dilakukan sebagai satu bentuk persembahan hasil pertama dan sebagai satu bukti iman jemaat kepada Tuhan untuk keperluan dimasa depan (bandingkan Imamat 27:28-29).

Ketidakpatuhan Israel Dinyatakan
(7:1)

Bab 7 dibuka dengan satu kata kecil namun penting, kata itu adalah “tetapi,” yang membandingkan bab ini dengan bab sebelumnya, khususnya ayat 27. Pada bab-bab sebelumnya terdapat sukacita kemenangan, tetapi kemudian diganti dengan getirnya kekalahan. Kata penghubung yang membandingkan ini dirancang agar kita menaruh perhatian atas satu kebenaran penting, yaitu adanya ancaman dan perubahan hidup yang bisa terjadi kapan saja—bahwa kemenangan selalu diikuti oleh ancaman kekalahan.

Tidak pernah orang percaya berada dalam satu bahaya kejatuhan yang lebih besar dibandingkan setelah satu kemenangan yang ia alami. Kita sangat mudah melepaskan pertahanan dan mulai percaya pada kemampuan diri sendiri atau pada kemenangan-kemenangan kita di masa lalu dan bukan pada Tuhan saja. Satu kemenangan tidak menjamin kemenangan selanjutnya. Hanya jika kemenangan itu membangun keyakinan kita pada Tuhan dan hanya jika kita mengembangkan kihmat atas dasar Firman Tuhan, maka kemenangan-kemenangan kita bisa membantu peperangan kita selanjutnya, namun dasar dari kemenangan selalu adalah Tuhan sendiri dan keyakinan/ketergantungan kita kepadaNya. Bagian dalam Perjanjian Baru yang perlu disebut disini adalah 1 Korintus 10 dan khususnya ayat 12, “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!”

Persoalannya sangat jelas dinyatakan bahwa, “orang Israel berubah setia dengan…” Mari kita cermati beberapa hal tentang persoalan yang dihadapi bangsa Israel ini.

(1) Kata “berubah setia” mewakili kata Ibrani yang berarti “bertindak dibawah tangan/curang.” Kata ini dipakai untuk ketidaksetiaan dalam perkawinan, dimana seorang wanita tidak setia kepada suaminya. Dosa yang dilakukan disini adalah ketidaksetiaan rohani karena menjadi sahabat dunia ini dan bukan menjadi sahabat Tuhan (Yakobus 4:4), juga adalah merupakan tindakan yang tidak beriman karena mencari kebahagiaan dan keamanan lewat hal-hal lain diluar Tuhan (1 Timotius 6:6f).

(2) Tuhan meminta pertanggungjawaban seluruh bangsa Israel atas tindakan satu orang dan Ia menahan berkatNya hingga kesalahan itu diselesaikan. Dosa berada di perkemahan Israel dan Tuhan tidak akan terus memberkati mereka selama keadaannya tidak ada perubahan. Ini tidak berarti bahwa semua bangsa Israel tidak berdosa, atau bahwa itu adalah satu-satunya dosa yang dilakukan mereka, namun dosa ini adalah dosa yang memiliki satu sifat (yaitu dosa ketidakpatuhan dan pemberontakan langsung) yang dipakai Tuhan untuk mengajarkan kepada bangsa Israel (juga kita) dua pelajaran yang penting.

a. Tuhan memandang bangsa Israel sebagai satu kesatuan. Apa yang dilakukan satu orang dianggap sebagai dosa keseluruhan bangsa karena kehidupan bersama dari orang Israel sering mengilustrasikan satu kebenaran dan peringatan kepada kita sebagai individu (1 Kor. 10). Sebagai satu peringatan kepada gereja, ini menunjukkan bahwa kita tidak bisa maju untuk Tuhan dengan dosa yang jelas dalam hidup kita karena itu merupakan pemberontakan terhadap perintah dan pimpinan Tuhan (Efesus 4:30; 1 Tesalonika 5:19). Ini berkaitan dengan mengasihi dunia ini dan dengan demikian membuat diri seseorang bermusuhan dengan Tuhan (Yakobus 4).

b. Satu orang percaya berdosa akan mempengaruhi siapa saja. Sikap Akhan juga menunjukkan bagaimana orang percaya yang berada diluar persekutuan yang mengejar kehendak dan kepentingan diri sendiri bisa mempengaruhi dan menciptakan persoalan bagi keseluruhan kelompok. Nama Akhan berasal dari kata Ibrani, àa„kan, yang mirip kata àa„ko„r, yang artinya “persoalan.” Jadi Yosua akan mengumumkan bahwa Tuhan akan menimpakan masalah (àa„ko„r) kepada Akhan yang menjadi seorang “pembuat masalah” bagi bangsa Israel karena dosanya (bandingkan 7:24-25). Jadi, tempat dimana Akhan mati disebut, “lembah Akhor” (dalam bahasa Ibrani, àa„ko‚r, artinya “gangguan, atau masalah”). Ini juga mengingatkan kita pada Ibrani 12:15-16 dan 1 Korintus 5:6-7.

Meski kejahatan itu hanya dilakukan satu orang, seluruh bangsa Israel dianggap bersalah. Bangsa itu bertanggungjawab atas ketidakpatuhan dari setiap warganya dan dikenai hukuman untuk setiap pelanggar.

Rasul Paulus juga melihat prinsip solidaritas yang sama untuk gereja (1 Korintus 5:6-13). Dosa yang tidak dihakimi akan merusak satu persekutuan—“Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan?” (6).3

(3) Kita juga diingatkan bahwa tidak ada yang luput dari Tuhan yang Maha-mengetahui (Mazmur 139:1f). Tidak ada dutsa yang luput dari pengamatanNya. Kita bisa saja menipu diri kita atau orang lain, namun tidak pernah bisa menipu Tuhan. Tuhan melihat dosa dalam hidup kita dan menginginkan supaya kita menyelesaikannya, bukan menyembunyikannya. Kalau kita menghindarinya hanya akan menjauhkan kita dari kemajuan yang sesuai dengan rencana dan kehendak Tuhan (Amsal 28:13) dan hanya akan menciptakan permasalahan bagi orang lain. Bilangan 32:23 mengingatkan kita, “dosamu itu akan menimpa kamu.” Ini sama dengan menuai apa yang ditabur sebagai akibat alamiah dari hukum rohani dan moral dari Tuhan dan karena keterlibatan Tuhan secara pribadi, namun Bilangan tidak hanya mengajarkan bahwa dosa akan ketahuan namun juga bahwa akibat dosa kita akan dengan aktif mengejar diri kita (lihat Galatia 6:7-8).

(4) Dosa bukanlah perkara sepele bagi Tuhan. Kalimat, “Lalu bangkitlah murka TUHAN terhadap orang Israel,” secara dramatis menuntut perhatian kita terhadap kesucian Tuhan dan kenyataan bahwa dosa bukanlah perkara yang sepele bagiNya karena itu adalah pemberontakan dan pemberontakan adalah sama dengan dosa bertenung (1 Sam. 15:23). Meski Tuhan telah mati untuk dosa-dosa kita dan berada di sebelah kanan Allah sebagai pembela dan penengah kita, Tuhan tidak akan menganggap enteng dosa kita. Dosa adalah yang bertentangan dengan sifat-sifatNya yang suci (yaitu kesucianNya, kebenaranNya, kasihNya, dsb.) dan bertentangan dengan tujuanNya yang suci untuk kita karena dosa menghalangi pimpinanNya dan bimbinganNya kepada kita.

Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: “Roh yang ditempatkan Allah dalam diri kita, diinginNya dengan cemburu!” Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkanNya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati.” (Yakobus 4:5-6).

Jadi, Tuhan harus menuntut penyelesaian atas dosa kita; Ia memperlakukan kita seperti Bapa dan Pengusaha kebun anggur, namun tetap memperhatikan kita (Yohanes 15:1f; Ibrani 12:5).

Kekalahan atas Ai Dinyatakan
(7:2-5)

Ai adalah kota yang lebih kecil dari Yerikho dan kekalahan tentara Israel seperti yang dijelaskan disini adalah satu-satunya peristiwa yang dicatat dalam kitab Yosua dan satu-satunya catatan mengenai penumpasan orang Yahudi dalam peperangan. Kalau demikian, bagaimana mungkin kekalahan itu terjadi begitu cepat? Seperti yang disimpulkan dalam ayat satu, akar permasalahannya adalah dosa Akhan, namun ada hal lain yang berkaitan dengan apa yang terjadi antara Yosua dan Ai yang seharusnya tidak terjadi.

Dalam ayat-ayat ini kita bisa melihat beberapa akibat dosa dalam kehidupan umat Tuhan. Dosa memang mengakibatkan banyak hal, dan tidak ada satupun yang baik.

Tidak diragukan bahwa Yosua berkeinginan untuk maju demi Tuhan dan mengalahkan banyak daerah sesuai dengan petunjuk Tuhan dan sesuai dengan rencana Tuhan bagi Israel. Namun karena sedikit percaya diri dan terlalu bersandar pada kemenangan sebelumnya terhadap Yerikho, maka secara nyata ia gagal untuk mengambil waktu sendiri bersama Tuhan untuk mencari petunjuk Tuhan dan meminta bantuan kuasaNya. Seandainya ia melakukannya, maka ia akan mengetahui dosa Akhan dan akan terlebih dahulu menyelesaikannya. Empat kesalahan fatal adalah akibatnya:

  • mereka tidak menyadari dosa Akhan,
  • mereka meremehkan kekuatan lawan,
  • mereka terlalu bersandar pada kekuatan militer mereka, dan
  • mereka berspekulasi dengan Tuhan—mereka menjadikan Tuhan sebagai jaminan.

Kemudian, ketika Tuhan memberi perintah kepada mereka untuk mengalahkan lawan, mungkin karena kepercayaan diri mereka atas kemenangan sebelumnya dan perkiraan mereka yang salah, maka Tuhan menyuruh mereka membawa “seluruh tentara” Israel (8:1). Akan tetapi, berbeda dengan Gideon Tuhan menyuruh Gideon mengurangi kekuatan mereka karena nanti mereka menjadi sombong dan menganggap kemenangan mereka bersumber pada kekuatan mereka sendiri (Hakim-Hakim 7:1f).

Berapa sering kita menjadi seperti Yosua dalam pasal 7? Karena terbiasa kerja keras, suka bertindak dan keinginan untuk menyelesaikan sesuatu dan berhasil, maka ada kecenderungan kita bertindak cepat tanpa mengambil waktu bersama Tuhan dan bersandar pada kekuatanNya dan mengenakan seluruh perlengkapan senjata Tuhan. Ini bukan hanya tidak bijaksana, namun bahkan menyebabkan kita tidak sensitif terhadap musuh karena dengan demikian kita bersandar pada kekuatan dan hikmat diri sendiri. Dengan demikian dengan nyata kegagalan-kegagalan ini menghalangi kemajuan dan kemampuan kita dalam menghadapi tantangan hidup.

Akibatnya, bagian akhir ayat 5 mengatakan, “lalu tawarlah hati bangsa itu amat sangat.” Kekalahan atas Ai membuat bangsa Israel patah semangat. Ini bahkan jauh lebih penting dari kekalahan mereka itu karena ini mengakibatkan keraguan dan lemahnya harapan atau keyakinan dalam Tuhan. Bukannya mereka memeriksa diri mereka yang menjadi sumber kekalahan, mereka malah mulai meragukan Tuhan dan sangsi kalau Tuhan telah berubah pikiran atau kalau-kalau mereka telah salah memahami petunjukNya seperti yang dicatat, “Lebih baik kalau kami putuskan tadinya untuk tinggal di seberang sungai Yordan itu!” (7:7).

Dalam keberdosaan kita, kita sering seperti itu. Kita begitu cepat depresi, patah semangat, dan hilang arah dan mencoba melihat segala alasan kegagalan diluar diri kita. Kita menyalahkan orang lain atau sesuatu, kita membuat alasan-alasan, kita bersembunyi dan menjadi acuh-tak acuh, namun sering kita gagal memeriksa diri. Kita menganggap kesalahan tidak mungkin berasal dari diri kita.

Kekecewaan Yosua Dinyatakan
(7:6-9)

Konsentrasi pada Tabut Perjanjian (ayat 6)

Dalam pemaparan keadaan Yosua kita melihat satu bukti kuat mengenai kebenaran Alkitab. Umat Tuhan, termasuk para pahlawan iman yang besar, digambarkan tidak lepas dari kesalahan dan ketidaksempurnaan. Tuhan tidak hanya mau menampilkan yang baik-baik saja dalam Alkitab. Akan tetapi Ia menunjukkan sisi kemanusiaan para tokoh Alkitab bukan hanya karena memang itu adalah kenyataan, namun juga bertujuan untuk memberi penguatan kepada kita bila mengalami kegagalan dan memberi dorongan kepada kita dalam menyadari bahwa Ia bisa menggunakan kita jika kita mempercayaiNya. Kegagalan bukanlah akhir segalanya. Sesungguhnya, kegagalan bisa menjadi jalan belakang menuju keberhasilan; kegagalan mungkin adalah awal keberhasilan tergantung bagaimana kita meresponnya. Tentu, lebih baik kalau membuat kesalahan baru dan mendapat pelajaran atasnya dibandingkan dengan mengulangi kesalahan-kesalahan lama. Kalau melakukan kesalahan lama maka kekalahan kita tidak akan membawa perubahan hidup.

Dalam kekalahan atas Ai kita melihat ujian atas kepemimpinan Yosua. Seperti kata Sanders, “Ada ujian untuk kepemimpinan juga ujian tentang kepemimpinan.”4 Kegagalan bisa merupakan satu bentuk ujian. Tidak ada yang tidak pernah mengalamai kegagalan. Kegagalan, sama seperti ujian lainnya, adalah biasa bagi semua orang (1 Kor. 10:13) dan dengan demikian, cara seorang pemimpin menghadapi kegagalan (baik kegagalan dirinya maupun orang lain) akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan masa depan kepemimpinannya.

Jika kita mempelajari Alkitab maka kebanyakan mereka yang mencatat sejarah adalah orang-orang yang pernah gagal, dan diantaranya adalah kegagalan dramatis, namun mereka menolak untuk tetap berkabung dalam debu. Kegagalan dan pertobatan mereka membuat mereka lebih jelas mengenai kasih karunia Tuhan. Mereka kemudian mengenal Tuhan sebagai Tuhan yang memberi kesempatan kedua kepada anak-anakNya yang pernah mengecewakanNya—juga dalam kesempatan ketiga …

Pemimpin yang berhasil adalah orang yang menyadari bahwa kegagalan bukan akhir segalanya dan ia adalah orang yang bertindak atas keyakinan ini, baik itu kegagalan karena kesalahannya atau karena orang lain. Ia harus belajar realistis dan siap untuk menyadari bahwa ia tidak mungkin selamanya benar. Tidak ada pemimpin yang sempurna atau tidak pernah melakukan kesalahan.5

Tentu saja Yosua tercengang dengan kekalahan dan aib di Ai sehingga ia bersama para tua-tua melakukan apa yang biasanya dilakukan orang Ibrani, yaitu meratap dan berkabung. Tindakan mereka dengan menjatuhkan diri ke tanah di depan tabut perjanjian menunjukkan bahwa mereka merendahkan diri dihadapan Tuhan. Yosua dan para tua-tua melakukannya bukan karena perasaan bersalah yang menemui jalan buntu, melainkan mereka melakukannya karena prihatin dan merasa perlu bantuan Tuhan; mereka membutuhkan campurtangan dan hikmat Tuhan. Namun, berdasarkan perkataan yang dicatat setelah itu dan karena dipengaruhi oleh perasaan, kelihatannya dalam tindakan mereka itu ada sedikit unsur kasihan pada diri sendiri dan keraguan.

Di zaman sekarang kita biasanya tidak merobek baju kita, jatuh tersungkur dengan wajah menghadap ke tanah, dan menabur abu diatas kepala kita. Namun kita juga memiliki kebiasaan bagaimana menunjukkan keprihatinan, kepedihan dan keraguan. Kita mungkin akan jatuh berlutut atau menaruh tangan kita diwajah dan menangis. Kalau dipengaruhi perasaan kasihan pada diri sendiri dan depresi, kebanyaan orang akan menjadi tidak aktif, kadang-kadang murung; biasanya mereka akan banyak termenung dan tidak ada konsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaan yang mudah sekalipun. Namun respon seperti ini tidak menghilangkan rasa sakit atau menyelesaikan persoalan. Akan tetapi ini memungkinkan kita bertumbuh lewat pengalaman.

Keluh-kesah kepada Tuhan (7-9)

Akhirnya, setelah sepanjang hari menutupi wajahnya, Yosua mengungkapkan kebingungannya dalam tiga pertanyaan dan dua pernyataan. Ia tidak menyalahkan orang lain, ia tidak mencoba mencari pelampiasan, atau memendamnya. Ia melakukan apa yang seharusnya kita semua lakukan, yakni mencurahkan isi hati kepada Tuhan.

Pertanyaan pertama (7a): “Ah, Tuhanku ALLAH, mengapa Engkau menyuruh bangsa ini menyeberangi sungai Yordan?

Kata “Ah” disini adalah ungkapan keputusasaan. Memang “Ah” adalah terjemahan harafiah bahasa Ibraninya. Biasanya ungkapan ini merupakan ungkapan dalam suasana ketidakberdayaan atau kekalahan. Sering ungkapan ini sama dengan ungkapan “Tuhan/ku ALLAH” meski tidak selalu menggambarkan suasana putus asa (Hakim-Hakim 6:22; Yeremia 1:6; 4:10; 14:13; 32:17; Yehezkiel 4:14; 9:8; 11:13). Dengan satu hembusan nafas ia berseru “Ah, Adonai Yahweh,” yang sebenarnya merupakan pengakuan bahwa Tuhan adalah yang berdaulat dan yang mengatur kehidupan, namun pada hembusan nafas berikutnya nampaknya ia menyangsikan tujuan dan janji yang diberikan Allah sebagai Allah yang berdaulat.

Dengan pertanyaan, “Mengapa Engkau menyuruh bangsa ini…,” sebenarnya ia bersikap seolah-olah Tuhan tidak berdaulat, bahwa Ia telah melakukan kesalahan, atau seolah-olah Ia telah menipu mereka. Betapa sering kita begitu rohani namun tidak lama kemudian menolak kemahakuasaan dan kedaulatan Tuhan melalui apa yang kita pikirkan, atau katakan, atau perbuat? Ini adalah contoh yang sangat baik bagaimana melihat persoalan dengan cara negatif bisa mempengaruhi pandangan kita tentang Allah yang kemudian akan mempengaruhi iman kita terhadap maksud, rencana, dan janji-janjiNya.

Fokus yang salah, juga bisa mengakibatkan gunung menjadi bukit kecil. Mungkin dengan bersandar pada kemenangan sebelumnya dan bukan bersandar kepada Tuhan mengakibatkan mereka hanya melihat Ai sebagai persoalan seperti satu ‘bukit kecil’ saja. Sebaliknya karena dipengaruhi kekalahan, mereka merubah bukit kecil ini menjadi ‘gunung’ yang terlalu besar bagi Allah yang Mahakuasa.

Kalau kita dirundung masalah, atau kalau kita gagal memfokuskan pikiran kepada Tuhan, maka kita akan menjadi kurang peka kepada Pribadi, rencana, janji-janji, dan tujuan-tujuan dari Tuhan. Pada saat itu, nampaknya tidak pernah terpikirkan oleh Yosua bahwa Allah mempunyai alasan untuk mengijinkan kekalahan dialaminya, atau bahwa sebenarnya mereka (Yosua dan bangsa Israel) seharusnya sadar atas kemungkinan bahwa mereka yang menjadi penyebabnya. Kalau kita salah fokus maka kita akan melupakan janji Allah atau akan meragukannya. Dengan demikian kita tidak lagi menganggap Tuhan sebagai Pribadi yang memiliki segala sifat yang ilahi. Dalam keadaan ini maka kita tidak lagi melihat Tuhan sebagai harapan kita, melainkan kita akan menganggapNya jelek.

Pernyataan pertama (7b): “Lebih baik kalau kami putuskan tadinya untuk tinggal di seberang sungai Yordan itu!”

Pandangan kita akan menjadi semakin sempit dan negatif atas tujuan-tujuan Tuhan jika kita kehilangan hubungan dengan Tuhan dan mata kita terpaku pada keadaan sekitar. Kita akan mundur dan berangan-angan tentang masa lalu. Biasanya kita akan bernostalgia tentang keindahan masa lalu. Kita akan menjadi seperti Israel yang bernostalgia yang enak-enak seperti ikan, bawang puti, melon, mentimun, dsb., yang mereka nikmati sebelumnya, namun mereka lupa pada yang jelek-jelek di masa lalu seperti mandor yang kejam dan parit lumpur tempat mereka bekerja sebelumnya. Untuk memperoleh ketenangan kita rela hidup munafik dan tidak belajar apa yang menjadi kendala supaya bisa maju untuk mencapai yang lebih baik.

Disini tercipta pendapat yang keliru bahwa karena mereka telah dikalahkan, maka mereka tidak bisa maju lagi dan bahwa sebaiknya mereka tidak lagi menghadapi musuh. Kegagalan mereka sedikitnya menghambat kemampuan Tuhan untuk memberi kemenangan dimasa depan. Ini pendapat yang lumrah, namun salah. Tuhan tidak bisa dibatasi oleh kegagalan kita. Sebagai Tuhan yang Mahakuasa, Ia mampu membuat segala sesuatu untuk kebaikan untuk membuat kita menjadi semakin mirip dengan AnakNya (Roma 8:28-29).

Pertanyaan kedua (8): “Oh Tuhan, apakah yang akan kukatakan, setelah orang Israel lari membelakangi musuh-musuhnya?”

Setelah kekalahan Yerikho, pasal 6 diakhiri dengan pernyataan, “Dan TUHAN menyertai Yosua dan terdengarlah kabar tentang dia di seluruh negeri itu.” Dari pernyataan Yosua pada pasal 7 ayat 8, nampaknya sekarang ia kuatir kalau-kalau orang akan mengeluh dan tidak mau lagi untuk mengikuti kepemimpinannya. Apakah kegagalan ini akan merusak kemampuan saya untuk melakukan apa yang menjadi alasan Engkau memanggilku karena sikap dan keraguan yang mereka tunjukkan? Lebih jauh lagi, bangsa Israel menginginkan jawaban sedangkan ia pada saat ini tidak memilikinya. Apa yang bisa ia katakana kepada mereka? Ini sungguh merupakan doa untuk memperoleh hikmat (Yakobus 1:5).

Mungkin juga akibat merasa malu atau akibat menyalahkan diri sendiri karena melihat bangsa Israel berbalik dan melarikan diri, maka ia menjadi ragu kalau-kalau ia bisa memimpin pasukan lagi. Ia mungkin merasa bahwa ia telah mengecewakan mereka, dan ia menjadi prihatin atas akibat semuanya ini untuk kemampuannya dalam memimpin bangsa Israel.

Pernyataan kedua (9a): “Apabila hal itu terdengar oleh orang Kanaan dan seluruh penduduk negeri ini, mereka akan mengepung kami dan melenyapkan nama kami …”

Memang wajar kalau Yosua memprihatinkan tentang akibat kekalahan ini atas kesaksian mereka kepada bangsa-bangsa lain dan bagaimana ini bisa melemahkan mereka karena ada kemungkinan akan ada usaha untuk menentang umat Tuhan. Akankah ini menjadi landasan bagi musuh untuk melakukan serangan dalam menekan Israel dan bukan sebaliknya?

Dunia sedang mengamati kita dan cara kita menghadapi persoalan memang akan mempengaruhi sikap dunia terhadap orang Kristen:

1 Petrus 3:13-17: Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebabitu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah-lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu. Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat.

Pertanyaan ketiga (9b): “Dan apa yang akan Kaulakukan untuk memulihkan namaMu yang besar itu?”

Meskipun ia dalam segala ketakutannya, sifat Yosua dan kasihnya pada Tuhan muncul. Nampaknya keprihatinan Yosua yang paling besar adalah bahwa kabar kekalahan ini akan mengurangi hormat bangsa-bangsa kafir akan nama Tuhan. Yosua mungkin merasa bersalah atas apa yang kemungkinan akan dipikirkan orang kebanyakan, yaitu bahwa satu kegagalan akan mengakibatkan kegagalan lain menyusul; bahwa kemenangan sekarang ini akan kurang mungkin karena mereka telah gagal secara menyedihkan. Memang benar bahwa dosa kita akan mempengaruhi kesaksian kita untuk sementara; ini bisa memberi kesempatan kepada Setan untuk memiliki landasan; ini mungkin saja bisa mengakibatkan beberapa ganguan, namun Tuhan selalu bisa mengerjakan segala sesuatu untuk kebaikan bagi mereka yang mengasihiNya.

Tidak ada yang bisa dicapai kalau wajah kita terbenam lumpur atau mata kita terpaku pada kegagalan dan persoalan kita. Pertama, kita harus mengakui kegagalan kita dan hal-hal yang menjadi penyebabnya kalau itu bisa dipastikan. Kemudian kita perlu belajar daripadanya. Akhirnya, kita perlu mengetahui bahwa kehendak Tuhan adalah supaya kita dipulihkan dengan segera dan supaya kita memiliki iman dalam kemurahan Tuhan. Kehendak Tuhan adalah supaya kita bangkit dan maju terus (10f).

Kalau saya bisa simpulkan, penyebab kegagalan mereka adalah:

1. Nampaknya karena kurang berdoa atau gagal mengambil waktu sendiri bersama Tuhan untuk mencari petunjukNya.

2. Jelas karena bersandar kepada hikmat manusia ketika Yosua mendengar saran dari para pengintai setelah mereka kembali dari pengintaian atas Ai (3).

3. Kemudian, mereka bersandar pada pengalaman kemenangan mereka sebelumnya bukan pada Tuhan, mereka terlalu yakin dengan kemampuan mereka, karena berpikir bahwa mereka bisa dengan mudah mengalahkan kota sekecil Ai dibandingkan dengan Yerrikho yang lenih besar (3-4).

Sekarang dalam ayat 10, perhatian kita beralih kepada petunjuk dan respon Tuhan kepada Yosua. Ini sangat instruktif karena ini tidak saja memberi kita gambaran tentang hakekat tindakan Yosua, keputusasaan dan keraguannya, namun juga menunjukkan kepada kita evaluasi Tuhan terhadap apa yang telah dilakukan Yosua (bahwa Ia tidak senang atas tindakannya) juga menunjukkan instruksiNya atas apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahannya.

Petunjuk Dari Allah Dinyatakan
(7:10-15)

Petunjuk kepada Yosua (10-12)

“Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Yosua.” Dari perkataan ini kita melihat campurtangan Tuhan secara pribadi dalam kehidupan umatNya. Tuhan perduli terhadap kehidupan kita dan Ia melayani kita dan selalu bertindak untuk menyatakan diriNya dan selalu mengajar kita tentang kehidupan yang kita jalani dan tentang apa yang perlu dilakukan dalam hidup (1 Petrus 5:6-7; Ibrani 13:5-6). Persoalannya adalah apakah kita mendengarkanNya?

Perintah kepada Yosua (10a) “Bangunlah!”

Perintah ini diberikan kepada Yosua ketika wajahnya sedang menghadap tanah dengan kotoran diatas kepala seperti yang biasa dilakukan di Timur Tengah. Ia saat itu sedang putus asa dan panik. Seperti yang didisebutkan sebelumnya, jatuh dengan wajah menghadap ke tanah dengan debu di kepala merupakan bentuk kerendahan hati karena ia menangis kepada Tuhan, namun bila mencermati respon Tuhan disini, nampaknya tindakannya mungkin merupakan tindakan putus asa dan merupakan hasil dari roh yang tidak berpengharapan dan ketidakpercayaan, seperti yang dinyatakan pada ayat 7. Sekali lagi kata “Ah,” dalam bahasa Ibraninya ‘ahah, merupakan kata seru, yang isinya menunjukkan keputusasaan dan kesedihan yang mendalam.

Karena tidak ada yang bisa dilakukan jika wajah kita membenami kotoran, maka Tuhan berkata kepada Yosua untuk bangun atau bangkit dari keadaannya. Keadaan seperti ini meskipun wajar bagi manusia dan merupakan kecenderungan, seharusnya memang tidak berlangsung lama: karena ini berarti tidak menghasilkan apa-apa, karena berarti tidak menghormati Pribadi dan janji-janji Tuhan, karena ini membuat kita menjadi tawar bagi Tuhan.

Arti kata “Bangunlah!”

Kata kerja yang dipakai disini dalam bahasa Ibraninya adalah qum yang artinya bangun dari posisi tertelungkup karena alasan dan akibat tertentu. Dari arti literalnya qum memiliki arti khiasan. Bangun dipakai untuk satu tindakan persiapan untuk melakukan sesuatu, bangun dari keadaan tidak berdaya atau gagal, untuk menunjukkan hormat dan penyembahan, bangun untuk mendengar Firman Tuhan, untuk menjadi kuat dan perkasa, untuk memberi pembebasan, untuk melakukan tugas atau tanggungjawab (yaitu sebagai nabi atau hakim), dan untuk memberi kesaksian.

Beberapa pengertian ini memang sesuai dengan keadaan Yosua. Perintah ini membuat Yosua bangun dari keadaan keputusasaannya dan kesia-siaannya untuk mempersiapkan diri untuk bertindak, mendengarkan Tuhan, bertanggungjawab, dan memimpin umat Tuhan dalam pembebasan.

Meski Tuhan memahami dan bersimpati dengan persoalan dan ketakutan yang kita alami, dan meski merendahkan diri dihadapan Tuhan memang perlu, Ia tidak pernah berbelasungkawa untuk tindakan kita saat jatuh tertelungkup dalam keputusasaan dan Ia tidak pernah membiarkan kita lepas dari kasih karunia dan tuntutanNya untuk bertindak dalam kepatuhan. PerkataanNya kepada kita adalah supaya kita mengangkat wajah kita, supaya mata kita tertuju kepadaKu dan supaya kita menghadapi persoalan hidup sesuai prinsip-prinsip dan janji Alkitab.

Pertanyaan kepada Yosua: “Mengapa engkau sujud demikian?”

Pertanyaan ini mengandung teguran. Dari sudut pandang Tuhan, dari sudut rencanaNya bagi Israel dan janjiNya kepada Yosua, apakah ada alasan bagimu untuk putus asa? Ini adalah panggilan kepada Yosua untuk memandang kepada Tuhan!

Jadi ini adalah satu panggilan kepada Yosua, dan kepada kita jika kita dalam keadaan seperti Yosua, untuk mengevaluasi apa sebenarnya yang sedang kita perbuat dan mengevaluasi akar penyebab kekalahan dalam hidup. Kita perlu bertanya, apa yang ingin diajarkan Tuhan kepada kita? Apakah ini disebabkan karena sesuatu yang saya telah buat atau yang tidak saya buat?

Penjelasan kepada Yosua (11-12)
Penyebab kegagalan Israel ( 11)

Dalam Alkitab terjemahan NASB atau KJV seolah-olah dalam ayat 11 ada beberapa kesalahan yang dilakukan Israel karena setiap klausanya dihubungkan dengan kata penghubung “and,” namun agaknya setiap klausanya merupakan penjelasan lebih lanjut atas yang sebelumnya. Terjemahan versi NIV adalah yang sesuai dengan pemikiran ini: masing-masing penjelasan merupakan penjelasan lebih lanjut atas persoalan yang ada dari yang umum ke yang khusus dengan masing-masing penjelasan memberi penjelasan yang lebih tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Ayat 11 bunyinya:

(1) “Orang Israel telah berbuat dosa” (ini menyatakan hakekat kegagalan mereka dan kegagalan kita—dosa [dalam bahasa Ibraninya berarti tidak kena sasaran, kehilangan jalan atau tujuan atau tanda]),

(2) “mereka melanggar” (bahasa Ibraninya àa„bar, artinya melewati, melangkahi, melampaui, melanggar) perjanjianKu yang Kuperintahkan keapda mereka” (sekarang persoalannya menjadi semakin sepesifik),

(3) “mereka mengambil sesuatu dari barang-barang yang dikhususkan itu, mereka mencurinya” (ini menunjukkan bagaimana mereka melanggar perjanjian dengan mencuri—mencuri sesuatu yang dikhususkan untuk Tuhan),

(4) “mereka menyembunyikannya, dan mereka menaruhnya di antara barang-barangnya” (ini menjelaskan akibat selanjutnya, akibat dosa yang semakin membesar dan menyatakan sifat nafsu kepentingan diri atas apa yang terjadi, yang merupakan akar dari kebanyakan dosa kita).

Akibat Kegagalan Israel (12)

Kita harus memberi perhatian untuk kata “sebab itu” yang membuka ayat ini. Dalam terjemahan NIV digunakan istilah “that is why” dan NASB dan KJV menggunakan “therefore.” Dengan demikian kita ditunjukkan pada satu akibat dosa Akhan dan atas dosa yang tidak diakui secara umum—yakni kelemahan, ketidakmampuan untuk melayani dan hidup untuk Tuhan karena dosa mendukakan Roh Kudus (Efesus 4:30; 1 Tesalonika 5:10). Ini merupakan gamban kebenaran yang dikumandangkan Yohanes 15:1-7; Efesus 4:30; 1 Tesalonika 5:19; 1 Korintus 10:13; dan Amsal 28:13. Dalam Kristus kita memiliki kapasitas untuk hidup dalam kemenangan bersama Tuhan apapun yang kita hadapi, namun kemampuan untuk melakukannya tergantung pada persekutuan kita dengan sang Juru Selamat dalam kuat Roh Kudus; kita harus berjalan dalam terang (1 Yohanes 1:5-9).

Petunjuk bagi Bangsa Israel (13-15)

Dalam persiapan untuk pelayanan kepemimpinannya, Yosua sekali lagi diperintahkan untuk “bangun.” Ia tidak bisa memimpin bangsa Israel dengan wajah tertelungkup dalam kotoran atau pada saat termenung, depresi atas kekalahan. Ini pada dasarnya merupakan satu panggilan untuk memperbaharui persekutuan dan iman dalam kuasa Allah. Ini seperti perkataan Tuhan kepada Petrus dalam Lukas 22. Petrus diperingatkan bahwa Setan akan menampinya seperti gandum “dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:32). Petrus tidak mengijinkan kegagalannya dan penolakan yang telah ia lakukan sebelumnya membuatnya tidak bisa menjadi pemimpin dan menguatkan orang lain. Oleh sebab itu Petrus sendiri mendorong gereja dalam hal keselamatan dan pengampunan kita dalam Kristus, “siapkanlah akal budimu …” (1 Petrus 1:13). Dikaitkan dengan apa yang akan terjadi (penghakiman dan pemberian disiplin kepada Akhan dan keluarganya), jelas Yosua juga memberi perintah yang sama kepada bangsa Israel.

Kemudian, pada ayat 13, Yosua diperintahkan: “kuduskanlah bangsa itu” untuk mempersiapkan mereka menghadapi persoalan. Ia diminta supaya mereka memperhatikan dosa seseorang yang mengambil sesuatu yang dilarang yang juga merupakan akibat kegagalan mereka dalam peperangan melawan Ai. Seperti yang ditegaskan Tuhan kepada Yosua, maka ia harus membuat orang Israel sadar akan penyebab dan akibat dosa. Ini juga menyadarkan mereka untuk siap dengan apa yang harus dilakukan hari berikutnya. Mereka harus menyisihkan waktu khusus untuk kegiatan ini dan mempersiapkan hati mereka mungkin dengan berdoa dan menyembah unrtuk apa yang akan Tuhan lakukan.

Kemudian, dalam ayat 14 petunjuk khusus diberikan untuk menebus dosa ini diantara mereka. Pertama harus ada pemeriksaan suku demi suku, keluarga demi keluarga, dan akhirnya orang-demi orang. Perhatikan juga bahwa para laki-lakilah yang harus bertanggungjawab atas keluarga mereka. Pemeriksaan ini akan menyatakan pihak yang bersalah. Dalam ayat 15 dijelaskan hukuman yang harus dilaksanakan bagi pihak yang bersalah beserta alasan mengapa hukuman tegas itu perlu dilakukan.

Dosa Akhan Dinyatakan
(7:16-21)

Mencari pihak yang bersalah (16-18)

“Keesokan harinya bangunlah Yosua pagi-pagi”. Empat kali kita membaca bahwa Yosua bangun pagi-pagi untuk melaksanakan tugas penting. Yosua bukan orang yang suka menunda-nunda pekerjaan.

Kemudian, kita mendapati pada ayat 16 sampai 18 bagaimana dosa Akhan ditemukan dimulai dari pemeriksaan seluruh bangsa dan mengecil menjadi suku Yehuda, kemudian kedalam keluarga atau kaum Zerah, kemudian kedalam keluarga kaum ini hingga kedalam keluarga Karmi, dan kemudian dari keluarga itu didapati Akhan.

Sekarang, mengapa Yosua mengikuti prosedur ini dan bagaimana ia bisa sampai kepada Akhan? Jawabannya terdapat dalam ayat 14 dalam ungkapan yang diulang-ulang “yang ditunjuk oleh TUHAN.” Alkitab NASB menggunakan istilah “by lot” (dengan undian) dalam huruf miring yang tidak terdapat dalam naskah asli, namun ungkapan ini memiliki makna seperti “yang ditunjuk oleh TUHAN.”

Istilah “yang ditunjuk TUHAN” dalam ayat 16-18 mungkin dilakukan dengan menggunakan Urim dan Tumim sesuai Keluaran 28:15, 30 (bandingkan Bilangan 27:21), yang memang berkaitan dengan pelemparan undi (bandingkan Amsal 16:33; Yosua 14:1-2; 18:6).

Apakah Urim dan Tumim itu? Alkitab tidak memberi penjelasan apa itu Urim dan Tumim, namun berikut penjelasan yang bisa membantu.

Penjelasan mengenai Urim dan Tumim:

1. Dalam bahasa Ibraninya mungkin ini berarti “cahaya” dan “penyempurnaan.” Urim mungkin berasal dari kata Ibrani ‘o,r’ yang artinya “menjadi terang.” Tumim mungkin berasal dari kata Ibrani yang berarti “sempurna.”

2. Urim dimulai dengan kata pertama dalam bahasa Ibrani (aleph) dan Tumim (thu„mmi‚m) dimulai dengan huruf terakhir (taw).

3. Urim dan Tumim dicatat dalam Alkitab tanpa penjelasan, kecuali bahwa keduanya harus diletakkan pada ”tutup dada…dan diatas jantung Harun” (Keluaran 28:30), yang mungkin tidak lain adalah istilah untuk keduabelas batu permata yang berisi nama suku-suku Israel (17-21), dan diletakan di dada penghakiman diatas jantung Harun (29).6 Ada yang percaya kalau Urim dan Tumim adalah dua batu khusus.

4. Keduanya adalah alas dada penghakiman yang dipakai pada bagian luar efod. Intinya keduanya dipakai untuk mencari petunjuk ilahi dan jawaban atas pertanyaan dan krisis diluar penglihatan manusia lewat pelayanan para imam.

Dr. Hannah dalam The Bible Knowledge Commentary menyebutkan:

Bagaimana keduanya dipakai untuk mengetahui kehendak Tuhan tidaklah diketahui, namun ada yang berpendapat bahwa Urim mewakili jawaban negatif dan Tumim mewakili jawaban positif. Mungkin ini diakibatkan karena Urim…dimulai dengan huruf pertama alphabet Ibrani, dan Tumim…adalah huruf terakhir. Ada yang berpendapat bahwa keduanya hanya symbol otoritas imam untuk mendapat petunjuk dari Tuhan, atau penegasan bahwa imam bisa memperoleh penjelasan (“terang”) dan pengetahuan yang sempurna (“sempurna”) dari Tuhan.7

Mungkin, karena Taurat dibuat sesuai alphabet Ibrani (aleph sampai taw) mewakili kehendak moral dari Tuhan, maka Urim dan Tumim mewakili petunjuk Allah dalam situasi khusus yang berada diluar pengetahuan dan kemampuan manusia.

Apapun itu, keduanya adalah undian suci dan dipakai dalam keadaan krisis untuk menentukan kehendak Tuhan (lihat Ulangan 27:21). Setiap keputusan Urim berasal dari Tuhan (Amsal 16:33). Penggunaan Urim dan Tumim dalam menentukan keputusan Tuhan atau dalam mengetahui kehendakNya haruslah dilakukan oleh imam kepala karena hanya dialah yang bisa memakai efod yang berisi Urim dan Tumim.

Dalam 1 Samuel 2:28 disebutkan tiga tugas para imam: (1) mempersembahkan korban diatas mezbahKu, yakni memimpin upacara kurban di altar korban bakaran di halaman kemah suci; (2) membakar ukupan di altar Tempat Kudus (Keluaran 30:1-10), dan (3) memakai baju efod. Yang dimaksud adalah efod khusus yang dipakai imam-imam kepala. Efod merupakan alas dada yang didalamnya ada Urim dan Tumim, fungsinya adalah untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan membuat keputusan yang ada kaitan dengan melempar undi.

Allah memberi petunjuk ilahi dan Akhan kedapatan bersalah dengan menggunakan cara-cara supernatural. Ia tidak datang dengan sukarela untuk mengaku dan bertobat dan memohon belaskasihan Tuhan. Kegagalannya atas hal ini bertolakbelakang dengan sikap dalam cerita anak yang hilang dalam Perjanjian baru.

Pelajaran dari Dosa Akhan (20-21)

Seperti yang diingatkan 1 Korintus 10, apa yang terjadi kepada Akhan dicatat untuk memperingati dan memberi petunjuk kepada kita atas proses dosa. Proses dosa yang dimiliki Akhan sangatlah umum. Ia melihat, ia tergoda, dan ia mengambil. Ini sama prosesnya dengan dosa Hawa (Gen. 3:6) dan dengan dosa Daud (2 Samuel 11:2-4) dan juga dengan kita. Pendekatan yang dilakukan Yosua adalah dengan cara yang halus, namun tegas. Ia membenci dosa, namun mengasihi orang yang berdosa. Meski pengakuan Akhan adalah jujur, namun terlambat dan hanya karena telah ketahuan. Pengakuannya bukan atas dasar pertobatan atau atas dasar kesedihan suci yang membawanya pada pertobatan (2 Korintu 7:8-11).

Apakah ada pelajaran yang bisa kita pelajari disini?

(1) Pengakuan tanpa pertobatan atau perubahan pikiran adalah sia-sia. Itu tidak memulihkan persekutuan kita bukan karena pertobatan adalah sesuatu yang harus kita lakukan untuk memperoleh pengampunan Tuhan, namun karena tanpa pertobatan kita tetap bersalah dan akibatnya masih ada tembok pemisah diantara kita dengan Tuhan.

(2) Kadang-kadang pengakuan dilakukan terlambat untuk menghentikan disiplin. Alasan utama pengakuan bukan untuk menghindari persoalan atau menghindar dari hukuman Tuhan. Tujuan pengakuan adalah untuk memulihkan kembali persekutuan dan memberi hidup kepada Tuhan karena kita ingin berjalan bersama Dia dibawah kendaliNya, dan mengikuti petunjukNya (Amos 3:3).

(3) Mungkin pelajaran yang paling praktis adalah mengamati prosesnya. Alasan mengapa Akhan menyimpan jerahan menunjukkan bahwa ia sebenarnya mengetahui bahwa apa yang ia lakukan adalah salah. Jadi, mengapa ia tetap saja melakukannya? Mengapa Setan melakukan dosa terhadap Tuhan? Mengapa Hawa jatuh dalam tipuan ular?

(4) Kemudian, perhatikan apa yang Akhan curi. Ia mengambil emas dan perak yang menunjukkan sikap materialistis, namun juga ia mengambil jumah indah dari Babilonia yang tidak hanya berarti materialistis tapi juga ada sifat ingin tanpil menawan dan menarik perhatian orang. Dua hal ini yang merupakan godaan yang kita semua hadapi dan, kalau kita tidak menghadapinya dengan iman, bisa merasuki kehidupan kita. Dua hal ini bisa berupa keinginan untuk posisi/jabatan, kekuasaan, prestasi, kesenangan, harta benda, pujian, dan penghormatan. Ini hanyalah cara-cara atau strategi manusia untuk mendapat keamanan, pengaruh, dan kepuasan. Yeremia menyebutnya kolam yang bocor.

Sebab dua kali umatKu berbuat jahat: mereka meninggalkan aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air (Yeremia 2:13).

Kejahatan yang dilakukan manusia bersumber dari:

  • Sifat berdosa/kedagingan yang memiliki hikmat yang tidak benar (Yesaya 55:8f; Amsal 14:12; Roma 1:18f; Efesus 4:17f).
  • Dunia dan hikmat duniawi (Roma 12:2).
  • Struktur keyakinan yang salah, berpikir dari sudut pandang manusia, percaya bahwa hal-hal duniawi bisa memenuhi kebutuhan kita akan keamanan dan kebahagiaan.
  • Ketidakyakinan atas kebaikan Tuhan, hikmatNya, dan waktuNya dalam memenuhi kebutuhan kita.

Akhan, seperti Setan dan Hawa, tidak puas, tidak sabar, dan bergantung pada kekuatan diri sendiri. Ia hanya bersandar pada strategi perlindungannya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dalam hidup.

Ironisnya, pada saat itu Tuhan sedang dalam proses memberikan kepada semua orang Israel tanah perjanjian dimana masing-masing orang akan memiliki tanah sendiri, rumah sendiri, dan berkat-berkat yang melimpah. Namun ketidakpuasaan karena gagal menemukan kebahagiaan dalam Tuhan, membuatnya tidak sabar yang membuat dia tergoda dan mendahului rencana Tuhan dengan menggunakan rencananya sendiri. Meski perintah mengenai godaan mengingini kepunyaan orang lain hanya sekali dalam Sepuluh Perintah, ini adalah akar dosa terhadap semua perintah dan merupakan akar dosa dari kebanyakan dosa kita.

Juga perlu ditekankan, mengingini kepunyaan orang lain berakar dari ketidakpuasan kita atas hidup dan atas kegagalan menemukan kebahagiaan di dalam Tuhan dan dalam mempercayaiNya sebagai sumber kebutuan kita untuk keamanan, pengaruh, dan kepuasan.

Bagaimana Perjanjian Baru menggambarkan dosa mengingini kepunyaan orang lain? Ini disamakan dengan penyembahan berhala (Efesus 5:5; Kolose 3:5). Apakah berhala itu? Sebenarnya, penyembahan berhala adalah mencari hal-hal lain yang hanya bisa diberikan Tuhan. Berhala bisa dalam bentuk patung kayu atau logam mulia yang menjadi tujuan doa seseorang dan tempat orang mencari bantuan. Berhala juga bisa berbentuk materialisme, yang merupakan cara hidup yang mencari keamanan dan pengaruh lewat uang, harta, kuasa, prestasi, dan kesenangan. Berhala bisa dalam bentuk sekularisme, yaitu satu filsafat hidup dimana manusia berusaha hidup terpisah dari ketergantungan pada Tuhan. Atau bisa berbentuk pemujaan manusia, yang mencari kepuasan dan keamanan lewat pujian dari orang lain. Campbell menulis:

Diperkirakan orang Amerika menjadi korban 1,700 iklan lewat berbagai media. Meski tidak ada salahnya membeli benda sebanyak 1,700, namun ada kemungkinan kita bisa terbujuk dengan filsafat dibalik semua iklan tersebut—bahwa kita akan memiliki hidup yang sempurna, dan menyenangkan kalau kita mengendarai mubil ini, menggunakan “hair spray” ini, atau jika minum minuman itu.8

Jadi, apa yang kita perlukan? Yang kita perlukan adalah mempelajari rahasia Paulus—kepuasan yang alkitabiah dalam Tuhan seperti yang disebutkan dalam Filipi 4:12-13 (juga lihat Filipi 3:13-14 dan 1 Timotius 6:6-19).

Kematian Akhan Dilaksanakan
(7:22-26)

Kalau kita membaca bagian ini, satu pertanyaan muncul dibenak seseorang, mengapa Tuhan begitu kasar kepada Akhan dan keluarganya? Berbeda dengan kemurahan yang kita dapati dalam Perjanjian Baru, hukuman yang diberikan disini sangatlah kasar. Dengan cepat kita teringat belaskasihan yang ditunjukkan Tuhan kepada wanita di sumur yang memiliki lima suami (Yohanes 4:18) dan tentang wanita yang kedapatan berzinah yang, sebagai wanita Yahudi, seharusnya dilempari dengan batu sesuai Taurat (Yohanes 8:3f).

Namun kita sering lupa dengan beberapa bagian dalam Perjanjian Baru seperti kematian Ananias dan Safira dan penghakiman saat Tribulasi yang menakutkan dimana darah manusia akan sampai ke kekang kuda karena murka Tuhan (bandingkan Wahyu 14:18-20; 19:13 dengan Yesaya 63:1-6).

Kita juga cenderung lupa atau menyepelekan kesucian Tuhan. Tuhan sering digambarkan sebagai Yang suci lebih dari semua sifat lainNya—lebih dari kasihNya, kemurahanNya, dan anugerahNya. Sebagai Tuhan yang suci, maka kebenaran dan keadilanNya sempurna, karena Ia adil, maka Ia harus menghakimi dosa (bandingkan Mazmur 50:21; Pengkhotbah 8:11-12).

Namun juga ada hal yang sering kita abaikan saat kita merenungkan bagian ini. Siapakah bangsa Israel dan apakah tujuan mereka? Mereka adalah bangsa yang dipanggil Tuhan untuk menjadi saksiNya kepada dunia dan lewat mereka Ia akan mengutus Sang Juruselamat (bandingkan Keluaran 19:4-6; Ulangan 10:15f; dengan 1 Petrus 1:14f; 2:9-12). Jadi ini berkaitan dengan prinsip melindungi kepentingan dan tujuan mayoritas dengan cara menghadapi dosa sedemikian rupa supaya ada ketakutan di hati bangsa Israel dan supaya mereka sadar betapa seriusnya akibat dosa itu. Sama seperti yang terjadi pada Ananias dan Safira, yang terjadai pada awal periode gereja, demikian juga ini adalah awal periode bangsa Israel memasuki tanah perjanjian, jadi Akhan dihukum mati untuk menanamkan takut akan Tuhan di hati bangsa Israel dan untuk memberi contoh betapa seriusnya apa yang dilakukan Akhan dalam melanggar perjanjian dengan Tuhan.

Harta dan kenikmatan awal atas tanah perjanjian dan berkat-berkat atasnya serta kemampuan Israel untuk memenuhi panggilan mereka sebagai umat pilihan Tuhan tergantung pada kepatuhan kepada Tuhan yang memberikan mereka tanah perjanjian itu beserta berkat-berkatnya yang melimpah serta semua tanggungjawab (Ulangan 28-30).

Selanjutnya, kita harus mengingat bahwa Akhan memang mengakui dosanya, namun hanya melakukannya karena situasi memaksanya. Seandainya ia dengan sukarela memohon belaskasihan Tuhan, mungkin ia tetap hidup, seperti halnya Daud dan dosanya. Dr. Campbell menulis: “Melihat kenyataan bahwa Taurat melarang penghukuman atas anak-anak dari seorang ayah yang berdosa (Ulangan 24:16), maka kita menganggap bahwa anak-anak Akhan juga terlibat dalam kejahatan.”9

Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah persoalan yang diakibatkan kepada orang lain. Tuhan melakukan tindakan tegas karena sejumlah akibat yang ia timpakan kepada orang lain—ini adalah contoh mengenaskan, dimana akibatnya beberapa jiwa lenyap, Israel dikejar, dan kehormatan Tuhan berada dalam bahaya (bandingkan ayat 25). Jadi ini menjadi peringatan kepada bangsa Israel, yang menjadi nyata dengan mendirikan tugu peringatan untuk mengingatkan bangsa Israel kepada dosa Akhan dan penghakiman dari Tuhan.

Kesimpulan

Ada dua hal utama yang ingin saya tekankan dalam bab ini.

(1) Tindakan Akhan bermula dari ketidakpuasan. Namun mengapa ada ketidakpuasan sementara ia adalah satu dari orang Israel yang berkesempatan baik? Apapun alasannya, Akhan tidak puas dengan hidupnya karena ia tidak rela atau gagal menaruh hidupnya dalam pemeliharaan dan kebaikan Tuhan. Kegagalannya dalam berjalan dengan iman membuatnya ingin mencari kepuasan, keamanan, dan pengaruh dalam dunia material sehingga karena tergoda, maka ia mengambil sesuatu yang dilarang.

Karena keadaan rohaninya yang tidak memiliki kepuasan dan ingin hidup tanpa tergantung pada Tuhan, maka ia bersandar pada dirinya sendiri percaya bahwa ia bisa memenuhi keinginannya dengan menggunakan caranya sendiri. Kegagalan kita untuk mencari kepuasan dalam diri sang Juruselamat dan dalam kasih dan kasih karuniaNya sungguh akan menjadi sumber sejumlah besar penderitaan dan sikap berdosa lainnya. Tuhan menggarisbawahi masalah ini dalam Matius 6 ketika Ia memperingati murid-muridNya untuk tidak menimbun harta di dunia dan untuk tidak kuatir tentang hal-hal tertentu dalam hidup—yaitu minuman, makanan, dan pakaian. Dalam prosesnya, Ia menjelaskan bahwa usha untuk memperoleh hal-hal tertentu dalam hidup melebihi usaha untuk lebih dahulu mencari kerajaan Allah dan kebenaranNya berarti tidak mempercayai pemeliharaan Tuhan. Permasalahanya disini adalah tentang iman—kurang beriman. Setelah meperlihatkan cara Tuhan memelihara burung-burung dan rerumputan, Ia berkata,

Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di lading, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? (Matius. 6:30-31).

(2) ketika Akhan berdosa dan ada dosa diantara perkemahan orang Israel, maka berkat dan kekuatan dari Allah ditangguhkan dan bangsa Israel berada dalam penghakiman atau disiplin dan kegagalan. Namun jika dosa diselesaikan seperti yang diperintahkan Tuhan, dalam kemurahanNya, maka berkat dan kekuatan dari Tuhan akan dipulihkan. Sekali lagi kita diingatkan bahwa dosa yang disadari dalam hidup akibat strategi dan keinginan diri sendiri akan menciptakan penghalang dalam hidup kita.


1 R. Laird Harris, Editor, Gleason L. Archer, Jr. Bruce K. Waltke, Associate Editors, Theological Word Book of the Old Testament, Moody Press, Chicago, Vol. 1, 1980, p. 324.

2 Norman L. Geisler, A Popular Survey of the Old Testament, Baker Book House, Grand Rapids, 1977, p. 100.

3 Frank E. Gaebelein, General Editor, Expositors Bible Commentary, Old Testament, Zondervan, Grand Rapids, 1997, electronic media.

4 J. Oswald Sanders, Spiritual Leadership, Moody Press, 1967, p. 159.

5 Sanders, p. 163-164.

6 R. Laird Harris, Editor, Gleason L. Archer, Jr. Bruce K. Waltke, Associate Editors, Theological Word Book of the Old Testament, Moody Press, Chicago, Vol. I , 1980, p. 52.

7 John D. Hannah, The Bible Knowledge Commentary, editors John F. Walvoord and Roy B. Zuck, Vol. I, Victor Books, Wheaton, IL, 1985, p. 152.

8 Donald K. Campbell, Joshua, Leader Under Fire, Victor Books, Wheaton, IL, 1989, p. 65.

9 Campbell, p. 66.

Related Topics: Suffering, Trials, Persecution

Lima Peringatan dari Kitab Ibrani

Related Media

Translated by Stevy

Kata Pengantar

Sekarang kita hidup dalam periode waktu seperti waktu Nuh dimana tidak ada rasa takut akan Tuhan dimata manusia (Rom. 3:18). Orang yang belum selamat tahu penghakiman Tuhan diatas mereka yang melakukan hal yang mereka lakukan sekarang, tapi mereka tidak hanya melakukannya melainkan menikmatinya juga (Rom. 1:32). Mereka menumpuk murka atas dirinya dalam hari penghakiman Tuhan (Rom. 2:5).

Hal yang lebih buruk dari ini, jika hal itu yang menjadi masalah, adalah orang yang diselamatkan tidak takut akan Tuhan. Anda tidak mengasihi seorang yang tidak anda hormati. “Takut akan Tuhan permulaan hikmat: dan mengenal yang Maha Kudus adalah pengertian” (Prov. 9:10; cf. 1:7). “Takut akan Tuhan adalah membenci kejahatan” (Prov. 8:13). Gereja mula-mula benar-benar takut akan Tuhan, dan inilah alasannya mereka keluar dan membalikan dunia. Perhatikan hal ini dalam Acts:

Acts 2:42-43 Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. 43 Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda.

Acts 5:5, 11 Ketika mendengar perkataan itu rebahlah Ananias dan putuslah nyawanya. Maka sangatlah ketakutan semua orang yang mendengar hal itu. 11 Maka sangat ketakutanlah seluruh jemaat dan semua orang yang mendengar hal itu.

Acts 9:31 Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus. (cf. 19:17).

Biarlah Tuhan senang menggunakan tulisan ini untuk menahan ketidakgentaran orang percaya saat ini. “Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Heb. 12:28-29). “Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: "TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya.” (Mal. 3:16).

Keselamatan yang Luar Biasa —
Ibrani: Synthesis

Garis Besar:

I. Hanya Kristus dalam PribadiNya yang Layak Mencoba Menyelamatkan (1:1–4:13)

Anak: (Kekal, 1:1-3) … Kristus … Nabi

A. Lebih besar dari Para Nabi (1:1-3)

B. Lebih besar dari Para Malaikat (1:4–2:18)

C. Lebih besar dari Musa (Ch. 3)

D. Lebih besar dari Yosua (4:1-13)

II. Hanya Kristus dalam KaryaNya yang Layak Menyediakan Keselamatan (4:14–10:18)

Juruselamat: (Sempurna, 7:24-28) … Yesus … Imam

A. Imam Besar (4:14–7:28) PELAYANAN: “Menurut peraturan Melchizedek”

B. Tabernakel (8:1–9:11) BAIT SUCI: “Tidak dibuat oleh manusia”

C. Korban (9:12–10:18) KORBAN: “Sekali selamanya”

III. Hanya Kristus dalam KedudukanNya yang Layak Mempengaruhi Keselamatan (10:19–13:25)

Gembala (Besar): (13:20) … Tuhan … Raja

Inilah hidup orang percaya, “oleh cara hidup yang baru” berkaitan dengan kedudukan Kristus:

A. Iman (10:19–11:40)

B. Pengharapan (Ch. 12)

C. Kasih (Ch. 13)

Pendahuluan

Washington, D. C. merupakan salah satu dari sedikit kota didunia yang benar-benar dibuat sedetilnya. Sesuatu yang sebelumnya hutan sekarang berdiri ibukota terindah didunia. Pierre Charles L’Enfant, seorang arsitek di Continental Army, direkomendasi oleh President George Washington untuk tugas itu, mendisain seluruh kota. Capitol Hill dipilih sebagai titik sentral, dan jalan lebar dibuat seperti roda ditengahnya.

Bagi setiap orang yang mengunjungi ibukota Negara Amerika, tempat pertama yang dikunjungi harulah Washington Monument. Dari titik ini bisa dilihat pemandangan yang terindah yang pernah dilihat manusia.

Melihat ketimur diakhir mall di Capitol Hill berdiri bangunan Capitol dengan kubah agungnya. Disebelah kanan dan kiri berdiri banguan Senat terdiri dari setengah blok kota. Dibelakang Capitol disebelah kanannya berdiri Library of Congress, dan dikiri berdiri Mahkama Tinggi Amerika Serikat. Didepannya bisa dilihat Galeri Seni Nasional dan Smithsonian Institute.

Jalan yang diagonal sepanjang Capitol building. Sewaktu kita begerak ke utara kita melihat jalan terkenal Pennsylvania Avenue yang berhubungan dengan Capitol dan White House. Disini kita melihat rumah Presiden dan Gedung Departemen Keuangan disebelah kanan.

Pemadangan dibarat memberikan kita gambaran Reflecting Pool dan Lincoln Memorial. Diseberang Potomac River kita melihat Arlington National Cemetery dengan kuburan prajurit yang tidak dikenal dan Marine Memorial.

Melihat keselatan Tidal Basin berjajar dengan pohon cheri terlihat denagn Jefferson Memorial disisi ujungnya. Dan diseberang Potomac, Pentagon building terlihat. Jika ada waktu banyak bangunan penting lainnya bisa dilihat.

Sekarang kita siap turun dari Washington Monument ke Constitution Avenue yang sibuk dan melihat setiap bangunan. Kenapa? Karena sekarang kita mengetahui hubungan satu bangunan dengan bangunan lainnya; kita telah melihat disain kota. Kita telah melihat berapa lama waktu yang dihabiskan dijalanan. Kita telah melihat kotanya—Ibukota Negara Amerika—dan kita kagum akan apa yang kita lihat.

Firman Tuhan mirip dengan hal diatas. Setiap kitab merupakan kota yang luar biasa yang didisain oleh Arsitek Teragung. Jalan kebenaran sepanjang simetri. Monumen dibangun oleh karakter asli manusianya. Pemandangan yang indah disetiap arah kita melihat. Kita melihat kemuliaan Pribadi Tuhan kita.

Kita mungkin berjalan sepanjang hari disepanjang jalan dan bangunan, tapi tidak pernah melihat hubungan satu kebenaran dengan kebenaran lainnya. Kebutuhan kita harus didahulukan daripada semua pemandangan, seindah apapun tempat itu. Kita perlu melihat disain yang dibuat Disainer, rencana keseluruhan kota yang akan kita lihat dan hukum apa yang mengatur seluruh hidup kita.

Tidak ada kitab dalam Alkitab ditulis tanpa disain: Setiap kitab ditulis dengan tujuan tertentu dan maksud dalam pikiran. Hal ini ada dalam kitab Ibrani yang akan kita bahas. Ada rencana dan tujuan yang tidak bisa dilihat dengan berjalan dijalan besar dan bangunannya. Itu ditulis sehingga satu bukti dan hanya satu bukti saja dalam pikiran Ibrani setelah mereka selesai membaca surat ini. Satu bukti adalah: Hanya Kristus yang Layak Menyediakan Keselamatan. Ini adalah pesan yang kekal. Ini sama pentingnya sekarang dan waktu surat ini ditulis dalam perkamen dan dikirim ketujuannya.

Ada 3 wilayah yang layak menyediakan suatu keselamatan yang sempurna:

(1) Dia sendiri dalam Pribadinya yang layak mencoba menyelamatkan (1:1–4:13).

(2) Dia sendiri dalam Karyanya yang layak menyediakan keselamatan (4:14–10:18).

(3) Dia sendiri dalam Kedudukannya yang layak mempengaruhi keselamatan (10:19–13:25).

I. Hanya Kristus dalam Pribadinya yang Layak Mencoba Menyelamatkan (1:1–4:13)

Dalam pikiran penulis Ibrani seseorang harus layak dulu kalau tidak apapun yang dilakukannya tidak mungkin layak.

Sebagai contoh, ini di Indianapolis Speedway Classic, dan kami duduk disana saat Memorial Day, saat perlombaan sejauh 500 mil mulai. Saat kami menunggu bendera terakhir diangkat untuk memulai pertandingan kita pasti tidak menyadari berapa lama persiapa agar peristiwa ini bisa terlaksana. Lama sebelum ada mobil yang dibuat peraturan tentang spesifikasi mobil diberikan. Kemudian kualifikasi kecepatan untuk menggugurkan mobil yang tidak bisa mencapai kecepatan itu. Banyak yang dikerjakan untuk memastikan bahwa baik mobil dan pengemudi kualified. Tapi saat kita melihat mobil saat itu yang berkecepatan 170 mph kami tidak melihat banyak mobil, karena mereka tidak lulus kualifikasi yang ditetapkan oleh panitia. Mereka tidak bisa menang karena tidak bisa ikut.

Tuhan berkata, “Aku satu-satunya yang layak dan siapapun yang ingin menjadi Juruselamat manusia harus lulus standar yang Aku tetapkan.”

Penulis Ibrani membuka seluruh kenyataan penciptaan, dan seluruh waktu untuk melihat jika ada seorang yang layak sebagai Juruselamat manusia. Dia memutuskan hanya DiriNya sendiri yang layak melewati standar yang ditetapkanNya untuk menyelamatkan manusia yang terhilang. Dia menunjuk Satu yang layan yaitu Anak.

A. Anak—lebih besar dari para nabi (1:1-3)

Nabi mewakili Tuhan kepada manusia, dan berbicara pesanNya seperti yang dinyatakan kepada mereka. Tapi Satu ini yang adalah Anak, lebih besar dari itu, sama dengan diatas tapi membawa pesan yang lebih besar. Nabi bicara tentang pesan Tuhan; Anak adalah pesan Tuhan.

B. Anak—lebih besar dari para malaikat (1:4–2:18)

Anak “lebih besar dari para malaikan” (1:4). Ini dibuktikan dengan mengutip 7 bagian PL dalam pasal 1 dan 3 lagi dalam pasal 2.

Kesimpulannya, Anak lebih besar dalam 2 cara:

(1) Dia adalah Pencipta, mereka ciptaan (chapter 1).

(2) Dia menyatakan DiriNya sendiri sebagai sepenuhnya manusia (chapter 2).

Malaikat tetap malaikan mereka tidak bisa melakukan apa yang dilakukan Kristus kepada manusia. Malaikat melayani manusia; tapi Anak menjadi manusia untuk melayani dengan kapasitas yang lebih besar.

C. Anak—lebih besar dari Musa (ch. 3)

Musa membawa keluar satu bangsa dari perbudakan. Kristus lebih besar lagi. Dia Arsiteknya (3:3). Musa adalah pelayan dalam rumah, tapi Kristus adalah Anak (3:5-6). Anak lebih tinggi daripada pelayan dalam suatu rumah, dan ini sama dengan Mesias lebih tinggi dari Musa.

D. Anak—lebih besar dari Yosua (ch. 4)

Dalam Ibrani 4:8 kata “Yesus” merupakan kata Yunani untuk “Yosua” dan harus dimengerti seperti itu. Yosua membawa suatu bangsa masuk ketanah perjanjian, tapi dia tidak memberi mereka perhentian. Karena perhentia menjadi janji, hanya Satu yang lebih besar dari Yosua yang memberikan mereka tempat perhentian karena dia telah “berhenti dari pekerjaanNya.”

Nasihat yang diberikan kepada Ibrani untuk “masuk ketempat perhentian itu” (4:11). Tahta kasih karunia merupakan tempat perhentian (4:16). Perhentian disediakan karena yang lebih besar dari Yosua mengosongkan dirinya sebagai Tuhan..

Ilustrasi Tuhan berhenti mencipta. Saat Dia selesai mencipta Dia menyatakan semuanya “sangat baik” dan kemudian Dia melakukan perhentian Sabbath. Kemudian sesuatu terjadi. Dosa masuk, dan tidak ada lagi perhentian bagi Tuhan. Hanya setelah Tuhan membebaskan manusia, dibebaskan melalui darahnya, dia memerintahkan perhentian bagi mereka. Tapi tetap tidak ada perhentian bagi Tuhan. Ini terlihat dari perkatan Tuhan: “BapaKu bekerja sampai sekarang dan Aku bekerja.” Tidak ada perhentian dalam Tritunggal dan tidak sampai pekerjaannya selesai. Hanya setelah Kristus menyatakan: “sudah selesai” ada perhentian. Sekarang Kristus duduk ditempat tinggi karena pekerjaan sudah selesai. Kita bisa masuk ketempat perhentian dari pekerjaannya yang sudah selesai. Sudahkah anda melakukan ini?

II. Hanya Kristus dalam Karyanya yang Layak Menyediakan Keselamatan (4:14–10:18)

Sebelumnya, seluruh perkataan penulis ditujukan pada Pribadi Anak; sekarang dia ke Karyanya. Dia sadar bahwa nilai pekerjaanNya tergantung pada nilai seseorang. Akibatnya, dia beralih dari aspek Pribadi seseorang, ke aspek Karya Kristus.

Dalam Yahudi ada 3 dasar pekerjaan yang terlibat untuk menyediakan keselamatan dosa manusia: Imam besar, tabernakel dan korban. Jika anda ingin dalam satu huruf maka menjadi service, the sanctuary dan the sacrifice. 3 hal ini dibahas secara urutan.

A. Kristus—Imam Besar yang Teragung (4:14–7:28)

Disini Kristus dibandingkan dengan Imam Yahudi terbaik: Harun, dan keturunan imam Harun. Tapi 3 kali dikatakan tentang Anak: “Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek.”

Kristus bukan hanya lebih besar dari Harun, tapi dia seorang Imam Tertinggi. Karena keimaman Anak berbeda urutan, Dia bisa menjadi Raja dan Imam, yang tidak mungkin pada Harun. Lebih lagi, Dia bisa menjadi Imam terus menerus karena Dia tidak mati seperti pada keturunan Harun. Karena kenyataan ini, Anak seorang Imam selamanya.

Kesimpulan diberikan dalam Hebrews 7:25-28. Karya Kristus sebagai Imam Besar lebih besar dari Yudaisme.

B. Kristus—Tabernakel Sejati (8:1–9:11)

Ada 4 kata yang menunjukan tabernakel di Israel hanya satu objek untuk mengajarkan tabernakel yang sebenarnya:

Gambaran and bayangan dari apa yang ada disorga” (8:5).

Pola tabernakel sejati” (8:5).

“Suatu kiasan masa sekarang” (9:9).

Perbedaannya adalah antara bayangan dan kenyataan. Tabernakel dibumi merupakan ilustrasi karya keselamatan Tuhan yang puncaknya melalui tubuh atau tabernakel Tuhan Yesus Kristus—tabernakel sejati “tidak dibuat oleh manusia.”

Inilah alasan instruksi spesifik Tuhan pada Musa dalam Hebrews 8:5. Tabernakel sejati ini lebih tinggi dari tiruan dibumi (1) gambaran bayangan, (2) pencipta dan ciptaan, dan (3) kekal dan tidak kekal. Kristus, sebagai tabernakel sejati, lebih tinggi dari Yudaisme.

Perpindahan ke aspek ketiga karya Tuhan diberikan dalam Hebrews 9:11-12 dimana Kristus secara khusus dinyatakan sebagai Imam Besar, tabernakel dan korban.

C. Kristus—Korban Satu-satunya (9:12–10:18)

Disini 3 kata perbedaan korban yang lama dengan korban satu kali selamanya Tubuh Kristus Yesus. (1) “Pola” (9:23); (2) “Gambaran” (9:24); dan (3) “bayangan dari keselamatan yang akan datang” (10:1). Point perbedaan yang paling baik diberikan dalam Hebrews 10:11, 12 dan 14 (bandingkan Heb. 10:4 dengan 10:10).

Tabernakel sejati lebih baik dari yang dibumi, jadi korban yang diberikan haruslah lebih besar dari itu (Heb. 9:23, 24, 26b). Inilah kenapa Yohanes Pembaptis berseru: “Lihat Anak Domba Allah yang menghapus dosa manusia.” Ini hal baru. Ini tidak pernah dilakukan dalam PL. Ini lebih tinggi dari Yudaisme.

Kristus tidak hanya layak dalam PribadiNya untuk mencoba menyelamatkan, Dia juga layak dalam karyaNya menyediakan keselamatan karena:

Dia Imam Besar “menurut peraturan Melchizedek” dan bukan Harun.

Dia Tabernakel sejati “bukan dibuat manusia” tapi pola yang dibuat manusia.

Dia Korbannya “sekali selamanya untuk dosa.”

Apakah anda pernah menerima Dia sebagai penanggung dosamu dan penggantinya? Dia mati agar anda tidak mati. Dia merasakan kematian bagi setiap manusia, Kristus mati untuk dosamu, tapi anda harus secara pribadi menerimNya sebagai Juruselamat agar pengorbananNya diberikan kepadamu. Dia “ingin” menjadi Korbanmu; anda harus “ingin” Dia menjadi Juruselamatmu.

III. Hanya Kristus dalam KedudukanNya yang Layak untuk Mempengaruhi Keselamatan (10:19–13:25)

Sampai pada titik ini kita telah berurusan dengan hal doctrinal dimana kita bisa duduk disamping dan melihat bagaimana Tuhan menyediakan keselamatan yang sempurna melalui AnakNya yang terkasih. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk masuk kedalamnya. Semua yang kita coba lakukan hanya merusak kesempurnaan yang Tuhan lakukan.

Hukum Tuhan tetap—semuanya pasti. Dia menghasilkan keselamatan yang seluruhnya karyaNya, dan merupakan naturNya. Itu sempurna kekal. Satu-satunya cara Dia mengijinkan kita masuk kedalamnya adalah percaya apa yang Dia telah lakukan. Seluruh rencana keselamatanNya “tidak ada manusia yang meninggikan diri dihadapanNya.” Apapun yang kita lakukan untuk menyediakan keselamatan yang sempurna ini hanya akan menghancurkannya. Dengan keselamatan yang sempurna kita masuk kedalam pembagian praktis dari kitab ini—Pertama PribadiNya, kemudian KaryaNya.

Pertama kita tahu Siapa Dia.
Kemudian kita tahu Apa yang dilakukanNya.
Sekarang penekanannya adalah apa yang bisa dilakukanNya bagi anda.

Pertama Hidup Kristus.
Kemudian kematianNya.
Sekarang hidup baruNya dan kedudukannya disebelah kanan Bapa.

Sekarang kita melihat karya keselamatanNya dalam hidup kita. Penulis menekankan satu kebenaran: Tuhan membuang yang lama dan membuat yang baru.

Ada tujuan baru dari iman manusia—Kristus.

Ada perjanjian baru dimana Kristus sebagai penengah.

Ada cara hidup baru bagi yang percaya karena pribadi, karya dan kedudukan Kristus.

Sekarang orang percaya masuk kedalam kekudusanNya, yaitu kedalam hadirat Tuhan, oleh cara hidup baru melalui darah Kristus (Heb. 10:19). Hidup baru kita diatur oleh 3 jalan pengalaman Kristen: Iman, Pengharapan dan Kasih.

A. Iman ( 10:19–11:40)

“Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah” (Heb. 11:6). Inilah daftar orang yang disukai Tuhan, kesaksian Tuhan akan mereka (Heb. 11:13, 15, 39-40).

Sekarang hal ini diberikan pada kita dan menjadi milik kita untuk digunakan: suatu jalan masuk oleh iman kedalam hadirat Tuhan. Tidak ada yang lebih besar. Hanya satu Israel—Imam besar—sekali setahun pada hari penebusan dosa yang bisa masuk kedalam, tapi kita memiliki keistimewaan untuk datang dan berdiam disana sesering kita mau dan selama kita mau.

Satu-satunya cara kita bisa menangkap nilai hal ini adalah dengan mengukur harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya. Itu merupakan harga tebusan termahal yang pernah ada: kematian Anak. Terkoyaknya sisi Tuhan membuat mungkin bagi “siapapun yang mau” bisa masuk melalui iman kedalam hadirat Tuhan. Orang Kristen terlemah berdiri disini seberani dan sekuat orang suci, hanya karena semua ditutupi kebenaran Anak. Disini kemuliaan Shekinah dimana kita diubah kedalam gambar yang sama dari kemuliaan kepada kemuliaan lainnya. Itu tempat kemenangan.

B. Pengharapan (ch. 12)

Kita menanti penghakiman. Kita mengetahui bahwa Tuhan, walau melalui penderitaan berat, berurusan dengan kita sebagai anak, dan hidup kita untuk berbuah kebenaran karena pengalaman ini.

C. Kasih (ch. 13)

“Peliharalah kasih persaudaraan” (Heb. 13:1). Dengan inilah semua orang tahu kita murid Tuhan. Kasih yang mengatur seluruh hidup kita dan saat berjalan bersama Tuhan dan yang lain.

Doa Berkat Penutup (Heb. 13:20-21)

Tidak ada satupu HANYA Anak yang layak menyediakan keselamatan. Itu membutuhkan Juruselamat yang hidup. “Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.” (Heb. 7:25). Hanya Dia yang kita butuhkan.

Dia adalah Anak Kekal.

Dia Juruselamat Sempurna.

Dia Gembala yang Agung.

Tidak ada yang kita butuhkan selain Yesus Kristus jawabannya.

Temanku, Tuhan sekarang menyediakan keselamatan yang sempurna. Keselamatan dalam AnakNya dimana hanya Dia yang layak. Dia menebus kita dan sekarang duduk disebelah kanan Allah untuk menyelamatkan semua yang mau datang kepada Tuhan melalui Dia.

Walau bayak yang ribuan yang mau membayar utang dosa, dan walau mereka mati ribuan kali untuk menyediakan keselamatan, tetap anda tidak bisa diselamatkan selain keselamatan yang sudah tersedia.

Tuhan tidak perlu banyak juruselamat, juga korban. Dia perlu Satu Pribadi yang sempurna untuk mengorbankan korban yang sempurna untuk membuat sempurna semua yang “mau” menerima syarat pengampunan dosa dari Tuhan, “Manusia ini mengorbankan satu korban sekali selamanya … oleh satu korban dia menyempurnakan selamanya mereka yang dikuduskan.”

Dulu merupakan rimba berdiri ibukota terindah didunia. Dimana berdiri ciptaan yang hancur karena kejatuhan, dibutakan oleh dosa dan dibawa maut, sekarang berdiri ciptaan baru dalam keindahan kekudusan dan dalam kesempurnaan kebenaran Anak.

Semua yang “mau” bisa masuk kedalamnya, tapi hanya satu cara. Melalui Anak. Apa yang akan anda lakukan dengan syarat pengampunan dosa dari Tuhan? Jika anda menolak cara Tuhan, tidak ada cara lain. Jika anda menerima syarat Tuhan, anda memiliki keselamatan yang sempurna karena Dialah pencipta keselamatan kekal bagi semua yang taat padaNya. Dan inilah kehendak Tuhan, supaya kita “percya dalam nama AnakNya, Yesus Kristus.”

Peringatan #1: Bahaya Hidup Terombang ambing
(Ibrani 1:1–2:4)

Sesuai dengan kerangka dan pesan kitab Ibrani terdapat 5 tanda bahaya. Itu seperti tanda berhenti dijalan agar tidak terbalik. Itu semua merupakan poster yang diletakan dijalan ketidaktaatan.

1. Pasal 2: Bahaya Hidup Terombang ambing.

2. Pasal 3-4: Bahaya tidak masuk keperhentian.

3. Pasal 5-6: Bahaya tidak menjadi dewasa.

4. Pasal 10: Bahaya dosa yang direncanakan.

5. Pasal 12: Bahaya penyangkalan.

Ada perkembangan dalam peringatan ini. Dimulai dengan kurang hati-hati dengan keselamatan sampai akhirnya tidak peduli terhadapt hal rohani sampai pada titik betul-betul puas dengan penyangkalan.

W. H. Griffith Thomas pernah menyatakan 5 peringatan ini: “jangan terombang ambing, tidak percaya, menjadi jahat, memandang rendah, meninggalkan.” Penyelidikan kita akan mengikuti urutan seperti dibawah.

1. Terombang ambing (2:1-4)

2. Meragukan (3:7–4:13)

3. Cacat (5:11–6:20)

4. Membenci (10:26-31)

5. Menyangkal (12:15-29)

Setiap tanda bahaya ini merupakan bagian kebenaran dari kitab ini. Penulis berhenti disetiap kasus untuk mengaplikasikan kebenaran yang sudah dinyatakan dalam hidup pendengarnya. Tidak cukup hanya tahu. Harus ada tindakan terhadap apa yang diketahui. Pengetahuan memikul tanggung jawab.

Dasar pengertian akan peringatan ini adalah mengerti kepada siapa tulisan ini ditujukan. Penerima surat ini adalah orang percaya ibrani yang telah percaya Yesus untuk keselamatan mereka, tapi dalam bahaya kembali ke tempat pemujaan di Yerusalem untuk terlepas dari penindasan yang terjadi atas mereka oleh orang ibrani yang belum selamat.

Tema surat ini adalah Tuhan telah berbicara dalam AnakNya. Kita perlu mempertimbangkan siapa Anak ini, apa yang telah Dia lakukan, dan apa pesanNya bagi kita sekarang. Sebelum Tuhan bicara. Beberapa cara Tuhan gunakan untuk menunjukan diriNya adalah:

(1) Melalui Tindakan KreatifNya.

Mazmur 19:1-4 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud. Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; 2 hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. 3 Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar; 4 tetapi gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit untuk matahari,

Paulus saat di Lystra berkata:

Kisah 14:15-17 "Hai kamu sekalian, mengapa kamu berbuat demikian? Kami ini adalah manusia biasa sama seperti kamu. Kami ada di sini untuk memberitakan Injil kepada kamu, supaya kamu meninggalkan perbuatan sia-sia ini dan berbalik kepada Allah yang hidup, yang telah menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya. 16 Dalam zaman yang lampau Allah membiarkan semua bangsa menuruti jalannya masing-masing, 17 namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan."

Paulus saat di Athens berkata:

Kisah 17:24-30 Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, 25 dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. 26 Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, 27 supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing. 28 Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga. 29 Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia. 30 Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang Allah memberitakan kepada manusia, bahwa di mana-mana semua mereka harus bertobat.

Romans 1:20-22 Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. 21 Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. 22 Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh.

Disini Tuhan berkata pada kita bahwa orang kafirpun mendapat wahyu dari DiriNya. Mereka dibiarkan oleh Tuhan, tidak secara pasif tapi aktif, karena mereka mengubah kebenaran yang mereka tahu kepada kebohongan. Mereka menolak mengenal dan memuji Dia.

Ada keterbatasan pengenalan akan Tuhan bagi ciptaan. Manusia hanya tahu keberadaan dan kuasaNya, tapi bukan pribadiNya. Maka dari itu Tuhan mulai menyatakan diriNya lebih jauh.

(2) Melalui Orang tua yang disegani (Nuh, Ayub, Abraham).

(3) Melalui para malaikat (kepada Abraham dab Musa).

(4) Melalui para nabi (yang memberikan kita PL).

Tapi tetap berbagai metode pernyataan tidak cukup untuk menunjukan Tuhan sebagai pribadi. Untuk melakukannya secara tepat dan sepenuhnya, harus ada seorang yang adalah Allah dalam pribadi.manusia. Orang itu adalah Yesus Kristu. Bapa mengirim Anak untuk menyatakan Bapa.

Yohanes 1:18 Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.

Yohanes 14:8-10 Kata Filipus kepada-Nya: "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." 9 Kata Yesus kepadanya: "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. 10 Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.

Semua yang bisa kita ketahui tentang pribadi Tuhan hanya bisa ditemukan dalam Tuhan Yesus Kristus. Dia datang untuk menyatakan Bapa.

Pikirkan siapa itu Anak (1:1-3)

Ibrani 1:1-3 Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, 2 maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. 3 Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi,

(1) Pewaris Segalanya. “KepadaNya Dia telah berikat segalanya.” Dia pusat dari seluruh semesta. Colossians 1:16 mengatakan pada kita: “Semua hal diciptakan … untuk Dia.”

(2) Pencipta Masa. “… oleh Dia dunia diciptakan” i.e., “waktu.” Dia titik awal seluruh semesta. Dia menjadikan waktu dan semuanya berkaitan dengan waktu. Waktu adalah ciptaanNya dan tunduk padaNya.

(3) Bersama Sebagai Ilahi. “… yang menjadi terang kemuliaanNya.” Kata “terang” menunjukan “menyinari” Anak menyinari dunia yang gelap. Dia kemuliaan sejati Tuhan.

(4) Pribadi sejati dari Ilahi. “… dan gambaran pribadiNya.” Dia murni diriNya. Semua yang ada dalam Bapa ada dalam Anak. Dia berbeda dengan ciptaan, pribadi dalam Tritunggal.

(5) Penopang dan Pengatur Semesta. “… dan menopang seluruh hal oleh kuasa firmanNya.” Dia aktif sampai sekarang dalam semesta agar semua ciptaan mencapai tujuan dan rencanaNya. Dia pengatur semua yang terjadi.

(6) Penebus Manusia. “… ketika Dia sendiri membasuh dosa kita.” Ini tidak dilakukan dengan bicara atau mahluk, tapi dengan kematian. Dia menyediakan pengampunan yang sempurna bagi seluruh semesta. Dia sendiri menyediakan—tidak ada yang menolong atau berkontribusi terhadap hal itu.

(7) Berdaulat atas manusia. “… duduk disebelah kanan yang Maha Tinggi.” PekerjaanNya sudah selesai. Dia duduk diatas semesta sebagai pengatur dan hakim. Merupakan hakNya untuk memerintah dan Dia suatu hari menghancurkan semua pemerintah dan penguasa. KedudukanNya sekarang menunjukan otoritas mutlak diriNya. Inilah tema penyelidikan kita: “Ingatlah selalu akan Dia” (Heb. 12:3).

I. Keunggulan Pribadi Anak (1:4–4:13)

A. Lebih tinggi dari para malaikat (1:4–2:18)

(1) Tentang KeIlahianNya (1:4-14). Sebagai Anak Allah.

Ibrani 1:4-14 jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka. 5 Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan: "Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?" dan "Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?" 6 Dan ketika Ia membawa pula Anak-Nya yang sulung ke dunia, Ia berkata: "Semua malaikat Allah harus menyembah Dia."7 Dan tentang malaikat-malaikat Ia berkata: "Yang membuat malaikat-malaikat-N menjadi badai dan pelayan-pelayan-Nya menjadi nyala api." 8 Tetapi tentang Anak Ia berkata: "Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran. 9 Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allah-Mu telah mengurapi Engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutu-Mu." 10 Dan: "Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. 11 Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian; 12 seperti jubah akan Engkau gulungkan mereka, dan seperti persalinan mereka akan diubah, tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan." 13 Dan kepada siapakah di antara malaikat itu pernah Ia berkata: "Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuh-Mu menjadi tumpuan kaki-Mu?"14 Bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan?

Melalui 7 kutipan, Anak menunjukan lebih tinggi dari para malaikat yang dinyatakan dalam PL sebagai anak Tuhan.

  • Dia lebih indah namanya (1:4-5). Para malaikan disebut anak-anak, tapi tidak pernah Anak Ku.
  • Dia lebih besar otoritasNya (1:13-14). Dia yang berdaulat; mereka pelayan.

Karena Anak lebih tinggi dari para malaikat, perkataanNya lebih tinggi dari para malaikat. Ini penting dan dasar dari peringatan pertama dalam 2:1-4. Inilah aplikasi kebenaran PribadiNya. Perhatikan hubungan, tanda, atau garis bawahi kata kunci: “Tuhan … telah … berbicara … melalui AnakNya … Maka dari itu kita harus memberikan perhatian yang kita dengar … karena jika perkataan yang dikatakan oleh para malaikat mantap dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan menerima akibat yang setimpat; Bagaimana kita bisa lolos, jika kita mengabaikan keselamatan yang luar biasa …” (Heb. 1:1-2; 2:1-3) dari Manusia yang lebih tinggi dari para malaikat.

Ada bahaya ganda yang terjadi. Pertama penghukuman secara fisik saat itu; kedua secara rohani—orang yang mendengar kebenaran injil dan tidak melakukannya. Itu sangat berbahaya bagi yang diselamatkan maupun yang belum. Pernyataan para malaikat kepada Lot tentang penghancuran Sodom itu benar, tapi pernyataan yang sama menyelamatkan Lot tapi menghancurkan istrinya karena tidak percaya. Sekarang lihat Ibrani 2.

Ibrani 2:1-3 Karena itu harus lebih teliti kita memperhatikan apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus. 2 Sebab kalau firman yang dikatakan dengan perantaraan malaikat-malaikat tetap berlaku, dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan mendapat balasan yang setimpal, 3 bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai, sedangkan

“Karena itu” (2:1). Oleh pribadi yang lebih besarlah diberikan pernyataan ini kepada kita diakhir zaman.

“Kita harus.” Merupakan keharusan logis.

“Betul-betul memperhatiakn.” Ini suatu perhatian yang diperlukan oleh semua—saya, anda, setiap orang yang memiliki telinga hendaklah mendengar. Seruan dan peringatan ini diberikan untuk kita semua.

“apa yang telah kita dengar, supaya kita jangan hanyut dibawa arus.” Kebenaran seperti jangkar. Itu tidak pernah berubah karena diberikan oleh Pribadi yang tidak pernah berubah. Karena kebenaran tidak pernah berubah, semua bahaya yang muncul karena kita berubah, kita terbawa arus berlawanan dari dunia ini.

Maksudnya: Lebih besar yang dinyatakan, lebih besar tanggung jawabnya, dan lebih besar hukuman yang diberikan kalau tidak diperhatikan. Pernyataan melalui Anak seperti itu, merupakan nature pernyataan itu, lebih penting tugas penerimanya dari pernyataan dalam PL.

2:2 - “Sebab kalau firman yang dikatakan dengan perantaraan malaikat-malaikat tetap berlaku.” Itu tidak pernah berubah, atau gagal, atau lolos dari kenyataan. Apa yang bisa dikatakan mengenai hal ini dari pemberian Hukum kepada bapa Yohanes Pembaptis, Zacharias, seperti kata Gabriel: “Sesungguhnya engkau akan menjadi bisu dan tidak dapat berkata-kata sampai kepada hari, di mana semuanya ini terjadi, karena engkau tidak percaya akan perkataanku yang akan nyata kebenarannya pada waktunya.” (Luke 1:20). Setiap hal yang dinyatakan dipenuhi seperti kata Gabriel kepada Daniel dalam Daniel 9.

Pernyataan utama yang ada dalam pikiran penulis Ibrani adalah Hukum—PL—yang diberikan melalui para malaikat (Duet. 33:2; Kisah 7:53).

“dan setiap pelanggaran dan ketidaktaatan.” “pelanggaran” menunjuk pada penyerangan positif: seorang yang melakukan apa yang tidak seharusnya dibawa hukum. “ketidaktaatan” menunjuk pada penyerangan negatif: seorang gagal melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

“mendapat balasan yang setimpal.” Imbalan merupakan bayaran upah. Hukum memberikan apa yang menjadi hak manusia. Itulah system keadilan. Pernyataan para malaikat dalam PL, membawa otoritas. Itu tidak berotoritas karena manusia tidak berwenang, tapi itu naturnya. Tidak ada yang mendatangkan hukuman atas itu, tapi tetap hukuman dijatuhkan keatas semua.

2:3 – Sekarang pertanyaan diberikan: “bagaimanakah kita akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu?” yang terluput akhirnya dibahas. Mereka meiliki injil dan dalam kasus orang Kristen ibrani, banyak dari mereka tidak lagi bersekutu dengan yang lain karena penindasan yang mereka derita, dan sebagaian sudah kembali menyembah berhala. Itulah sikap masa bodoh. Itulah sikap istri Lot dalam skal besar.

Ingat anda tidak bisa melupakan apa yang anda punya. Satu-satunya cara anda melupakan anak anda adalah dengan mendapat anak. Untuk melupakan keselamatan dalam kasus orang percaya adalah pertama mendapatkannya dan bersikap masa bodoh terhadap gereja dan persekutuan dengan orang percaya yang lain, membaca dan mempelajari firman secara pribadi, dan lainnya. Itu suatu prilaku: “Aku sudah selamat, jadi tidak usah khawatir. Saya baik-baik saja.” Kebenarannya berlawanan dengan itu. Anda salah. Keselamatan yang besar ini bukan hanya suatu tiket kesurga yang bisa anda hidupi sesuka anda didunia ini.

Penulis Ibrani menyatakan bahwa ada hidup dimana “orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman, dan apabila ia mengundurkan diri, maka Aku tidak berkenan kepadanya."(Heb. 10:38). Murka Tuhan atas orang tidak percaya, tapi ketidaksenanganNya atas anakNya yang berdosa dan Dia sendiri yang akan mendisiplin dengan berat. Inilah alasan kenapa penulis berkata: “Pembalasan adalah hak-Ku .” Dia bicara tentang penghukuman orang percaya yang adalah umatNya tapi tidak peduli dengan pernyataan yang sudah diberikan. Ditambahkan: “Ngeri benar, kalau jatuh ke dalam tangan Allah yang hidup.” (Heb. 10:30-31). Ini ditujukan hanya kepada orang percaya.

Tidak ada satupun dari kita saat ini bisa lolos dari peringatan ini. Termasuk saya, dan anda. Termasuk mereka yang berkata mereka orang percaya dan tidak dimana saja dalam keadaan apapun. Mereka akan sakit, jika tidak memperhatikan hal ini, mereka akan mati.

Pertanyaannya, “bagaimana kita bisa lolos?” Tapi pertanyaan itu tidak terjawab, baik dalam kitab ini maupun diseluruh Alkitab. Ini suatu pertanyaan dimana setan dineraka, atau iblis sekalipun dengan segala pengetahuannya bisa menjawab. Tidak ada nabi atau orang bijak; tidak ada seorangpun dari kita bisa menjawabnya. Bahkan Anak sendiri atau Roh Kudus atau Bapa tidak bisa menjawabnya. Itu tidak terjawab, dan itulah yang memberikan kesungguhan peringatan itu.

Superioritas dari pernyataan baru ini ada 3:

(1) Dalam berita permulaannya (2:3b). “…yang mula-mula diberitakan oleh Tuhan.” Ini dari Tuhan sendiri, bukan dari para malaikat. Itu dari Satu yang lebih tinggi dari para malaikat.

(2) Dalam pernyataan yang meyakinkan (2:3c). “…dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita dengan cara yang dapat dipercayai.” Para rasul memberikan kesaksian asli kebenaran itu.

(3) Dalam kesaksian ilahi (2:4). “…Allah meneguhkan kesaksian mereka oleh tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai penyataan kekuasaan dan karena Roh Kudus, yang dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya.” Disini konfirmasi ilahi diberikan terhadap pesan para rasul akan kebenaran yang mereka nyatakan.

Sekarang apakah anda telah mendengar injil. Anda tahu tentang hal ini.

Kristus telah mati bagi dosa anda.

  • Dia dikubur.
  • Dia bangkit kembali dihari ketiga seperti yang dikatakanNya.
  • Dan Dia menyatakan diri. Dia hidup sekarang menyediakan keselamatan bagi semua yang mau datang padaNya.

Anda mengetahui hal itu secara intelek, bahkan secara emosi anda tergugah, tapi anda telah lalaiuntuk berespon secara pribadi. Anda tidak diselamatkan karena anda tahu injil; anda tidak diselamatkan karena anda mengalami hal emosional akan injil. Anda hanya diselamatkan saat anda bertindak atasnya karena anda percaya itu benar.

Sebagai suatu tindakan kehendak “memanggil nama Tuhan” karena anda tahu Dia bisa menyelamatkan anda. Sebagai tindakan pengakuan mulut anda percaya Tuhan Yesus dan kebangkitanNya. Anda mau keluar dan mengakuinya secara terbuka apapun yang terjadi, walau itu sampai mati.

Anda bisa meletakannya; anda bisa tidak peduli akan kenyataan dan kebenarannya, memandang rendah undangan itu, tapi apakah anda pernah bertanya: “bagaimana anda bisa lolos?” Anda tidak bisa menjawabnya, bisakah? Kenyataannya, anda bahkan tidak ingin memikirkannya. Anda mau melupakannya. Tapi anda tidak bisa melakukan itu.

Oh, betapa indah bisa menyatakan bahwa undangan itu tetap terbuka. Sekarang tetap “hari keselamatan” Itu tetap “waktu penerimaan” saat anda bisa diselamatkan. Mungkin tidak pernah ada besok untuk anda. Mungkin tidak ada lagi kata besok untuk kasih karunisa dimana anda bisa diselamatkan tanpa mengalami kematian atau masa pergolakan untuk bisa selamat.

Datanglah sewaktu masih “sekarang” dalam firman. Akan datang waktunya saat kasih karunia Tuhan ditutup dan penghakiman bagi semua yang menolak kasih karunia Tuhan,.

“bagaimanakah anda – meletakan nama anda disana – akan luput, jikalau kita menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar itu?”

Peringatan #2: Bahaya Keraguan
(Ibrani 3-4)

Bahaya pertama adalah bahaya terhanyut. Yaitu terbawa arus dunia sekarang yang membengkokan anda dari kebenaran. Mungkin ada satu hari saat anda bangun anda tidak bersama umat Tuhan juga dalam kebenaran. Anda telah terhanyut dari kebenaran karena ketidakpedulian akan hal itu. Saat anda datang kepada kebenaran, itu bukan suatu dimana anda menanam diri anda. Kebenaran tidak pernah berubah, tapi kita bisa, itulah bahayanya. Seorang bisa datang ke kalvari dan ditebus oleh darah Kristus dan kemudian terhanyut dari kedudukannya karena ketidakpedulian akan hal menyangkut Tuhan. Itulah bahaya pertama dalam kehidupan Kristen.

Setelah bahaya ini, penulis Ibrani menyatakan kebenaran bahwa Yesus Kristus lebih tinggi dari malaikat. Sebelumnya telah ditunjukan bahwa Anak lebih tinggi daripada para malaikat dalam keIlahiannya sebagai Anak Allah (1:4-14), dia sekarang menunjukan bahwa Dia lebih tinggi dari para malaikat dalam kemanusiaanNya sebagai Anak Manusia (2:5-18). Maksud pemberian Tuhan bagi manusia dalam 2:5-8. Itu diberikan dunia pada manusia bukan malaika. Inilah alasan Taman Eden diberikan untuk diatur manusia. Inilah kehendak Tuhan.

Bukti bahwa ini tetap kehendak Tuhan dan ini akan diselesaikan, itulah tempat Yesus sekarang (2:9). “Yesus” adalah nama manusia dari Tuhan, Dia Tuhan yang menjadi manusia yang mengatur dunia yang akan datang nanti yaitu millennium. Syarat dibuat oleh Kristus dalam kemanusiaannya agar itu bisa diselesaikan (2:10-18). Dia mengalahkan Setan dikayu salib.

Perhatikan Garis besarnya:

A. Superiority Anak dari Para Malaikat (1:4-2:18).

1. Dalam keIlahiannya sebagai Anak Allah (1:4-14).

2. Dalam kemanusiaannya sebagai Anak Manusia (2:5-18).

B. Superiority Anak dari Musa (3:1-6).

Ibrani 3:1-6 Sebab itu, hai saudara-saudara yang kudus, yang mendapat bagian dalam panggilan sorgawi, pandanglah kepada Rasul dan Imam Besar yang kita akui, yaitu Yesus, 2 yang setia kepada Dia yang telah menetapkan-Nya, sebagaimana Musapun setia dalam segenap rumah-Nya. 3 Sebab Ia dipandang layak mendapat kemuliaan lebih besar dari pada Musa, sama seperti ahli bangunan lebih dihormati dari pada rumah yang dibangunnya. 4 Sebab setiap rumah dibangun oleh seorang ahli bangunan, tetapi ahli bangunan segala sesuatu ialah Allah. 5 Dan Musa memang setia dalam segenap rumah Allah sebagai pelayan untuk memberi kesaksian tentang apa yang akan diberitakan kemudian, 6 tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhirnya teguh berpegang pada kepercayaan dan pengharapan yang kita megahkan.

Ini kebenaran baru dan dari situ penulis menyatakan peringatan baru. Kristus lebih tinggi dari Musa setidaknya dalam 4 cara.

  • Kristus pembangun atau pencipta Israel; Musa bagian dari Israel atau ciptaan (3:3).
  • Kristus diatas semua itu (3:6); Musa didalamnya (3:5).
  • Kristus adalah Anak (3:6); Musa seorang pelayan (3:6).
  • Kristus beritanya; Musa menyatakan berita (3:5b).

Satu yang berbicara tidak hanya lebih tinggi dari para malaikat tapi juga lebih tinggi dari Musa. Seperti Tuhan berkata melalui para malaikat dan setiap perkataan ada benar; demikian juga Tuhan berbicara melalui Musa dan setiap kata adalah benar. Ini membawa kita kebahaya kedua, dan penulis Ibrani memberikan peringatan pada orang Kristen Ibrani agar mereka tidak gagal seperti leluhurnya.

1. Illustration (3:7-19)

Ibrani 3:7-19 Sebab itu, seperti yang dikatakan Roh Kudus: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, 8 janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman pada waktu pencobaan di padang gurun, 9 di mana nenek moyangmu mencobai Aku dengan jalan menguji Aku, sekalipun mereka melihat perbuatan-perbuatan-Ku, empat puluh tahun lamanya. 10 Itulah sebabnya Aku murka kepada angkatan itu, dan berkata: Selalu mereka sesat hati, dan mereka tidak mengenal jalan-Ku, 11 sehingga Aku bersumpah dalam murka-Ku: Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku." 12 Waspadalah, hai saudara-saudara, supaya di antara kamu jangan terdapat seorang yang hatinya jahat dan yang tidak percaya oleh karena ia murtad dari Allah yang hidup. 13 Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa. 14 Karena kita telah beroleh bagian di dalam Kristus, asal saja kita teguh berpegang sampai kepada akhirnya pada keyakinan iman kita yang semula. 15 Tetapi apabila pernah dikatakan: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu seperti dalam kegeraman", 16 siapakah mereka yang membangkitkan amarah Allah, sekalipun mereka mendengar suara-Nya? Bukankah mereka semua yang keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa? 17 Dan siapakah yang Ia murkai empat puluh tahun lamanya? Bukankah mereka yang berbuat dosa dan yang mayatnya bergelimpangan di padang gurun? 18 Dan siapakah yang telah Ia sumpahi, bahwa mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Nya? Bukankah mereka yang tidak taat? 19 Demikianlah kita lihat, bahwa mereka tidak dapat masuk oleh karena ketidakpercayaan mereka.

Israel dibebaskan dari Mesir dari perbudakan. Mereka dibebaskan melalui darah domba paskah, dan dengan kuasa Tuhan. Tuhan mengeluarkan mereka; mereka tidak membebaskan diri sendiri, Pembebasan ini adalah karyaNya, dan Dia yang menerima kemuliaan. Suatu kemuliaan Israel bisa keluar dari Mesir; dan tragedy mereka mati dipadang belantara.

a. Penjelasan: Kenapa Israel Gagal (3:7-11)

Ayat 1-6 menjelaskan kesetiaan Musa dan Mesias. Sekarang kita ditunjukan ketidaksetiaan orang Israel dimasa Musa, dan bahaya ketidaksetiaan bagi gereja sekarang ini.

Provokasi (3:8) pemberontakan di Meribah dalam Numbers 20:13. Itu akhir dari pengalaman dipadang gurun. Cobaan (3:8) pemberontakan di Massah ditulis dalam Exodus 17:7, merupakan pengalaman awal mereka. Dari awal sampai akhir Israel menjengkelkan Tuhan.

Hasilnya bukan masuk kedalam perhentian (Heb. 3:10-11). Mereka tidak pernah masuk ketanah perjanjian. Sekarang kita harus sadari bahwa tanah perjanjian bukan gambaran surga. Itu gambaran perhentian, dan generasi ini yang keluar dari Mesir oleh kasih karunia Tuhan dan kuasaNay tidak pernah masuk perhentian hidup ini.

Maksudnya: orang yang diselamatkan bisa kehilangan berkat yang tergantung dari iman mereka. Tidak cukup diselamatkan oleh iman. “Orang benar hidup oleh iman.” Jika umat Tuhan tidak hidup oleh iman, mereka kehilangan berkat hidup.

Diselamatkan memberikan kita ketenangan, dan kita mendapat kedamaian dengan Tuhan. “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.” (Rom. 5:1). Tapi kita kemudian bisa masuk kedalam perhentian dan memiliki damai dari Tuhan.

Phil. 4:6 “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Perbedaannya adalah perbedaan dalam perhentian antara Matthew 11:28 dan 29: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.”

Yang pertama berkaitan dengan posisi; kedua berkaitan dengan pengalaman.

b. Aplikasi (3:12-15)

Pengalaman Israel tidak ditulis untuk mereka, karena kesalahan mereka ditulis untuk menolong mereka sedikit saja. Itu ditulis untuk kita. Kita harus memperhatikan agar hal yang sama tidak terjadi yaitu menjauh dari Tuhan. “Menjauh” menunjukan berdiri menjauh dari kepercayaan yang lama. Itulah yang sebelumnya dikatakan Tuhan melalui Musa. Sekarang Tuhan mengatakannya melalui Anak: kita datang padaNya dan kita diselamatkan olehNya, tapi kita bisa “menjauh” dari Dia.

Ayat 13 mengatakan pada kita apa yang kita lakukan saat kita menemukan ini dijemaat. Kita jangan menghakimi. Kita menasihati satu sama lain dengan kasih dan pekerjaan baik (cf. Heb. 10:24).

Kata “mengeras” berarti berulang. Itu ada melalui pengulangan iritasi. Ada pengerasan pada tangan dan kaki, tapi ada juga pengerasan dihati. Kita tidak pernah sama lagi saat kita gagal berespon pada panggilan Roh. Gagal untuk berespon selalu menghasilkan pengerasan. Ini hal yang menakutkan. Ini hasil akhir adlah hati yang jahat (cf. 3:12). Hasil akhirnya adalah tidak adanya sensifitas terhadap panggilan Roh.

c. Interpretasi (3:16-19)

Ini jalur yang diambil dosa. Umat Tuhan diselamatkan, mengesalkan Dia. Ada 3 pertanyaan dalam Ayat 16, 17, 18, dan itu memberikan kita 3 tahap prilaku dosa.

Tidak percaya —————> Pengerasan ——————> Penghukuman

Prilaku tidak percaya berupa komplain dan menghasilkan disiplin dari Tuhan. Jalurnya selalu sama. Dimulai dengan suatu prilaku, dinyatakan dalam tindakan dan berujung pada penghukuman Tuhan.

Bahayanya kalau kita juga kurang dalam hidup iman. Dasarnya kita tidak berbeda dengan Israel. Hal yang sama yang terjadi padanya bisa terjadi pada kita. Pertama, orang Israel yang dibebaskan di Sinai hanyut dari kebenaran dan membuat sapi emas dan 3,000 mati. Kemudian 38 tahun berkelana dipadang gurun karena mereka menolak hidup iman dan masuk kedalam tanah perjanjian. Ada 603,550 prajurut perang. 603,548 mati dipadang gurun.

Ini berarti bahwa setiap hari dipadang gurun menyaksikan 44 penguburan militer disamping orang sipil. Kuburan ini menjadi peringatan bagi orang Kristen. Itu bisa terjadi bagi kita. Itu terjadi disini.

2. Penghiburan (4:1-10)

Ibrani 4:1-10 Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan, sekalipun janji akan masuk ke dalam perhentian-Nya masih berlaku. 2 Karena kepada kita diberitakan juga kabar kesukaan sama seperti kepada mereka, tetapi firman pemberitaan itu tidak berguna bagi mereka, karena tidak bertumbuh bersama-sama oleh iman dengan mereka yang mendengarnya. 3 Sebab kita yang beriman, akan masuk ke tempat perhentian seperti yang Ia katakan: "Sehingga Aku bersumpah dalam murka-Ku: Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku," sekalipun pekerjaan-Nya sudah selesai sejak dunia dijadikan. 4 Sebab tentang hari ketujuh pernah dikatakan di dalam suatu nas: "Dan Allah berhenti pada hari ketujuh dari segala pekerjaan-Nya." 5 Dan dalam nas itu kita baca: "Mereka takkan masuk ke tempat perhentian-Ku." 6 Jadi sudah jelas, bahwa ada sejumlah orang akan masuk ke tempat perhentian itu, sedangkan mereka yang kepadanya lebih dahulu diberitakan kabar kesukaan itu, tidak masuk karena ketidaktaatan mereka. 7 Sebab itu Ia menetapkan pula suatu hari, yaitu "hari ini", ketika Ia setelah sekian lama berfirman dengan perantaraan Daud seperti dikatakan di atas: "Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!" 8 Sebab, andaikata Yosua telah membawa mereka masuk ke tempat perhentian, pasti Allah tidak akan berkata-kata kemudian tentang suatu hari lain. 9 Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah. 10 Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari pekerjaan-Nya.

Janji masuk kedalam perhentian “diberikan pada generasi berikut” (4:1). Masuk keperhentian bukan pengalaman menyebrang laut merah, tapi pengalaman keselamatan dengan darah dan kuasa. Janji ini adalah menyebrangi sungai Yordan. Bahayanya adalah mati dibelantara, daripada kita tidak meninggalkan Mesir. Itu merupakan bahaya hanya untuk orang yang sudah selamat.

Setelah 38 tahun setelah Israel dibebaskan Musa memohon pada generasi baru. Catatan permohonan itu ada dalam kitab Ulangan.

Setelah 38 tahun setelah Pentakosta bagi gereja. Itu generasi kedua orang percaya. Mereka menghadapi keputusan penting. Tuhan sendiri memohon agar mereka jangan gagal. Catatan permohonan ini ada dalam kitab Ibrani.

Ada laporan diberikan kepada bangsa dalam PL oleh 12 orang. Situasi yang sama muncul sekarang. Apa yang kita lakukan dengan Perkataan laporan (Ayat 2)?

4:3 Sebagian ciptaan adalah hidup berkualitas yang disukai Tuhan

4:8 Sisa yang diberikan Yosua hanya contoh. Pemenuhannya tetap ada.

4:9 Hidup selanjutnya: (1) disediakan Tuhan. (2) tersedia sekarang. (3) bisa masuk melalui iman.

3. Seruan (4:11-13)

Ibrani 4:11-13 Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga. 12 Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. 13 Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.

Tidak cukup hanya mengetahui. Harus ada tindakan positif. Ketidaktaatan dan ketidakpercayaan akan menghancurkan kita (4:11). Tuhan memberikan kita sesuatu untuk menyelidiki hati kita. (1) Firman Tuhan (4:12-13). Yang hidup, tajam, menegur. Itu bisa memotong pengerasan yang terjadi dimana tidak ada yang bisa. (2) Tuhan sendiri (4:13; cf. Job 34:21). “MataNya mengawasi jalan manusia, dan dia melihat semua yang dilakukannya.”

Bagi kita semua yang telah diselamatkan, ada sungai Yordan untuk diseberangi. Itu masalah antara kita dengan Tuhan. Akankah kita melakukan kehendakNya benar melalui iman atau tidak? Kita melakukan satu atau dua hal sebelum sampai kehal ini: kita memberontak atau kita berserah. Apa pilihan anda?

“Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.” (Heb. 4:11).

Kejatuhan itu adalah kematian fisik.

Peringatan #3:
Bahaya Ketidakdewasaan
(Ibrani 4:14-6:20)

Penulis Ibrani prihatin terhadap orang Kristen dimasanya. Dia sangat prihatin karena tindakan yang mereka lakukan dan akibat tindakan itu. Jika mereka terus menjalani hal itu makan orang Kristen ini akan mati.

(1) Bahaya pertama adalah bahaya terbawa keluar dari kebenaran yang dikatakan melalui Anak. Semua orang Israel yang ditebus melalui darah domba paskah dan ditebus melalui kuasa Tuhan, saat mereka terbawa arus keluar dari hukum yang diberikan melalui malaikat, mati. Tiga ribu orang mati dalam peristiwa lembu emas.

Betapa Firma yang diberikan pada kita sangat besar dan tanggung jawab untuk hidup dalam terang kebenarannya. Kita yang percaya tidak bisa mengabaikan pesannya dan berhasil.

(2) Bahaya kedua adalah bahaya tidak masuk ketempat perhentianNya karena tidak percaya. Tidak cukup diselamatkan melalui iman. Orang percaya harus terus hidup dengan iman. Jika dia hidup dalam ketidakpercayaan maka dia tidak akan menerima berkat, tapi disiplin dari Tuhan.

Seluruh generasi binasa dipadang belantara karena kegagalan ini. Mereka sudah diselamatkan keluar dari Mesir dan dari perbudakan melalui kuasa dan untuk kemuliaan Tuhan, tapi mereka binasa diperjalanan.

Kehidupan Kristen tidak hanya diselamatkan saja. Ada tempat perhentian untuk umat Tuhan. Ada penyebrangan disungai Yordan juga laut merah. Banyak orang percaya saat ini mati dalam perjalanan dan tidak masuk kedalamnya melalui iman kedalam berkat Tuhan untuk mereka. Kubur dipadang dibuat sebagai tanda bagi kita untuk tidak jatuh kedalam kesalahan ketidakpercayaan yang sama karena kepahitan melawan Tuhan karena perlakuannya dengan kita.

Nasihat ini untuk setiap orang percaya agar membiarkan Firman Tuhan berkarya dalam hidup kita dan tidak dihalangi dalam pekerjaannya. Dengan itu bagian pertama kitab Ibrani disimpulkan, dan meninggalkan pembahasan pribadi Anak, penulis kemudian bicara tentang karya Anak bagi kita, melihat Dia sebagaimana adanya.

Garis Besar:

II. Superioritas Perkataan Anak (4:14-10:16)

A. Sebagai Imam Besar (4:14-7:28)

B. Sebagai Tabernakel Sejati (8:1-9:11)

C. Sebagai Korban Sempurna (9:12-10:18)

Dibawah 4:14-7:28 ada:

1. Pendahuluan: Imam Besar Kita (4:14-16)

a. Dimana Dia—KedudukanNya—“melintasi semua langit.”

b. Siapa Dia—PribadiNya—“Yesus, Anak Allah.”

c. Apa Dia—KarakterNya—“tanpa dosa.”

d. Apa Tindakan Dia—KaryaNya—“‘merasakan kelemahan-kelemahan kita.”
Dia memberikan rahmat dan kasih karunia bagi yang percaya -imam.

2. Anak adalah Imam Sejati (5:1-10)

a. Natur seorang Imam (5:1-4)

(1) Dia harus seorang manusia (5:1-2)

(2) Dia harus mempersembahkan korban (5:3)

(3) Dia harus dipanggil oleh Tuhan (5:4)

b. Anak Memenuhi semua hal diatas (5:5-10)

Karena Anak memenuhi semuanya, tidak ada penengah lain dibutuhkan. TIdak ada imam besar lain. Kita hanya punya satu imam besar. Itu bukan manusia dunia yang melayani dalam tabernakel dunia; itu kekal, sang Anak yang sempurna melayani disurga.

Peringatan Ketiga Meliputi: Bahaya Tidak Dewasa

Ada banyak hal yang bisa dikatakan mengenai Anak menjadi imam besar menurut peraturan Melkizedek dan bukan Harun, tapi penuli berhenti disini karena ketidakdewasaan mereka. Masalahnya ada pada pendengarnya, bukan pembahasannya. Mereka tidak bisa menerima kebenaran ini, dan ada alasan atas kondisi ini.

Sebelum kita melihat kedalam peringatan ini, kita perlu sadar bahwa 5:11–6:20 merupakan satu pemikiran. Itu suatu paragraph. Pasal harus dipecah disini karena banyak tafsiran dari Ibrani 6 harus dimulai pada 5:11.

Mari kita melihat secara sekilas tentang argumennya.

1. Masalah Kerohanian (5:11-14)

Ibrani 5:11-14 Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. 12 Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. 13 Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. 14 Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.

a. Keadaan Mereka Sekarang: Kecacatan karena Tidak dewasa (5:11-13)
b. Keadaan Ideal: Normal karena Kedewasaan (5:14)

5:11 – Masalah dalam pendengarnya adalah mereka telah “menjadi” pendengar yang lamban. Mereka dulu tidak begitu.

5:12 – Mereka telah lama jadi orang percaya, dan jika dihitung dari saat mereka percaya, mereka seharusnya sudah diajar di Institut Alkitab Yerusalem, tapi mereka masih diajar di kursus untuk pemula.

5:13 – Ini menjelaskan kenapa mereka tetap seperti anak-anak. Mereka gagal menggunakan pengetahuan yang mereka dapat mengenai praktek kehidupan Kristen, Prinsip hidup Kristen yang luar biasa itu harus “digunakan atau hilang”. Orang-orang ini tahu kalau Kristus merupakan pemenuhan korban PL dan korban sudah dipenuhi sekali selamanya melalui pengorbananNya; tapi mereka tetap tidak mengerti kenapa mereka tidak boleh pergi kembali kebait untuk mempersembahkan korban. Masalah mereka bukan terhadap pengetahuan, tapi masalah menggunakan pengetahuan itu dalam situasi hidup untuk membedakan mana yang salah dan benar.

5:14 – Orang yang dewasa mampu melakukan lebih dari fakta. Mereka bisa menghubungkan pengajaran dengan pengalaman. Kedewasaan itu dalam hidup orang Kristen hanya pengetahuan seperti itu, tapi kemampuan menggunakan pengetahuan itu untuk mengatasi situasi dan masalah dikehidupan sehari-hari.

2. Kebenaran Rohani (6:1-8)

Ibrani 6:1-8 Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah, 2 yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal. 3 Dan itulah yang akan kita perbuat, jika Allah mengizinkannya. 4 Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya, yang pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, 5 dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang, 6 namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat, sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum. 7 Sebab tanah yang menghisap air hujan yang sering turun ke atasnya, dan yang menghasilkan tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi mereka yang mengerjakannya, menerima berkat dari Allah; 8 tetapi jikalau tanah itu menghasilkan semak duri dan rumput duri, tidaklah ia berguna dan sudah dekat pada kutuk, yang berakhir dengan pembakaran.

a. Kebutuhan untuk Terus Maju (6:1-3)

Perhatikan hal ini dalam kerangka perkataan dalam 5:11-14. Pasal ini dimulai dengan kata “sebab itu.” Sekarang, tiap kali anda melihat kata “sebab itu” atau “maka dari itu” berhenti dan lihat sebelumnya. Itu berasal dari sebelumnya. Dalam kerangka fakta sebelumnya. Inilah tindakan yang harus dilakukan..

6:1 – Kamu orang percaya yang belum dewasa perlu meninggalkan pengajaran awal dan menuju kepada kedewasaan. Tidak ada yang salah dengan pengajaran awal untuk anak kecil, tapi ada yang salah kalau orang dewasa yang sudah melalui pengajaran itu terus diajar itu. “Kesempurnaan” merupakan kata untuk kedewasaan. Tidak yang salah seorang bayi disuapi tapi ada yang salah jika dari tahun ketahun anda masih membutuhkan orang lain memberi makan anda.

6:1-2 – Ada 6 pengajaran awal yang harus mereka tinggalkan. Tidak ada yang salah dengan keenam hal itu, karena itu merupakan pengajaran penting pertama para rasul setelah pentakosta. Fondasinya baik, tapi jangan terus membangun fondasi—anda harus terus.

6:3 - “Dan menjadi dewasa ini harus kita lakukan jika Allah mengijinkannya.” Ini sangat penting. Anda tidak bisa memaksakan kedewasaan. Bapa ingin anaknya untuk dewasa; dan ini menunjukan kesalahan ada dalam kita bukan Tuhan, jika kita tidak menjadi dewasa. Tapi kita tidak tahu berapa banya waktu yang tersisa.

b. Tidak Mungkin untuk Kembali (6:4-6)

Sekarang kita sampai kebagian yang paling banyak disalah mengerti dalam Alkitab.

Masalah yang harus diselesaikan lebih dulu adalah apakah orang yang ditujua penulis sudah diselamatkan atau belum? Harus salah satu. Tidak ada kelompok ketiga. Orang-orang ini adalah orang percaya dan sudah diselamatkan dengan alasan:

(1) Karena Isi Keseluruhan dari Kitab Ibrani ini. Seluruh kita ditujukan bagi orang Kristen Ibrani. Perhatikan nasihatnya,

  • “Sebab itu, baiklah kita waspada, supaya jangan ada seorang di antara kamu yang dianggap ketinggalan masuk ke dalam perhentian-Nya …” (4:1).
  • “Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu” (4:11).
  • “Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus” (4:14).
  • “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia” (4:16).

(2) Karena Konteks dalam Ibrani 5:11–6:3.

  • Mereka anak, maka mereka memiliki hidup (5:13).
  • Mereka tidak membutuhkan pengetahuan, tapi perlu mempraktekan pengetahuan yang sudah ada (5:13).
  • Mereka jatuh menjadi lamban karena tidak menggunakannya (5:14).
  • Mereka sudah selamat kalau tidak mereka tidak diharapkan jadi pengajar (5:13).
  • Mereka dinasihati untuk “sempurna” (6:1). Ini tidak berarti datang kepada keselamatan, tapi kepada kedewasaan dalam Kristus. Penulis memasukan dirinya bersama dengan mereka untuk terus maju (6:1 “kita” 6:3 “kami”).
  • Terakhir, mereka sudah tahu dan menerima pengajaran asas-asas pertama.

(3) Karena konteks yang berikutnya dalam Ibrani 6:9-12.

  • Mereka disebut “saudara-saudaraku yang terkasih” (6:9).
  • Penulis mengejar sesuatu yang mengandung keselamatan (6:9). Anda tidak bisa mengejar buah jika tidak memiliki pohon dan hidup dalamnya.
  • Mereka sudah menghasilkan buah seperti itu (6:10).
  • Mereka dinasihati untuk menjadi penurut-penurut (6:12) yang tidak mungkin bagi orang belum selamat.

(4) Karena bagian dalam 6:4-6. Ada 5 keistimewaan rohani yang digunakan untuk mendefinisikan maksud mereka dan menunjukan pentingnya hal itu. Ditunjukan dalam pernyataan berikut.

  • “Ingatlah akan masa yang lalu.” Perhatikan Ibrani 10:32, “Sesudah kamu menerima terang, kamu banyak menderita oleh karena kamu bertahan dalam perjuangan yang berat.” Perkataan ini menunjuk saat terang injil dipahami kita pertama kali (cf. 2 Cor. 4:4, 6; Eph. 3:9; 2 Tim. 1:10). Lebih jauh, kata “sesudah” waktu digunakan dalam bahasa Ibrani menandakan sesuatu yang tidak pernah diulang lagi (cf. 9:7,26; 10:2;12:26).
  • “…dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat.” Perhatikan Ibrani 2:9, “yaitu Yesus, kita lihat… supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.” Mengalami dalam Yunani menunjukan memegang sesuatu yang umum diketahui orang lain. Itu tidak berarti, seperti dalam budaya kita, mengalaminya dan kemudian menolak menjadi bagian dari hal itu. Kristus mengalami kematian untuk kita agar kita bisa mendapat bagian dalam hidup kekal. Karunia Tuhan dan panggilannya agar hidup kekal menjadi milik kita. Kita menjalani hal yang sama dengan Yesus Kristus. HidupNya menjadi hidup kita karena dia mati bagi kita.
  • “…mendapat bagian dalam panggilan sorgawi.” Kata “menjadi bagian” digunakan dalam 2:14; 3:1 dan 14. Itu menunjukan bukan hanya partisipasi tapi lebih kepada karakter pribadi yang didapat akibat hubungan. Karakter pribadi manusia dari darah dan daging. Untuk mendapat bagian dalam Roh Kudus adalah mendapat karakter pribadi yang dipimpin oleh Dia (i.e. diregenerasi).
  • “… dan merasakan kebaikan Firman Tuhan.” Ini kembali kekata “mengalami” dan dalam hal ini mereka telah merasakan perkataan dari Tuhan.
  • “… dan kuasa dimasa depan.” Ini kuasa masa seribu tahun. Meraka tidak menjadi bagian dari masa, tapi yang berkuasa atas masa, dan mereka mengalami kelahiran kembali dalam hidup mereka.

Sekarang, parallel yang digunakan dan referensi yang ditunjukan untuk kelima hal tentang orang percaya.

a. Hanya orang percaya yang pernah diterangi.

b. Hanya orang percaya yang memiliki hidup kekal.

c. Hanya orang percaya yang memiliki Roh Kudus.

d. Hanya orang percaya yang menjadi bagian dari PB dan mengatur hidupnya.

e. Hanya orang percaya yang mengalami kuasa kelahiran baru.

Lebih lagi, setiap pernyataan itu ada dalam bentuk aorist yang berarti hal ini tidak pernah diulangi. Ini juga menunjukan kalau penulis bicara pada orang yang sudah percaya dimana Tuhan sudah melakukan karya yang tidak diulang lagi. Jika mereka belum diselamatkan maka mereka tidak bisa mengalami hal diatas; tapi karena sudah diselamatkan.

Lebih jauh, apa yang bisa dikatakan tentang orang percaya selain pernyataan disini? Tidak ada yang bisa dikatakan lagi.

Jelas penulis berkata pada orang percaya, pertanyaannya apa yang dikatakan pada mereka? Mari kita lihat apa yang tidak diajarkan bagian ini. Itu tidak mengajar kalau anda bisa selamat, murtad, dan diselamatkan lagi. Bagian ini berkata itu suatu kemustahilan. Setiap orang yang mengajarkan hal itu sesat.

Bagian ini tidak mengajarkan kalau anda bisa diberi pengertian, dll tapi tidak selamat, dan setelah menolak tidak bisa diselamatkan selamanya. Ini tidak dikenal dalam Alkitab.

Apa yang diajarkan bagian ini (dan ini sederhananya)—sesuatu yang tidak mungkin. Tidak mungkin mereka yang selamat kemudian murtad dan diselamatkan lagi dan membutuhkan kematian Kristus kembali sehingga mempermalukan kematian Kristus karena tidak cukup. Karena itu tidak mungkin, dan kita tidak bisa menghilangkan tahun-tahun yang sudah terbuang sebagai orang percaya—mari kita menuju kepada kedewasaan.

Masa lalu tidak bisa diubah. Saya tidak bisa mengubahnya. Maka saya harus prihatin tentang sekarang dan kemudian karena saya tidak bisa melakukan apapun terhadap masa lalu.

Bagaimana kita yakin ini yang dibicarakan penulis?

(1) Verse 4 dimulai dengan “untuk” dan memberikan penjelasan kenapa kita harus begitu.

(2) Sesuai dengan konteks. Konteks sebelumnya berbicara tentang kekanak-kanakan dan tahun-tahun yang terbuang. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah terus maju. Konteks berikutnya memberikan gambaran tahun-tahun terbuang yang membawa semak dan duri (6:7-8). Kita tidak bisa kembali dan melakukan apapun terhadap tanaman ini. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah terus maju dan membawa tanaman yang baik tahun ini.

(3) Kata yang digunakan untuk “pertobatan” metanoias dan itu berarti “pertobatan” kepada keselamatan. Dalam PB kata ini selalu menggunakan pertobatan untuk keselamatan. (metamellomai adalah “pertobatan” yang berarti pemulihan hubungan dalam PB).

(4) Penggunaan kata “sekali lagi” penting. Tidak mungkin memperbaharui seorang yang sudah diselamatkan “sekali lagi kepada pertobatan yang lalu” kepada keselamatan, hanya karena dia sudah diselamatkan. Kata “sekali lagi” menunjuk pada pengalaman sebelumnya. Dalam hal ini pengalaman sebelum keselamatan.

Untuk mempersamakan in kita bisa mengatakan: “meninggalkan kekanankan, mari kita menuju kedewasaan karena tidak mungkin dalam rangka tidak bisa diperbaharui—yaitu membuat semuanya baru—dalam arti pertobatan pertama kepada keselamatan mengharuskan Kristus mati kembali dan membuat kematiannya tidak ada artinya, dan menjadi cemoohan bagi mereka yang melihatnya.”

Karena kalau ini terjadi yaitu diperlukan penyaliban kedua kali—bagi mereka yang melihat—akan berkata keselamatannya tidak berarti karena kematiannya tidak cukup, dan bagaimana mereka yakin kalau kematian keduanya cukup?

c. Ilustrasi Prinsip (6:7-8)

Tanah tidak terbakar, tapi buah dari tanah terdiri dari semak dan duri. Jadi semua akan dibawa dikursi penghakiman Kristus (cf. 1 Cor. 3:11-15). Bukan orang percaya yang dibakar, tapi pekerjaannya ditolak.

Kita tidak bisa menghapus semak masa lalu. Maka dari itu marilah kita terus maju dan melalui anugrah Tuhan tahun ini menghasilkan tanaman yang baik sehingga itu memuliakan Tuhan.

3. Tindakan Rohani (6:9-20)

Ibrani 6:9-20 Tetapi, hai saudara-saudaraku yang kekasih, sekalipun kami berkata demikian tentang kamu, kami yakin, bahwa kamu memiliki sesuatu yang lebih baik, yang mengandung keselamatan. 10 Sebab Allah bukan tidak adil, sehingga Ia lupa akan pekerjaanmu dan kasihmu yang kamu tunjukkan terhadap nama-Nya oleh pelayanan kamu kepada orang-orang kudus, yang masih kamu lakukan sampai sekarang. 11 Tetapi kami ingin, supaya kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan yang sama untuk menjadikan pengharapanmu suatu milik yang pasti, sampai pada akhirnya, 12 agar kamu jangan menjadi lamban, tetapi menjadi penurut-penurut mereka yang oleh iman dan kesabaran mendapat bagian dalam apa yang dijanjikan Allah.

13 Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya, 14 kata-Nya: "Sesungguhnya Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan akan membuat engkau sangat banyak." 15 Abraham menanti dengan sabar dan dengan demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya. 16 Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan. 17 Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusan-Nya, Allah telah mengikat diri-Nya dengan sumpah, 18 supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta, kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang terletak di depan kita. 19 Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir, 20 di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita, ketika Ia, menurut peraturan Melkisedek, menjadi Imam Besar sampai selama-lamanya.

  • Bagian anda: hal setelah diselamatkan (6:9-12)
  • Bagian Tuhan: janji yang tidak berubah (6:13-20)

Nasihat bagi kita: “Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Phil. 3:13-14).

Peluangnya sejelas janji Tuhan. Tidak pernah gagal. Maka dari itu, mari kita terus maju …

Peringatan #4:
Bahaya Meremehkan
(Ibrani 10:26-31)

Ibrani 10:26-31) Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu. 27 Tetapi yang ada ialah kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan semua orang durhaka. 28 Jika ada orang yang menolak hukum Musa, ia dihukum mati tanpa belas kasihan atas keterangan dua atau tiga orang saksi. 29 Betapa lebih beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak Anak Allah, yang menganggap najis darah perjanjian yang menguduskannya, dan yang menghina Roh kasih karunia? 30 Sebab kita mengenal Dia yang berkata: "Pembalasan adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan." Dan lagi: "Tuhan akan menghakimi umat-Nya."

Setiap peringatan yang diberikan dalam Ibrani semakin buruk. Sebelumnya kita melihat bahaya terbawa arus keluar dari kebenaran (2:1-4); bahaya tidak masuk keperhentianNya (ch. 3-4); dan bahaya tidak menjadi dewasa (ch. 5-6).

Semua bahaya ini hanya untuk anak Tuhan, bukan anak dunia. Bahayanya bukan untuk yang belum selamat bahwa tidak akan selamat dan masuk neraka. Penulis Ibrani tidak menulis kepada bangsanya, Israel, yang tidak percaya. Matius melakukan itu. Dia menulis bagi mereka yang percaya, yang menerima Tuhan Yesus Kristus dan pengorbananNya menebus dosa mereka. Mereka memberi kesaksian yang baik, bahkan ditengah penderitaan, tetap setia pada Tuhan. Tapi penyiksaan terus berlangsung dan makin kuat. Mereka menderita kehilangan semua kekayaan mereka.

Apa masalah mereka? Mereka perlu tabah. Mereka perlu berpegang teguh dan tidak menyerah pada hal yang tidak berarti. Salah satu kata kunci dalam kitab Ibrani, adalah, “sabar” atau “sabar menderita.”

Jadi penulis, setelah menegur keras pendengarnya karena tidak menjadi pengajar Firman walau mereka sudah lama diselamatkan sehingga cukup mampu untuk mengajar, dan tetap perlu diberi susu, mendorong mereka untuk “menuju kepada kedewasaan.” Alasan untuk melakukan hal ini karena tidak mungkin bagi siapapun yang diselamatkan untuk murtad. Tidak ada yang diselamatkan 2 kali. Setelah datang pada Kristus semua yang kita lakukan akan dibawa kehadapan kursi penghakiman Kristus dan diberi hadiah jika baik, atau terbakar jika tidak ada artinya.

Inilah alasan perlunya untuk terus maju dan peringatan untuk tidak kembali kemasa lalu. Anda tidak bisa mendapatkan kembali waktu yang sudah lewat. Maka ilustrasi Ibrani 6:7-8 sangat tepat. Semua yang kita hasilkan baik berkat atau terbakar. Bukan orang percaya yang dibakar, tapi apa yang dihasilkannya. Sering kita menikmati berkat hujan dan sinar matahari tapi tetap menghasilkan semak dan duri.

10:9 – Penulis tetap mengejar hal yang lebih baik daripada “semak dan duri” dan hal yang ditolak, walau dia mengatakannya dengan keras pada mereka.

10:10 – Lebih jauh, mereka menghasilkan “pekerjaan baik” dan tetap melakukannya sampai sekarang. Itu bukan berarti hal ini tidak dihargai.

10:11 – Tapi harus ada kelanjutannya dan daya tahan. Dia tidak mengatakan kalau mereka diselamatkan melalui ketahanan, tapi hanya dengan cara ini bisa menerima “hadiah penuh” setiap panen tahunan. Tidak cukup puas dengan satu tahun..

10:12 - “kemalasan” kembali ke 5:11 dan berarti “lambat mendengar” menunjukan seluruh bagian merupakan satu kesatuan kebenaran. Kebutuhan mereka adalah kelanjutan “iman” sebagai orang percaya dan “kesebaran” menyadari kalau janji itu akan datang.

10:13 – Kemudian dia mulai bicara tentang janji Tuhan.

10:14 – Seluruh bangsa Israel ada dari satu janji ini.

10:15 - Abraham harus melalui kesabaran menderita untuk mendapatkan janji itu. Dia merupakan teladan yang setia. Janji Tuhan tidak langsung diberikan, tapi ini bukannya tidak pasti.

10:16 – Ini bentuk kepastian yang dibuat manusia, dan Tuhan membuat hal yang sama kepada kita. Tidak ada yang lebih tinggi dari Tuhan. Dia otoritas tertinggi dan Firmannya tetap dan meneguhkan semua. Tidak ada keraguan tentang hal itu.

10:17 – Tuhan memberikan Firman dan janjiNya yang tidak bisa salah, dan jika tidak cukup dia memberikan sumpahnya.

10:18 – Apa yang benar terjadi pada Abraham terjadi pada kita. Hal yang kita percaya adalah benar. Kebutuhan kita adalah sabar menderita. Kita telah keluar untuk berlindung pada Tuhan Yesus Kristus.

Suatu “harapan” diberikan pada kita. Ingatlah bahwa harapan dalam Alkitab tidak pernah berisi keraguan. Walau itu suatu hal yang dinantikan yang membutuhkan “penantian” untuk dipenuhi. Penantian kedatangan Tuhan adalah penantian “berkat pengharapan” orang percaya. Penantian kita akan janji Tuhan sampai terjadi bukan iman, tapi harapan. Iman mempercayai; harapan bergantung padanya; kasih menjadi karakter hidup kita selama kita menunggu.

10:19 – Harapan kita langsung pada keberadaan Tuhan karena Yesus Kristus disana.

10:20 - Dan Dia jaminan kalau dia akan disana. Maka dari itu Dia mendahului kita.

Dengan penyebutan Melchizedek, penulis melanjutkan pengajarannya yang terhenti karena memberikan peringatan dan nasihat ini.

Garis Besar yang perlu diperhatikan:

II. Superioritas Karya Anak (4:14–10:18)

A. Imam Besar (4:14–7:28) “Menurut peraturan Melchizedek”

B. Tabernakel (8:1–9:11) “Tidak dibuat oleh manusia”

C. Korban Sempurna (9:12–10:18) “Sekali selamanya”

III. Superioritas Karya Keselamatan dalam Hidup Orang Percaya (10:19–13:25)

Tidak cukup hanya mengetahui. Pengetahuan membawa tanggung jawab. Karena superioritas Anak dan KaryaNya, kita memiliki keistimewaan dalam masa ini. Tapi jangan pernah lupa bahwa bersama keistimewaan yang superior ada tanggung jawab yang superior.

A. Nasihat (10:19-39)

1. Dalam Kerangka Keistimewaan (10:19-25)

2. Dalam Kerangka disiplin yang lebih besar (10:26-31). PERINGATAN KEEMPAT.

3. Dalam Kerangka Tahan Menderita dimasa lalu (10:32-39).

Perhatikan keisitimewaan kita dalam pelaksanaannya.

10:19 – Kita bisa masuk kedalam tempat kudus. Tidak ada orang Israel lain selain imam besar sendiri, dan dia hanya bisa melakukannya sekali setahun dan hanya dengan melalui aturan-aturan tertentu. Dia masuk kedalam “dengan gentar” Berkaitan dengan itu diberikan tali dikakinya. Jika ada yang salah, dia bisa ditarik keluar. Tidak ada yang berani masuk kedalam.

10:20 – Imam besar berjalan melalui tabir; kita melalui tabir—pengorbanan tubuhNya dan darahNya. Setiap orang yang tidak menerima darah Yesus Kristus tidak memiliki jalan masuk kepada Tuhan.

10:21 – Rumah Tuhan sekarang seperti Rumah Tuhan dimasa Israel. Mereka ada melalui kelahiran alami; kita melalui kelahiran rohani. Mereka memiliki imam besar yang bisa mati; kita memiliki imam besar yang tidak bisa mati. Milik mereka tidak sempurna dan berdosa; Imam Besar kita tidak berdosa. Dan seterusnya.

10:22 – Nasihatnya. Saat seorang Israel dikuduskan untuk menjabat imam, darah korban dipercikan kepadanya, dan dia dibasuh dalam air. Kedua tindakan itu merupakan karya roh Tuhan sekarang sebagai orang percaya menjadi imam dibawa Imam Besar Tuhan Yesus Kristus.

Tidak semua orang dalam PL bisa menjadi imam, tapi hanya mereka yang keturunan Harun. Tapi setiap anak Tuhan sekarang bisa menjadi imam dan memberi korban rohani pada Tuhan karena labih baru dari Tuhan Yesus Kristus.

10:23 – Kita harus teguh berpegang pada Tuhan Yesus Kristus dan tidak terombang ambing diantara dua pendapat atau kedudukan. Dia setia pada janjinya. Dia tidak pernah gagal memenuhi FirmanNya. Kenapa anda meragukannya sekarang?

10:24 – Disini hubungan orang yang teguh bergantung pada janji dan yang lemah imannya. Reaksi kedagingan dari nature dosa mendorong mereka lebih jauh. Karya Roh kebalikan dari itu.

10:25 – Disini penjelasan dari pekerjaan baik dalam masa krisis. Secara negative, tidak melupakan persekutuan seperti yang lain lakukan. Apakah anda menyadari kurangnya datang kegereja merupakan kurangnya pekerjaan baik? Secara positif, menasihati satu sama lain, dan terus sampai akhirnya. Akhirnya adalah hari penghakiman atas Yerusalem A.D. 70 yang menggambarkan penghakiman akhir atas Israel sebelum kedatangan Kristus kedua kali.

Ini membawa kita kepada peringatan keempat (10:26-31).

Menurut saya ketidakdewasaan harus berhenti dititik ini dan mengajarkan anda perkataan penulis Ibrani kepada orang percaya. Saya belajar untuk tidak langsung percaya begitu saja.

(1) Penulis Ibrani dalam bagian ini tidak mengatakan tentang orang tidak percaya kecuali sebagai ilustrasi. Kitab ini dari awal sampai akhir ditulis untuk orang Kristen. Mengenai orang percaya ini penulis mengatakan bahwa Yesus Kristus merupakan “pokok keselamatan yang abadi” (5:9). “Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka” (10:14). Maka dari itu dia menulis pada orang percaya yang tidak hanya mendapat keselamatan, tapi keselamatan abadi.

(2) Konteksnya hanya berkaitan dengan orang percaya yang mendapat jalan masuk pada Tuhan melalui darah Kristus. Lebih lagi, ayat 26 melanjutkan dengan kata “sebab,” yang menjelaskan alasan kenapa kita didorong untuk menasihat satu sama lain dan tidak melupakan persekutuan. Ketiga nasihat untuk tekun hanya untuk orang percaya, bukan yang belum percaya (10:22-25). Kebutuhan orang yang belum selamat adalah menerima Kristus.

(3) Konteks berikutnya menyatakan kebenaran yang sama (10:32-39). Disini kita menemukan penghiburan untuk bertekun dalam penderitaan. Orang belum percaya tidak perlu bertekun dalam penderitaa; mereka perlu Kristus.

(4) Akhirnya, bagian itu sendiri menunjukan penulis menulisnya untuk orang percaya.

  • “Kita” (10:26). Dia memasukan dirinya bersama dengan mereka.
  • “Menerima pengetahuan penuh tentang kebenaran” (10:26). Hanya orang percaya bisa mendapat pengenalan penuh akan kebenaran karena orang dunia tidak bisa tahu hal rohani dari Firman.
  • “Tidak ada lagi korban menghapus dosa itu” (10-26) menunjukan kalau mereka sudah diselamatkan atau korban Kristus berguna bagi mereka.
  • Ilustrasi 10:28 menunjukan kalau mereka sudah diselamatkan, karena mereka dan Musa umat yang sudah ditebus dengan darah dan dibawah darah perjanjian hukum.
  • “darah perjanjian yang menguduskannya” menunjukan mereka orang percaya (10:29). Darah ditujukan pada orang percaya saat mereka diselamatkan. Ini percikan yang sudah dibahas sebelumnya. Aplikasi darah Anak Allah yang menyelamatkan kita dan membebaskan kita sebagai orang percaya. Maka kita ada dibawah darah perjanjian, dan diluar dari murka. Tidak ada orang yang belum percaya dibawah darah atau dikuduskan melalui darah. Darah dirumah orang Israel membedakan mereka dari orang tidak percaya, sama seperti ini.
  • “Roh Kasih Karunia” menunjukan mereka orang percaya (10:29). Roh Kudus menderita karena orang tidak percaya tapi anugrah diterima melalui Roh Kudus hanya kepada orang percaya. Kita diselamatkan oleh anugrah melalui iman. Iman tidak tersedia dalam orang tidak percaya, tapi kita yang percaya telah menerimanya. Hanya orang percaya yang mendapat, dan kemudian “menghina” kasih karunia Roh disini. Kata disini mengandung arti kesombongan, dan berkaitan dengan penolakan orang percaya mendengar nasihat Roh. Untuk tetap dalam dosa merupakan tamparan bagi Tuhan, dan Dia akan berduka.
  • Akhirnya, menggunakan kutipan dalam Ibrani 10:30, “Tuhan akan menghakimi umatnya,” menunjukan ini untuk orang percaya. Penghakiman disini bukan untuk dunia, atau orang belum percaya, tapi pada umatnya yang adalah anakNya.

Masalah kedua adalah nature dosa..

(1) Natur Dosa (10:26). Merupakan dosa disengaja dari orang percaya setelah diselamatkan dan mendapat pengenalan penuh akan kebenaran. Setiap kali orang percaya berdosa itu karena dia sengaja. Dia tidak perlu berdosa. Ini merupakan pengajaran Romans 6, 7 and 8. Tindakan disini, berbeda. Itu kata kerja sekarang dan diterjemahkan “jika kita tetap berbuat dosa setelah menerima pengenalan penuh akan kebenaran, tidak ada lagi korban penghapusan dosa.” Dosa ini, dilakukan dengan pengetahuan penuh kalau itu salah.

(2) Tindakan yang dilakukan. Itu suatu tindakan yang meliputi penyangkalan tindakan sebelumnya yang baik, rohani, sukacita, dan mereka sadar akan berkat yang akan datang (10:32-35).

(3) Akibat tindakan. Itu meliputi penyangkalan pengakuan sebelumnya terhadap Yesus Kristus sebagai Juruselamat mereka (10:23; cf. 3:1; 4:14).

(4) Dosa itu sendiri. Dari membandingkan 10:32-37 dengan 10:23-25 kita bisa mengatakan dosanya (a) pemisahan orang percaya itu dari orang percaya yang lain secara permanen, dan (b) mundurnya beberapa orang percaya untuk menghindari penyiksaan atas mereka.

(5) Dosa melibatkan pengingkaran: (a) Pribadi Kristus (Heb. 1:1–4:13), (b) Karya Kristus (Heb. 4:14-10:18), dan (c) Pelayanan Roh Kudus dalam hidup orang percaya (Heb. 10:19–13:25). Ini alasan ayat 29 menyatakan 3 kategori.

Pertanyaan terakhir adalah tentang nature penghakiman? Semua berakhir disini. Keinginan untuk melarikan diri dari penghakiman manusia, mereka akan jatuh kedalam penghakiman Tuhan.

(1) Penghakiman disini tidak menghilangkan keselamatan atau hidup kekal (10:39). Jika mungkin kehilangan keselamatan, maka itu bukan keselamatan yang kekal.

(2) Penghakiman disini tidak meliputi kehilangan berkat rohani (10:35-36).

(3) Penghakiman disini tidak meliputi kematian fisik karena ini pasti datang jika mereka terus berkeras dalam dosa (10:28-29).

(4) Penghakiman ini mungkin meliputi orang yang lari dari penyiksaan kebait dan kota Yerusalem seperti dalam (10:25,27). Itulah alasan kita temukan dalam Ibrani 13:13-14 nasihat untuk keluar dari kota membawa tegurannya.

Mungkin bagi orang percaya masa kita untuk merasa bersalah atas dosa yang sama ini? Pasti. Kita diselamatkan melalui darah Kristus dan bersalah karena dosa disingkirkan selamanya, tapi masih mungkin mengabaikan keselamatan yang sudah didapat dan terbawa arus karena tidak peduli.

Mungkin bagi kita untuk tidak melakukan rencana Tuhan, karena kita tidak pernah hidup dalam iman dan mengalami hal terbaik yang Tuhan punya bagi kita.

Mungkin untuk tidak dewasa dalam Tuhan dan tidak pernah bertumbuh, tapi terus menjadi bayi rohani dalam seluruh hidup kita. Orang seperti itu membuat waktu hidup pelayanannya dimana semua yang dihasilkan “tidak berguna” dan terbakar.

Mungkin untuk berdosa dengan pengertian penuh akan dosa dan akibat tindakan itu, dan menemui tangan Tuhan mendisiplin kita sampai hampir mati. Kita diselamatkan oleh anugrah, tapi anugrah tidak berarti kita bisa melakukan apapun yang kita mau (Ibrani 10:22-25).

Peringatan #5:
Bahaya Penyangkalan (Bagian 1)
(Ibrani 12:12-29)

Ibrani 12:15-29 Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; 13 dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh. 14 Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan. 15 Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang. 16 Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. 17 Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.

18 Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan dan angin badai, 19 kepada bunyi sangkakala dan bunyi suara yang membuat mereka yang mendengarnya memohon, supaya jangan lagi berbicara kepada mereka, 20 sebab mereka tidak tahan mendengar perintah ini: "Bahkan jika binatangpun yang menyentuh gunung, ia harus dilempari dengan batu." 21 Dan sangat mengerikan pemandangan itu, sehingga Musa berkata: "Aku sangat ketakutan dan sangat gemetar." 22 Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, 23 dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna, 24 dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel. 25 Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman. Sebab jikalau mereka, yang menolak Dia yang menyampaikan firman Allah di bumi, tidak luput, apa lagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari sorga? 26 Waktu itu suara-Nya menggoncangkan bumi, tetapi sekarang Ia memberikan janji: "Satu kali lagi Aku akan menggoncangkan bukan hanya bumi saja, melainkan langit juga." 27 Ungkapan "Satu kali lagi" menunjuk kepada perubahan pada apa yang dapat digoncangkan, karena ia dijadikan supaya tinggal tetap apa yang tidak tergoncangkan. 28 Jadi, karena kita menerima kerajaan yang tidak tergoncangkan, marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. 29 Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.

Berikutnya kita membahas peringatan kelima dan yang terakhir dari kitab Ibrani. Peringatan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pesan surat ini. Mereka mengambil kebenarannya, merincinya dan menghubungkan itu dalam kehidupan dan tindakan.

Kitab Ibrani bisa dibagi atas tiga bagian—semua menyangkut Anak dan keselamatanNya.

I. PribadiNya (1:1–4:13)

II. KaryaNya (4:14–10:18)

III. Bagian dari KaryaNya (10:19–13:25)

HidupNya—KeberadaanNya dari kekekalan.

KematianNya—Apa yang Dia lakukan didalam waktu.

KebangkitanNya—KeberadaanNya dalam kekekalan selanjutnya.

Siapa Dia.

Apa yang dilakukanNya.

Apa yang bisa Dia lakukan pada bagi anda.

Anak—kekal.

Juruselamat—sempurna.

Gembala—baik.

Dia adalah Nabi—Pembawa Pesan. Seperti diriNya menyatakan Tuhan pada manusia.

Sebagai Nabi, Dia dimahkotai duri (John 19:2).

Dia adalah Imam—Pembawa Korban. Seperti Dirinya mewakili manusia dihadapan Tuhan.

Sebagai Imam, Dia dimahkotai kemuliaan dan hormat (Heb. 2:9).

Dia adalah Raja—Berdaulat. Seperti Dirinya mewakili manusia didepan manusia.

Sebagai Raja, Dia dimahkotai dengan banyak mahkota (Rev. 19:12).

Dimulai dengan 10:19 kita sampai pada bagian terakhir dari kitab ini. Disinilah aplikasi pengajarannya. Inilah pekerjaannya hasil dari karyaNya.

Kita memiliki kehormatan yang luar biasa (Heb. 10:19-21), dari bersama dengan itu ada tanggung jawab yang lebih besar (10:22-25). Kita dinasihati untuk masuk kedalam hak istimewa ini (10:22) untuk berpegang teguh pada kesaksian kita akan Kristus sebagai Juruselamat karena janji Tuhan pasti terlaksana (10:23), dan saling menguatkan satu sama lain, tidak menjauhkan diri dari persekutuan dengan yang lain (10:24-25).

Alasan kita harus melakukan ini karena jika kita dengan sadar berdosa dan sudah memiliki pengenalan yang penuh akan dosa dan akibatnya, Tuhan akan menghajar kita (10:26-29) karena itu sesuai dengan nature Tuhan (10:33-31). Dia tidak bisa dan tidak mau membiarkan anakNya melakukan itu lebih jauh seperti kita tidak membiarkan pelanggaran anak kita..

Kitab Ibrani mendorong kita untuk sabar menderita (10:32-39). Mereka sudah lebih dulu tahan menderita (10:32-34) jadi mereka harus meneruskannya (10:35-36) karena Firman Tuhan tetap (10:37) dan semua yang mau menyenangkan Tuhan harus dengan tekun menderita, hidup dalam iman (10:38-39).

Kenyataannya, iman sejati menghasilkan tahan menderita (11:1-3), dan ini terlihat dikeseluruhan PL (11:4-40). Implikasinya, kembali kebait diYerusalem bukanlah bergabung dengan kesaksian dalam PL, tapi keluar dari golongan mereka.

Semua orang percaya dalam PL menjadi kesaksian bagi kita kalau hal itu bisa dilakukan (12:1), dan satu-satunya jalan mendapat perhentian adalah melalui kesabaran menderita seperti Tuhan Yesus Kristus (12:2). Saat kita merenungkan Kristus dan penderitaanNya, penderitaan dan pergumulan kita hanya kecil (12:3-4). Tapi Tuhan memiliki tujuan dalam mendisiplin setiap orang percaya melalui kesabaran menderita, dan itulah kedewasaan anakNya (12:5-11).

Jadi orang percaya memiliki tanggung jawab terhadap orang yang lemah dalam perkumpulan (12:12-13) dan terhadap dirinya (12:14). Dia harus tahu ketiga bahaya dihadapannya (12:15-16) yang digambarkan melalui keputusan Esau yang walau dia menyesalinya kemudian tidak bisa dikembalikan. Esau tidak memiliki iman juga kesabaran dalam penderitaan, dan dia dibuang melalui satu kejadian dari berkatnya (12:17).

Melalui aplikasi, jika Ibrani kembali kesistem lam, mereka melakukannya dengan gentar (12:18-22), dan menunjukan perbedaan hak istimewa dan anugrah, dan kota surgawi yang merupakan hadiah bagi mereka yang dengan setia menderita (12:22-24).

Maka dari itu, harus ada peringatan terakhir. Darah Habel terus berteriak dari tanah; Darah Kristus lebih besar dan terus berseru dari surga kalau Dia akan datang, menghakimi, dan membawa keadaan yang baru dengan perjanjian barunya (12:25-27). Jadi sabarlah menderita, persembahkanlah pujian rohani sebagai imam, karena tahu Tuhan akan memurnikan kotoran (12:28-29).

Ini membawa kita keperingatan kelima. Sekarang mari kita lihat konteks peringatan kelima ini secara detil.

Tanggung jawab Kita dalam Kerangka Seluruh Fakta yang Ada (12:12-29)
1. Seruan (12:12-17)

12:12 - “Sebab itu,” dalam kerangka semua fakta yang sudah dikemukakan kesimpulan ini berhubungan dengan 10:26. Dalam kerangka itu dan kebenaran yang dinyatakan dari 10:26 sampai 12:11 maka seruan ini diberikan. “kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah.” Inilah hubungan kita dengan yang lain dalam tubuh.

(1) Tangan—kita harus mengangkatnya dalam doa seperti Musa (Ex. 17:11-12) untuk memenangkannya bagi yang lain. Kita tidak boleh dikalahkan dan patah semangat. Kita tidak boleh menghina yang lain; kita harus berdoa bagi mereka.

(2) Lutut—lutut yang lemah tidak bisa membawa engkau dalam hari peperangan (Ezek. 7:17). Kita harus kuat dalam perang dan tidak takut oleh musuh.

12:13 - “dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh.”

(3) Kaki—Umat Israel berputar-putar selama 38 tahun tanpa tahu kemana. Kita harus meluruskan jalan bagi kaki kita. Kita harus terus majut. Kita harus melihat kepada Yesus, dan menetapkan mata kita padaNya, tidak berputar-putar dari arah yang sudah ditentukan dihadapan kita.

“Pincang” disini “keluar dari sambungan” dan itu bicara tentang orang lumpuh. Sebagian dari tubuh lumpuh, dan mereka berjalan dengan sangat sulit. Gambaran tubuh yang digunakan untuk mewakili gereja dan kondisi kerohaniannya dan itu menunjukan bahwa orang pincan itu menggambarkan kerohanian yang pincang. Orang ini harus disembuhkan kerohaniannya agar seluruh tubuh bisa bergerak bersama tanpa ada yang tertinggal.

12:14 - “Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan.” Disini penekanannya pada setiap pribadi daripada secara kelompok dalam ayat sebelumnya. “Damai” menunjukan tidak ada perselisihan, tidak ada kebencian diantara kita dan yang lain. “Kekudusan” menunjukan kita dipisahkan untuk Tuhan. Hal yang satu merupakan hubungan pribadi kita dengan yang lain; dan yang satunya lagi hubungan pribadi kita dengan Tuhan sendiri.

12:15 - “Jagalah supaya jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah.” Kata “jangalah dengan tekun” menunjukan mengawasi dengan cermat seperti orang Israel menyelidiki rumahnya sebelum perayaan untuk menyingkirkan semua yang beragi. Itu merupakan pengawasan terus menerus oleh setiap kita terhadap hidup kita sendiri. Alasannya ada 3, muncul dari kata “jangan ada.” Inilah 3 bahaya yang dihadapi orang percaya dimana kita harus berjaga-jaga.

(1) “… jangan ada seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Tuhan.” Ini kegagalan anak Tuhan mendapat kasih karunia dengan tepat. Kapanpun saya gagal menyediakan kasih karunia untuk kebutuhan hari ini, saya akan gagal saat cobaan dan ujian datang. Tuhan menyediakan kasih karunia untuk memenuhinya, tapi saya gagal mendapatkannya. Saya kemudian akan bereaksi sesuai dengan nature dosa saya.

Jika Tuhan memberi sesuatu kedalam hidup kita, Dia juga akan memberikan kasih karunia untuk menghadapinya dan mendapat kemenangan (2 Cor. 12:9), daripada dikalahkan olehnya. “Semakin hari, semakin kuat.” Orang Kristen Ibrani akan melalui cobaan dan ujian, tapi mereka telah gagalm menyediakan kasih karunia Tuhan dalam ujian. Maka dari itu mereka hidup dalam kekalahan. Mereka melupakan kasih karunia Tuhan.

(2) “… jangan ada tumbuh akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” Ini ketidaksetiaan terbuka. Kepahitan dalam hati membawa keluhan dimulut. Dan keluhan merupakan salah satu dosa yang paling berbahaya karena itu selalu mempengaruhi yang lain dan mencemari yang lainnya. Dimulai dengan satu orang, dan berakhir mencemari yang lainnya. Itulah yang terjadi dengan Israel berulang kali.

Jadi itu selalu terjadi saat saya gagal menyediakan kasih karunia, akan ada akar pahit dalam hati saya terhadap Tuhan yang mengijinkan “masalah” ini datang, dan akhirnya keluar dari mulut saya.

(3) “… jangan ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan.” Langkah terakhir ini dan kondisinya merendahkan tanggung jawab kita atau hak istimewa kita. Seluruh bagian bergantung pada satu ilustrasi ini. Itu sangat penting.

Ada 2 halangan untuk kesucian yang dinyatakan disini: cabul dan nafsu rendah. Esau mewakili yang terakhir dan ini juga bahaya bagi Ibrani. “sepiring makan” menekankan betapa murah Esau menjual hak kesulungannya.

Sekarang hak kesulungan dan pentingnya hal itu bagi Esau hanya bisa dimengerti dengan melihat hal itu lebih dari menjadi pewaris ternak, dan Esau menolaknya. Ini bukan masalahnya. Tuhan membuat perjanjian dengan Abraham, dan perjanjian itu akan dipenuhi melalui keturunan Isak. Esau salah satu garis langsung, dan lebih tua dari Isak dan akan menerima bagian sulung, yaitu dua pertiga. Tapi dia menyerahkan perjanjian Tuhan itu hanya dengan sepiring makanan. Itulah nilai janji Tuhan bagi dia, dan kesungguhannya untuk menunggu atau sabar menderita dalam mendapatkannya.

Apa masalah Esau? Dia gagal mendekatkan diri pada kasih karunia Tuhan (12:15a). Akibatnya, akar pahit Esau pada Tuhan. Esau dalam masalah dan lapar. Dia marah pada Tuhan karena Tuhan tidak mencegah dia untuk lapar. Kepahitan hati dinyatakan dan dia menjadi materialistic. Dia tidak menyadari hal lainnya kecuali yang ada saat itu. Dia menfokuskan semuanya pada hal materi, tidak pada hal rohani dan kekal. Dia lebih memilih makanan sekarang daripada menerima pemenuhan janji Tuhan dikemudian hari. Tuhan menyebutnya murtad. Ini mengutuk Tuhan dalam hati, dan Tuhan melihat hati seseorang..

12:17 “Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.”

Esau disini sebagai anak perjanjian. Sangat penting untuk disadari. Ibrani juga diselamatkan dalam kedudukan perjanjian kepada Tuhan. Tapi Esau menolak atas dasar satu keputusan, keputusan yang tidak bisa ditarik kembali, walau dia memintanya dengan menangis.

Ini menjadi peringatan bagi Ibrani agar mereka tidak membuat keputusan seperti itu yang bisa membuang mereka dari berkat yang tersedia. Keselamatan tidak termasuk disini seperti dari peringatan pertama, tapi berkatnya dibahas.

Dalam Ibrani 10:26 kita menemukan bahwa dosa yang dilakukan dengan sengaja akan membawa penghakiman temporal bagi yang melakukannya. Sekarang berdasar hal diatas bahwa keputusan berdosa merupakan keputusan yang tidak bisa ditarik kembali. Jika orang Ibrani melakukannya, mereka tidak bisa mengubahnya dengan cara apapun. Mereka tidak akan mendapat berkat Tuhan, dan tidak bisa menerima berkat yang sekarang. Mereka akan tersingkir dari kepemimpinan dalam perkumpulan. Dosa bisa diampuni, tapi dampaknya tetap berlanjut. Esau karena satu dosa, terlempar dari berkat Tuhan. Perhatikan hal ini!

Itu semua bermula dengan hal kecil untuk menyediakan kasih karuni Tuhan. Tapi tidak ada hal kecil dalam hidup orang Kristen. Mari kita dengan tekun berjaga untuk tidak mengagalkan kasih karunia Tuhan; jangan ada akar pahit yang membawa kekacauan, dan mencemari banyak orang.

Kita tidak kebal terhadap kesalahan.

Peringatan #5:
Bahaya Penyangkalan (Bagian 2)

Barapa lama anda tidak mendengar pembahasan tentang neraka? Bukankah cukup lama? Mungkin banyak dari anda tidak pernah mendengar pembahasan tentang api neraka. Walau saya membaca kothbah tentang hal itu, saya tidak pernah mendengarnya secara langsung. Itu bukan pembahasan yang popular, dan diabaikan oleh mereka semua yang percaya.

Tapi, saudaraku yang kekasih, jika tidak ada tempat seperti itu, maka kita tidak membutuhkan Juruselamat untuk menyelamatkan kita darinya. Juruselamat tidak berarti tanpa kematian. Walau saya tidak membahas tentang neraka, saya ingin menghubungkan kebenarannya dengan orang tidak percaya.

Kita yang percaya sudah mengalami keselamatan dari Tuhan. Kita mengetahui kalau Dia menyelamatkan kita dari kematian kekal. Kita diselamatkan dan keselamatan itu kekal (Heb. 5:8-9). Keselamatan kekal ini telah menyelamatkan kita dari penghukuman kekal (Heb. 6:2). Inilah alasan kenapa keselamatan begitu luar biasa karena Dia menanggung penghukuman kekal kita.

Masalah orang percaya, bukan keselamatan atau penghukuman kekal. Masalahnya tetap. “Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup” (Heb. 10:39).

Masalah kita sebagai orang percaya bukan dosa yang bisa menghilangkan keselamatan kekal kita, tapi dosa yang menyebabkan kita kehilangan berkat Tuhan dalam hidup kita, dan bisa menyebabkan kita kehilangan hidup kita. Masalah kita ada dalam waktu—bukan kekekalan. Masalah kita dengan hidup fisik sekarang—bukan kekekalan jiwa kita. Masalah kita dengan kematian fisik—bukan kematian kekal.

Inilah masalah yang dihadapi orang Ibrani, dan itu menjadi masalah kita juga.

Sebagian dosa kecil, tapi yang lain tidak. Ada hal yang kita lakukan kurang penting dan ada yang penting. Inilah alasan 1 John 5 bicara tentang dosa membawa maut dan yang tidak. Kita harus berhenti dan memperhatikan diri dan tindakan kita “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan” (Heb. 12:29).

Saya ingin anda memperhatikan kalau hal ini tidak pernah dibicarakan dalam konteks orang tidak percaya. Tuhan tidak, dan tidak akan pernah, menjadi api yang menghanguskan dalam konteks orang tidak percaya. Bagi orang tidak percaya Dia merupakan api kekal yang tidak menghanguskan apapun. Tapi, buat orang percaya Dia api yang menghanguskan yang menghanguskan kayu, rumput kering, dan semua semak dan duri. Dia bisa mengambil hidup kita jika kita benar-benar tidak menyenangkanNya.

Jangan pernah berkat, “itu tidak akan terjadi disini; itu tidak akan pernah terjadi pada saya.” Ini sikap yang diambil pada masa Kristus saat mereka berkata: “dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu.” (Matt. 23:30-31).

Tidak ada dosa yang tidak bisa kita lakukan. Inilah alasan kita harus memperhatikan diri kita agar tidak jatuh (1 Cor. 10:11-12; 1 Tim. 4:16; Heb. 4:11).

Kita lihat dalam pelajaran lalu bahwa kesalahan apapun terdapat 3 perkembangan.

(1) Dimulai dari menjauh dari kasih karunia. “… jangan ada orang yang seorangpun menjauh dari kasih karunia Tuhan” (12:15a).

(2) Langkah berikut adalah mendapat kepahitan dalam hati. “… jangan ada akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan orang lain” (12:15b). Kepahitan dalam hati membawa pada keluhan, dan ini mencemari orang lain.

(3) Langkah terakhir adalah merendahkan tanggung jawab atau hak istimewa kita. “… jangan ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring nasi.” Keduanya merupakan dosa yang secara permanent mengeluarkan mereka dari berkat yang ada.

Memperhatikan ketiga hal ini kita harus memeriksa diri dan hati kita dengan cermat, mencari, melihat secara terus menerus agar hal ini tidak datang kedalam hidup kita secara tiba-tiba dan tidak terdeteksi. Tidak ada dosa yang mengambil jalur lain. Kita gagal mendekat pada kasih karunia Tuan untuk situasi atau pencobaan. Ini membawa kita mendapatkan kepahitan dalam hati terhadap Tuhan karena mengijinkan kesukaran atau kesulitan datang atas kita. Apa yang ada dalam hati kita akan keluar dan mencemari yang lainnya. Semua ini berakhir secara temporal daripada kekal; sekarang daripada kemudian; dan secara materi daripada rohani. Kita gagal sabar untuk menderita. Ini yang Esau lakukan, dan keputusannya tidak bisa ditarik kembali. Kita bisa melakukan hal yang sama.

Disini ada seorang wanita dan pria muda. Tuhan telah memanggil mereka keladang misi. Jalan ke Bolivia, atau India, atau Moroko lama dan sulit. Mereka gagal mendekat pada kasih karunia yang diperlukan diperjalanan dan ujian sepanjang perjalanan. Kemudian semua runtuh. “Tuhan tidak benar-benar peduli pada saya. Dia tidak mengasihi kita. Jika dia mengasihi kami dia akan menyediakannya bagi kami, dan memberikan teman hidup.” Kemudian orang itu jatuh cinta dengan seseorang yang tidak terpangil keladang misi dan mereka menikah. Mereka membuat keputusan yang tidak bisa ditarik kembali. Mereka kehilangan kehendak Tuhan yang sempurna dan terus menjalaninya sepanjang hidup mereka yang mungkin terbaik kedua dari Tuhan, atau terbaik ke 200.

Setelah memberikan seruan agar jangan gagal (Heb. 12:12-17), kita sampai kepoin berikut …

2. Hak Istimewa dan Kedudukan Orang Percaya (12:18-24)

Ibrani 12:18-24 Sebab kamu tidak datang kepada gunung yang dapat disentuh dan api yang menyala-nyala, kepada kekelaman, kegelapan dan angin badai, 19 kepada bunyi sangkakala dan bunyi suara yang membuat mereka yang mendengarnya memohon, supaya jangan lagi berbicara kepada mereka, 20 sebab mereka tidak tahan mendengar perintah ini: "Bahkan jika binatangpun yang menyentuh gunung, ia harus dilempari dengan batu." 21 Dan sangat mengerikan pemandangan itu, sehingga Musa berkata: "Aku sangat ketakutan dan sangat gemetar." 22 Tetapi kamu sudah datang ke Bukit Sion, ke kota Allah yang hidup, Yerusalem sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah, 23 dan kepada jemaat anak-anak sulung, yang namanya terdaftar di sorga, dan kepada Allah, yang menghakimi semua orang, dan kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna, 24 dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru, dan kepada darah pemercikan, yang berbicara lebih kuat dari pada darah Habel.

Orang percaya harus mengerti hak istimewa dan kedudukannya sekarang atau dia tidak bisa mengerti kenapa Tuhan akan mengadilinya dengan keras karena ketidaktaatan. Penulis kitab ini menyatakan kebenaran ini baik secara negative maupun positif.

Secara Negatif (12:18-21)

Untuk kembali kehukum dan baik adalah kembali kesistem atas dasar ketakutan. Hukum merupakan system menakutkan. “Tidakkah kamu mendengar hukum,” penulis berkata. Perbedaan antara pernyataan dan tanggung jawab dalam PL serta PB dengan tanggung jawab dan hak istimewanya.

Secara Positif (12:22-24)

Hal pertama “terror”; hal yang lain “kasih karunia” dan hak istimewa. Penekanannya bukan pada kota, tapi pada Satu yang hidup dalam kota. Lihat siapa yang ada dalam kota.

(1) Malaikat, i.e., malaikat kudus.

(2) Gereja Tuhan Yesus Kristus (yang dimulain saat Pentakosta dan berakhir saat pengangkatan).

(3) Tuhan, Hakim dari semua.

(4) Roh orang benar yang dibuat sempurna (orang percaya PL bukan bagian dari gereja tidak akan pernah seperti ini).

(5) Yesus, penengah PB.

(6) Darah yang dipercikan, kursi kasih karunia.

Inilah kota yang kita nantikan, bukan kota duniawi. Habel merupakan orang pertama yang mengorbankan darah korban. Sejak itu menjadi kesaksian bagi mereka, walau dia sudah mati, itulah cara penerimaan Tuhan dan satu-satunya cara (cf. 11:4).

Tapi sekarang ada saksi yang lebih besar dari Habel, karena ada darah yang lebih besar dari manusia. Darah Yesus Kristus satu-satunya cara untuk diterima.

3. Peringatan Terakhir (12:25-29)

Dalam kerangka darah yang terbaik, dan semua hak istimewa yang kita miliki, ada tanggung jawab yang lebih besar bagi kita.

12:25 - “Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia, yang berfirman.” Secara literal “Dia yang sekarang bicara”. Ini mengikat seluruh pesan Ibrani kedalam satu kesatuan. “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Heb. 1:1-2). “Karena itu … bagaimanakah kita akan luput…” (Heb. 2:1,3).

Orang Ibrani yang percaya ini ada dalam anugrah yang menolak suara yang berbicara sekarang lebih bersalah dan berdosa dari leluhur mereka. Leluhur mereka tidak luput; demikian juga dengan mereka. “Betapa lebih beratnya hukuman yang harus dijatuhkan” (Heb. 10:29). “Tuhan akan menghakimi umat-Nya” (Heb. 10:30).

Itu bukan keselamatan, tapi penghukuman sementara yang dibahas disini (cf. 1 Cor. 11:31-32).

12:26 – Satu yang bicara diSinai adalah pribadi yang sama sekarang bicara dari surga dalam kasih karunia dan meminta kita untuk datang. Dia akan bicara satu kali lagi, dan terakhir kali dia datang dan bicaranya adalah penghakiman.

Anda harus benar dengan Dia. Itu suatu yang harus dibawa serta dalam dunia. Suatu yang berjalan dengan yang berdaulat dialam semesta.

Nubuat yang dikutip disini dari Haggai 2:6 dan menunjuk pada kedatangan Kristus kedua kali. Itu menggambarkan penghakiman yang mendahului zaman baru. Bergetarnya dunia akan menjadi penghakiman yang memurnikan dan penghilangan semua hal yang tidak sesuai dengan kekudusan Tuhan dan yang tidak tunduk pada Raja. Tuhan akan melakukan ini pada Israel. Anda sebaiknya ada disisi yang benar saat hari itu datang. Penghakiman di A. D. 70 hanya gambaran penghakiman akhir yang akan datang.

12:27 - Semua yang bisa digoncang menunjukan mereka sementara. Apa yang tidak bisa goyah menunjukan kekekalan. Baik dan PL dinubuatkan bisa goyang maka itu temporal. Yerusalem baru dan PB tidak goyang dan kekal. Bait tidak bisa dihancurkan. PL akan lewat, tapi baik Yerusalem baru dan PB akan ada selamanya. Penggoyangan dilihat sebagai sesuatu yang sedang dalam proses.

12:28 - Pernyataan terakhir diberikan kepada “orang percaya” Orang percaya dilihat dalam proses sedang menerima suatu kerajaan. Sekarang ini Penengah masih disurga. Penegakan kerajaan ini dibumi dengan Yerusalem baru pasti dan tetap, tapi itu belum kelihatan. Kita harus berpegang teguh, dan mendapat kasih karunia saat setia dalam penderitaan sampai Dia memanggil kita pulang. Saat ini kita melayani Tuhan dengan gentar dan hormat.

Anda tidak mengasihi orang yang tidak anda hormati. Anda tidak mengasihi Tuhan kecuali anda menghormatiNya. Tuhan akan menghakimi umatnya. Anda harus memperhatikan dan hormat padaNya. Tidak ada anak yang bebas berdosa tanpa membayar harga disiplin dari Tuhan.

Pelayanan yang diterima Tuhan ada dalamm perkumpulan, bukan kembali kepada korban dan bait masa lalu.

12:29 - Seruan dan peringatan terakhir sudah berakhir. Tapi disiplin menunggu semua yang tidak memperhatikan. Ibrani mulai dengan Anak bicara, dan berakhir dengan darah Anak bicara dari surga sebagai saksi kekal.

Kita telah membahas 5 peringatan Ibrani. Ini ada beberapa 5 lampu merah ketidak taatan. Kelimanya digambarkan melalui bangsa Israel dalam hubungan perjanjian dengan Tuhan. Seperti yang terjadi dalam bangsa Israel dibawa darah perjanjian pertama, demikian juga terjadi pada gereja dibawa darah perjanjian baru.

(1) Bahaya Terbawa arus (Heb. 2). Israel ditebus melalui darah dan kuasa, terbawa arus saat digunung Sinai, dan mereka membuat lembu emas. Itu dibayar dengan kematian 5.000 orang Israel. Jadi pertanyaan bagi kita: “Bagaimana kita bisa luput jika kita terbawa arus dari keselamatan?”

(2) Bahaya tidak masuk keperhentianNya (Heb. 3-4). Setelah meninggalkan Gunung Sinai, Israel berkelana selama 40 tahun dipadang. Bangsa dan generasi yang diselamatkan mati dibelantara karena mereka menolak untuk terus hidup beriman. Hampir semua mati. Kita tidak hanya selamat “melalui iman” saja, tapi “kita juga harus hidup dalam iman.” Disini bahaya kalau kita meragukan, tidak berjalan dengan iman, dan kehilangan yang terbaik dariNya.

(3) Bahaya tidak menjadi dewasa (Heb. 5-6). Ini keadaan Israel setelah masuk Kanaan dibawa hakim, raja dan nabi. Mereka tidak pernah menyerah. Mereka tidak mampu menggunakan Firman Tuhan dalam hidup mereka. Mereka tidak pernah mengaplikasikan kedalam hidup. Hasilnya ribuan mati dan ditawan oleh Asiria dan Babilon.

(4) Bahaya Dosa yang disengaja (Heb. 10). Ini gambaran Israel saat kedatangan Kristus pertama. Mereka terus berbuat dosa. Kristus bahkan menceritakan perumpamaan terhadap generasi itu (Luke 20:9-16,19; cf. Matt. 21:43). Akibatnya Tuhan bicara: “supaya dari angkatan ini dituntut darah semua nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan” (Luke 11:50). Josephus mengatakan jutaan Yahudi mati di A.D. 70 dibawa Roma, Jendral Titu. Israel berdosa dengan sengaja.

(5) Bahaya Ketidakpedulian (Heb 12). Ini akan menjadi dosa Israel saat datang pergolakan. Tuhan bicara dalam Matthew 25:1-13 tentang 5 perempuan bijak dan 5 perempuan bodoh, dan menunjukan ketidakpedulian mereka yang percaya. Banyak yang tidak sabar menderita. Nabi PL menubuatkan 2/3 Israel akan mati dalam masa pergolakan karena mereka tidak peduli akan kerohanian.

Anda perhatikan peringatan ini makin lama makin besar, dan kegagalan disetiap peringatan akan mendatangkan disiplin lebih besar. Keberdosaan yang bertingkat ini bisa terjadi pada masa gereja seperti terlihat dalam Revelation 2 and 3.

(1) Bahaya Terbawa Arus. Walau ini bahaya untuk semua generasi orang percaya, ini sebenarnya dimasa gereja Pergamus, merupakan gambaran gereja yang ditinggikan pada masa Konstantin sampai Gregori. Mereka keluar dari kebenaran, dan memiliki pengajaran yang berbeda dalam gereja—ajaran balak dan ajaran Nicolaitans.

Pesannya adalah “bertobat; atau Aku akan datang dengan segera, dan memerangi mereka dengan Firman.” Mereka tidak bertobat dan Tuhan sendiri menghancurkan mereka dalam gereja dengan pedang sama besarnya dengan saat peristiwa lembu emas.

(2) Bahaya Tidak Masuk Keperhentian. Gereja di Tiatira memberontak pada Tuhan seperti Israel memberontak pada Tuhan dan Musa. Untuk Israel itu suatu masa kegelapan dalam sejarah mereka dimana generasi mereka binasa dibelantara. Bagi gereja itu masa kegelapan dimana jutaan jiwa binasa tanpa terang.

(3) Bahaya Tidak Menjadi Dewasa. Gereja di Sardis memiliki kebenaran, tapi tidak hidup. Mereka hidup tapi mati. Mereka gagal menggunakan Firman kedalam hidup sehari-hari, dan gagal menjadi dewasa walau sudah diselamatkan. Pekerjaan mereka tidak sempurna dihadapan Tuhan, karena pekerjaan mereka terbakar api.

(4) Bahaya Dosa disengaja. Gereja di Filadelfia menghadapi krisis dimana mereka harus memutuskan apakah percaya perkataan Tuhan dan tidak menyangkal Dia, atau menyerahkan keduanya. Gereja ini tidak gagal, Tapi implikasinya ada yang tidak. Ini hanya gereja kecil, peninggalan, sedikit yang tetap pada Tuhan. Ini gambaran dari kontroversi modernism fundamentalism diakhir abad 19 dan awal abad 20. Masa ini kebanyakan gereja melakukan dosa ini, menolak pribadi Kristus, karya darah Kristus dan menolak anugrah Roh.

(5) Bahaya Ketidakpedulian. Di gereja Laodikia atau gereja sekarang. Tuhan berdiri diluar pintu gerejaNya, dan gereja tidak peduli pada ketukan dan suaraNya. Gereja ini, bersama dengan gereja Tiatira, akan masuk kedalam Pergolakan Besar. Tuhan akan memberikan mereka seperti yang mereka beri padaNya. Dia akan memuntahkan mereka dari mulutNya.

“Mereka yang punya telinga biarlah mendengar, biar mendengar perkataan Roh atas gereja.”

Sebagai orang percaya saya tidak bisa hidup mengabaikan semua itu. Saya tidak mau melewatkannya tapi mendapatkannya. Tapi “Kalau kita menguji diri kita sendiri, hukuman tidak menimpa kita” (1 Cor. 11:31). Tapi walau kita tidak menghakimi diri kita maka “Tuhan akan menghakimi umatNya.”

Tuliskan ini pada hatimu, dan hidup selaras dengan itu. Anda tidak bisa mengasihi tanpa hormat. Ketidaktaatan membawa disiplin; ketaatan membawa berkat: itu sesuai keinginan kita.

Gereja dan Perjanjian yang Baru

Salah satu rencana Tuhan yang terbesar adalah program perjanjian. Tidak ada pengertian Alkitab tanpa mengerti rencana perjanjian Tuhan. Apa yang terjadi diKalvary merupakan bagian dari rencana, karena itu ada untuk darah perjanjian baru tertumpah. Inilah alasan cangkir perjamuan disebut “darah perjanjian” (1 Cor. 11:25).

Tapi bagaimana hubungan gereja dengan perjanjian baru ini. Kita membaca huruf besar didepan ke 27 kitab diAlkitab: “Perjanjian Baru.” Kesemuanya adalah kitab Perjanjian Baru. Tapi apa hubungan gereja dengan Perjanjian baru ini ? Apakah Alkitab mengatakan itu? Ya, betul; dan kebenaran itu sangat penting bagi kita.

Latar Belakang

A. Definisi. Apa itu Perjanjian?

Sebuah perjanjian merupakan persetujuan mengikat antara 2 pihak yang menggambarkan jalur tindakan yang akan dijalani. Itu suatu kontrak yang mengikat. Saya menyetujui untuk membayar uang sebanyak itu dan anda setuju membawakan saya hal-hal ini sebagai gantinya. Ini perjanjian.

B. Dua Tipe Perjanjian dalam Alkitab.
1. Perjanjian Bersyarat.

Disini suatu tindakan tertentu akan muncul setelah ada tindakan sebelumnya. “Jika kamu melakukan ini, maka saya melakukan itu.” Perjanjian ini selalu diidentifikasi dengan “jika….maka….” Dalam tipe perjanjian ini, ada persyaratan yang dibuat. Salah satu atau keduanya harus memenuhi persyaratan sebelum persetujuan perjanjian dipenuhi.

Tuhan masuk kedalam perjanjian bersyarat dengan Israel di Gunung Sinai, dan mereka masuk bersama dengan Dia. “Semua perkataan Tuhan akan kamu lakukan.” Mereka mengikat diri mereka kepada perjanjian ini. Tuhan menjanjikan berkat jika umatnya taat pada hukumNya dan Dia menjanjikan hukuman jika mereka tidak taat.

Tapi ini satu-satunya perjanjian bersyarat yang pernah Tuhan buat dengan manusia. Perjanjian yang lainnya tidak bersyarat. Sebagian orang mengajar kalau Tuhan melakukan perjanjian bersyarat dengan Adam dalam taman Eden. Ini sepenuhnya salah. Tuhan mengatakan pada Adam apa yang terjadi dengan ketidaktaatan. Tidak ada perjanjian apapun diantara mereka. Kalau ada perjanjian bersyarat, Adam harus setuju pada persyaratan itu. Anda tidak bisa memiliki perjanjian tak bersyarat dengan seseorang setuju dan yang lain tidak (ini yang terjadi pada Adam saat Tuhan membuatnya tertidur, dan Tuhan sendiri masuk kedalam perjanjian), tapi anda tidak bisa memiliki perjanjian bersyarat tanpa keduanya berjanji. Ini tidak pernah terjadi dalam Taman Eden.

2. Perjanjian Tak Bersyarat

Ini sautu persetujuan perjanjian yang didalamnya tidak ada syarat untuk dipenuhi. Suatu perjanjian tak bersyarat menyatakan bahwa satu pihak akan melakukannya walau tanpa tindakan manusia, kelayakan, kegagalan atau syarat lainnya. Saat perjanjian tak bersyarat masuk melalui Tuhan dalam Alkitab, kata kuncinya adalah, “Aku akan.”

Tuhan masuk kedalam perjanjian tak bersyarat dengan Daud agar Dia bisa menegakan tahta Daud untuk selamanya (2 Sam. 7:12-16). Tuhan akan menghukum keturunannya jika mereka berbuat dosa, tapi Dia tidak akan menghilangkan janji yang sudah diadakan walau apapun yang terjadi (cf. Ps. 89:34-37).

Ada satu hal yang perlu diperhatikan. Mungkin ada suatu syarat atau beberapa syarat didalamnya saat mau perjanjian mau ditetapkan pada satu pihak atau tidak, sementara setelah itu ditetapkan perjanjian itu sendiri tidak bersyarat. Ini terjadi pada perjanjian dengan Abraham dimana Abraham harus meninggalkan ayah dan tanahnya sebelum perjanjian ditetapkan pada dia; tapi setelah dia memenuhi syarat itu, perjanjian itu sendiri tidak bersyarat.

C. Berbagai Hubungan Pejanjian dalam Alkitab

Semua jenis perjanjian diberikan dalam Alkitab untuk bertujuan mengajarkan kita apa perjanjian itu, dan bagaimana itu berjalan. Kita hanya menyebut sebagian disetiap tipe.

1. Perjanjian Manusia

a. Perjanjian antara individu dan individu.

  • Abraham dan Abimelech (Gen. 21:32).
  • Jacob dan Laban (Gen. 31:44).
  • Jonathan dan David (1 Sam. 18:3).
  • Ikatan pernikahan merupakan bentuk persetujuan perjanjian (Prov. 2:17; Mal. 2:14).

b. Perjanjian antara individu dan kelompok.

  • Isaac dan Abimelech dan bangsanya (Gen. 26:28).
  • Jabash-Gilead dan Nahash, the Ammonite (1 Sam. 11:1-2).

c. Perjanjian antara bangsa dan bangsa.

  • Israel dan the Gibeonites (Joshua 9:15-21).

Ini menunjukan kepada kita nature mengikat dari suatu perjanjian. Sekali perjanjian dilakukan, itu tidak bisa ditarik kembali walau didapat melalui kepalsuan. Jika ini berlaku dengan manusia—maka ini—lebih lagi dengan Tuhan.

Bilangan 23:19 “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal. Masakan Ia berfirman dan tidak melakukannya, atau berbicara dan tidak menepatinya?”

Roma 11:29 “Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia dan panggilan-Nya.”

2. Perjanjian Tuhan.

a. Perjanjian antara Tuhan dan dunia secara umum.

  • Tidak ada air bah lagi untuk manusia (Gen. 9:8-17).
  • Perjanjia adanya pagi dan malam (Jer. 33:20,25; Gen. 8:22).

b. Perjanjian antara Tuhan dan Israel.

  • Perjanjian Hukum (Ex. 19:5-8).
  • Perjanjian akan Pemulihan (Deut. 30:1-9).

c. Perjanjian antara Tuhan dan individu.

  • Dengan Abraham (Gen. 12ff).
  • Dengan David (2 Sam. 7:12-16).

Melalui semua tipe ini, bisa dilihat kalau suatu perjanjian bisa dalam bentuk fisik, social, politik atau rohani.

D. Pengesahan Perjanjian

Walau sebuah perjanjian merupakan suatu janji, persetujuan, atau kontrak yang mungkin hanya kata-kata (Josh. 9:15-21), tapi itu bisa disahkan dengan beberapa cara. Ketiga cara ini digunakan dalam Alkitab.

1. Perjanjian dengan Sepatu.

Ini sesuatu yang bernilai untuk satu orang saja, dan yang individualistic, tapi ini memberikan symbol pengesahan perjanjian. Jika kedua sepatu diberikan, maka berarti bagi yang lain, tapi tidak kalau yang diberikan hanya satu sepatu (Deut. 25:9; Ruth 4:7).

2. Perjanjian dengan Garam.

Garam sangat bernilai dikota ini dan digunakan sebagai cara mengesahkan perjanjian (Lev. 2:13, Num. 18:19, 2 Chron. 13:5).

3. Korban atau Perjanjian dengan Darah.

Ini ikatan paling kuat dalam mengesahkan perjanjian. Tuhan mengesahkan perjanjiannya pada Abraham dengan darah korban (Gen. 15:9-15). Abraham sadar apa yang terjadi dan maksudnya. Itu darah perjanjian, kedua pihak akan bergandeng tangan dan berjalan diantara kedua bagian. Pernyataan dalam Ibrani tentang perjanjian, “memotong suatu perjanjian,” dan itu dari pemotongan hewan menjadi dua bagian. Darah perjanjian disahkan hanya melalui kematian. Jadi ikatan perjanjian ini begitu kuat sampai jika ingin dihancurkan berarti saya harus memberikan darah saya seperti hewan itu. Anda hanya perlu satu hewan korban untuk perjanjian dengan darah.

E. Simbols atau Tanda yang Digunakan untuk Menunjukan Perjanjian Sedang Dibangun

Banyak dan beragam tanda digunakan untuk menunjukan suatu perjanjian sedang dibangun. Jangan dibingungkan dengan pengesahan perjanjian dengan tanda perjanjian, karena keduanya berbeda. Tanda bisa seperti:

  • Pelangi (Kej. 9). Tanda perjanjian dengan seluruh ciptaan.
  • Sunat (Kej. 17:10-12). Tanda perjanjian dengan Abraham.
  • Binatang (Kej. 21:30). Tanda perjanjian antara Abraham dan Abimelech.
  • Hari Sabat (Kel. 31:16-17). Tanda perjanjian dengan Musa.
  • Jubah (1 Sam. 18:4). Tanda perjanjian antara David and Jonathan.
  • Roti dan Cawan (1 Kor. 11:23-25). Tanda darah korban dibuat untuk perjanjian baru.
F. Umat Perjanjian

Walau Tuhan sudah berjanji dengan semua umat manusia dan bahkan ciptaan lain dalam Kejadian 9, Dia hanya masuk kedalam hubungan perjanjian dengan dengan satu orang atau bangsa. Bangsa itu Israel. Tuhan tidak pernah masuk kedalam perjanjian dengan bangsa lain: baik Moab, Ismael, Edom, juga Indian Amerika seperti kata Mormon.

Pernyataan kebenaran secara positif: “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian …” (Rom. 9:4).

Pernyataan kebenaran secara negatif. Bicara pada orang non Yahudi, “bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan…” (Eph. 2:12).

Oh, Saya berharap orang tahu apa yang Paulus ajarkan tentang perjanjian. Orang yang sangat mengenal apa yang diajarkannya tentang pembenaran melalui iman, hanya sedikit mengenal pengajarannya tentang perjanjian.

Ini sangat penting. Suatu perjanjian dibuat Yosua dan negeri Gibeon harus tetap diantara mereka tidak bisa ditransfer keorang Edom. Demikian juga saat Tuhan masuk kedalam perjanjian dengan Israel dan memberikan kepada keturunan mereka perjanjian tak bersyarat yang disahkan melalui darah, itu dengan sah mengikat bangsa itu dengan Tuhan. Perjanjian ini tidak bisa diberikan baik secara hukum, moral atau rohani pada bangsa lain. Jika anda bisa melakukannya, maka siapa yang bisa memastikan kalau Tuhan tidak akan mentransfer perjanjian keselamatanNya kepada kita, untuk malaikat yang jatuh. Bagaimana jadinya dengan keselamatan dan pembenaran? Jika perjanjian tak bersyarat bisa ditransfer kesatu hal, siapa bisa memastikan itu tidak ditransfer kehal lain?

Saatnya kita menyatakan Tuhan itu benar dan setiap manusia pembohong. Tuhan harus memenuhi janji yang dibuat untuk Israel dan tidak kepada keturunan Ismael, atau dengan gereja, atau orang lain. Paulus berkata dalam Romans 11 kalau Tuhan akan melakukannya.

G. Metode Tuhan dalam Memenuhi PerjanjianNya

Tuhan hanya punya satu metode memenuhi apa yang ada di Alkitab baik nubuat, perumpamaan atau perjanjian. Tuhan memenuhi perkataannya dengan tepat dan detil. Tidak ada bukti tentang metode lain yang digunakan.

Perjanjian Tuhan dengan Israel

Alkitab tidak bisa dimengerti diluar dari pengertian perjanjian Tuhan dengan umatnya. Ada 3 perjanjian utama:

  • Perjanjian Abraham yang memulai suatu bangsa.
  • Perjanjian Musa yang mengikat bangsa.
  • Perjanjian Baru yang akan membebaskan bangsa.

Selain ketiga ini ada 2 perjanjian kecil.

  • Perjanjian Palestina.
  • Perjanjian Daud.

Kedua perjanjian ini, hanya pelebaran dari Perjanjian Abraham.

Mari kita melihat ketiga perjanjian utama.

(1) Perjanjian Abraham (Kej. 12-22). Ini perjanjian yang kekal, tidak bersyarat dan atas darah. Perjanjian dibuat dalam Kejadian 12; perjanjian disahkan melalui darah dalam Kejadian 15; tanda perjanjian diberikan dalam Kejadian 17. Perjanjian ini dinyatakan kembali kepada Isak dan Yakub dan keturunan Ismael dan Esau. Tuhan berkali-kali menyatakan diri sebagai Tuhan Abraham, Isaac and Jacob. Dia melakukan ini karena Dia menunjuk pada perjanjianNya dengan orang ini.

Ada 3 kata kunci dalam Perjanjian Abraham. Ketiganya, “tanah” “keturunan” dan “berkat” Perjanjian ini merupakan dasar semua perjanjian Tuhan dengan Israel, dan melalui Israel kepada dunia.

(2) Perjanjian Musa (Kel. 20:1–31:18). Ini merupakan perjanjian sementara, bersyarat, berdasar darah. Darah membuatnya mengikat, tapi tidak disebut sebagai perjanjian kekal. Kenyataannya, saat Tuhan menyatakan melalui nabinya akan ada perjanjian baru (Jer. 31; etc.,) yang akan menggantikan Perjanjian Musa, saat itu nyata kalau perjanjian itu sementara. Inilah seluruh argument dari penulis Ibrani.

(3) Perjanjian Baru. Perjanjian ini kekal, tidak bersyarat, berdasar darah (Jer. 31:31-34; Ezek. 37:26; Rom. 11:25-27; Ibr. 8:6-13; 10:16-17). Perjanjian baru memperlebar dan memenuhi semua janji dalam perjanjian Abraham, tapi itu menggantikan Perjanjian Musa. Perjanjian ini melakukan apa yang tidak bisa dilakukan perjanjian Musa, bukan karena perjanjian Musa salah tapi bangsanya (cf. Heb. 8:8, “Sebab Ia menegor mereka ,” yaitu orang dibawah perjanjian, “Dia berkata …”).

Perjanjian Baru ini dinubuatkan akan dibuat dengan bangsa Israel dimasa akhir. Itu akan membuat perjanjian pertama (perjanjian Musa merupakan perjanjian pertama dengan bangsa), digantikan. Perjanjian Musa tidak pernah dikatakan kekal, tapi semua perjanjian lain dengan Israel dikatakan dalam Alkitab kekal adanya.

Seperti yang kita katakan, masalah dengan hukum PL bukan hukum itu sendiri karena itu kudus, benar dan baik (Rom. 7:12). Masalahnya dengan hati manusia. PB menghapus masalah ini dengan mengubah hati (Jer. 31:33). Ini tidak menyatakan pengenalan Tuhan yang penuh (Jer. 31:34a). Pengajar tentang Tuhan akan kehilangan pekerjaan saat itu. Manusia akan kembali mendapat persekutuan dengan Tuhan seperti di Taman Eden. Lebih jauh, Tuhan akan menyelesaikan karyanya menyangkut dosa (Jer. 31:34b). Ini hanya sebagian kecil hal yang Alkitab katakan tentang perjanjian.

Pernyataan Gereja Terhadap Perjanjian Baru

Apa yang Alkitab katakan pada kita? Apakah PB sudah ada? Apakah itu sudah dibuat dengan gereja? Saya akan memberi jawaban Paulus: Me Genoito (diterjemahkan: “God forbid”).

(1) Paulus berkata perjanjian menyangkut Israel, dan gereja bukan Israel, karena Tuhan belum berurusan dengan Israel (Rom. 11:26-29) dalam hubungan perjanjian. Sekarang jika gereja adalah Israel, maka siapa Israel?

(2) PB secara spesifik dikatakan akan membuat “perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda” (Jer. 31:31). Tuhan tidak salah dalam perkataan. Dia berkata yang sesungguhnya. Dia tidak berkata “Israel” tapi bermaksud “Gereja.” Penulis Ibrani meneguhkan kebenaran ini. Melalui pernyataan kedua rumah yang merujuk pada bangsa Israel (Heb. 8:8). Ayat 9 menunjukan mereka umat yang sama yang dikeluarkan Tuhan dari Mesir. Ini juga menunjuk pada Israel.

Sekarang rumah yang mana adalah gereja? Bukan kedua “rumah”. Tuhan tidak pernah masuk kedalam perjanjian dengan ayah saya, apakah Dia melakukannya dengan ayah anda? Gereja tidak hanya terdiri dari Israel, tapi juga non Yahudi. Gereja suatu manusia baru.

(3) Perjanjian akan ditetapkan saat kedatangan Kristus kedua kali (Rom. 11:26) dengan kedatangan sang Penyelamat yang akan menyelesaikan karyaNya berkaitan dengan dosa dalam Israel. Ini tidak pernah diselesaikan saat Kristus datang pertama kali. Kenyataannya, saat Kristus datang pertama kalo, dosa dari Abel sampai Zecharias disebut; mereka tidak disingkirkan.

Periode ini saat Perjanjian akan dibuat dikatakan sebagai “masa akhir” Kedatangan Kristus pertama kali tidak pernah dikatakan masa akhir. Lebih lagi, saat Perjanjian Baru ini dibuat, Israel akan menjadi umat Tuhan dan mereka mendapatkan Tuhan sebagai Allah mereka. Mereka akan mengajar lagi tentang Tuhan karena semua mengenal Dia. Tuhan akan mengampuni dosa mereka dan tidak akan mengingatnya lagi. Semua ini belum dipenuhi, jadi, perjanjian baru belum dibuat.

Kesimpulannya:

  • Penyelamat Agung belum datang dan menghilangkan dari Yakub.
  • Masa akhir belum dipenuhi.
  • Ajaran pribadi Tuhan sekarang penting bagi manusia yang belum mengenal Dia.
  • Pengampunan dosa belum muncul dalam kerangka Israel.
  • Akibatnya, Perjanjian Baru belum dibuat dengan Israel dan dengan Yehuda, dan ini maksud pernyataan Ibrani.

Didalam Alkitab tidak pernah dikatakan Perjanjian Baru dibuat dengan gereja. Apa yang Kristus katakan saat perjamuan akhir: “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian” (Matt. 26:28 dan Mark 14:24), dan “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku” (Luke 22:20 dan 1 Cor. 11:25). Darah perjanjian baru bukan perjanjian yang baru itu.

Apa yang terlibat? Saat Kristus kembali kebangsa Israel dan menampakan diri kedua kali, dia akan muncul tanpa menanggung dosa (Heb. 9:28). Saat penampakan keduaNya tidak ada korban untuk dosa dan darah untuk mengesahkan perjanjian yang baru itu. Darah korban telah dibuat lama saat kedatangan Kristus pertama kali. Darah korban pada kedatangan pertama akan mengesahkan Perjanjian Baru dengan Israel di kedatangan kedua. Pengorbanan Kristus merupakan dasar semuanya, dan setiap syarat yang ada.

Inilah gambarannya. Saat Musa naik untuk menerima PL dan menjadi penengah perjanjian antara Tuhan dan umat, jadi Kristus naik kesurga dan menjadi penengah perjanjian yang lebih baik. “Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan atas janji yang lebih tinggi” (Heb. 8:6).

Ibrani 12:24 mengatakan tentang kota dan penghuninya: “…dan kepada Yesus, Pengantara perjanjian baru.” Dia pengantara perjanjian baru tapi belum kembali untuk menetapkan PB dengan orang yang memang perjanjian itu dibuat. Seperti perjanjian tidak ditetapkan kepada bangsa sampai Musa turun gunung, jadi PB dengang Kristus sebagai pengantara sekarang tidak akan ditetapkan kepada bangsa sampai Kristus kembali “tanpa menanggung dosa.”

Ibrani 8:8-13 Sebab Ia menegor mereka ketika Ia berkata: "Sesungguhnya, akan datang waktunya," demikianlah firman Tuhan, "Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda, 9 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka, pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Sebab mereka tidak setia kepada perjanjian-Ku, dan Aku menolak mereka," demikian firman Tuhan. 10 "Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu," demikianlah firman Tuhan. "Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. 11 Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku. 12 Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka." 13 Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya.

Ibrani 9:28 … demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diri-Nya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia.

Anda pasti ingat saat Musa digunung sedang merenungkan Perjanjian bangsa sedang tidak percaya. Tuhan ingin melenyapkan mereka. Musa memohon dan perjanjian akhirnya dibuat dengan bangsa setelah percobaan kedua.

Inilah yang terjadi sekarang. Bangsa Israel dalam ketidakpercayaan (Rom. 11:20; etc.). Selama waktu ini ketika bangsa dalam ketidakpercayaan, semua (non yahudi) bisa diselamatkan melalui iman, dengan percaya pada Satu yang lebih besar dari Musa yang sekarang sudah naik gunung Tuhan dan merenungkan Perjanjian Baru.

“demikian pula Yesus adalah jaminan dari suatu perjanjian yang lebih kuat.” (Heb. 7:22). Kenapa Yesus jaminan lebih baik dari suatu perjanjian yang lebih kuat? Karena perjanjian yang lebih kuat belum ditetapkan. Jika sudah ditetapkan anda tidak perlu jaminan. Karena darah yang tercurah, kita orang percaya sekarang percaya bahwa PB akan ditetapkan. Kita diselamatkan melalui darah perjanjian baru, yang disebut dalam Ibrani 13:20 “darah perjanjian yang kekal,” karena perjanjian ini setelah ditetapkan tidak akan ada lagi yang lain untuk selamanya.

Orang percaya sekarang ada dibawa karunia darah perjanjian, dan “melalui iman” dari pengantara Tuhan Yesus Kristus. Israel, dalam ketidakpercayaan, tidak pernah mendekat pada gunung Tuhan ini; kita melalui iman dan darah mendekat ketahta kasih karunia, bukan penghukuman.

Anda jangan dibingungkan dengan berkat yang diperoleh orang percaya sekarang karena janji PB telah disahkan melalui darah pengorbanan Tuhan Yesus Kristus, dan pemenuhan atau penetapan PB dengan Israel pada kedatangan Kristus kedua kali. Keduanya sama sekali berbeda. Pengesahan hanya memastikan. Itu sudah disumpah (atau janji yang dibuat Tuhan sebelumnya) suatu kepastian pemenuhan. Itu belum dipenuhi; itu hanya kepastian pemenuhan. Yesus yang sekarang ada bersama Bapa merupakan jaminan pemenuhannya nanti.

Maka dari itu orang percaya memiliki 2 hal yang pasti dan berdiri dengan iman dimana Tuhan tidak mungkin berdusta (Heb. 6:18). Hal pertama adalah janji Tuhan atau sumpah. Kedua adalah pengesahannya dengan darah AnakNya. Seperti perjanjian Abraham membawa berkat kepada seluruh dunia demikian juga PB dan kita melalui iman sekarang bisa mengalami berkat itu.

Tuhan telah memberikan jaminan pada orang percaya sekarang sebagai symbol kalau PB akan ditetapkan. Jaminan sementara ini akan kita lakukan sampai Dia kembali adalah roti dan cawan. Mereka menceritakan pengorbanan yang mensahkan perjanjian sampai perjanjian itu ditetapkan dengan Israel saat Tuhan datang kedua kalinya. Ini alasan kenapa sementara. “Sampai Dia datang” (1 Cor. 11:26). Ini alasan orang percaya harus menunggu dan sabar menderita. Saat ini, “Kita mempunyai suatu mezbah dan orang-orang yang melayani kemah tidak boleh makan dari apa yang di dalamnya” (Heb. 13:10).

Saat kita menerima Kristus sebagai Juruselamat Pribadi, kita melakukan iman pribadi terhadap apa yang Kristus lakukan, mati bagi dosa kita. Ini bagian kita. Bagian Tuhan adalah dengan tidak bersyarat menyelamatkan kita dan semua yang percaya pada AnakNya—Pribadi dan KaryaNya.

Yohanes 3:14-16 Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, 15 supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. 16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Related Topics: Soteriology (Salvation), Introductions, Arguments, Outlines

Kejujuran Keuangan

Related Media

Translated by Stevy

Pendahuluan

Salah satu tipuan setan yang paling efektif adalah pemikiran bahwa kebahagiaan ada didalam hal-hal yang kita miliki. Melalui penipuan ini, dia telah membuat lembu emas, ilah yang disebut materialisme. Seperti menggonggong ditengah jalan, dia membujuk setiap orang yang lewat, “datanglah dan memuja dikakinya, beli, jual, dapatkan keuntungan, dan miliki, itu semua akan membuat anda bahagia.”

Saudaraku, walau seseorang memiliki panggilan rohani dan harta sorgawi yang luar biasa, dia tidaklah bebas dari sasaran setan atau terlepas dari penyakit materialisme. Seperti suatu wabah, hal itu menjangkiti kita disetiap sudut—televise, media cetak, tampilan dijendela, ruang pamer, jalanan. Godaan materialisme ada dimana-mana dan berusaha masuk kedalam hidup kita melalui pesan yang menyolok dan yang luhur.

Dalam konteks kita hidup sebagai orang asing dan pendatang (1 Pet. 1:17-18; 2:11), dan sebagai orang yang hidup dengan memandang pada warisan surgawi yang tidak bisa rusak, tidak ternoda oleh kejahatan, dan tidak dirusak oleh waktu (1 Pet. 1:4), Petrus juga memperingatkan kita untuk berkepala dingin dan berjaga-jaga melawan akal setan (1 Pet. 1:13; 5:8). Kenapa? Karena, jika kita tidak berjaga-jaga, setan akan memalingkan kita dari panggilan sorgawi sebagai umat milik Allah sendiri yang menyatakan kemuliaanNya dan yang telah memanggil kita keluar dari kegelapan (tipuan setan) kedalam terangNya yang ajaib (1 Pet. 2:9).

Uang adalah perkara kecil (Luke 16:10). Kenapa? Karena uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Uang tidak bisa memberikan hidup kekal atau arti hidup yang sejati (Isa. 55:1-3; Rev. 3:16-18). Tapi, tidak ada yang lebih memperlihatkan orientasi dan hubungan kita dengan Tuhan seperti sikap kita terhadap uang.

Yesus Kristus menjelaskan bahwa salah satu tanda kerohanian sejati adalah sikap yang benar terhadap harta. Tanda seorang manusia yang benar dan saleh adalah pikirannya kepada Tuhan dan harta surgawi.

Alkitab banyak sekali bicara mengenai uang atau kepemilikan. Enambelas dari tigapuluh delapan perumpamaan Yesus berkaitan dengan uang. Satu dari setiap sepuluh ayat dalam Perjanjian Baru berkaitan dengan hal ini. Alkitab memiliki 500 ayat mengenai doa, kurang dari 500 ayat mengenai iman, tapi lebih dari 2,000 ayat mengenai uang. Uang merupakan masalah yang sangat penting karena sikap seseorang terhadapnya sangat menentukan hubungannya dengan Tuhan, mengenai pemenuhan rencananya dalam hidup ini, dan mengenai karakternya.

Tanggung Jawab Perencanaan

Tanpa perencanaan yang didasarkan atas nilai, tujuan, prioritas Alkitab, uang menjadi tuan yang keras dan, seperti daun yang masuk kedalam gulungan angina, kita hanyut kedalam pengejaran dunia akan harta (Luke 12:13-23; 1 Tim. 6:6-10).

Perencanaan keuangan adalah suatu yang Alkitabiah dan itu merupakan pelayanan yang baik, untuk bebas dari ilah materialisme, dan cara melindungi diri dari membuang-buang sumber yang Tuhan percayakan pada kita (Prov. 27:23-24; Luke 14:28; 1 Cor. 14:40).

Perencanaan keuangan harus dilakukan didalam ketergantungan pada arahan Tuhan dan dalam iman dimana kita bergantung pada Tuhan untuk keamanan dan kebahagiaan daripada kekuatan kita sendiri (Prov. 16:1-4, 9; Psalm 37:1-10; 1 Tim. 6:17; Phil. 4:19).

Tanggung Jawab Disiplin

Jika perencanaan keuangan kita adalah bekerja, ini membutuhkan disiplin dan komitmen sehingga rencana kita diwujudkan dalam tindakan. Kita harus melanjutkan maksud baik kita (Prov. 14:23). Kejujuran keuangan merupakan aspek penting dari pertumbuhan rohani dan kesalehan (2 Cor. 8:7). Tapi kesalehan membutuhkan disiplin (cf. 1 Tim. 4:8; 6:3-8).

Maksud baik tidak berarti tanpa rencana yang diwujudkan kedalam tindakan. Orang Korintus menyatakan keinginan dan kemauan mereka dalam memberi petunjuk-petunjuk dalam memberi (1 Cor. 16:1-2), tapi mereka gagal menyelesaikan rencana itu (2 Cor. 8:10-11).

Tanggung Jawab Pelayanan

Kejujuran keuangan keluar dari pengakuan bahwa semua yang kita miliki adalah dari Tuhan (1 Chron. 29:11-16; Rom. 14:7-9; 1 Cor. 6:19-20). Hidup merupakan perjalanan sementara dimana orang Kristen melihat dirI mereka sebagai orang asing, penduduk sementara, yang ada disini sebagai pelayan anugrah Tuhan. Semua yang kita miliki—talenta kita, waktu, dan harta—dipercayakan oleh Tuhan yang harus kita investasikan bagi kerajaan dan kemuliaan Tuhan (1 Pet. 1:17; 2:11; 4:10-11; Luke 19:11-26).

Tanggung Jawab Bekerja

Salah satu cara Tuhan menyediakan kebutuhan kita adalah melalui bekerja—suatu pekerjaan dimana kita mendapatkan penghidupan sehingga kita bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarga kita (2 Thess. 3:6-12; Prov. 25:27).

Uang yang kita peroleh juga digunakan untuk mendukung pekerjaan Tuhan dan menolong mereka yang dalam kekurangan, pertama keluarga Tuhan dan baru mereka yang ada diluar iman (Gal. 6:6-10; Eph. 4:28; 3 John 5-8).

Petunjuk Mengenai Menabung

Dukungan Alkitab

(1) Tuhan mengarahkan Yusuf untuk menyimpan demi masa depan (Gen. 41:35).

(2) Menabung untuk masa depan menunjukan hikmat dan dinyatakan dalam ciptaan Tuhan (Prov. 21:20; 30:24-25; 6:6-8).

(3) Menabung untuk masa depan merupakan tanggung jawab pelayanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang diperkirakan maupun yang tiba-tiba (1 Tim. 5:8; 2 Cor. 12:14).

Petunjuk Alkitab

(1) Menjaga pandangan yang tepat akan kepemilikan. Ingat, semua kekayaan kita berasal dari Tuhan. Kita adalah manajernya, bukan pemilik (1 Chron. 29:11-16; Luke 16:12).

(2) Menjaga pandangan yang tepat akan keamanan. Kita harus meletakan kepercayaan dalam Tuhan dan bukan pada investasi kita (1 Tim. 6:17).

(3) Hati-hati terhadap motive, prioritas, dan alasan yang tidak murni dan tidak Alkitabiah mengenai menabung seperti kekhawatiran dan menimbun karena ketidakamanan atau ketamakan (Matt. 6:25-33; Luke 12:13-31).

(4) Keputusan mengenai masa depan harus dibawa dalam doa dalam rangka kehendak Tuhan (James 4:13-15).

(5) Jangan menggunakan tabungan/investasi yang direncanakan Tuhan untuk pemberian. Ini muncul saat tabungan atau investasi menjadi ekstrim dan untuk alasan yang salah seperti yang dinyatakan diatas (Luke 12:16-21; 1 Tim. 6:18-19; 1 John 3:17).

(6) Menghindari investasi beresiko tinggi atau menjadi kaya dengan cara cepat (Prov. 21:5; 28:20, 22; 1 Tim. 6:9).

(7) Mengawasi prioritas. Menjadikan kerajaan Allah menjadi investasi nomor satu (Matt. 6:33; Luke 12:31; 1 Tim. 6:18-19).

Petunjuk Mengenai Pengeluaran

Kepuasan

Kita perlu belajar untuk puas (tergantung secara rohani akan detil hidup bagi kebahagiaan dan keamanan kita) dengan apa yang kita punya (Phil. 4:11-13; 1 Tim. 6:6, 17-19; Heb. 13:5). Saat kita merasa cukup dengan apa yang kita miliki, kita bebas dari perbudakan materialisme. Ini artinya kebebasan mengikuti Tuhan; kebebasan mengusahakan nilai dan tujuanNya. Bagaimana seseorang bisa mendapatkan kepuasan? Kepuasan merupakan hasil dari memiliki harta sorgawi dan meletakan seluruh kepedulian seseorang pada kedaulatan Tuhan yang adalah Bapa Sorgawi kita (Matt. 6:19-33; 1 Pet. 5:6-7).

Godaan

Berjagalah terhadap godaan dan ajaran dunia (Rom. 12:1-2; 13:11-14; 1 Pet. 1:13-16; 5:8). Ada ratusan ajaran setiap hari yang menarik perhatian kita melalui pers, televise, radio, iklan, penjual, dan etalase—semua dibuat untuk mendorong kita membeli hal-hal yang tidak kita perlukan, dengan uang yang sebenarnya tidak kita punyai, untuk membuat kagum orang yang tidak kenal, dan mendapatkan kebahagiaan yang tidak kita temukan.

Mengevaluasi Pembelian Menurut Prinsip Alkitab

(1) Apakah kita bisa membayar tunai ataukah pembelian itu membuat kita harus berhutang? (lihat petunjuk mengenai Kredit.)

(2) Apakah kita memiliki kedamaian mengenai hal itu? (Rom. 14:23; Col. 3:15) Kita perlu mengawasi kedenderungan kita untuk merasionalisasi—memberikan jawaban menipu pada diri sendiri merupakan hal yang buruk.

(3) Apakah itu suatu kebutuhan atau ketamakan? (1 Tim. 6:9; 1 John 2:15) Apakah itu berguna bagi keluarga, pertumbuhan rohani, kesehatan, pelayanan, nama Tuhan, dan meningkatkan kasih kita pada Tuhan atau malah menghalangi semua itu? (1 Tim. 3:4: 5:8; 1 Cor. 6:12)

(4) Apakah gaya hidup kita itu cukup atau lebih dari cukup? Apakah kita perlu mengurangi pengeluaran kita dengan mengurangi standar kepuasan? (Matt. 6:33; Luke 12:15, 23; Prov. 15:16-17; 16:8; Eccl. 5:10-11).

Petunjuk Mengenai Kredit

Prinsip Dasar

(1) Tuhan lebih memilih pinjaman daripada meminjam karena itu menghasilkan kebebasan dan pelayanan yang bijak (Deut. 15:5-6).

(2) Peminjaman yang tidak bijak bisa membuat kita diperbudak (Prov. 22:7).

(3) Gunakan kredit sebijak mungkin dan hindari kredit sebisa mungkin. Walau tidak dihalangi oleh Alkitab, kredit pada umumnya dinyatakan dalam bentuk negative. Roma 13:8 sering digunakan sebagai halangan tetap untuk meminjam, tapi itu tidak langsung melarang penggunaan kredit. Itu hanyalah mengajarkan perlunya seseorang membayar hutangnya baik secara fisik atau rohani diwaktu harus membayar.

(4) Mengenai kredit ada 2 alternatif dasar: (a) Beli sekarang dengan kredit dan bayar bersama dengan bunga. (b) Tabung sekarang dan beli kemudian dengan tunai dan simpan bunganya.

Jaga Pinjaman Sekecil Mungkin

(1) Bunga menambah biaya hidup dan mengurangi kemampuan kita untuk melayani dengan baik. Jika kita harus meminjam, kita harus mencari bunga yang rendah dan jangka pendek.

(2) Kredit bisa berbahaya karena itu bisa memperbudak orang kepada kreditor dan keinginan mereka daripada keinginan Tuhan. Itu membuat dorongan untuk terus membeli lebih kuat. Sistem dunia sangat tergantung pada pembelian sebagai penenang kebosanan dan frustasi hidup.

(3) Kredit bisa digunakan sebagai pengganti kepercayaan pada Tuhan atau mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa menungguNya. Kita menggunakan itu untuk mengurangi ketergantungan pada Tuhan. Kenapa? Karena kita sering takut Dia tidak memberikan apa yang kita inginkan saat kita menginginkannya (Ps. 37:7-9, 34; 147:11; Matt. 6:30-34; Phil. 4:19).

(4) Kredit mengurangi kemampuan kita memberi pada Tuhan dan mereka yang membutuhkan.

(5) Penggunaan kredit sering merupakan kegagalan untuk puas dengan apa yang telah kita miliki (dosa ketidakpuasan) (Phil. 4:11; 1 Tim. 6:6-8; Heb. 13:5). Orang yang materialistis tidak pernah puas, tapi yang didalam Tuhan belajar untuk cukup.

Apa yang ‘Jangan’ dalam Meminjam

(1) Jangan membeli sesuatu dengan kredit jika itu akan menghancurkan kebebasan keuangan kita.

(2) Jangan berhutang sekarang atas alasan masa depan (seperti kenaikan harga atau penjualan yang lebih baik). Ini menyalah gunakan Tuhan dan kedaulatanNya.

(3) Jangan berhutang untuk rumah sebelum anda memiliki sumber pendapatan (Prov. 24:27).

(4) Jangan untuk kebutuhan sehari-hari, pengeluaran sehari-hari, atau untuk kesenangan.

(5) Jangan menggunakannya untuk hal-hal yang berkurang nilainya dengan cepat, kecuali jangka waktunya sangat pendek (yaitu, 30-90 hari).

(6) Mengenai barang benilai, seperti rumah atau investasi bisnis, jangan meminjam diluar kemampuan anda menguangkan obligasi melalui jaminan yang cukup ditambah nilai barang jika itu dijual.

(7) Jangan mengijinkan hutang (tidak termasuk gadai) lebih dari 20 percent take-home pay. Ambil yang 10 persen atau kurang.

(8) Jangan ijinkan pembayaran gadai (termasuk insuransi dan pajak) lebih dari 25 atau 30 persen take-home pay.

Pertanyaan yang Diperlukan Sebelum Meminjam

(1) Apakah saya benar-benar membutuhkannya?

(2) Apakah saya telah meminta Tuhan untuk itu dan menunggu cukup lama untuk dijawab olehNya?

(3) Apakah saya tidak sabar dan ingin memuaskan kesenangan secepatnya?

(4) Apakah Tuhan menguji iman, nilai, motive saya, dll.?

(5) Apakah saya tidak membelanjakan uang yang Tuhan sediakan untuk barang itu dengan baik atau melanggar prinsip keuangan Tuhan?

(6) Apakah saya bersalah karena:

    · Pelit: “Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan” (Prov. 11:24; 11:25-27).

    · Terburu-buru: “Orang yang dapat dipercaya mendapat banyak berkat, tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman” (Prov. 28:20).

    · Kemalasan: “maka datanglah kemiskinan seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata” (Prov. 24:34).

Petunjuk dalam Memberi

Tuhan Mengharapkan Kita untuk Memberi

(1) Melalui Karya AnugrahNya: Melalui hubungan dengan Dia, memberi merupakan hasil karya anugrah Tuhan dalam hidup sehingga itu menghasilkan komitmen hidup seseorang pada Tuhan dengan pemberian yang mengalir keluar dari komitmen itu (2 Cor. 8:1-2, 6-7; 9:9-11).

(2) Dalam Iman: Dia telah berjanji untuk mencukupi seluruh kebutuhan kita; pemberian kita tidak akan menjadikan kita kekurangan (2 Cor. 9:7f; Phil. 4:19).

(3) Dengan Memiliki Tujuan: Kita memberi dengan perencanaan yang seksama dan dibawa dalam doa. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya” (2 Cor. 9:7).

(4) Secara Teratur: “Dihari pertama setiap minggu” menolong untuk mendorong ketekunan dan disiplin dalam memberi. Ini menciptakan konsistensi dan keteraturan yang menyatakan niat kedalam tindakan (1 Cor. 16:2).

(5) Secara Pribadi: “Biarlah setiap kamu” memenuhi kebutuhan setiap orang percaya dengan membuat pemberian sebagai tanggung jawab pribadi yang diberikan Tuhan (1 Cor. 16:2).

(6) Secara Sistematis: “sisihkan dan simpan” menimbulkan kebutuhan untuk memiliki metode atau system dimana uang untuk pekerjaan Tuhan secara khusus disisihkan, disimpan untuk diberikan, sehingga tidak digunakan untuk hal lain (1 Cor. 16:2).

(7) Secara Proporsional: Dalam Perjanjian Baru, menyisihkan sebagian untuk diberikan (sebagai persepuluhan) telah digantikan oleh prinsip anugrah pemberian, secara sukarela, bertujuan, dan proporsional. Standar baru sekarang ini adalah “sesuai berkatNya (1 Cor. 16:2), “memberi menurut kemampuan mereka” (2 Cor. 8:3), “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu. Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang-orang lain mendapat keringanan, tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan.…” (cf. 2 Cor. 8:12-15, Mark 12:41-44), dan “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan” (2 Cor. 9:7).

Kepada Siapa Kita Harus Memberi?

Gereja Lokal

“Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu” (Gal. 6:6; cf. juga 1 Tim. 5:17-18). Jika gereja local akan membentuk pusat pelayanan keluar, maka sudah sewajarnya jika itu menjadi prioritas pertama anda dalam memberi.

Organisasi lain dan Individu

Ini termasuk misi, kelompok para-church dan individu yang terlibat dalam pelayanan ini (3 John 5-8).

Sesama Orang Percaya yang Membutuhkan

Mereka yang tidak mampu menyokong diri sendiri atau yang menghadapi masalah serius harus ditolong sebisa mungkin. Mereka yang menolak bekerja jangan didukung (1 John 3:17; Jam. 2:15-16; Gal. 6:10; Heb. 10:33-34; 13:1-3 with 2 Thess. 3:6-10).

Orang Belum Percaya yang Membutuhkan

Prioritas pertama kita adalah mereka yang seiman, tapi kita juga menjangkau orang lain yang membutuhkan sebisa mungkin (Gal. 6:10).

Persepuluhan dalam Perjanjian Lama

Kata “persepuluhan” artinya “sepersepuluh” Dalam Perjanjian Lama, ada bukti bahwa orang kudus dalam OL diwajibkan memberikan setidaknya 2 perpuluhan dan mungkin tidak perpuluhan setiap tahun.

(1) Pertama adalah sepersepuluh dari seluruh milik seseorang (Lev. 27:30-33). Ini akan diberikan kepada orang Lewi untuk pelayanan dibait (Numb. 18:20-21).

(2) Perpuluhan kedua diambil dari apapun yang dihasilkan setelah perpuluhan pertama diberikan. Perpuluhan ini untuk hari raya Tuhan dan korban (Deut. 12:17-18; 14:22). “Perintah ini bagi orang Yahudi ditafsirkan sebagai perpuluhan kedua (lihat Lev. 27:30 dan Num. 18:21 untuk yang pertama; juga perhatikan Mal. 3:8), yang dibawa ketempat kudus baik dalam bentuk uang atau bukan. Kelihatannya pemberi persembahan bisa menggunakan sebagian dari perpuluhan ini untuk perayaan ditempat kudus (vv. 26-27).”1

(3) Perpuluhan yang lain diambil setiap tiga tahun untuk kesejahteraan orang Lewi, orang asing, yatim piatu dan janda (Deut. 14:26-29). Perpuluhan ketiga ini terpisah dari yang kedua, walau kita tidak tahu secara pasti. Rata-rata, setiap keluarga Yahudi bertanggung jawab memberi tidak hanya sepuluh persen, tapi kira-kira 19 persen.

Jika perpuluhan merupakan kehendak Tuhan bagi setiap orang percaya sekararang ini, maka orang percaya yang hanya memberi sepuluh persen masih kurang dalam memberi.

Karena perpuluhan diwajibkan dalam PL, itu lebih seperti pajak pendapatan daripada suatu pemberian dibawa kerajaan Tuhan atas Israel. Kenyataannya, PL sering bicara mengenai “perpuluhan dan persembahan” sehingga ada perbedaan. Frieson berkata, “Itulah alasannya kenapa kegagalan untuk melakukan ‘seluruh perpuluhan” bisa digambarkan sebagai merampok Tuhan.”2 Jika salah satu umat Tuhan ingin menyatakan ibadahnya dengan secara sukarela memberi, itu haruslah diluar dan diatas kedua perpuluhan dari pendapatan yang dimiliki (Deut. 16:6, 11; 1 Chron. 29:6, 9, 14).

Memberi dalam Perjanjian Baru

Ada bukti kuat bahwa perpuluhan itu bukan untuk orang percaya masa kini. Ada orang percaya yang mengajarkan perpuluhan, tapi mereka bergantung pada teologi PL yang tidak diaplikasikan oleh gereja sekarang. Berikut ini adalah bukti yang mendukung pendapat ini.

Perpuluhan dalam PL merupakan bagian dari system ekonomi dari Hukum tapi PB secara khusus mengajarkan bahwa orang percaya tidak dibawa hukum taurat (Rom. 6:14; 7:4, 6; 8:3; 2 Cor. 3:11; Gal. 3:19-25; 4:21-31). Ada penekanan ganda disini.

(1) Orang percaya tidak dibawa system ekonomi, social, atau keagamaan hukum PL. Hukum taurat merupakan system sementara sampai Kristus datang. Kedatangan Kristus dan Perjanjian yang Baru, seperti yang diaplikasikan dalam gereja, menggantikan PL dengan hukum yang lebih tinggi, hukum Roh Kehidupan Kristus Yesus yang memampukan orang percaya memenuhi persyaratan rohani Hukum taurat melalui bimbingan Roh daripada melalui tuntutan aturan hukum.

(2) “Hukum” dalam Romans 6:14 adalah anarthrous. Itu suatu yang kualitatif. Itu tidak hanya bicara mengenai satu hukum tertentu, seperti Hukum PL, tapi hukum apapun. Ini artinya kita tidak dibawah system aturan apapun atau aturan hukum apapun dalam hubungan dengan Tuhan. Tapi itu tidak berarti kita tidak ada aturan, kita ada dibawa hukum Kristus (1 Cor. 9:21; Gal. 6:2), standar berapa banyak kita memberi pada gereja sekarang ini bukanlah jumlah yang ditentukan oleh hukum tertentu atau dari suatu bentuk paksaan. Ini bisa termasuk perpuluhan baik dibawa Hukum atau sebelum Hukum, karena disaat jumlah tertentu dibuat, itu akan menjadi hukum bukan lagi masalah seseorang yang dibimbing oleh Roh Tuhan dalam memberi (Rom. 8:14; Gal. 5:1, 18, 24, 25).

PB mengajarkan kita bahwa memberi untuk gereja adalah sesuai dengan anugrah atau bimbingan Tuhan melalui Roh (2 Cor. 8:1-3, 7; 1 Cor. 16:2; 9:7). Sejalan dengan konsep ini, saat kita masuk kedalam PB kita tidak menemukan aturan PB atau perintah yang meneruskan perpuluhan bagi orang percaya dalam PB. Kata “perpuluhan” tidak pernah digunakan dalam PB sebagai perintah atau aturan bagi gereja. Kenyataannya, itu hanya digunakan sebagai referensi sejarah yang diberikan pada Israel dimasa PL, tapi tidak pernah menunjukan itu menjadi aturan hidup bagi gereja.

Matthew 23:23; Luke 11:42. Kedua bagian Alkitab ini diperuntukan untuk Israel. Kristus bicara kepada orang Yahudi yang masa itu masih dibawa hukum. Mereka juga memberi korban dibait.

Luke 18:12 hanya merupakan referensi sejarah mengenai doa farisi yang merasa diri benar yang masih dibawah hukum dan menanti kedatangan Roh dan dimulainya zaman gereja.

Hebrews 7:5-9 merupakan referensi sejarah kepada Abraham yang memberi perpuluhan pada Melkizedek. Sebagian orang menggunakan ini sebagai bukti kalau perpuluhan masih sah untuk masa kini. Mereka melihat itu sebagai hukum awal, jadi itu harus digunakan sebagai petunjuk bagi semua pembagian. Tapi ada dua hal yang salah dengan alasan diatas:

Praktek PL lainnya mendahului hukum, tapi mereka tidak digunakan sebagai norma atau syarat bagi gereja. (a) konsep hari Sabat lebih dulu dari hukum (cf. Heb. 4:3-9), tapi itu diganti dengan hari pertama setiap minggu, dan itu tidak dipakai sebagai aturan hukum. (b) Sunat juga lebih dulu dari hukum (cf. Rom. 4:9-13), tapi digantikan oleh baptisan. (c) demikian juga dengan perpuluhan lebih dulu dari hukum (Heb. 7:5-9), telah digantikan oleh pemberian yang proporsional (1 Cor. 16:2). Untuk tetap memakai perpuluhan merupakan ketidaktaatan terhadap perintah 1 Corinthians 16:2.

Memberi sesuai dengan perpuluhan merupakan halangan bagi pemberian sesuai anugrah yang digambarkan dalam PB. Biar saya jelaskan.

Banyak orang percaya memberi perpuluhan mereka dan tidak pernah melihat kalau mereka bisa (dan mungkin harus) memberi lebih. Sebenarnya, menuntut perpuluhan kepada semua orang percaya tidak sesuai dengan prinsip yang dinyatakan dalam 2 Corinthians 8:12-15 karena perpuluhan menjadi kuk yang tidak sepadan. Maksud saya itu akan menjadi beban bagi sebagian orang, dan pembatasan untuk memberi lebih sesuai dengan prinsip pemberian secara proporsional, sesuai apa yang didapat. (1 Cor. 16:1-2). Tolong perhatikan yang berikut ini:

(1) Memberikan sepuluh persen bagi seseorang bisa merupakan “menabur dengan hemat” jika dia memberi secara proporsional.

(2) Memberikan sepuluh persen bagi orang lain bisa jadi “menabur dengan berlimpah” jika dia memberi secara proporsional.

(3) Memberi sepuluh persen bagi seseorang bisa jadi memberi diluar kemampuan mereka dan bisa merupakan pemberian dengan pengorbanan, memberi “sesuai dengan apa yang tidak mereka miliki” (cf. 2 Cor. 8:12; 9:6).

(4) Maksudnya, sebagian merasa mudah melaksanakan tanggung jawab mereka karena kelimpahan mereka dan yang lain tersiksa oleh perpuluhan karena kekurangan mereka (2 Cor. 8:13).

(5) Pemberian yang proporsional dalam PB menghilangkan hal diatas dan membawa apa yang Paulus sebut “keseimbangan” (2 Cor. 8:14-15). Lihat ilustrasi dibawah menyangkut pemberian yang proporsional.

(6) Ini artinya untuk menjadi pelayan yang baik atas pemberian Tuhan, semakin makmur seseorang dia harus memberi dengan berlimpah, tidak hanya dalam dollar tapi secara persentasi (20, 30 persen atau lebih), walau yang kurang memberi persentasi yang kecil, seseorang ditentukan melalui persekutuannya dengan Tuhan. Mereka mungkin memutuskan untuk memberi dengan berkorban seperti yang dilakukan orang Makedonia, tapi itu harus merupakan karya Roh Tuhan dan bukan tuntutan aturan gereja yang menuntut perpuluhan. Jelas, perpuluhan merupakan kuk yang tidak seimbang. Pikirkan itu. Jika anda memberi perpuluhan, anda mungkin menabur dengan hemat.

Pemberian yang Proporsional

Pertanyaannya adalah, apa artinya memberi secara proporsional? Bagaimana itu menentukan berapa banyak yang harus diberi? Sangat mudah menentukan sepuluh persen dari sesuatu, tapi berapa banyak itu “sekehendak hatinya,” atau “sebanyak dia diberi,” atau “semakmurnya dia,” atau “jika ada kemauan maka baiklah memberi menurut apa yang didapat …” Sebanyak apa itu?

(1) Itu bukan suatu jumlah tertentu, atau persentase tertentu, tapi suatu proporsi didasarkan atas apa yang dimiliki seseorang, kebutuhan seseorang, dan kebutuhan orang lain, termasuk pekerjaan Kristus atau pelayanan gereja lokal.

(2) Mereka yang memiliki sedikit juga memberi semampu mereka (2 Cor. 8:2-3).

(3) Mereka yang tidak memiliki apapun, jika ada kerelaan, tidak diharapkan memberi apapun (2 Cor. 8:12).

(4) Mereka yang kurang (kebutuhan pokok) akan menerima dari mereka yang lebih sehingga ada keseimbangan (2 Cor. 8:13-15). Ini bukan socialism atau komunisme yang memaksa dan mengusahakan adanya kesamaan diluar keragaman lingkungan dalam bekerja, bakat, dan insentif pribadi (cf. 2 Tim. 6:17f).

(5) Tuhan tidak meminta mereka yang memiliki banyak untuk menjadi miskin atau membebadi mereka yang kaya (2 Cor. 8:13). Keseimbangan yang dinyatakan dalam pemberian yang proporsional ada 2 sisi: (a) Meliputi bantuan untuk menolong orang yang membutuhkan sampai mereka mampu secara keuangan melalui bekerja (Eph. 4:28; 2 Thess. 3:10-15). Kita tidak memberi sehingga orang lain bisa hidup enak atau memiliki standar hidup yang sama dengan semua orang. (b) Ini menciptakan keseimbangan dalam pengertian bahwa mereka yang kurang memberi sesuai kemampuan demikian juga yang mampu sesuai dengan kemampuannya.

(6) Mereka yang berkelimpahan harus kaya dalam pekerjaan baik, mereka harus menggunakan kelimpahannya dengan bebas untuk Kristus (2 Cor. 8:14; 2 Tim. 5:17-18).

(7) Kemakmuran yang meningkat janganlah menghasilkan standar hidup yang terus meninggi, atau pengeluaran yang percuma,tapi peningkatan dalam memberi, tidak hanya jumlah tapi dalam persentase. Jika orang percaya masa kini berkomitmen pada pemberian yang proporsional, banyak orang yang akan memberi lebih dari sepuluh persen. Statistik menunjukan, sebagian besar orang percaya memberi kurang dari 3-5 persen.

Definisi Pemberian yang Proporsional

Pemberian yang proporsional adalah pemberian yang sesuai dengan berkat Tuhan, sebagai pelayan yang ingin menginvestasikan hidupnya dalam kekayaan surgawi. Pemberian yang proprosional tidak berarti memberi lebih, tapi memberi sebagian besar dari pendapatan seseorang—bagian terbesar diberikan untuk pekerjaan Tuhan.

Dalam Pemberian yang Proporsional:

(1) MOTIF KITA dalam memberi adalah berkat Tuhan, untuk meningkatkan buah dan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan (2 Cor. 9:8-15).

(2) UKURAN KITA dalam memberi adalah berkat material dari Tuhan (1 Cor. 16:2).

Ilustrasi mengenai Pemberian yang Proporsional

Orang percaya A memiliki pendapatan $20,000 setahun dan dia memberi sepuluh persen yaitu $2,000. Orang percaya B memiliki pendapatan $50,000 setahun dan memberikan sepuluh persen yaitu $5,000. Orang percaya B telah memberi $3,000 lebih banyak dalam setahu tapi ini tidak proporsional karena Orang percaya A hanya memiliki $18,000 untuk dihidupi dan Orang percaya B masih memiliki $45,000, dua kali lebih banyak. Orang percaya B bisa memberi 20 persen ($10,000) dan masih memiliki $40,000 tetap dua kali lebih banyak dari Orang percaya A. Orang percaya B tidak hanya harus memberi lebih banyak tapi secara proporsi juga harus lebih banyak.

Janji untuk Pemberi yang Murah Hati

Luke 16:10-11: Umumnya, Tuhan tidak mempercayakan kekayaan yang lebih banyak pada kita sampai kita terbukti setia dengan apa yang kita punya sekarang.

Second Corinthians 9:8-11: Pemberian kita tidak akan membuat kita kekurangan; Tuhan tidak saja menyediakan apa yang telah kita berikan, tapi dia akan meningkatkan kemampuan kita dalam memberi saat kita memberi dengan limpah. Tujuannya disini bukan untuk meningkatkan kekayaan pribadi, tapi pemberian.

Tantangan Alkitab Mengenai Kekayaan Duniawi

Dimana Harta Kita?

Prinsip Dasar: Apa yang kita kumpulkan menentukan cara pandang kita akan nilai hidup (Matt. 6:22-23).

Pandangan Alkitab: Harta kita ada disorga (Matt. 6:19-20).

Alasan Alkitab:

(1) Harta kita permanent disorga (Matt. 6:20; 1 Pet. 1:4).

(2) Harta dibumi itu sementara dan bisa hilang. Kita tidak bisa membawa harta dunia kita kesorga (Luke 12:20-21; 1 Tim. 6:7).

(3) Harta dunia kita tidak memuaskan karena tidak bisa membeli kebahagiaan sejati (Isa. 55:1-3; Luke 12:15, 23; Eccl. 5:10).

(4) Harta dunia kita tidak bisa memperpanjang hidup atau memberikan keamanan (Luke 12:16-21).

(5) Harta kita menentukan prioritas kita. Tanpa harta yang benar, kita akan mengejar hal yang sala dan menyia-nyiakan hidup kita (Matt. 6:21; Luke 12:34; 1 Tim. 6:9-10; Luke 19:23-26).

(6) Harta terbesar kita adalah kesalehan yaitu rasa cukup (1 Tim. 6:6; Heb. 13:5; Phil. 4:11-12; Prov. 15:17; 16:8; 17:1).

Penjelasan Alkitab: Harta sorgawi terdiri dari mahkota, upah, dan tanggung jawab yang diberikan pada orang percaya dikursi penghakiman Kristus bagi pelayan yang setia (Luke 19:16-19; 1 Cor. 3:12-15; 9:25; 1 Thess. 2:19; 2 Tim. 4:8). Harta terutama adalah Tuhan dimuliakan (1 Pet. 4:11; Rev. 4:9-11).

Siapa Tuan Kita?

Seorang pelayan tidak bisa melayani dua tuan. Kita tidak bisa melayani Tuhan dan Mammon (materialisme) sekaligus (Luke 16:1-13, cf. Matt. 6:24).

Alasan Alkitab: Tidak mungkin melayani dua tuan disaat yang sama. “ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain” (Luke 16:13).

Pandangan Alkitab:

(1) Luke 16:1-2: Hidup adalah pelayanan dan kita adalah pelayan Tuhan yang bertanggung jawab atas pelayanan yang dipercayakan pada kita. Berhenti berpikir seperti pemilik. Mulai berpikir seperti manajer.

(2) Luke 16:1, 11-12: Kita memboroskan investasi Tuhan dalam hidup kita atau menginvestasikannya dengan bijak bagi kemuliaanNya?

(3) Luke 16:10: Uang, dalam nilai sejatinya, merupakan hal “kecil”, tapi, kesetiaan dalam hal kecil (uang) merupakan tanda kesetiaan kita dalam hal besar (nilai kekal).

(4) Luke 16:11: Penggunaan uang adalah ujian dari kesetiaan kita.

(5) Luke 16:11: Uang tidak menunjukan kekayaan yang sebenarnya.

(6) Luke 16:12: Uang harus digunakan secara bijak dan setia sebagai bagian dari pelayanan kita kepada Tuhan.

(7) Luke 16:12: Uang dan pendapatan, jika kita tidak hati-hati, bisa menjadi tuan kita.

Tantangan Alkitab:

(1) Apakah saya budak uang dan harta duniawi? Apakah mungkin saya tidak mengetahuinya? Kita harus memilih antara melayani uang atau Tuhan!

(2) Apakah saya mengorbankan kualitas seperti Kristus dan tanggung jawab dalam mengejar harta dunia? (a) hati nurani yang murni; (b) kejujuran, moral; (c) Persahabatan; (d) Kehidupan keluarga (istri, suami, anak, saudara); (e) Reputasi; (f) Kemuliaan Tuhan, dll.

(3) Apakah saya lebih peduli pada harta dunia dan masalah keuangan daripada hubungan saya dengan Tuhan dan kerajaan sorga? (a) Prioritas; (b) Penggunaan waktu, bagaimana dan dimana itu dihabiskan; (c) Apa yang paling saya pikirkan—uang dan bagaimana menghabiskannya atau Tuhan dan iman saya kepadaNya?

(4) Apakah saya mencari uang dan harta dunia (prestige, kuasa, kedudukan, kesenangan, kepemilikan, dll.) semua itu bisa Tuhan berikan? (a) Kebahagiaan, sukacita sejati; (b) Kepuasan; (c) Damai dalam Pikiran; (d) Keamanan; (e) Tujuan dan arti hidup.

Jika jawaban anda ya, maka uang telah menjadi tuan atasmu!

Kesimpulan

Setelah mempelajari prinsip ini, tanyakan hal ini: Apakah saya mau memberi diri pada konsep ini sebagai cara hidup untuk menjadi pelayan Tuhan yang baik? Biarlah Tuhan menjauhkan kita dari patung lembu emas materialisme.

Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini. Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. (1 Pet. 1:17-19).


1 Ryrie Study Bible, Expanded Edition, NASB, footnote, p. 298.

2 Garry Frieson, Decision Making and the Will of God, Multnomah Press, Portland, 1980, p. 357.

Related Topics: Tithing, Finance

El Plan de Dios Para La Salvación

Related Media

1 Juan 5:11-12 Y el testimonio es éste, que Dios nos ha dado vida eterna, y su vida esta en su Hijo. Aquel que tiene al Hijo tiene la vida; aquel que no tiene al Hijo de Dios no tiene la vida.

A pesar de que la 1 Juan 5:11-12 esta escrita para darle a los Cristianos convicción de su salvación basados en el testimonio de la Palabra de Dios, este pasaje también destaca el punto clave en la salvación.

Declaración del Hombre a Dios: “Y el testimonio es este, que Dios nos ha dado vida eterna, y esta vida está en Su Hijo.” (Versículo 11.

El Asunto Importante: “Aquel que tiene al Hijo tiene la vida; aquel que no tiene al Hijo de Dios no tiene la vida.” (Versículo 12.

Este pasaje enseña:

  • Dios nos ha dado vida eterna y esta vida está en Su Hijo Jesucristo.
  • La manera de poseer la vida eterna es poseer al Hijo de Dios
  • Dos asuntos importantes deben ser preguntados y respondidos:
  • ¿Porque es necesario poseer al Hijo de Dios para tener vida eterna?
  • ¿Cómo puede una persona poseer o tener al Hijo de Dios?

El Problema de
La Separación del Hombre de Dios

De acuerdo a Romanos 5:8, Dios demostró Su amor por nosotros a través de la muerte de Su Hijo. ¿Porque Cristo tuvo que morir por nosotros? Porque la Escritura declara a todos los hombres como pecadores. Todos somos pecadores. “Pecar” quiere decir errar en el blanco. La Biblia declara que todos hemos pecado y no podemos alcanzar la Gloria de Dios. En otras palabras, nuestro pecado nos separa de Dios quien es perfecta santidad (rectitud y justicia) y Dios debe por lo tanto juzgar al hombre pecador.

Romanos 5:8 Pero Dios demostró Su amor hacia nosotros, en que siendo aun pecadores, Cristo murió por nosotros.

Romanos 3:23 porque todos han pecado y no pueden alcanzar la Gloria de Dios...

Habacuc 1:13a Tus ojos son demasiado puros para aprobar la maldad, Y Tú no puedes ver la maldad favorablemente.

Isaías 59:2 Pero tus iniquidades han hecho separación entre tú y tu Dios, y tus pecados han Escondido Su rostro de ti, para que El no escuche.

El Problema de la
Inutilidad de las Obras del Hombre

Le Escritura también enseña que ninguna cantidad de bondad humana, esfuerzo humano, moralidad humana, o actividad religiosa puede ganarse la aceptación de Dios o llevar a alguien al Cielo. El hombre moral, el hombre religioso, y el inmoral y el no-religioso están todos en el mismo bote. Todos están caídos de la Gloria de Dios (de la Perfecta Justicia de Dios.) Después de discutir sobre el hombre inmoral, el hombre moral, y el hombre religioso en Romanos 1:18-3:8, el apóstol Pablo declara que tanto Judíos como Griegos están bajo pecado, que, “no hay ningún justo, ni uno siquiera” (Ro. 3:9-10), y que “todos han pecado y caído de la Gloria de Dios” (Ro. 3:23.

Además de esto están las declaraciones de los siguientes versículos de la Escritura:

Efesios 2:8-9 Por gracia han sido hechos salvos a través de la fe; y esto no de ustedes, es el regalo de Dios; 9 no como resultado de las obras, para que nadie se jacte.

Tito 3:5-7 Él nos salvó, no sobre la base de obras que hayamos hecho justamente, sino de acuerdo a Su misericordia, por el lavamiento de la regeneración y por la renovación en el Espíritu Santo, 6 el cual Él derramó ricamente sobre nosotros a través de Jesucristo nuestro Salvador, 7 para que habiendo sido justificados por Su gracia podamos ser hechos herederos de acuerdo a la esperanza de la vida eterna.

Romanos 4:1-5 ¿Qué podríamos decir que Abraham, nuestro progenitor según la carne, ha encontrado? 2 Porque si Abraham fue justificado por obras, tiene de que jactarse, pero no delante de Dios. 3 Por qué, ¿qué dice la Escritura? “Y Abraham creyó a Dios, y se le fue contado por justicia.” 4 Ahora a aquel que obra, su salario no se le cuenta como favor, sino como deuda. 5 Pero a aquel que no obra, sino que cree en El que justifica al impío, su fe le es contada como justicia,

Ninguna cantidad de bondad humana es tan Buena como Dios. Dos es infinito o justicia perfecta. A causa de esto, Habacuc 1:13 nos dice que El no puede tener comunión con nadie que no posea perfecta justicia. A fin de ser aceptado por Dios, debemos ser tan buenos como Dios es. Delante de Dios, todos estamos desnudos, indefensos, y sin esperanza en nosotros mismos. Ninguna cantidad de una buena vida nos lleva al cielo o nos da la vida eterna. ¿Cuál es entonces la solución?

La Solución de Dios para el Problema del Hombre

Dios no es solamente perfecta santidad (cuyo carácter santo nosotros nunca podremos alcanzar por nosotros mismos o por medio de nuestras obras de justicia) sino que Él es también perfecto amor y todo gracia y misericordia. Debido a Su amor y gracia, El no nos ha dejado sin esperanza y solución.

Romanos 5:8 Pero Dios demuestra Su amor hacia nosotros, en que aunque nosotros éramos pecadores, Cristo murió por nosotros.

Estas son las Buenas Nuevas de la Biblia—el mensaje del evangelio. Es el mensaje del regalo del propio Hijo de Dios quien se hizo hombre (el Dios-hombre), vivió sin pecado, murió en la cruz por nuestro pecado, y fue levantado de la tumba probando tanto que Él es el Hijo de Dios como asimismo el valor de Su muerte por nosotros como nuestro sustituto.

Romanos 1:4 quien fue declarado Hijo de Dios con poder por la resurrección de los muertos, de acuerdo al Espíritu de Santidad, Jesucristo nuestro Señor. ,

Romanos 4:25 El cual fue entregado por nuestras transgresiones, y levantado para nuestra justificación.

2 Corintios 5:21 Él hizo lo a Él, quien no conoció pecado el ser pecado a favor de nosotros, para que nosotros podamos llegar a ser justicia de Dios en Él.

1 Pedro 3:18 Porque Cristo también murió por los pecados de una sola vez, el justo por lo injusto, a fin de que Él nos lleve a Dios, habiendo sido colocado a muerte en la carne, pero vivificado en Espiritu.

La Pregunta mas Importante

¿Cómo entonces recibimos al Hijo de Dios para que podamos cruzar el abismo y tener la vida eterna que Dios nos ha prometido? ¿Cuál es el punto para nosotros ahora?

Juan 1:12 Pero a los que lo recibieron, a ellos les dio el derecho de ser hijos de Dios, {aún} a aquellos que creen en Su nombre.

Juan 3:16-18 Porque Dios amó tanto al mundo, que dio Su único Hijo engendrado, para que cualquiera que crea en El no perezca, sino que tenga vida eterna. Porque Dios no envió al Hijo al mundo a juzgar el mundo, sino para que el mundo sea salvo a través de Él. El que en él cree no es juzgado; el que no cree ya ha sido juzgado, porque no han creído en el nombre del único Hijo de Dios.

Debido a lo que Jesucristo logro por nosotros en la cruz, la Biblia dice “El que tiene el hijo tiene la vida.” Nosotros podemos recibir al Hijo, Jesucristo, como nuestro Salvador por nuestra fe personal, confiando en la persona de Cristo y en Su muerte por nuestros pecados.

Esto significa que todos nosotros debemos venir a Dios del mismo modo— como pecadores que reconocen su pecaminosidad, que repudian cualquier forma de obras humanas para la salvación, y confían totalmente en Cristo únicamente por fe de una manera total para nuestra salvación. Si le gustaría recibir y confiar en Cristo como su personal Salvador, puede expresar su fe en Cristo por medio de una simple oración como esta:

Querido Dios, sé que soy un pecador y que nada de lo que hago puede hacerme ganar el cielo o la vida eterna. Creo que Jesucristo murió por mí y se levantó de la tumba. Ahora mismo lo recibo como mi Salvador personal confiando solamente en El como mi único camino al cielo. Gracias por darme la vida eterna a través de la fe en tu Hijo. Amen.

Related Topics: Soteriology (Salvation)

Umugambi w’Imana werekeranye n’agakiza

1Yohana 5:11-12 Kandi uko guhamya ni uku, ni uko Imana yaduhaye ubugingo buhoraho, kandi ubwo bugingo bubonerwa mu Mwana wayo. Ufite uwo Mwana niwe ufite ubwo bugingo: Naho udafite Umwana w'Imana nta bugingo afite.

Mu gihe muri 1 Yohana 5:11-12 handikiwe abakristo kubera ibyiringiro by'agakiza gashingiye ku buhamya bw'Ijambo ry'Imana, iki gice kigaragaza ingingo y'ingenzi kubyerekeye agakiza.

Ibyo Imana itangariza umuntu: Kandi uko guhamya ni uku, ni uko Imana yaduhaye ubugingo buhoraho, kandi ubwo bugingo bubonerwa mu Mwana wayo (umurongo wa 11).

Ingingo y'ingenzi: “ Ufite uwo Mwana ni we ufite ubwo bugingo: naho udafite uwo Mwana w’Imana nta bugingo afite” (umurongo wa 12).

Iki gice cyigisha ko:

  • Imana yaduhaye ubugingo buhoraho, kandi ubwo bugingo bubonerwa mu Mwana wayo, Yesu Kristo.
  • Uburyo bwo kugira ubugingo buhoraho ni ukugira Umwana w'Imana.

Ibibazo bibiri by'ingenzi tugomba kwibaza no gusubiza ni ibi bikurikira:

  • Kuki kugira Umwana w'Imana ari ngombwa ngo umuntu agire ubugingo buhoraho?
  • Ni gute umuntu yatunga cyangwa yagira Umwana w'Imana?

Ingorane zo gutandukanywa k'umuntu n'Imana

Nkuko biri mu Baroma 5:8, Imana yerekanye urukundo rwayo idukunda ubwo Kristo yadupfiraga. Kuki Kristo yagombye gupfa ku bwacu? Kubera Ibyanditswe Byera bivuga ko abantu bose ari abanyabyaha. Twese twakoze ibyaha. Gukora icyaha bisobanura guhusha intego. Bibiliya ivuga ko twese twakoze ibyaha ntitwashyikira ubwiza (ubutungane buzira inenge) bw'Imana. Mu yandi magambo, ibyaha byacu bidutandukanya n'Imana itunganye kandi izira inenge (gukiranuka n'ukuri) maze Imana ikagomba gucira urubanza umunyabyaha.

Abaroma 5:8 Ariko Imana yerekanye urukundo rwayo idukunda, ubwo Kristo yadupfiraga tukiri abanyabyaha.

Abaroma 3:23 Kuko bose bakoze ibyaha, ntibashyikira ubwiza bw'Imana;

Habakuki 1:13a Ufite amaso atunganye, adakunda kureba ikibi, haba no kwitegereza ubugoryi, kuki ureba abakora uburiganya, ukihorera, igihe umunyabibi amira umuntu umurusha gukiranuka;

Yesaya 59:2 Ahubwo gukiranirwa kwanyu ni ko kwabatandukanije n'Imana yanyu, n'ibyaha byanyu ni byo biyitera kubima amaso, ikanga no kumva.

Ingorane zo kutagira umumaro kw’imirimo y’umuntu

Ibyanditswe Byera na none byigisha ko atari ubwinshi bw'ubugwaneza bw'umuntu, imirimo ye, kwitwara neza kwe, n'imihango y'idini bishobora kuzanira umuntu kwemerwa n'Imana cyangwa kugira uwo bigeza mu Ijuru. Umuntu mwiza, umunyadini, n'umuntu mubi utagira idini, bose bari mu bwato bumwe. Bose ntibashyikira ubwiza bw'Imana (ubutungane buzira inenge bw'Imana). Nyuma yo kuvuga ku muntu mubi, umuntu mwiza, n'umunyadini mu Baroma 1:18-3:8, intumwa Pawulo avuga yeruye ko ari Abayuda ari Abagiriki bose bari mu bubata bw'icyaha, ko Ntawe ukiranuka n'umwe (Abaroma 3:9-10), kandi ko Bose bakoze ibyaha ntibashyikira ubwiza bw'Imana (Abaroma 3:23).

Abaroma 3: 9-10 Nuko tuvuge iki, mbese turabaruta? Oya da, haba na gato! Kuko tumaze guhamya Abayuda n'Abagiriki yuko bose batwarwa n'ibyaha:nkuko byanditswe ngo: Ntawe ukiranuka n'umwe,

Abaroma 3:23 Kuko bose bakoze ibyaha, ntibashyikira ubwiza bw'Imana;

Ibyiyongeye kuri ibi ni ibivugwa mu mirongo ikurikira yo mu Byanditswe Byera:

Abefeso 2:8-9 Mwakijijwe n'ubuntu kubwo kwizera: ntibyavuye kuri mwe, ahubwo ni impano y'Imana; ntibyavuye no ku mirimo, kugira ngo hatagira umuntu wirarira;

Tito 3:5-7 Iradukiza, itabitewe n'imirimo yo gukiranuka twakoze, ahubwo kubw’imbabazi zayo, idukirisha kuhagirwa, niko kubyarwa ubwa kabiri, ikadukirisha no guhindurwa bashya n'Umwuka Wera; uwo yahaye Yesu Kristo Umukiza wacu kuducunshumuriraho cyane, kugira ngo dutsindishirizwe n'ubuntu bwayo, duhereko tube abaragwa, dufite ibyiringiro byo kuzahabwa ubugingo buhoraho.

Abaroma 4:1-5 Niba ari ko biri, twavuga iki kuri Aburahamu sogokuruza ku mubiri? Iyaba Aburahamu yaratsindishirijwe n'imirimo, aba afite icyo yiratana, ariko si imbere y'Imana. Mbese Ibyanditswe bimuvuga iki? Ntibivuga ngo: Aburahamu yizeye Imana, bikamuhwanirizwa no gukiranuka? Nyamara ukora, ibihembo bye ntibimuhwanira no guherwa ubuntu, ahubwo abyita ubwishyu. Ariko rero udakora, ahubwo akizera Utsindishiriza abanyabyaha, kwizera kwe kumuhwanirizwa no gukiranuka;”

Nta bwinshi bw'ubugwaneza bw'umuntu bwaba bwiza nk'Imana. Imana ntirondoreka kandi itunganye bizira inenge. Kubw'ibyo, muri Habakuki 1:13 hatubwira ko Imana idashobora kugirana ubumwe n'uwo ariwe wese udatunganye kandi ngo azire inenge. Kugira ngo twemerwe n'Imana, tugomba kuba abera nkuko nayo ari Iyera. Imbere y'Imana, twese twambaye ubusa: nta kivurira, nta byiringiro muri twe. Si ubwinshi bwo kwitwara neza buzatugeza mu Ijuru cyangwa ngo buduhe ubugingo buhoraho. None se umuti waba uwuhe?

Igisubizo cy’Imana ku ngorane z’umuntu

Imana si Iyera ngo Izire inenge gusa (uko iteye ntitwashobora kubyigezaho ku bwacu cyangwa se ku bw'imirimo yacu itunganye), na none ariko ni urukundo ruzira inenge kandi yuzuye ubuntu n'imbabazi. Ku bw'urukundo n'ubuntu byayo, ntiyadutaye nk'abadafite ibyiringiro n'ibisubizo by'ibibazo byacu.

Abaroma 5:8 Ariko Imana yerekanye urukundo rwayo idukunda, ubwo Kristo yadupfiraga tukiri abanyabyaha.

Iyi ni Inkuru nziza yo muri Bibiliya, Inkuru y'Ubutumwa Bwiza. Ni inkuru y'impano y'Umwana w'Imana wigize umuntu (Imana-Muntu), abaho mu bugingo butagira icyaha, apfira ku musaraba ku bw'ibyaha byacu, nuko arazurwa ava mu mva byerekana ko ari Umwana w'Imana. Urupfu rwe rwatubereye inshungu.

Abaroma 1:4 Kandi werekanywe n'ubushobozi ko ari Umwana w'Imana mu buryo bw'Umwuka Wera, bigahamywa no kuzuka kwe, niwe Yesu Kristo Umwami wacu.

Abaroma 4:25 Watangiwe ibicumuro byacu, akazurirwa kugira ngo dutsindishirizwe.

2 Abakorinto 5:21 Kuko Utigeze kumenya icyaha , Imana yamuhinduye kuba icyaha ku bwacu, kugira ngo muri we duhinduke gukiranuka kw'Imana.

1 Petero 3:18 Kuko na Kristo yababarijwe ibyaha by'abantu rimwe, umukiranutsi ababarizwa abakiranirwa, kugira ngo atuyobore ku Mana, amaze kwicwa mu buryo bw'umubiri, ariko ahinduwe muzima mu buryo bw'Umwuka.

Ikibazo cy’ingenzi muri byose

None se twemera dute Umwana w'Imana kugira ngo tubashe kwambuka umuhora amaze tugere ku bugingo buhoraho Imana yadusezeranije? Icy'ingenzi kuri twe ni ikihe?

Yohana 1:12 Icyakora abamwemeye bose, bakizera Izina rye, yabahaye ubushobozi bwo kuba abana b'Imana.

Yohana 3:16-18 Kuko Imana yakunze abari mu isi cyane, byatumye itanga Umwana wayo w'ikinege, kugira ngo umwizera wese atarimbuka, ahubwo ahabwe ubugingo buhoraho. 17 Kuko Imana itatumye Umwana wayo mu isi gucira abari mu isi ho iteka: ahubwo yabikoreye kugira ngo abari mu isi bose bakizwe na we. 18 Umwizera ntacirwaho iteka; utamwizera amaze kuricirwaho, kuko atizeye izina ry’Umwana w’Imana w’ikinege.

Kubera ibyo Yesu Kristo yadukoreye ku musaraba, Bibiliya ivuga ngo Ufite uwo Mwana niwe ufite ubugingo. Dushobora kwemera uwo Mwana, Yesu Kristo, nk'Umukiza wacu ku bwo kumwizera we ubwe n'urupfu rwe ku bw'ibyaha byacu.

Ibi bivuga ko tugomba kuza buri wese ku Mana mu nzira imwe nk'umunyabyaha wemera ibyaha bye, akanga uburyo ubwo ari bwo bwose buvuga ko imirimo y'umuntu igeza ku gakiza, maze tukiringira Kristo wenyine mu kwizera konyine ari ko guhesha agakiza.

Niba ushaka kwemera no kwiringira Kristo nk'Umukiza wawe, ushobora kugaragaza ukwizera kwawe ubivuga mu isengesho nk’iri:

Mana yanjye, menye ko ndi umunyabyaha kandi ko ntacyo nakora ngo ndonke ijuru cyangwa ubugingo buhoraho. Ndizera ko Yesu Kristo yamfiriye kandi ko yazutse akava mu mva. Guhera ubu mwemeye nk'Umukiza wanjye, mwiringiye wenyine nk'inzira yonyine ingeza mu ijuru. Ngushimiye kumpa ubugingo buhoraho ku bwo kwizera Umwana wawe. Mu Izina rya Yesu Kristo. Amina.

Mengapa Orang Kristen Menderita

Related Media

Translated by Berens

Pendahuluan

Mengapa mesti saya? Mengapa mesti sekarang? Apa yang sedang Allah perbuat? Penderitaan adalah alat yang Allah pergunakan untuk membuat kita lebih peka dan untuk mencapai tujuanNya dalam kehidupan kita. Penderitaan dirancang untuk membangun kepercayaan kita kepada Yang Mahakuasa, akan tetapi penderitaan menuntut respons yang tepat agar dapat berhasil dalam menyelesaikan maksud-maksud Tuhan. Penderitaan menekan kita untuk meninggalkan kekuatan diri sendiri kepada hidup oleh iman dalam kekuatan yang berasal dari Allah.

Penderitaan itu sendiri bukan satu kebaikan, juga bukan tanda kehidupan yang suci. Penderitaan bukan satu cara memperoleh sesuatu dari Tuhan, atau sebagai cara mengalahkan kedagingan (seperti dalam askese atau penyiksaan diri). Sedapat mungkin penderitaan harus dihindari. Kristus juga menghidari penderitaan kecuali kalau itu merupakan tuntutan kepatuhan kepada kehendak Bapa.

“Pada hari mujur bergembiralah, tetapi pada hari malang ingatlah, bahwa hari malang ini pun dijadikan Allah seperti juga hari mujur, supaya manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depan-nya” (Pengkhotbah 7:14)

Pertanyaan-pertanyaan berikut dirancang untuk membantu kita “mengingat” pada saat kesusahan:

(1) Bagaimana cara saya menanggapinya?

(2) Bagaimana seharusnya saya menanggapinya?

(3) Apakah saya mempelajari sesuatu darinya?

(4) Apakah tanggapan saya mencerminkan iman, kasih kepada Allah dan kepada sesama, sifat seperti Kristus, kebenaran, komitmen, keutamaan, dsb.?

(5) Bagaimana Alllah bisa menggunakannya dalam hidup saya?

Arti Penderitaan

Apa sebenarnya arti jalan yang berliku yang diberikan Allah dalam hidup ini yang perlu kita pelajari? Pada dasarnya, penderitaan adalah segala sesuatu yang menyakitkan dan mengganggu. Dalam rancangan Allah, penderitaan adalah sesuatu yang menuntut kita supaya berpikir. Penderitaan adalah alat yang dipakai Allah untuk membuat kita menjadi peka dan yang dipakai Allah untuk mencapai maksudNya dalam hidup kita yang tidak bisa terjadi selain lewat pencobaan dan lewat keadaan yang tidak menyenangkan.

Ilustrasi mengenai Penderitaan

“Penderitaan bisa dalam bentuk kanker atau sakit tenggorokan. Penderitaan bisa berbentuk sakit penyakit atau kehilangan seseorang yang Anda kasihi. Penderitaan bisa berbentuk kegagalan hidup atau kekecewaan dalam pekerjaan atau dalam studi. Penderitaan bisa berbentuk gosip yang beredar ditempat Anda bekerja atau digereja Anda yang merusak reputasi Anda yang membawa kesedihan dan kecemasan.”1 Penderitaan bisa berbentuk sesuatu gangguan yang paling kecil seperti digigit nyamuk hingga seperti berada di kandang singa seperti Daniel (Dan. 6).

Penyebab Penderitaan

(1) Kita menderita karena kita hidup di dunia yang terkutuk dimana dosa memerintah hati manusia.

(2) Kita menderita karena kebodohan kita sendiri. Kita menuai apa yang kita tabur (Galatia 6:7-9).

(3) Kita menderita kadang-kadang karena Allah mendisiplin kita. “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, dan Ia menyesah orang yang diakuiNya sebagai anak” (Ibrani 12:6).

(4) Kita bisa menderita penganiayaan karena iman yang kita miliki—khususnya bila kita menderita karena membela kebenaran alkitabiah, yakni menderita akibat kebenaran (2 Timotius 3:12).

Tentu saja semua penyebab ini tidak terjadi secara sekaligus pada saat yang sama. Misalnya, tidak semua penderitaan terjadi karena kebodohan kita, karena diri kita, atau karena dosa. Akan tetapi, memang jarang penderitaan tidak membuat kita menjadi peka terhadap kebutuhan kita, terhadap kelemahan kita, dan terhadap sikap kita yang salah yang perlu disingkirkan seperti bagian yang tidak bernilai dalam memurnikan emas (1 Petrus 1:6-7).

Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dalam api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya (1 Petrus 1:6-7).

Hakekat Penderitaan

(1) Penderitaan itu menyakitkan. Penderitaan itu keras; tidak pernah enteng. Apapun yang kita ketahui dan sekeras apapun kita menerapkan prinsip-prinsip yang kita percayai, penderitaan tetap menyakitkan (1 Pet. 1:6—“berdukacita” = lupeo, “mengakibatkan kesakitan, penderitaan, kesedihan”).

(2) Menderitaan itu membingungkan. Penderitaan bagaikan misteri. Kita bisa saja mengetahui alasan-alasan teologis mengapa ada penderitaan, akan tetapi, kalau itu terjadi, selalu ada satu misteri didalamnya. Mengapa mesti menderita sekarang? Apa yang sedang Allah lakukan? Penderitaan dirancang untuk membangun iman kita kepada Yang Mahakuasa.

(3) Penderitaan itu bermakana. Meskipun memiliki misteri, penderitaan itu memiliki makna. Tujuan utamanya adalah supaya terbentuk sifat-sifat seperti Kristus dalam diri seseorang (Roma 8:28-29).

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencanaNya. Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Roma 8:28-29)

(4) Penderitaan itu membuktikan (menguji) siapa kita. Suffering Proves (tests) Us. “Pencobaan” dalam Yakobus 1:2 dalam bahasa Yunaninya adalah peirasmos yang artinya meneliti, menguji, dan membuktikan sifat atau integritas sesuatu. “Ujian” pada ayat berikutnya adalah dokimion yang artinya sama. Istilah ini menggambarkan satu ujian yang dirancang untuk membuktikan atau untuk menyetujui. Penderitaan adalah sesuatu yang membuktikan sifat dan integritas seseorang serta objek dan kualitas iman seseorang. Bandingkan 1 Petrus 1:6-7 dimana istilah yang sama dipakai berkaitan dengan kata kerja dokimazo yang berarti, “diuji,” “membuktikan dengan menguji seperti menguji emas.”

(5) Penderitaan adalah satu proses. Karena proses, maka memerlukan waktu. Hasil yang diharapkan Tuhan lewat pencobaan hidup memerlukan waktu dan juga kesabaran.

Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan (Roma 5:3-4).

Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun (Yakobus 1:3-4).

(6) Penderitaan adalah satu pemurnian. Apapun alasannya, bahkan sekalipun jika bukan merupakan disiplin Allah atas keduniawian kita, penderitaan adalah satu pemurnian karena tidak satupun manusia yang bisa sempurna dalam hidup ini.

Bukan seolah-olah akau telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku juga dapat menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus (Filipi 3:12-14).

(7) Penderitaan menyediakan kesempatan. Penderitaan meneyediakan kesempatan untuk kemuliaan Allah, transformasi diri kita, kesaksian, dan pelayanan, dsb. (Lihat juga maksud penderitaan dibawah ini.)

(8) Penderitaan menuntut kerjasama kita. Penderitaan menuntut tanggapan yang benar kalau kita ingin berhasil dalam mencapai maksud-maksud Allah. ‘Semua orang menginginkan hasil, kepribadian, tetapi kita tidak menginginkan prosesnya, yaitu penderitaan.”2 Penderitaan adalah keharusan untuk hasil yang baik.

(9) Penderitaan adalah sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya atau diatur.

Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan (1 Petrus 1:6).

Saudara-saudara yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang akan datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu (1 Petrus 4:12).

(10) Penderitaan itu tidak bisa dihindari. Pertanyaan yang masing-masing kita harus hadapi bukanlah “Seandainya saya harus mengalami pencobaan dalam hidup ini,” tetapi pertanyaanya adalah “bagaimana seharusnya kita menanggapinya?”

Supaya jangan ada yang orang yang goyang imannya karena kesusahan-kesusahan ini. Kamu sendiri tahu, bahwa kita ditentukan untuk itu (1 Tesalonika 3:3).

Karena itu baiklah juga mereka yang harus menderita karena kehendak Allah, menyerahkan jiwanya, dengan selalu berbuat baik, kepada Pencipta yang setia (1 Petrus 4:19).

(11) Penderitaan adalah satu pergumulan. Pergumulan ini akan menyeluruh. Itulah sebabnya mengapa disebut “ujian” dan “pencobaan.” Bahkan meski kita telah mengetahui tujuan penderitaan dan prinsip-prinsipnya, dan bahwa kita mengetahui kasih dan keprihatinan Allah yang diberikan dalam Firman Tuhan tentang bagaimana menghadapi penderitaan, menghadapi pencobaan hidup tidak pernah enteng karena penderitaan itu menyakitkan. Ujian hanya memberi kemampuan kepada kita untuk bekerjasama dengan prosesnya (Yakobus 1:4). Penderitaan memungkinkan prosesnya terjadi dalam hidup kita dan memungkinkan kita untuk mengalami kedamaian dan sukacita batin ditengah-tengah pencobaan.

Untuk menghadapi penderitaan dalam kedamaian dan sukacita batin, kita dituntut mampu melihat ke depan dalam mengetahui apa maksud dan tujuan penderitaan yang kita alami. Ini memerlukan iman kepada Tuhan.

Bandingkan berkat-berkat dalam kesusahan seperti yang disaksikan pemazmur dalam Mazmur119:

Sebelum kesusahan

Menyimpang dan tidak perduli (ayat 67a)

Selama kesusahan

Belajar dan bertobat (ayat 71, bandingkan juga ayat 59)

Selama kesusahan kita perlu:

(1) Mengetahui penyebabnya sebisa mungkin (Apakah karena sesuatu yang saya perbuat?)

(2) Mengetahui maksudnya (Apa yang ingin Allah inginkan bagi hidup saya dan orang lain?)

(3) Menentukan penyelesaiannya (Cara yang diinginkan Allah dalam menghadapinya?)

Setelah kesusahan

(1) Menyadari dan berubah (ayat 67b, 97-102)

(2) Kelegaan dan penilaian (ayat 65, 72)

Kita harus mengetahui maksud Allah yang utama dalam hidup kita untuk bisa menjadi sesuai dengan rupa Kristus dan Ia telah menetapkan untuk menggunakan penderitaan untuk pengembangan rohani kita sesuai rencanaNya. Kalau kita mau tabah dalam penderitaan dan pencobaan dalam hidup ini, kita juga harus memahami dan menyakini maksud dan tujuan penderitaan.

Maksud dan Tujuan Penderitaan

(1) Kita menderita sebagai satu kesaksian (2 Timotius 2:8-10; 2 Korintus 4:12-13; 1 Petrus 3:13-17). Kalau orang percaya menghadapi penderitaan dengan sukacita dan dengan stabil, ini akan menjadi kesaksian berharga mengenai kuasa dan hidup Kristus yang kita yakini. Penderitaan memberi kesempatan untuk memanifestasi dan kemuliaan kuasa Allah lewat hamba-hambanya untuk meneguhkan si pembawa pesan dan pesan itu sendiri. Penderitaan memberi kesempataan untuk menyatakan bisa-dipercayanya kita sebagai utusan Kristus (1 Raja-raja 17:17-24; Yohanes 11:1-45). Ini mencakup beberapa hal:

a. Untuk memuliakan Tuhan dihadapan para mahkluk surgawi (Ayub 1-2; 1 Petrus 4:16).

b. Untuk menyatakan kuasa Allah kepada orang lain (2 Korintus 12:9, 10; Yohanes 9:3).

c. Untuk menyatakan sifat Kristus ditengah penderitaan sebagai satu kesaksian untuk memenangkan jiwa (2 Korintus 4:8-12; 1 Petrus 3:14-17).

(2) Kita menderita untuk mengembangkan kemampuan dan simpati dalam menghibur orang lain (2 Korintus 1:3-5).

(3) Kita menderita untuk menghindari kesombongan (2 Korintus 12:7). Rasul Paulus mengetahui dari dalam dagingnya sebagai alat yang diijinkan Tuhan untuk menjaganya tetap rendah hati dan bergantung pada Tuhan karena penyataan yang ia peroleh dari surga tingkat ke-tiga.

(4) Kita menderita karena itu adalah sarana latihan. Allah dengan kasih dan setia menggunakan penderitaan untuk mengembangkan kebaikan, kedewasaan seseorang dan dalam perjalanan hidup denganNya (Ibrani 12:5f; 1 Petrus 1:6; Yakobus 1:2-4). Jadi dalam hal ini, penderitaan memang telah direncanakan:

a. Sebagai disiplin atas keberdosaan untuk untuk membawa kita kembali kedalam persekutuan lewat pengakuan yang tulus (Mazmur 32:3-5; 119:67).

b. Sebagai alat pembentukan untuk menyingkirkan yang tidak berguna dalam hidup kita (kelemahan, dosa kebodohan, sikap dan penilaian yang belum dewasa, dsb.) Tujuan yang diharapkan adalah menghasilkan buah yang lebat (Yohanes 15:1-7). Pencobaan bisa menjadi cermin teguran untuk dosa dan kelemahan kita yang terselubung (Mazmur 16:7; 119:67, 71).

c. Sebagai alat pertumbuhan yang direncanakan supaya kita bergantung pada Tuhan dan FirmanNya. Pencobaan akan membuktikan iman kita dan membuat kita rindu menggunakan janji-janji dan prinsip-prinsip Friman Tuhan (Mazmur 119:71, 92; 1 Petrus 1:6; Yakobus 1:2-4; Mazmur 4:2 [dalam bahasa Ibraninya ayat ini bisa diartikan, “Engkau telah memperluas aku, membuat aku bertumbuh lebar dengan penderitaanku”]). Penderitaan atau cobaan mengajarkan kepada kita kebenaran dalam Mazmur 62:1-8, untuk “hanya mengharapkan Tuhan saja.”

d. Sebagai sarana belajar ketaatan. Penderitaan menjadi ujian kesetiaan kita (Ibrani 5:8). Ilustrasi: Jika seorang ayah berkata kepada anaknya untuk melakukan sesuatu yang disenangi anak itu (seperti makan semangkuk es krim) dan anak itu mematuhinya, memang anak itu mematuhi perintah, akan tetapi ia tidak belajar apa-apa tentang kepatuhan. Tetapi kalau ayahnya menyuruhnya untuk memotong rumput, maka ini menjadi satu ujian dan mengajarkan kepadanya tentang arti kepatuhan. Intinya, kepatuhan itu sering menuntut sesuatu dan tidak enteng. Kepatuhan bisa menuntut pengorbanan, tekad, disiplin, dan iman bahwa Tuhan itu baik dan memiliki maksud yang terbaik bagi kita dalam segala hal. Apapun alasan Allah mengijinkan penderitaan dalam hidup ini, jarang sekali penderitaan tidak membuat kita peka terhadap kebutuhan, kelemahan, sikap yang salah, dsb. yang kita miliki sama seperti yang dialami Ayub.

Penderitaan itu sendiri tidak menghasilkan iman dan kedewasaan. Penderitaan hanya sarana yang Allah gunakan untuk membawa kita kepadaNya supaya kita bisa peka terhadap Dia dan FirmanNya. Penderitaan menuntut kita meninggalkan kepercayaan pada diri sendiri menuju kehidupan iman dalam kekeuatan Tuhan. Penderitaan menyebabkan kita menempatkan prioritas. Sesungguhnya, Firman Tuhan dan Roh Allah saja yang menghasilkan iman dan kedewasaan dalam seseorang menjadi seperti Kristus (Maz. 119:67, 71).

Yakobus 1:2-4; 1 Petrus 1:6-7: Kata kuncinya adalah “membuktikan kemurnian imanmu.” “Bukti” dalam bahasa Yunaninya dokimion yang meliputi konsep ujian yang memurnikan, yaitu bukti yang dihasilkan setelah ujian. Tuhan menggunakan cobaan untuk menguji iman kita dalam arti memurnikan, membawanya ke permukaan, supaya kita menerapkan iman kita.

(5) Kita menderita untuk menghasilkan ketergantungan terus-menerus pada kasih karunia dan kuasa Tuhan. Penderitaan dirancang supaya kita bisa berjalan dengan kekuatan Tuhan, dan bukan dengan kekuatan dan kemampuan diri kita sendiri (2 Korintus 11:24-32; 12:7-10; Efesus 6:10f; Keluaran 17:8f). Penderitaan membuat kita berpaling dari apa yang kita punya kepada apa yang Allah punya.

(6) Kita menderita untuk menyatakan hidup dan sifat Kristus (Buah Roh) (2 Korintus. 4:8-11; Filipi 1:19f). Ini memiliki kesamaan dengan nomor (4) diatas tetapi lebih ditekankan pada proses dan tujuan, yaitu menghasilkan sifat Kristus. Ini memiliki aspek yang negatif sekaligus yang positif:

a. Negatif: Penderitaan menolong untuk menyingkirkan ketidakmurnian dalam hidup kita seperti ketidakperdulian, mengandalkan kekuatan diri sendiri, penilaian dan prioritas yang salah, pembenaran manusiawi dan mekanisme penolakan sebagai cara-cara kita menghadapi persoalan (penyelesaian buatan manusia). Penderitaan itu sendiri tidak bisa memurnikan, melainkan merupakan sarana yang dipakai Allah supaya kita mempraktekan iman dalam perlengkapan kasih karunia Allah. Yaitu kasih karunia Allah dalam Kristus (yang adalah identitas kita yang baru dalam Kristus, dalam Rirman dan dalam Roh Kudus) yang mengubah hidup kita. Aspek negatif ini diperoleh dengan dua cara: (1) Kalau keluar dari persekutuan dengan Allah: Penderitaan menjadi satu disiplin dari bapa surgawi kita (Ibrani 5:5-11; 1 Korintus 11:28-32; 5:1-5). Disiplin ini diberikan untuk dosa yang disadari, yaitu pemberontakan dan ketidakperdulian terhadap ALlah. (2) Kalau berada dalam persekutuan dengan Allah: Penderitaan menjadi karya yang didasari oleh keahlian dan kasih dari Pemilik kebun Anggur supaya kita menjadi lebih menghasilkan. Disiplin ini juga diberikan untuk dosa yang tidak disadari, yang adalah hal-hal yang tidak kita sadari, namun yang menghalangi pertumbuhan dan buah rohani dalam hidup kita. Dalam hal ini, penderitaan sering berupa teguran (Yohanes 15:1-7).

b. Positif: kalau orang Kristen hidup dengan sukacita dalam penderitaan (yaitu kalau mereka tabah dan tetap menerapkan janji-janji dan prinsip-prinsip iman), kehidupan atau sifat Kristus akan menjadi semakin dinyatakan saat mereka bertumbuh dalam penderitaan (2 Korintus 4:9-10; 3:18). Ini berarti percaya, damai, sukacita, stabilitas, penilaian alkitabiah, kesetiaan, dan kepatuhan yang bertentangan dengan kecenderungan untuk menyalahkan orang lain atau sesuatu, melarikan diri, mengeluh, dan kecenderungan menentang Allah dan orang lain.

(7) Kita menderita untuk menyatakan sifat jahat manusia dan untuk menyatakan kebenaran keadilan Allah dalam penghakiman (1 Tesalonika 2:14-16). Penderitaan yang dilakukan orang lain (seperti penganiayaan, dan perlakukuan kejam) dipakai Allah untuk “menambah dosa mereka sampai genap jumlahnya.” Ini akan menyatakan kejahatan dari mereka yang melakukan penganiayaan dan keadilan penghakiman Allah atasnya.

(8) Kita menderita untuk memperluas pelayanan kita (bandingkan Filipi 1:12-14 dengan 4:5-9). Dalam proses untuk menghasilkan sifat Kristus dan peneguhan kesaksian kita kepada orang lain, penderitaan kadang-kadang membuka jalan untuk pelayanan yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya. Ketika Paulus dipenjarakan (dimana setiap hari ia dirantai bersama seorang tentara Romawi di rumahnya sendiri) injil tersebar diatara para tentara penjaga. Jadi Paulus memiliki alasan untuk terus bersukacita dalam Tuhan, tetapi seandainya ia mengeluh, cemas, tawar hati, maka tidak akan ada kesaksian.


1 Ron Lee Davis, Gold in the Making, Thomas Nelson, Nashville, 1983p. 17-18.

2 Davis, p. 19. Lihat juga halaman. 32.

Related Topics: Suffering, Trials, Persecution

Sedikit Tulisan Bagi Pembaca

Saya bersama keluarga datang ke Dallas dalam bulan Juni tahun 1967 untuk mengunjungi Dallas Seminary. Kami dipimpin oleh Tuhan pergi ke persekutuan di Believers Chapel. Gereja ini memiliki dampak bagi hidup dan pelayanan saya. Selama di seminari saya mengajar disitu dalam berbagai kegiatan, dan setelah lulus saya terlibat sepenuh waktu dalam pelayanan gereja ini, bersama dengan yang lain. Atas dorongan tetua gereja ini saya dan pria lain dari gereja ini keluar untuk menanam suatu gereja. Sebelum kami meninggalkan gereja ini, para tetua mendorong saya untuk mengajar suatu seri tentang Gereja Perjanjian Baru yang menggaris bawahi beberapa perbedaan apa yang kita sebut sebagai “pekerjaan baru” Tulisan ini memuat seri yang saya ajarkan di tahun 1976 saat masih di Believers Chapel, dan tetap menggambarkan (dengan perubahan kecil selama bertahun-tahun) prinsip yang membimbing Komunitas Bible Chapel (“the new work”) 22 tahun kemudian.

An Examination Of Open Theism

Related Media

Introduction

Throughout history, man has struggled to understand God and has presented in the marketplace of religions and ideas distinct characteristics or worldviews of God from traditional theism to atheism.1 Within the past twenty-five years a number of philosophers and theologians, from a classical theistic tradition, have presented a new model of understanding God which has increasingly found its way into mainstream evangelical churches and publications. The most popular and least pejorative name for this new view is “open theism” or “free-will theism.”2

Open theism is concerned with how God experiences the world. It asks and attempts to answer the questions, “What does God know?” and “When does He know it?” The essence of the questions open theists ask are not dealing with how God knows the future, but if he knows it at all.3 An early proponent of open theism said, “God experienced the events of the world He has created. . .as they happen, rather than all at once in some timeless, eternal perception. This also means that not even God knows the future in all its details.”4 Open theists maintain that God does not know what a given human being will do until he acts. They refer to such human actions as “possibilities.”5 Because God remains unaware of human possibilities, the future remains “open” in His mind. This means that rather than God knowing all things, He is in the process of learning new things as they take place.6 This is a significant redefinition of the classical doctrine of God’s omniscience.7 The open theist’s view of omniscience is that God has complete knowledge of the past and the present, but not the future8 What God does know of the future is in reference to what he knows of “present dispositions, proclivities, inclinations, intentions and probabilities as well as they can be known.”9

Along with the doctrine of omniscience, open theism questions and redefines a number of historical and theological formulations of the attributes of God.

Independence. Grudem defines God’s independence as, “God does not need us or the rest of creation for anything, yet we and the rest of creation can glorify him and bring him joy.”10 Open theism teaches that God is dependent on the world in certain respects.11

Immutability. Classical theology defines God’s immutability as, “God is unchanging in his being, perfections, purposes, and promises, yet God does act and feel emotions, and he acts and feels differently in response to different situations.12 Open theism teaches God is, “…open to new experiences, has a capacity for novelty and is open to reality, which itself is open to change.”13 Trying to have it both ways open theism says, “God is immutable in essence and in his trustworthiness over time, but in other respects God changes.”14

Eternality. Classical theism states, “God has no beginning, end, or succession of moments in his own being, and he sees all time equally vividly, yet God sees events in time and acts in time.”15 Open theism teaches that, “God is a temporal agent. He is above time in the sense that he is above finite experience and measurement of time but he is not beyond “before and after” or beyond sequence of events. Scripture presents God as temporally everlasting, not timelessly eternal….Clearly God is temporally related to creatures and projects himself and his actions along a temporal path.”16

Omnipresence. Classical theology teaches that just as God is unlimited or infinite with respect to time, so God is unlimited with respect to space. God’s omnipresence may be defined as, “God does not have size or spatial dimensions and is present at every point of space with his whole being, yet God acts differently in different places.”17 A leading proponent of open theism says, “I do not feel obliged to assume that God is a purely spiritual being when his self-revelation does not suggest it….The only persons we encounter are embodied persons and, if God is not embodied, it may prove difficult to understand how God is a person….Embodiment may be the way in which the transcendent God is able to be immanent and why God is presented in such terms.”18

Unity. The unity of God in classical theology is defined as, “God is not divided into parts, yet we see different attributes of God emphasized at different time.”19 This is also called in theology the “simplicity” of God, meaning that God in not composed of parts and cautioning against singling out any one attribute of God as more important than all the others. This will be examined when the hermeneutics of open theism is discussed. Open theism reveals that, “The doctrine of divine simplicity, so crucial to the classical understanding of God, has been abandoned by a strong majority of Christian philosophers, through it still has a small band of defenders.”20 Clark Pinnock, having abandoned this doctrine says, “Let us not treat the attributes of God independently of the Bible but view the biblical metaphors as reality-depicting descriptions of the living God, whose very being is self-giving love.”21

Omnipotence. Classical theism defines God’s omnipotence in reference to His own power to do what he decides to do. It states, “God’s omnipotence means that God is able to do all his holy will.”22 On the other hand open theism states that “we must not define omnipotence as the power to determine everything but rather as the power that enables God to deal with any situation that arises.”23 Pinnock openly states that, “God cannot just do anything he wants, when he wants to….His power can, at least temporarily, be blocked and his will not be done in the short term.”24

History

While it is viewed that open theism is a debate about divine foreknowledge, it is evident that open theism is a grand reworking of historic and orthodox theology. Only a handful of God’s attributes have been addressed thus far, but an historical and theological investigation of open theism shows that it is clearly a comprehensive and aberrant paradigm of God. It is acknowledged that classical theism has been more prevalent throughout church history. Gregory Boyd himself admits that the classical view “has always been the majority view of the church.”25 While church history is not the final arbitrator of theological truth, it is significant that even among theologians who differ on a variety of other doctrinal issues they have been consistent in their belief in the exhaustive definite foreknowledge of God. Millard Erickson points out that while there has been considerable difference about how God knows the future, there has not been difference about whether he knows the future.26

One of the problems for the traditional view is that no council or ecumenical creed has ever condemned or ruled on this issue. For the open theists this allows them to come to their conclusions without having to feel that they are departing from historic and orthodox Christian doctrine.27 The reality is that while there have some teachers throughout church history that have held a view of less than exhaustive definite foreknowledge, they were so obscure or outright heretical in other areas that they posed no threat nor necessitated a ruling from an orthodox council.28

In an interesting admission Boyd acknowledges that, “Until the time of the Socinians, the belief that God’s omniscience included all future events was not generally questioned.”29 If there is any historical precedent from church history to open theism it is the 16th century heresy of Socinianism, developed by Fausto Socinus. Socinus denied the triunity of God, the deity of Christ, and a substitutionary atonement, among other essentials of the faith. This theological tradition was later manifest as Unitarianism. On God’s omniscience he reasoned, “Since, then, there is not reason, no passage of Scripture, from which it can be clearly gathered that God knew all things which happened before they happened, we must conclude that we are by no means to assent such a foreknowledge of God….”30 This sounds very similar to the openness view that God’s knowledge is significantly dependent upon the decisions that man makes. Gregory Boyd says, “God can’t foreknow the good or bad decisions of the people He creates until He created these people and they, in turn create their decisions.”31

Open theists also maintain that there is little support for their view in church history because the church has been influenced by Greek philosophy rather than the Scriptures for the past two thousand years. Boyd states, “…from Plato, Aristotle and the subsequent Hellenistic tradition, the church arrived at the notion that God was altogether unmoved, impassible, immutable, nontemporal and purely actual.”32 Open theists uniformly teach that the church fathers were so influenced by Greek philosophy when they formulated their theology, that the church’s historical and theological understanding of God reflects a more philosophical understanding than a biblical one.33 Carl Henry rightfully noted, “It is true that medieval theologians were aware of the teaching of certain Greek philosophers in discussing God’s immutability…. They noted Plato’s argument that change in a supremely perfect being constitutes corruption, deterioration and loss of perfection…. The fact is, however, that the Hebrew-Christian belief in God’s immutability arose independently of Greek philosophy; it stemmed from revelational sources rather than from speculative conjecture.”34 The early church Fathers often wrote against pagan philosophy and stressed biblical support for their writings. “They quoted the New Testament alone more than thirty-six thousand times, omitting from all reference only eleven verses.”35

While open theists accuse the historic church of developing its theology from a philosophical bias, it seems that openness theology is far more a philosophical position itself than a biblical one. Open theist Richard Rice says, “Impressive philosophical evidence supports the open view of God and reality.”36 Along with Boyd’s published works, a major portion of his Internet web site, Christus Victor Ministries, is dedicated to the philosophical support of open view theism.37 Even back in January of 1995, Christianity Today magazine printed a series of articles on open theism with the heading “Has God Been Held Hostage by Philosophy?” The predominant answer from most of the contributors was yes.38 InterVarsity Press, a popular publisher of open theism theology, recently published two books in the Calvinist/Arminian debate.39 While the Arminian position historically does not hold to open theism and necessarily does not hold to open theism, the authors defending Arminianism leaned strongly toward openness in their discussion of human freedom and the majority of the books defense was found in philosophical reasoning rather then in biblical support.40

Hermeneutics41

Rules of interpretation lie at the root of any theological conclusions based on the reading and study of the Bible. Nineteenth-century Methodist Episcopalian, Milton Spenser Terry, said of the goal of hermeneutics, “…we are always to make a discriminating use of sound hermeneutical principles. We must not study them in the light of modern systems of divinity, but should aim rather to place ourselves in the position of the sacred writers, and study to obtain the impression their words would naturally have made upon the minds of the first readers…. Still less should we allow ourselves to be influenced by any presumptions of what the Scriptures ought to teach.”42 The hermeneutics of the open theists bring to the Scriptures their presumptions of what Scripture ought to teach and then proceed to teach it. Therefore it is helpful to understand the methods employed by open theists in interpreting the Bible.

Narrative Priority. Most of the biblical case for open theism comes from narrative-type passages. Those are the passages that through story describe what God does. Primacy is given to narrative descriptions rather than didactic teaching. Pinnock clearly says, “In terms of biblical interpretation, I give particular weight to narrative and the language of personal relationships in it….The biblical narrative reveals the nature of God’s sovereignty.”43 This means that those passages that describe what God does are given greater interpretative weight than those passages that describe what God is like. I agree with Erickson who says, “I would propose that the general rule to be followed is that the teachings about what God is like should be the explanation of what he appears to be doing in a given situation.”44 Rather than using narrative passages to understand and develop a doctrine of God’s sovereignty, one should look to passages such as Romans 9 whose purpose is to teach that doctrine. This holds true as well with the doctrine of foreknowledge.45 A common example of this poor hermeneutic is the open theist’s use of 1 Samuel 15. Open theists emphasize the narrative portions of this chapter involving God regretting that He has made Saul king (1 Sam. 15:11, 35) while marginalizing the didactic portion that clearly teaches that God is not like a man that he should change His mind (1 Sam. 15:29).46

Interpretive Center. An interpretive center is the designating of one portion of Scripture as a basis for interpreting other sections of Scripture. A verse or concept is used as the lens through which all other passages are understood.47 The interpretive center used by open theists in defining their picture of God is 1 John 4:8 which says “God is love.” Richard Rice says, “From a Christian perspective, love is the first and last word in the biblical portrait of God…The statement God is love is as close as the Bible comes to giving us a definition of the divine reality.”48 After devoting several pages to explain the importance of this theme he states, “Consequently, when we enumerate God’s qualities, we must not only include love; to be faithful to the Bible we must put love at the head of the list.”49 He then goes on to say, “A doctrine of God that is faithful to the Bible must show that all of God’s characteristics derive from love.”50 Boyd, Sanders, and Pinnock also support the primacy of God’s love as the interpretive center for open theism.51 The reason for this is that open theists believe the concept of divine foreknowledge is inconsistent with the concept of divine love as expressed in human freedom. Rice says, “To attribute supreme love to God, therefore, we should think of Him as supremely responsive to the experiences of His creatures.”52 Not only does His love make God “responsive” to man, but open theists claim it also makes Him more “sensitive.”53 In this they are claiming that the classical theists view of God is rigid, stern, uninvolved, and insensitive.

Classical theism differs in both methodology and conclusions. If 1 John 4:8 is the locus classicus of biblical interpretation, then many passages dealing with God’s attributes are deprived of their significance. When constructing any doctrine it is important that every passage of Scripture have equal weight. While the Bible says much about the love of God, it also says that God is holy (Lev. 19:2; 1 Pet. 1:16), to be feared (Prov. 1:7), is a jealous God (Ex. 20:5), and is a God of wrath who avenges (Deut. 32:35; Rom. 12:20). All of God’s attributes deserve equal place alongside love in describing who God is.

Discourse analysis. The case for openness rests on a running survey of biblical passages. Thomas states, “This technique seeks a larger picture in a passage before investigating the details. In fact, it disparages traditional methods that investigate the details first, before proceeding to the larger picture.”54 Thomas has coined this “hermeneutical hopscotch,” meaning the practice of hopping from one carefully selected part of a larger section of Scripture to another.55 By selecting only parts that support a predetermined opinion, this method can demonstrate just about anything the interpreter desires to prove. For instance, Boyd begins with Genesis 6:6, and says, “The Lord was sorry that he had made humankind on the earth, and it grieved him to his heart.” He then uses this to prove that God did not know in advance that humans would come to this wicked state.56 Then he does the same thing with 1 Samuel 15:11, 35 (previously mentioned), and draws the same conclusion about God’s ignorance of the future. He also cites Numbers 14:11 and Hosea 8:5 where God asks questions about the future. Most commentators interpret these verses as rhetorical questions, but Boyd, after acknowledging rhetorical questions as a possibility, concludes that the questions God ask must reflect his lack of knowledge about the duration of Israel’s stubbornness.57 He then continues to string together such passages, picking only the instances that support his case. Sanders does the same thing, only in more detail, as he selectively goes through Genesis.58 In doing this they simultaneously ignore the verses from this same block of material that seemingly contradicts the openness position.59

Much more can be said in reference to the hermeneutics of open theism. There seems to be a lack of understanding the nature of progressive revelation in that they seem to attach greater weight to Old Testament passages then they do to New Testament passages.60 Obscure and infrequent passages are also given precedence over clear and recurring passages.61

Handling of Scriptural Support

Both classical and open theists appeal to Scripture to support their positions. As we have seen, how one interprets these passages makes all the difference in the position one holds.

Limited Foreknowledge. When open theists do appeal to Scripture, they gravitate toward passages that on the surface appear to limit God’s omniscience. These passages can be grouped into five categories: God’s repentance, God’s testing of Israel, failed prophecies, God’s questions, and God’s admission that some ideas never entered his mind.62

The first group of passages are those where God expresses regret or repentance. Genesis 6:6-7 is commonly brought up, as well as 1 Samuel 15:11, 35. In reference to the 1 Samuel passages Boyd says, “God changed his mind about Saul…but this was not God’s ideal will. He did it as a necessary and just response to Saul’s own free decisions…. It seems clear that if God can hope for one outcome only to be disappointed by another, it must be possible for humans to thwart his will in some instances.”63 Open theists contend that these passages teach God’s limited foreknowledge because how could God feel sorrow for something if He knew in advance what was going to happen?64 The truth is that these two points are not necessarily connected as it is possible to know something in advance and yet still feel remorse when that every transpires. Erickson points out that we all know one day our parents will die and yet we still experience remorse when that sad day arrives.65 It has also been suggested that word “repent” or “regret” in the niphal stem can carry the semantic meaning of “to experience emotional pain.”66 Commentator Dale Ralph Davis says of 1 Sam. 15, “Verse 11 does not intend to suggest Yahweh’s fickleness of purpose but his sorrow over sin; it does not depict Yahweh flustered over lack of foresight but Yahweh grieved over lack of obedience….We need to know that the God of the Bible is no cold slab of concrete impervious to our carefully defended apostasies.”67

The second group of passages involves God testing Israel (Deut. 8:2; 13:3; Judg. 3:4). Open theists contend that is was necessary for God to test the nation so that He could learn what they would do under certain circumstances.68 This is clearly bringing ones preunderstanding to the text. Keil and Delitizsch maintain that the test was actually for the purpose of Israel’s humbling rather than God’s learning. They contend that God was testing His people for the purpose of publicly revealing the genuine condition of their hearts.69

The third group of passages involves allegedly failed prophecies. Open theists argue that there are various predictions found throughout the Bible that were never fulfilled exactly as predicted. Sanders ask, “Is it possible for God to have mistaken beliefs about the future? The traditional theological answer is that God cannot, but there are several biblical texts that seem to affirm that what God thought would happen did not come about….”70 One such passage is Genesis 37:9-11, which is a prediction that Joseph’s parents would bow down to Joseph. Open theists contend that this prophecy was not fulfilled in the exact detail because Joseph’s parents never end up bowing down to him.71 A similar prediction is found in Acts 21:11 where Agabus predicts that the Jews would bind Paul and hand him over to the Gentiles. Sanders argues that this passage was not fulfilled in specific detail because it was actually the Roman rather than the Jews that bound Paul (Acts 21:33).72 Another supposedly failed prophecy is found in Matthew 24:2 where Christ predicts that not one stone would be left on another when the temple is destroyed. Pinnock claims that the prophecy failed to be fulfilled precisely because some stones were left upon the others when the temple was destroyed.73 What Pinnock has said here is that Jesus was wrong in what he predicted, which calls into question the very nature of an inerrant Scripture.

Classical theists have historically interpreted these passages in ways that do not call into question God’s foreknowledge. For both Gen. 37:9-11 and Acts 21:11 the Bible never says that these prophesies were not fulfilled exactly as predicted. Erickson points out that Scripture remains silent regarding how and when an exact fulfillment took place.74 Regarding Matthew 24:2, other solutions exist besides the conclusion that Christ made a failed prediction. Christ could have been using hyperbole to indicate the totality of the destruction.75 It has also been suggested that the historical and eschatological elements of prophecy are intertwined in which the destruction in 70 A.D. points to a future fulfillment and serves as a symbol of the far event.76

The fourth group of passages involves situations where God asks a question. For example in Numbers 14:11, He asks, “How long will this people spurn Me? And how long will they not believe in Me, despite all the signs which I have performed in their midst?” Boyd contends that God asked questions of this nature in order to express his uncertainty regarding the future.77 Again this seems to impose ones preunderstanding upon the text. It would be more consistent with the biblical narrative to interpret this passage in a similar way as when God asked Adam in the garden, “Where are you?” (Gen. 3:9). God was not playing hide-in-seek, but rather desiring Adam to acknowledge his sinful act and repent. In the same manner God asked the questions of Numbers 14:11 to elicit a response of repentance from the rebellious people of Israel.

The fifth group of passages used by open theists involves God seeing Israel’s idolatry and noting that it never entered His mind that Israel would behave in this manner. For example, Jeremiah 7:31 says, “They have built the high places of Topheth, which is in the valley of the son of Hinnom, to burn their sons and their daughters in the fire, which I did not command, and it did not come into My mind.” Here, according to Boyd, is a case of God’s being unable to know what was to happen.78 Erickson states that God’s saying that their behavior did not come into His mind should be understood, not as a declarative sentence, but as an expression of rebuke. He says, “When one says, “I never thought you would do that!” it often is a means of indicating how “unthinkable” the action is.”79 The purpose of such language is to express outrage and scandal. Another problem with Boyd’s interpretation of this passage is that hundreds of years earlier God has warned Israel against committing this specific evil act (Deut. 12:31). If open theists are correct in their reading of the Jeremiah passage, then not only is God limited in His foreknowledge and foresight, but He is also forgetful about what He has specifically forbidden in the past.80

Exhaustive Foreknowledge. The biblical passages that favor the classical theist position far outweigh those of the open theist. Of the 4,800 passages that bear upon divine omniscience and especially, divine foreknowledge, only 105, or 2.1875 percent, directly argue for the open theist position.81 An especially difficult passage for the open theist is Psalm 139, which declares God’s exhaustive knowledge of the psalmist. Verse 4 declares that God knows his speech even before there is a word on his tongue. This means that God is aware of the human contingency of the spoken word even before the human decision to speak takes place. In verse 16 the psalmist declares that God was aware of all of his days before one of them came to be.82

The richest and strongest portion of Scripture supporting God’s knowledge of the future is Isaiah 40-48. The text is repetitive in its message that the God of Israel is known as the true and living God in contrast to idols, and this is evident on the basis that the true God knows and declares the future before it occurs. The false gods neither know nor declare any such thing. Ware makes three important observations of these Isaiah texts. First that the context of any and all of the specific predictions within these texts is one of general claims of broad foreknowledge. Second, that all of the specific predictions given by God in these tests involve, for their fulfillment, the future free choices and actions of human agents. Third, that God has chosen to vindicate himself as God by declaring what the future will be.83

Another text supporting the classical position is found in Daniel 11 where Daniel makes specific predictions about a number of future events. Ware declares, “So many details, involving future free choices, with such precision—this is truly overwhelming evidence, in one chapter of the Bible, of the reality of God’s foreknowledge.84

A New Testament passage that clearly demonstrates the classical view is Matthew 26:33-35, 69-75. In this passage Jesus predicts Peter’s future denial. Open theists explain the passage in terms of Christ predicting what Peter would do on the basis of His present knowledge of Peter’s character. This means that Christ used his exhaustive present knowledge of Peter to make an educated guess as to what Peter would do in the future.85 Such an explanation is unsatisfactory and seems to be disingenuous as well. How could present knowledge of someone’s character lead to specific prediction of a threefold denial? And how could Christ without an exhaustive knowledge of human contingencies have known that Peter would deny Him not fewer than or more than three times, but exactly three times?86 Add to that the exact time of the day the denial would take place and the free actions of the cock crowing. This crows in the face of open theists like Boyd and Sanders who say, “The promises of God should be understood as part of the divine project rather than as some eternal blueprint, a project in which God has not scripted the way everything in human history will go. God has a goal, but the routes remain open.”87

The entire Bible from Genesis to Revelation describes God as acting according to a predetermined plan. He is never surprised and takes no risk. History flows along a predetermined path.88 The Scriptures make reference to God’s taking counsel as He plans the future.89 Galatians 3:8-9 clearly states that God “foresees” the future. And the fact that God foresees the future means that God foreknows the future. This foreknowledge is not uncertain or mutable. It is true and infallible knowledge. The Apostle Paul spoke of God’s “foreknowing,” “predestining,” “electing,” “justifying,” and “glorifying” sinners, and with no apology for God’s actions (Romans 8:29-30). Dr. Robert Morey states, “While the word foreknow means much more than bare pre-knowledge in Romans 8:29, it cannot mean anything less. The use of the word whom instead of what, means that it is not faith that is foreknown but the people of God, the elect.”90

In 1 Peter 1:18-20, Peter states that Christ’s death was “foreknown before the foundation of the world.” To say that Christ’s death was not know by God means that it was not planned by God. Hebrews 6:17 explains that God’s purpose is “unchangeable.” And since God’s purpose is “eternal” (Eph. 3:11), we can declare that it is “immutable” and “unchangeable.” The truth of Scripture is that God can intervene in history, and that is exactly what He did when He planned, decreed, and determined before the foundation of the world that his Son should die for sinners (Revelation 13:8).

Humble Applications

Having looked at the debate from the perspective of history, hermeneutics, and the handling of Scripture, I would now like to make some humble applications. While there are some positive aspects of open theism,91 there is also cause for great concern.

Effects on Systematic Theology. There are two concerns here. The first is that when one doctrine in a systematic theology is reinterpreted, it impacts all other doctrines. No one area of systematic theology can be developed in isolation.92 Boyd’s claim that, “Next to the central doctrines of the Christian faith, the issue of whether the future is exhaustively settled or partially open is relatively unimportant”93 is just not true because it necessities a reinterpretation of those central doctrines. For instance in hamartiology, some open theists teach that God did not expect Adam and Eve to sin in the Garden of Eden.94 In soteriological eschatology Sanders maintains, “there is nothing specifically said in the Old Testament that would have led one to predict a dying and raised Messiah.”95 In personal eschatology, annihilationism and post-mortem salvation are common among open theists.96 In Christology another open theist claims that, “at the Incarnation God undertook the risk that his Son would fail in His struggle with temptation.”97 That means that Christ could have sinned which impacts the doctrine of the impeccability of Christ. And this very real possibility ran the “risk of permanently disastrous consequences to the Godhead itself.”98

The second concern in the area of the theology of open theism is the influence of process theology. While not going as far as Charles Hartshorne, Charles Sanders Pierce, and Alfred North Whitehead have gone, most every open theist uses the language of process theology and some even acknowledge its developmental roots in their thinking.99 Open theism has clearly evolved in the last thirty years. Nancy Pearcey has said, “Clearly, one reason for challenging evolutionary science is that otherwise we may find our churches and seminaries teaching evolutionary theology.”100 Process theology seems to easily fall into that category of theology, and open theism is dangerously close.

Trustworthiness of God. An old cartoon pictures God in heaven looking down on earth with His telescope to discover what will happen next. The God of open theism is a God who can only react to the actions of mere mortals. While open theism attempts to provide answers and comfort to the problem of suffering,101 its picture of God is one that creates more sympathy than security. While God knows what could happen, He doesn’t know will happen until it happens. When a drunk is weaving along the highway at an excessive speed, God has no more knowledge of what that driver will do than the police officer that is chasing him. God doesn’t know if there will be an accident or not. Neither does He know if you or a loved one will be the victim of the drunk’s free actions. So God does not know who will live or die today. That is not a God who engenders trust, hope, and security. There is no comfort in open theism’s God who is waiting to respond. Jeremiah 10:12 says, “But God made the earth by his power; he founded the world by his wisdom and stretched out the heavens by his understanding.” God’s power (omnipotence) is directly linked to his wisdom and understanding (omniscience).

In open theism there is also the perception that all suffering and evil is the result of evil free agents and bad things just happen with no divine plan. This brings no comfort, whereas the Scriptures speak of those who “suffer according to the will of God” and who “entrust their souls to a faithful Creator in doing what is right” (1 Pet. 4:19). This tells us that God’s divine will does intersect with our suffering, it is no surprise to Him, and He may even will it for our benefit and His greater glory.

Trustworthiness of God’s Word. Although many open theists claim to believe the Bible is the infallible and inerrant Word of God, this is inconsistent with their basic teaching. If God cannot know the future infallibly, then the predictions in the Bible that involve free acts cannot be infallible. Some of them may be wrong and we have no way of knowing which ones. Sanders says, “God is yet working to fulfill his promises and bring his project to fruition. The eschaton will surprise us because it is not set in concrete; it is not unfolding according to a prescribed script.”102 And the “prescribed script” he refers too is what we understand to be predictive prophecy as declared in the Bible. Open theists claim that much of prophecy is conditional involving free choices that cannot be known,103 yet the very nature and wonder of prophecy is its specificity.104 And if all prophecy involving libertarian freedom is conditional, then there could not be any test for a false prophecy as the Old Testament prescribes in Deut. 18:22. All of this would seem to say that there is no sure prophetic word and that the Scriptures cannot say with authority what the future holds.

Prayer and Guidance. At first it seems that open theism has the upper hand when it comes to prayer because emphasis is put on God reacting to our reactions and requests. Sanders says, “Our prayers make a difference to God because of the personal relationship God enters into with us. God chooses to make himself dependent on us for certain things.”105 This raises concern on a number of levels, but in regards to prayer it elevates our role in moving the hand of God and the importance prayer should have in our life.106 But if God does not know the future, and if because of libertarian freedom there is no guarantee that He will be able to answer certain types of prayers, prayer itself is undermined.107 If God does not know free human actions in advance, how can He know what would be the best course of action to follow? And if God does not know the best course of action for us to follow how can He guide us? And if He does guide us, how can we know it will be good guidance?108 When faced with uncertainty, I have often found great comfort in saying that I don’t know what the future holds, but I know Who holds the future. An open theist cannot say that.

Authority. In the first part of the nineteenth century, well know Scottish churchman Andrew Bonar wrote, “There is a natural aversion to authority, even the authority of God in the heart of man. And hence it has been that, both then and now, there have been zealous men who have loudly protested against those doctrines of grace usually called Calvinistic doctrines, pretending that the souls of men are by these doctrines lulled into sleep as far as regards the responsibility.”109 Though the particular doctrines are different, there is continuity in motive and outcome, and what he says sounds a lot like open theism. Everything about open theism, its beginning point, philosophical arguments, scriptural interpretations, and practical concerns, elevate and defend the autonomy of man over the authority and sovereignty of God. Bloesch says of God as presented in the open theist’s worldview, “This is a far cry from the God of Calvin and Luther who is ever active in all things and events, steering everything toward a foreordained goal and purpose.”110 And I would suggest that this is a far cry from the God of the Bible.

Though God’s sovereignty conflicts with our autonomy, it in no way diminishes the value and role of our earthly walk with God. Just as the Scriptures begin with God and His sovereignty and creative authority over creation, so should theology begin with God and His sovereignty and creative authority. Whereas the Scriptures elevate God, open theism elevates man.111 The many difficulties open theism presents on the theological landscape come not from God’s lack of knowledge concerning man, but from man’s finite limited understanding of an infinite and awesome God. Of God we affirm with the Apostle Paul, “For from Him and through Him and to Him are all things. To Him be the glory forever. Amen.” (Rom. 11:36).

Bibliography

Armstrong, John H., ed. The Coming Evangelical Crisis. Chicago: Moody, 1996.

Beilby, James K., ed. Divine Foreknowledge: Four Views. Downers Grove: InterVarsity, 2001.

Bloesch, Donald G. God the Almighty. Downers Grove: InterVarsity, 1995.

Bonar, Marjory ed. Andrew A. Bonar: Diary and Life. Reprint; Carlisle: Banner of Truth, 1960.

Boyd, Gregory A. Is God To Blame?: Moving Beyond Pat Answers to the Problem of Evil. Downers Grove: InterVarsity, 2003.

. God at War: The Bible & Spiritual Conflict. Downers Grove: InterVarsity, 1997.

. God of the Possible: A Biblical Introduction to the Open View of God. Grand Rapids: Baker Book House, 2000.

. Satan and the Problem of Evil: Constructing a Trinitarian Warfare Theodicy. Downers Grove: InterVarsity, 2001.

Boyd, Gregory A. and Edward K. Boyd. Letters From a Skeptic: A Son Wrestles with His Father’s Questions about Christianity. Colorado Springs: Chariot Victor Publishing, 1994.

Davis, Dale Ralph. Looking on the Heart: Expositions of the Book of 1 Samuel vol. 2. Grand Rapids: Baker, 1994.

Erickson, Millard J. What Does God Know and When Does He Know It?: The Current Controversy Over Divine Foreknowledge. Grand Rapids: Zondervan, 2003.

Ferguson, Sinclair B., and David F. Wright, .ed. New Dictionary of Theology, Downers Grove: InterVarsity, 1988.

Feinberg, John S. The Many Faces of Evil: Theological Systems and the Problems of Evil. Revised and expanded, Wheaton: Crossway Books, 2004.

Felix, Paul W. Sr. “The Hermeneutics of Evangelical Feminism.” The Master’s Seminary Journal 5, no. 2 (Fall, 1994).

Geisler, Norman L. and H. Wayne House. The Battle for God. Grand Rapids: Kregel, 2001.

Geisler, Norman L. and William Watkins. Worlds Apart: A Handbook on World Views. Grand Rapids: Baker, 1989.

Grudem, Wayne A. Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine. Grand Rapids: Zondervan, 1994.

Hasker, William. God, Time, and Knowledge. Ithaca: Cornell University Press, 1989.

. Metaphysics. Downers Grove: InterVarsity, 1983.

Hendriksen, William . Matthew, vol. 1 of New Testament Commentary . Grand Rapids: Baker, 1973.

Henry, Carl F. H. God, Revelation and Authority V.1 Waco: Word Books, 1982.

Lutzer, Erwin W. Ten Lies About God: And How You Might Already Be Deceived. Nashville: Word Publishing, 2000.

Keil, C.F. and F. Delitzsch, Commentary on the Old Testament, vol. 1. Reprint, Grand Rapids: Eerdmans, 1975.

Mayhue, Richard L. “The Impossibility of God of the Possible.” The Master’s Seminary Journal 12, no. 2 (Fall 2001).

Morey, Robert A. Battle of the Gods: The Gathering Storm in Modern Evangelicalism. Southbridge, Mass: Crown, 1989.

Morris, Thomas V. Our Idea of God: An Introduction to Philosophical Theology. Downers Grove: InterVarsity, 1991.

Olson, Roger and Douglas F. Kelly, Timothy George, Alister E. McGrath. “Has God Been Held Hostage by Philosophy?” Christianity Today 39, no. 1 (January 9, 1995).

Pearcey, Nancy. Total Truth: Liberating Christianity from Its Cultural Captivity. Wheaton: Crossway, 2004.

Peterson , Robert A. and Michael D. Williams. Why I Am Not An Arminian. Downers Grove: InterVarsity, 2004.

Pinnock, Clark. Most Moved Mover: A Theology of God’s Openness. Grand Rapids: Baker, 2001.

., et al. The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God. Downers Grove: InterVarsity, 1994.

Piper, John. Some Early Baptist Confessions of Faith Explicitly Disowned the “Openness” View.” Desiring God Ministries, 1994; available online; desiringgod.org/library/topics/foreknowledge/early_baptist.html.

Rice, Richard. God’s Foreknowledge & Man’s Free Will. Minneapolis: Bethany House Publishers, 1981.

Richards, Jay Wesley. The Untamed God: A Philosophical Exploration of Divine Perfection, Simplicity and Immutability. Downers Grove: InterVarsity, 2003.

Sanders, John. The God Who Risks: A Theology of Providence. Downers Grove: InterVarsity, 1998.

. ed., What About Those Who Have Never Heard? Downers Grove: InterVarsity, 1995.

Terry, Milton S. Biblical Hermeneutics: A Treatise on the Interpretation of the Old and New Testaments, 2d ed. Reprint; Grand Rapids: Zondervan, n.d.

Thiselton, A. C. Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description. Grand Rapids: Eerdmans, 1980.

Thomas, Robert L. Evangelical Hermeneutics: The New Versus the Old. Grand Rapids: Kregel, 2002.

. “The Hermeneutics of Open Theism” The Master’s Seminary Journal 12, no. 2 (Fall 2001).

Walls, Jerry L. and Joseph R. Dongell. Why I Am Not A Calvinist. Downers Grove: InterVarsity, 2004.

Ware, Bruce A. God’s Lesser Glory: The Diminished God of Open Theism. Wheaton: Crossway, 2000.

Wilkins, Michael J. Matthew, vol. 1 of The NIV Application Commentary, ed. Terry Muck. Grand Rapids: Zondervan, 2004.


1 Norman L. Geisler and William Watkins have categorized and described seven major views of God as theism, deism, pantheism, panentheism, finite godism, polytheism, and atheism in their books Worlds Apart: A Handbook on World Views (Grand Rapids: Baker, 1989) and more briefly in Norman L. Geisler and H. Wayne House, The Battle for God (Grand Rapids: Kregel, 2001).

2 The leading and most popular proponents of open theism include David Basinger, Gregory Boyd, William Hasker, Clark Pinnock, Richard Rice, and John Sanders.

3 Millard Erickson has outlined various ways in which the church has understood the foreknowledge of God. “Simple foreknowledge” is the idea that God simply “sees” the future as he stands outside of time looking on. “Middle knowledge” states that God knows not only all that will be, but all the other possibilities in every possible world. Then there are the views of Calvinism, which hold that God knows everything that will happen because he has chosen what is to occur and brings it about. The title of this most recent book on open theism also reflects the questions posed in this debate. See Erickson’s book, What Does God Know and When Does He Know It?: The Current Controversy Over Divine Foreknowledge (Grand Rapids: Zondervan, 2003).

4 Richard Rice, God’s Foreknowledge & Man’s Free Will (Minneapolis: Bethany House Publishers, 1981), 10. Rice is a popular open theist who continues to write in evangelical publications. This early book from Bethany House, an evangelical publisher, was originally published by Review and Herald out of Nashville (1979) under the title of The Openness of God. Review and Herald is a Seventh-Day Adventist publisher and Rice was an associate professor of theology at Loma Linda University, one of the top Adventist schools. Other than the original title, there is no mention of this or Rice’s theological background in the Bethany House edition.

5 Gregory Boyd states that the open view, “…affirms that the future decisions of self-determining agents are only possibilities until agents freely actualize them. In this view, therefore, the future is partly comprised of possibilities. And since God knows all things perfectly—just as they are, and not otherwise—God knows the future as partly comprised of possibilities.” Gregory A. Boyd, Satan and the Problem of Evil (Downers Grove: InterVarsity, 2001), 90-91.

6 Richard Rice says in his chapter “Biblical Support for a New Perspective” in Clark Pinnock, The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove: InterVarsity, 1994), 16 the following, “God’s knowledge of the world is also dynamic rather than static. Instead of perceiving the entire course of human existence in one timeless moment, God comes to know events as they take place. He learns something from what transpires.”

7 “God’s knowledge may be defined as follows: God fully knows himself and all things actual and possible in one simple and eternal act.” Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994), 190.

8 There is a large debate about the nature of time and God’s relation to it. Open theist fall into the position called “presentism” which holds that the future does not yet exist to be known. The future is in the realm of the possible and the probable. Philosopher William Hasker states, “the central idea concerning God’s knowledge of the future…can be simply stated: God knows everything about the future which it is logically possible for him to know.” William Hasker, God, Time, and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1989), 187. Hasker began constructing this worldview in his book, Metaphysics (Downers Grove: InterVarsity, 1983), 29-50.

9 Thomas V. Morris, Our Idea of God (Downers Grove: InterVarsity, 1991), 100.

10 Grudem, 160.

11 “Since it [open theism] sees God as dependent on the world in certain respects, the open view of God differs from much conventional theology. Yet we believe that this dependence does not detract from God’s greatness, it only enhances it.” Richard Rice, “Biblical Support for a New Perspective”; in Pinnock, The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove: InterVarsity, 1994), 16.

12 “Since it [open theism] sees God as dependent on the world in certain respects, the open view of God differs from much conventional theology. Yet we believe that this dependence does not detract from God’s greatness, it only enhances it.” Richard Rice, “Biblical Support for a New Perspective”; in Pinnock, The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove: InterVarsity, 1994), 16.

13 Grudem, 163.

14 Clark Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God’s Openness, (Grand Rapids: Baker, 2001), 41.

15 Pinnock, “Systematic Theology,” The Openness of God, 117.

16 Grudem, 168.

17 Pinnock, Most Moved Mover, 96-97.

18 Grudem, 173.

19 Pinnock, Most Moved Mover, 34-35.

20 Grudem, 177.

21 William Hasker, “A Philosophical Perspective”, in Pinnock, The Openness of God, 127.

22 Pinnock, Most Moved Mover, 27.

23 Grudem, 216.

24 Pinnock, The Openness of God, 114.

25 Gregory A. Boyd, God of the Possible (Grand Rapids: Baker, 2000), 10. Later in this same work he states, “I must concede that the open view has been relatively rare in church history” (115).

26 Millard J. Erickson, What Does God Know and When Does He Know It?: The Current Controversy Over Divine Foreknowledge (Grand Rapids: Zondervan, 2003), 248.

27 Boyd says, “We are not addressing anything central to the traditional definition of orthodoxy, so it seems some flexibility might be warranted.” Boyd, God of the Possible (Grand Rapids: Baker, 2000), 116. Is not the very nature of the attributes of God central to the traditional definition of orthodoxy?

28 Erickson states that such aberrant teaching “was never a sufficiently popular view that the church found it necessary to address it in an official way.” Erickson, What Does God Know and When Does He Know It?, 249.

29 Gregory A. Boyd, Trinity and Process: A Critical Evaluation and Reconstruction of Hartshorne’s Di-Polar Theism Towards a Trinitarian Metaphysics (New York: Peter Long Publishing, Inc. 1992), 296-297, quoted in Erickson, What Does God Know and When Does He Know It?, 115. Dipolar theism presents God as both absolute and relative, abstract and concrete, eternal and temporal, necessary and contingent, infinite and finite. It is another name for process theology and, though open theists do not go as far as process theists, they have many common tenets.

30 Praelectionis Theologicae 11 (1627); 38, as quoted by Francis Turretin, Institutes of Elenctic Theology (reprint; Phillipsburg, NJ.: Presbyterian and Reformed, 1992)1:208 quoted by Richard L. Mayhue, “The Impossibility of God of the Possible.” The Master’s Seminary Journal 12, no. 2 (Fall, 2001). This connection to Socinianism has also been noted by John Piper in his article titled “ Some Early Baptist Confessions of Faith Explicitly Disowned the “Openness” View” available online; desiringgod.org/library/topics/foreknowledge/early_baptist.html. In that article Piper makes the observations that: 1) The view of God’s foreknowledge espoused today by openness theology is similar to that espoused by Socinianism, even through not all of the unorthodox views of Socinianism are embraced by openness theology. 2) The limited view of God’s foreknowledge was rejected by all orthodox bodies in the history of the church including our Baptist forefathers. 3) This doctrinal issue was regarded by seventeenth-century Baptists as important enough in their day to repudiate explicitly in their affirmation of faith. And 4) It is not unbaptistic or narrow to do the same today.

31 Gregory A. Boyd and Edward K. Boyd, Letters From a Skeptic: A Son Wrestles with His Father’s Questions about Christianity (Colorado Springs: Chariot Victor Publishing, 1994), 30.

32 Gregory A. Boyd, God at War (Downers Grove: InterVarsity, 1997), 67.

33 Boyd, God of the Possible, 115; Pinnock, “Systematic Theology,” The Openness of God , 117; Sanders, Historical Considerations,” in The Openness of God, 59-60.

34 Carl F. H. Henry, God, Revelation and Authority V.1 (Waco: Word Books, 1982), 286.

35 Geisler and House, The Battle for God, 90. For an excellent discussion of the philosophical influence on openness theology also see Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 133-161.

36 Rice, God’s Foreknowledge & Man’s Free Will, 32.

37 Accessed August, 2004 at http://www.gregboyd.org/gbfront/indes.asp?PageID=518.

38 Roger Olson, Douglas F. Kelly, Timothy George, and Alister E. McGrath. “Has God Been Held Hostage by Philosophy?” Christianity Today 39, no. 1 (January 9, 1995), 30-34. This article can also be accessed at http://christianitytoday.com/ct/2001/119/ 52.0.html.

39 Jerry L. Walls and Joseph R. Dongell, Why I Am Not A Calvinist (Downers Grove: InterVarsity, 2004) and Robert A. Peterson and Michael D. Williams, Why I Am Not An Arminian (Downers Grove: InterVarsity, 2004).

40 The contrast between the aforementioned books is profoundly seen in their use of philosophy and use of Scripture. Walls and Dongell emphasize philosophy and use its vocabulary, whereas Peterson and Williams emphasize Scripture and use its vocabulary. While it is a leap to open theism from either system, the jump is much farther for the Calvinist than for the Arminian.

41 “Hermeneutics may be defined briefly as the theory of interpretation…. Biblical hermeneutics concerns the interpretation, understanding, and appropriation of biblical text…. It is more than a mechanical application of purely scientific principles and raises prior and more fundamental questions about the very nature of language, meaning, communication and understanding.” Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, and J.I. Packer .ed, New Dictionary of Theology, Downers Grove: InterVarsity, 1988. S.v. “Hermeneutics,” by A. C. Thiselton. Though Thiselton advocates the preunderstanding of the interpreter as the beginning point in interpretation, in his book Two Horizons: New Testament Hermeneutics and Philosophical Description (Grand Rapids: Eerdmans, 1980), I believe it is important to maintain objective standards rather than subjective ones when interpreting the Bible. Therefore proper and objective hermeneutics are best obtained with the grammatico-historical method, which says that the only meaning that one may ascribe to the text is that which its human author intended, as one is able to reconstruct it in the historical context and with ordinary rules of grammar.

42 Milton S. Terry, Biblical Hermeneutics: A Treatise on the Interpretation of the Old and New Testaments, 2d ed. (Reprint; Grand Rapids: Zondervan, n.d.), 153-54.

43 Pinnock, Most Moved Mover: A Theology of God’s Openness (Grand Rapids: Baker, 2001), 20,45.

44 Erickson, What Does God Know and When Does He Know It?, 74.

45 Open theists like to use Genesis 22:12 to teach a view of a God with limited and finite foreknowledge who is in the process of learning, but they do so at the expense of a didactic passage like Psalm 147:5 that clearly states of God, “His understanding is infinite.”

46 Erickson uses strong language when he says that the open theists use the narrative passages to override the “plain meaning” of the didactic. Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 75.

47 Paul W. Felix defines this same error as “…a clear text, and interpretive center, a theological and hermeneutical key, a ‘locus classicus,’ a defining passage, a starting point that serves as a filter….” as he talks about evangelical feminists and their use of Galatians 3:28. Paul W. Felix, Sr., “The Hermeneutics of Evangelical Feminism,” The Master’s Seminary Journal 5, no. 2 (Fall, 1994), 166-67.

48 Richard Rice, “Biblical Support for a New Perspective” in, The Openness of God, 18.

49 Ibid., 21

50 Ibid.

51 Boyd, God of the Possible, 111; Sanders, “Historical Considerations,” in The Openness of God, 100; and Pinnock, “Systematic Theology,” in The Openness of God, 114. In one of Boyd’s newer books he says, “God’s greatness is most fundamentally about love. God created the world out of love and for the purpose of love. And this requires that he created free agents. There can be no love without risk.” Gregory A. Boyd, Is God To Blame? (Downers Grove: InterVarsity, 2003), 76.

52 Richard Rice, God’s Foreknowledge & Man’s Free Will, 29.

53 Ibid, 30.

54 Robert L. Thomas, “The Hermeneutics of Open Theism.” The Master’s Seminary Journal 12, no. 2 (Fall, 2001), 189. Thomas has written extensively on the grammatico-historical method in his work, Evangelical Hermeneutics: The New Versus the Old (Grand Rapids: Kregel, 2002).

55 Ibid.

56 Boyd, God of the Possible, 55.

57 Ibid., 58-59.

58 John Sanders, The God Who Risks: A Theology of Providence (Downers Grove: InterVarsity, 1998), 41-55.

59 Genesis 18:14, which teaches God’s omnipotence and Genesis 50:20, which teaches divine sovereignty, are two examples.

60 For an excellent discussion see Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 82-83.

61 Ibid., 80-82.

62 Ibid., 17-38.

63 Boyd, Is God To Blame?, 69.

64 Gregory Boyd, “The Open-Theism View,” in Divine Foreknowledge: Four Views, ed. James K. Beilby (Downers Grove: InterVarsity, 2001), 45.

65 Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 22.

66 Listed in the translator note for Gen. 6:6 in The NET Bible (Biblical Studies Press, 2003). Can also be accessed at /netbible2/indes.php?book= gen&chapter=6&verse=6&submit=lookup+verse.

67 Dale Ralph Davis, Looking on the Heart: Expositions of the Book of 1 Samuel vol. 2 (Grand Rapids: Baker, 1994), 19.

68 Boyd, “The Open-Theism View,” 32.

69 C.F. Keil and F. Delitzsch, Commentary on the Old Testament, vol. 1 (Reprint, Grand Rapids: Eerdmans, 1975), 330.

70 Sanders, The God Who Risks, 205.

71 Ibid., 75

72 Ibid.

73 Pinnock, Most Moved Mover, 51.

74 Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 28.

75 William Hendriksen, Matthew, vol. 1 of New Testament Commentary (Grand Rapids: Baker, 1973), 850.

76 Michael J. Wilkins, Matthew, vol. 1 of The NIV Application Commentary, ed. Terry Muck (Grand Rapids: Zondervan, 2004), 772.

77 Boyd, God of the Possible, 58-59.

78 Ibid., 61-62.

79 Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 32.

80 Bruce A. Ware, God’s Lesser Glory: The Diminished God of Open Theism (Wheaton: Crossway, 2000), 77-80.

81 Assuming the data is correct in Ware, God’s Lesser Glory, 100, n. 7 and Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 81-82.

82 Ware, God’s Lesser Glory, 123.

83 Ibid., 102-121.

84 Ibid., 127.

85 Boyd, “The Open-Theism View,” 20.

86 Ware, God’s Lesser Glory, 128.

87 Sanders, The God Who Risks, 127. Boyd’s book Is God To Blame? continues to use the term “blueprint worldview” to describe the classical position, especially of the Calvinistic perspective. His position is called the “warfare worldview.” Also used in Boyd’s Satan and the Problem of Evil (Downers Grove: InterVarsity, 2001) and God at War (Downers Grove: InterVarsity, 1997), where he develops a view that not all events in history have a divine purpose, but occur as a result of the existence of a “myriad of free agents, some human, some angelic, and many of the evil” (53). He is writing a new book for InterVarsity titled The Myth of the Blueprint. I have talked to the publisher and there is no date as of now (September, 2004) for its publication, but it is forthcoming. In reference to the blueprint worldview Erickson says, “It should be observed that the idea that this is what traditional theism holds is itself something of a myth.” What Does God Know and When Does He Know It, 255.

88 2 Chronicles 25:14-23; Psalms 33:6-12; Isaiah 14:24-27; 23:1-9; Jeremiah 49:20-22; 50:45-46; Acts 2:23.

89 Psalms 33:10-11; Jeremiah 32:16-20; Ephesians 1:11-12.

90 Robert A. Morey, Battle of the Gods (Southbridge, Mass: Crown, 1989), 288.

91 The most positive aspects of open theism are all the things its adherents hold in common with classical theism. Such things as creation ex nihilo, affirmation of miracles, emphasis on God’s relateability with creation, and defense of free choice against forms of determinism. These are commendable. At the same time its errors bring it dangerously close to condemnation. For a kind, but critical, evaluation that is balanced see Erickson, What Does God Know and When Does He Know It, 237-257.

92 Pinnock himself recognizes that “no doctrine is more central than the nature of God. It deeply affects our understanding of the incarnation, grace, creation, election, sovereignty and salvation.” “Systematic Theology,” in The Openness of God, 8.

93 Boyd, God of the Possible, 8.

94 Sanders, The God Who Risks, 45-49.

95 Ibid., 133.

96 John Sanders, ed., What About Those Who Have Never Heard? (Downers Grove: InterVarsity, 1995), 21-55.

97 Rice, God’s Foreknowledge & Man’s Free Will, 43.

98 Ibid.

99 Pinnock confesses that there are things about process theism that he finds attractive and convictions that he holds in common. Most Moved Mover, 141-144. There he says, “I find the dialectic in its doctrine of God helpful, for example the idea that God is necessary and contingent, eternal and temporal, infinite and finite,” 143. That is process theism.

100 Nancy Pearcey, Total Truth: Liberating Christianity from Its Cultural Captivity (Wheaton: Crossway Books, 2004), 236. The footnote to her statement expresses concern with the relationship of open theism to process theology (426, n. 35).

101 Boyd, Is God To Blame?, and many others.

102 Sanders, The God Who Risks, 125.

103 Pinnock, Most Moved Mover, 50.

104 In just one day we see the specific fulfillment of the prophecy of the betrayal of Jesus by Judas, Psa. 41:9 cp. Mark 14:10; price paid for His betrayal was foretold, Zech. 11:12 cp. Matt. 26:15; how Judas would use the betrayal money, Zech. 11:13 cp. Matt. 27:3-7, prophecy of Christ’s scourging, Isa. 50:6 cp. Matt. 27:26, 30; prophecy of the parting of Christ’s garment, Psa 22:18 cp. John 19:34, prophecy of our Savior’s crucifixion, Isa. 53:5,6,10 cp. Luke 23:33 and John 19:16 to name just a few.

105 Sanders, The God Who Risks, 271. This would seem to imply that God is not wholly sovereign over human activity.

106 David Basinger acknowledges that he “naturally finds prayers requesting even noncoercive divine influence in the lives of others to be very problematic.” “Practical Implications,” in The Openness of God, 161.

107 Boyd states, “If everything is eternally settled ahead of time either in the will or the mind of God, as the blueprint model of providence holds, then it is difficult to explain the urgency and efficacy that Scripture attributes to prayer.” Satan and the Problem of Evil, 230.

108 David Basinger says in this matter, “There are certain risks involved. Things do not always turn out as expected or desired. But the God to whom we are committed is always walking beside us, experiencing what we are experiencing when we are experiencing it, always willing to help to the extent consistent with our status as responsible creations of his.” “Practical Implications,” in The Openness of God, 176. Donald Bloesch says of the role of God in open theism, “He guides us toward what is best for us, but he does not ensure that we will finally attain what is best. The emphasis is on what man can do to create a better life and a better world. God assists us and guides us, but he allows us to determine our own destiny.” Donald G. Bloesch, God the Almighty (Downers Grove: InterVarsity, 1995), 256.

109 Marjory Bonar, ed. Andrew A. Bonar: Diary and Life (Reprint; Carlisle: Banner of Truth, 1960), 529.

110 Bloesch, 256.

111 To elevate man ultimately lowers God. Timothy George speaks of “the vague hope that somehow good will triumph over evil,” and he makes this comment: “But the ‘open God’ cannot guarantee that it will. He can only struggle with us against the chaos and keep on trying harder.” “Has God Been Held Hostage by Philosophy?” Christianity Today 39, no. 1 (January 9, 1995), 34.

Related Topics: Theology Proper (God)

How Jesus Ministered To Women

Related Media

We all do a fair amount of thinking about ourselves. Yet many people don’t like to be pressed too far in answering the question of their own identity. Generally, when we think of our identity, we respond in terms of some particular position we have – or hope to have.

Paul says in Romans 12:3, "For through the grace given to me I say to everyone among you not to think more highly of himself than he ought to think; but to think so as to have sound judgment, as God has allotted to each a measure of faith." The word “sound judgment” means to have true, not false standards.1

There are many false standards or foundations that contribute to one’s identity. Such things as, what others say, personal accomplishments, possessions, who one knows, and personal appearance.2 Self perceptions are often based on the reactions of others.

Writing to women, one author says,

"When we contrast our appearance, our accomplishments, our friends or our possessions to others we are making a comparison based in large part on fantasy. We have never walked in the shoes of those women to whom we compare ourselves so we fantasize what it would be like. When we do this we compare our worst, of which we are most aware, to their best. And we're really comparing ourselves to a fantasy. Perhaps this is one of the reasons why soap operas and romance novels are so popular today. We are basically dissatisfied with our existence so we vicariously live our lives through other people.

When we believe we are only worthwhile if we are beautiful, if we use the right products, if we know the right people, if we are successful or if we are financially comfortable, we are building our self-image on faulty foundations. Subtly we find ourselves looking to other "significant" people to define for us what it means to be beautiful, what are the right products to use, who are the right people to associate with, and what it takes to be financially comfortable.

When we swallow these faddish opinions, society loves us because we fit its mold. But what happens when the mold changes?"3

The mold has changed throughout history and a great deal of study in the second half of the last century has been devoted to the roles, attitudes, and status of women throughout time.4 One of the difficulties in studying history is the tendency to look at the past from the perspective of the present and to imagine that people lived under conditions similar to our own. In varying conditions though, a consistent contributor to women’s identity is the political and religious teaching of authority figures. They set the mold.

In ancient Greece, Demosthenes, the famous orator and politician of Athens (384 BC–322 BC) said, "We keep prostitutes for pleasure, we keep mistresses for the day-to-day needs of the body..."5 It is believed that the philosopher Aristotle’s discussion of the nature of women was intended to justify the status quo perception of his day.6 He stated quite bluntly that women were inferior to men: “The male is by nature superior, the female inferior; and the one rules, the other is ruled.”7 In the Greek medical system and the texts of the Hippocratic Corpus it has been observed that slaves and women were treated in the same manner.8

Compared to women in Greece, women in Rome were emancipated.9 They did not need to go veiled, they were not entirely isolated from their husband’s company, they could go out of the house to shop, to visit the baths, to pay social calls, and to attend a public function. Some women, probably widows, engaged in business, and there were a few women physicians, probably midwives or with practices limited to treat other women. Their status though, was only relative. Roman women did not play any particularly important place in the religious life of Rome, nor did they have much of a say about their own home.10 One of the most fundamental institutions in Roman thought was the familia. Within the culturally normative Roman family slaves and wives, though differing greatly in power and status, are united in that they are brought into the family from outside and therefore are viewed as outsiders.11 Women thus were thought of as “intimate strangers.”12 While the family was important, it did not assure a personal identity of belonging and value. The Roman world was rampant with divorce.13 Women could not take any legal punitive action against an unfaithful husband, but a husband could against such a wife.14 In the days of Christ it was not uncommon to find houses of prostitution next to temples of worship. Men would enter one door to worship with their spirits and out the other door to worship with their bodies.

The Graeco-Roman period (300 years prior to the New Testament) was time of flux and change. It is a difficult task to simplify culture norms and the status of women.15 What is evident is that the ancient Greeks and Romans relied on the polarities of male/female and free/slave in order to understand themselves and to organize their societies.16

Judaism of the first century communicated a mixed message about women as well. Josephus writes, “The woman, says the Law, is in all things inferior to the man.”17 Women are categorized in the repeated rabbinical formula, “women, slaves and minors”18 demonstrating that a women, like a Gentile slave and a minor child, was under the authority of a man and had limited participation in religious activity.

According to most rabbinic customs of Jesus' time women were not allowed to study the Torah. Eliezer, a first-century rabbi, stated: "Rather should the words of the Torah be burned than entrusted to a woman. . . . Whoever teaches his daughter the Torah is like one who teaches her lasciviousness."19

The Talmud, which is a commentary on the Mishnah, states, "Let a curse come upon the man who (must needs have) his wife or children say grace for him."20 There was a three-fold thanksgiving in the daily prayers of Jews: "Praised be God that he has not created me a gentile; praised be God that he has not created me a woman; praised be God that he has not created me an ignorant man."21

Judaism’s oral law is recorded in writing in sixty-three tractates and is called the Mishnah. One of the Mishnah’s tractates contains no laws at all. It is called Pirke Abot (usually translated as Ethics of the Fathers), and it is the “Bartlett’s” of the rabbis, in which their most famous sayings and proverbs are recorded. There we read the words of Rabbi Jose ben Johanan of Jerusalem who said, "Let your house be open wide, and let the needy be members of your household; and talk not much with women. They said this of a man’s own wife; how much more of his neighbor’s wife! Hence the Sages have said: he that talks much with women brings evil upon himself, neglects the study of the Torah, and at last will inherit Gehenna."22 The Talmudic Sages so highly valued the Abot Tractate, that they gave the following advice to those who seek to obtain piety: “He who desires to be pious, let him practice the teaching of Abot.” (Baba Kamma 30a).23 To pursue this teaching is to practice it, and not speaking to a person contributes to their perception of a lack of personal worth and value. One extended section of the Mishnah speaks of a woman in the same sphere as that of a slave, cattle, and property.24

Women were not allowed to testify in a court of law. The Rabbis taught, “This is the governing principle: Any evidence which a woman is not valid [to offer], also they are not valid [to offer].”25 It is also interesting to note that in the great temple at Jerusalem women were limited to one outer court which was five steps below the court for men.26

Another rabbinical saying about women was, "they are greedy at their food, eager to gossip, lazy and jealous."27 That indicates not only a deplorable attitude toward women, but a lack of self-respect among the women themselves.28

It has been observed that there are three foundational needs that each one of us has in order for us to be healthy and able to grow as a person and as a Christian also.29 The first is a need to belong. We all need to know and feel that we are wanted, accepted, cared for and enjoyed for who we are. Second there is the need to feel worthy. We all need to be able to say with confidence, "I’m a sinner, but I’m saved by grace. I’m valued and I count." We feel worthy when we know we count, and are valued to others and to God. We don’t need to keep striving in order to feel worthy. God declares us to be of value and each individual is divine original. We are the creative expression of a loving God. Third, there is the need to feel competent. We need to know that we can do something, give something, contribute, and make a difference. All of these needs are evidenced in the way that Jesus dealt with women in the New Testament.

The more we understand the truth of God’s word, both written and Living, the closer and stronger our relationship with Jesus will grow. Dr. Paul Tournier compares Christian growth to the experience of swinging from a trapeze.30 As we swing on the trapeze we cling to the bar because it is our security. When another trapeze bar swings into view, we must release our grip on one bar in order to leap to the other. It is a scary process. In the same way, God is swinging a new trapeze bar into our view. It is a positive, accurate, new identity based on God’s Word. But in order to grasp the new, we must release the old.

God knew about Israel's plight and he cared about its hurting women, just as He does today! "But when the fullness of the time came, God sent forth His Son, born of a woman, born under the Law, in order that He might redeem those who were under the Law, that we might receive the adoption as sons." (Gal. 4:4, 5). God, who knew and cared about the individual also, had a worldview. God so loved the world (men and women, who comprise it) that he gave his Son to be the spiritual Head of a new humanity. In this new spiritual relationship, "There is neither Jew nor Greek, there is neither slave nor free, there is neither male nor female; for you are all one in Christ Jesus" (Gal. 3:28).

The Lord Jesus Christ, born a male indicating the authority of his deity, born of woman and therefore free of Adam's sin, born under the law that he might fulfill it perfectly in spirit and in truth, was God's solution to the human dilemma. He revealed that redemptive plan, not to the rebellious who fought for their rights, but to the godly who waited before him in humility and faith. Jesus is God’s revelation of himself. He taught truth, but He also lived it out and by His example we learn tremendous truths about how God views us and how we should view him and others.

The question before us then is “How does Jesus minister to women?” The most striking thing about the role of women in the life and teaching of Jesus is the simple fact that they are there.31 He ministered to women and treated each one as a person.32

With great insight Dorothy Sayers said about Jesus: “They [women] had never known a man like this Man—there never has been such another. A prophet and teacher who never nagged at them, never flattered or coaxed or patronized…who took their questions and arguments seriously; who never mapped out their sphere for the, never urged them to be feminine or jeered at them for being female; who had no axe to grind and no uneasy male dignity to defend; who took them as he found them and was completely unself-conscious."33 Both in his teaching and in his activities, Jesus reached out to women as persons who were equally worthy as men in his saving activity.

We see in the gospels that Jesus treated women with incredible respect. A classic passage in this regard is Jesus’ interaction with the Samaritan woman.34 This is a remarkable exchange, since Jesus was not only interacting with a Samaritan, a member of a race that was despised by Jews,35 but also a woman. And Jesus’ conversation with this woman is probably the most profound discussion of theology in the gospels. Women were not encouraged to have interaction with male strangers.36

But Jesus went beyond the cultural ethnic and gender barriers and treated her as a person who was worth his offer of the living water of eternal life.37 He didn’t treat her in reference to what others said about her, her accomplishments or possessions, and he didn’t deal with her based on her appearance. He establishes through this woman that whoever accepts his offer of living water, that person will receive it. The woman saw the barrier as ethnic,38 whereas the disciples returned and made an issue of gender.39 But for Jesus, gender and ethnicity are irrelevant in his offer of salvation.

She comes to the well at noonday, the hottest hour of the day, which whispers a rumor of her reputation. The other women come at dusk, a cooler, more comfortable hour. They come not only to draw water, but to take off their veils and slip out from under the thumb of a male-dominated society. They come for companionship, to talk, to laugh, and to barter gossip—much of which centers around this woman. So shunned by these women, she braves the sun’s scorn. Accusing thoughts are her only companions as she ponders the futile road her life has traveled. She’s looked for love in all the wrong places, going from one dead-end relationship to another. For her, marriage has been a retreating mirage. Again and again she has returned to the matrimonial well, hoping to draw from it something to quench her thirst for love and happiness. But again and again, she has left that well disappointed.

And so, under the weight of such thoughts she comes to Jacob’s well, her empty water jar a telling symbol of her life. As her eyes meet the Savior’s, he sees within her a cavernous aching, a cistern in her soul that will forever remain empty unless he fills it. And there she meets Jesus.40

This encounter shows to all women that regardless of past mistakes, hurts, pain, and failures Jesus wants to fill women with his love because women are people intrinsically whom he values. Every woman is created in his image, a daughter of Eve, and he offers the greatest ministry ever; cleansing, forgiveness, hope, meaning, significance, and a life of power and purpose.

During another encounter with a woman, Jesus made a radical statement of value to the hypocritical religious leaders that were standing around. Luke recounts a narrative in which, in a synagogue one Sabbath, Jesus heals a woman crippled for eighteen years by a demonic spirit.41 The head of the synagogue protests Jesus’ performance of a healing on the Sabbath, but neither the woman’s presence is the synagogue nor her subsequent praise of God in response to her cure evokes any comment. Jesus showed his regard for her by calling her a "daughter of Abraham," a term which is paralleled to Zacchaeus, who later will be called a "son of Abraham."42 Both are God’s chosen people and heirs of the promises to Abraham, so both equally deserve the spiritual status and salvation guaranteed Abraham’s descendants. As Jesus offered salvation and healing to the people, women were equally worthy of his full-orbed ministry.

It has already been expressed that as people we have a need to belong, to feel worthy and to feel competent.43 Observe how these needs are satisfied in the manner in which Jesus dealt with women in the New Testament.44

1. Jesus Appreciated Women’s Spiritual Capabilities

He engaged in spiritual conversation. He talked to women about God, reality, and issues that count for eternity. To the woman at the well Jesus gives the most profound discourse in Scripture on the subject of worship. That God is spirit and that worship is not an approach of the body to a church, but an approach of the soul to the spirit of God. That was a cutting revelation to one who has lived so much of her life in the realm of the physical rather than the spiritual. In their spiritual conversation this stranger (Jesus) was first simply "a Jew"…then "Sir"…then "a prophet." Finally she sees him for who he really is—"Messiah." And in that moment of spiritual perception, she lives to tell his good news to the city that has both shared her and shunned her.

When Jesus was teaching about discipleship Matthew recalls, "And stretching out His hand toward His disciples, he said, "Behold, my mother and my brothers. For whoever does the will of my Father who is in heaven, he is my brother and sister and mother."45 Women are here included as disciples. Obedience to the will of the Father was the hallmark of Jesus’ disciples, whatever the gender. Women are granted the status of being active full-fledged followers of Christ.46

In the Judaism of Jesus’ day, discipleship was oriented toward acquiring particular skills in the religious arena and therefore was primarily restricted to men.47 But Jesus’ form of discipleship is instead oriented toward transformation of the person’s life to be like him.

We also see Jesus’ appreciation of women’s spiritual capabilities in that it was a women (Mary Magdalene) who was first to receive news of His resurrection and then she was given the honored position of telling the disciples.48 She is a woman who was once possessed by demons and at the empty tomb she finds herself in the presence of angels. She is despondent and she tells them the reason for her tears. Then, from behind, another voice reaches out to her. Maybe the morning is foggy; maybe tears blur her eyes. Maybe Jesus is the last person she expects to see. Whatever the case, she doesn’t recognize him. That is, until he says, "Mary!" She blinks away the tears and can hardly believe her eyes. She had been there when he suffered at the cross; now he is there when she is suffering. She had stood by him in his darkest hour; now he is standing by her in hers. He had seen her tears; now he is there to wipe them all away.49

Jesus interrupts the embrace to send her on a great commission—to tell the disciples the good news. In his triumph, Jesus could have paraded through the streets of Jerusalem. He could have knocked on Pilate’s door. He could have confronted the high priest. But the first person our resurrected lord appears to is a woman without hope and he gives her a ministry.

2. Jesus Appreciated Women’s Intellectual Capabilities.

While there were conflicting attitudes about the education of women among the rabbis,50 there was no confusion with Jesus. We’ve already seen Him instructing the woman at the well about spiritual truth. Not only did Jesus talk with women, he also taught them. She was the first person to whom he revealed he was the Messiah.

As Jesus and the Twelve disciples were traveling, they were invited into the home of Mary and Martha. While Martha was busy with the preparations for the guests, Mary was “listening to the Lord’s word, seated at his feet.”51 Three times in Scripture, when we observe Mary (sister of Martha and Lazarus) she is sitting at the feet of Jesus.52 This is the traditional posture of a learner, a student, and a disciple.53 What is of critical importance is the fact that Jesus would be willing to sit in conversation with women in such a manner, or that he might have instructed them privately as a rabbi might instruct a promising student. Jesus valued her enough to teach her and her physical posture reflects the posture of her heart -- humble, reverent, and teachable -- all the qualities of a good disciple. What Martha was cooking in the kitchen will be gone in a meal, but what’s being prepared in the other room with Mary is eternal and will go on forever.54 Jesus doesn’t want food, he wants fellowship. Jesus desires that all believers think, grow, learn and He is an equal opportunity teacher to both men and women. It is interesting to observe that often in his teaching Jesus would use a pairing of men and women and of illustrations from both a man’s world and a woman’s world to communicate the truth being taught.55

3. Jesus Appreciated Women’s Abilities to Serve.

Women participated in the ministry of Jesus, accompanying him in his travels. Luke mentions a number of women by name that were part of the entourage which followed Jesus.56 On a number of occasions they gave public testimony to Jesus’ ministry. A woman who needed healing from a bleeding hemorrhage touched his garment and was healed, and Jesus paid attention to her and Scripture says, "…she came trembling and fell down before him, and declared in the presence of all the people the why she had touched him and how she had been immediately healed."57

In Luke 7:36-50 and John 12:1-11 Jesus was anointed by women which means he received worship and adoration from them. There is no greater service to Jesus than worship,58 and they served him through their worship.

We see Jesus appreciate one woman’s act of service at the end of a weeklong prelude to His last Passover. He had road into town to the crowd singing hosanna and everything had gone downhill from there. After a lot of confrontation, Jesus was able to lose himself in the holiday crowd and he finds a quiet place on a bench opposite the temple treasury. For a change, all eyes are not on him. Instead, they are on the 12 trumpet-shaped coffers where people are filing by to deposit their offerings. Standing among them is a woman who is a widow.59 There is a place for widows in the ancient Jewish world, but it is not a place of importance, like the priest’s. It is not a place of influence, like the merchant’s. It is a place with orphans and transients.60 A dependent place with little income and barely surviving. The place she’s at now is the treasury, where she’s standing in line with the little she has left palmed in her hand; two copper coins. The smallest offering the temple allowed. And there she waits, quietly, patiently, until it is her time to give.

Jesus sees her standing there and he waves over his disciples so they can see her, too. The coins in her hand are so small and thin that when she drops them in the coffers, they don’t even clink. Heaven heard the sound, but on earth it fell on deaf ears…even the disciples, but this day Jesus makes sure they hear. And 2000 years later the service of this poor widow is still being talked about in lessons, lectures and literature.61 What a remarkable thing! Jesus stopped and noticed this act of service. He took such pleasure in so small a gesture. She served by giving. All that she had she gave. Her gift may not have meant a lot to the ministry of the temple, but it meant a lot to God. That is why the Savior, on his way to the costliest of sacrifices, stopped to honor this woman’s sacrificial act of service.

Whenever ministry is spoken of in the New Testament as being rendered directly to Jesus, it is the ministry of either angels or women. In the earthly life of Jesus we see women who glorified Jesus through their domestic responsibilities with which they ministered to him.62 The key word in "ministry" is "service." And again Jesus is the supreme example. Jesus’ entire redemptive purpose for coming to earth is encapsulated in Mark 10:45, "For even the Son of man did not come to be served, but to serve, and to give his life a ransom for many."

The question we began with was, “How does Jesus minister to women?” The answer is, “really good!” He came to serve. We see his service to women through talk, through teaching, through touch, and through thankful praise for their faith. As we all have a need to belong, feel worthy, and feel competent, we see that Jesus brings dignity, value, and worth to women and their roles of service as "daughters of God."

Bibliography

Arndt, William F. and F. Wilbur Gingrich. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. 2nd edition. (Chicago: University of Chicago Press, 1979). S.v. “ swfronevw.”

Balsdon, J.P.V.D. Roman Women. London: Bodley Head, 1962.

Baumgarten, Joseph M. Studies in Qumran Law. Leiden: Brill, 1977.

Bullough, Vern L. The Subordinate Sex: A History of Attitudes Toward Women. Chicago: University of Illinois Press, 1973.

Carcopino, Jérôme. Daily Life in Ancient Rome. New Haven: Yale University Press, 1940.

Clark, Stephen B. Man and Woman in Christ: An Examination of the Roles of Men and Women in Light of Scripture and the Social Sciences. Ann Arbor: Servant Books, 1980.

Congo, Jan. Free to Be God’s Woman. Ventura, CA: Regal Books, 1988.

Edersheim, Alfred. Sketches of Jewish Social Life in the Days of Christ. London: James Clarke, 1961.

Ferguson, Everett. Backgrounds of Early Christianity. Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1987.

Foh, Susan T. Women and the Word of God: A Response to Biblical Feminism. N.p.: Presbyterian and Reformed, 1980.

Friedrich, Gerhard, ed. Theological Dictionary of the New Testament, Vol. VII, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1971), s.v. “ swfronevw,” by Ulrich Luck.

Gire, Ken. Moments with the Savior: A Devotional Life of Christ. Grand Rapids: Zondervan, 1998.

Goldin, Hyman E. ed. Ethics of the Fathers. New York: Hebrew Publishing Company, 1962.

Green, Joel B. The Gospel of Luke. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans, 1997.

Grudem, Wayne. Evangelical Feminism & Biblical Truth. Sisters, Oregon: Multnomah, 2004.

Guthrie, Donald. Jesus the Messiah. Grand Rapids, MI: Zondervan, 1972.

Heine, Susanne. Women and Early Christianity: A Reappraisal. Minneapolis: Augsburg, 1988.

Holley, Bobby Lee. God’s Design: Woman’s Dignity. Mission III:10, April, 1975. Quoted in Lesly F. Massey. Women and the New Testament: An Analysis of Scripture in Light of New Testament Era Culture. Jefferson, N.C.: McFarland & Co., 1989.

Hurley, James B. Man and Woman in Biblical Perspective. Grand Rapids: Zondervan, 1981.

Josephus, Flavius. The New Complete Works of Josephus. Translated by William Whiston. Grand Rapids, MI: Kregel, 1999.

Joshel, Sandra R. and Sheila Murnaghan, eds. Woman and Slaves in Greco-Roman Culture: Differential Equations. New York: Routledge, 1998.

Kraemer, Ross Shepard and Mary Rose D’Angelo, eds. Women and Christian Origins. New York: Oxford University Press, 1999.

Lauterbach, Jacob Z. Studies in Jewish Law, Custom, and Folklore. New York: Ktav, 1970

Massey, Les F. Women and the New Testament: An Analysis of Scripture in Light of New Testament Era Culture. Jefferson, N.C.: McFarland & Co., 1989.

McKeon, Richard, ed. The Basic Works of Aristotle. New York: The Modern Library, 1941.

Neusner, Jacob. The Mishnah: A New Translation. New Haven: Yale University Press, 1988.

Piper, John and Wayne Grudem. Recovering Biblical Manhood & Womanhood: A Response to Evangelical Feminism. Wheaton, IL: Crossway Books, 1991.

Ryrie, Charles C. The Role of Women in the Church. Chicago: Moody Press, 1970.

Saucy, Robert L. and Nancy Hadesty. Women and Men in Ministry: A Complementary Perspective. Chicago: Moody Press, 2001.

Sayers, Dorothy. Are Women Human. Downer Groves, IL: InterVarsity Press,1971.

Stambaugh, John E. and David L. Balch. The New Testament in Its Social Environment. Philadelphia: Westminster Press, 1986.

Stedman, Elaine. A Woman’s Worth. Waco: Word Books, 1975.

Swidler, Leonard, Women in Judaism: The Status of Women in Formative Judaism, Metuchen, N.J.: Scarecrow Press, 1976 [database on-line]; available from http://global-dialogue.com/swidlerbooks/womenjudaism.htm.

Tournier, Paul. A Place for You. New York: Harper & Row, 1968.

Wright, H. Norman. Questions Women Ask in Private. Ventura, CA: Regal Books, 1993.


1 The Greek word use here, swfronevw means “to observe the proper measure” (Friedrich, Gerhard, ed. Theological Dictionary of the New Testament, Vol. VII, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1971), s.v. “ swfronevw,” by Ulrich Luck), and “to be reasonable, sensible, serious, and to keep one’s head (Arndt, William F. and F. Wilbur Gingrich. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. 2nd edition. (Chicago: University of Chicago Press, 1979). s.v. “ swfronevw.”). Paul defines this measure as mevtron pivstis, the measure of faith. Our identity is to be found in spiritual realities, not the false standards of culture or society.

2 H. Norman Wright develops a biblical and accurate approach to self-esteem and identity in chapter two of Questions Women Ask in Private, (Ventura, CA: Regal Books), 43-58. He presents the basis for a healthy self-image as containing the need to belong, the need to feel worthy and the need to feel competent. All of these needs are evidenced in the way that Jesus dealt with women in the New Testament.

3 Jan Congo, Free to Be God’s Woman, (Ventura, CA: Regal Books), 27.

4 One of the early and groundbreaking studies of the history of attitudes toward women is by history professor Vern L. Bullough, The Subordinate Sex, (Chicago: University of Illinois) written in 1973. This study traces ideas about women in the ancient Near Eastern Law Codes, Greek attitudes, attitudes about women in early Judaism and Christianity as well as Muslim and Hindu views. Though dated, pages 355-366 contain a helpful guide to further reading.

5 Accessed February 5, 2005 at http://www.futurechurch.org/wicl/jesuswomen2.htm.

6 Nancy Demand in her chapter “Women and Slaves as Hippocratic Patients” from Sandra R. Joshel and Sheila Murnaghan, eds. Woman and Slaves in Greco-Roman Culture: Differential Equations, (New York: Routledge), 70, discusses the marginalizing characteristics in Greek culture of both slaves and free women. She states, “Neither was allowed full development of potential beyond the limited roles they were to play, and both were inducted into these roles as soon as they were capable of performing them.” (69) Commenting on Aristotle she points out that his view was that the inferiority of the female was not limited to the body but extended to the soul as well. He conceived of the soul as having two parts, the rational and the emotional. She says, “in free adult males both the emotional and the rational parts of the soul were fully developed and the rational was naturally in control. The souls of women, however, had less well-developed rational parts, although their emotional souls were fully formed. As a result, women were ruled by emotion.” (70).

7 Aristotle. Politics 1254b. The Basic Works of Aristotle, ed., Richard McKeon. (New York: The Modern Library), 1132. Also [database on-line] at http://classics.mit.edu/ Aristotle/politics.1.one.html.

8 Demand, 83. While in one sense the Hippocratic doctors saw no natural distinction between slave and free, Nancy Demand states, “…such an idealistic conclusion ignores the abundant evidence for occupational injuries and illnesses and the probable treatment of slaves as instruments of the oikos, and the focus on successful reproduction in women, which also relegated them to the instrumental category. Doctors reflected the larger society and its values, when they saw, and treated, slaves and women as uni-dimensional beings.” Nancy Demand is a professor in the Department of History at Indiana University, Bloomington. She has done extensive research in the field of women and medicine and social history.

9 Jérôme Carcopino, Daily Life in Ancient Rome, (New Haven: Yale University Press), 76-100.

10 Vern L. Bullough, The Subordinate Sex: A History of Attitudes Toward Women, (Chicago: University of Illinois Press), 95. Bullough says, “It was as wife and mother that the woman had a place in Roman society, and as the mother of sons that she earned her reputation…Rome was a man’s world and women’s purpose was to serve men.” (96).

11 Holt Parker states in his chapter, “Loyal Slaves and Loyal Wives: the crisis of the outsider-within and Roman exemplum literature” from Sandra R. Joshel and Sheila Murnaghan, eds. Woman and Slaves in Greco-Roman Culture: Differential Equations, (New York: Routledge), “This split in the composition of the familia is encoded in the standard legal definition: “The various persons who are subject either by law or nature to the legal power (potestas) of a single person, namely the father of the family (paterfamilian).” The law thus recognizes two distinct groups: children, subject to the father’s power by the natural bond of blood kinship, and his wife and slaves, subject to his power only by law and lacking any “natural” kinship.…Both slaves and wives are intimate parts of the family, yet both are still thought of as foreign, as outsiders.” (154)

12 Ibid., 155.

13 Carcopino, 95-100. An epidemic of divorces is recorded. Carcopino states, “thus in the Rome of the Antonines Seneca’s words were cruelly just: “No woman need blush to break off her marriage since the most illustrious ladies have adopted the practice of reckoning the year not by the names of the consuls but by those of their husbands. They divorce in order to re-marry. They marry in order to divorce: exeunt matrimonii cause, nubunt repudii.” (100).

14 J.P.V.D. Balsdon, Roman Women, (London: Bodley Head), 230-234.

15 James B. Hurley states, “the rapid rate of change created a situation of virtual chaos with respect to customs. We can discern general trends among the wealthy and within the legal situation, but we are at a loss to demonstrate how these relate to most specific locations.” Man and Woman in Biblical Perspective, (Grand Rapids: Zondervan), 75. John Stambaugh and David Balch state that, “the women of the upper classes—mother, wives, and daughters—were expected, both in Greek and in Roman tradition, to be modest and unobtrusive and to lead uneventful and unexciting lives….Nevertheless, many fine stories were told of strong Roman women operating behind the scenes, influencing their men folk to take some public action….” The New Testament in Its Social Environment, (Philadelphia: Westminster Press), 111.

16 The slave/free contrast is mentioned specifically six times in the New Testament (1 Corinthians 7:21, 22; 9:19; Ephesians 6:8; Revelations 6:15) and the male/female contrast is included in one of those (Gal. 3:28). What a powerful and radical statement for the Apostle Paul to level the differential equation when talking about our equal access to a spiritual relationship with God!

17 Josephus, Against Apion 2.201.

18 M. Berakoth 3.3; m. Sukkah 2.8.

19 J. Sotah 3.4. The comment about the words of the Torah being burned is from the Jerusalem Talmud and is omitted in the later Babylonian Talmud. In general, whenever the Jerusalem Talmud (JT) contradicts the Babylonian Talmud (BT), the law follows the BT. Only on matters where the BT is silent or unclear does the authority of the JT prevail. The word translated “lasciviousness” is also translated “licentiousness” or “sexual satisfaction.”

20 B. Berakoth 20b. Accessed March 9, 2005 at http://www.come-and-hear.com/ berakoth/ berakoth_20.html. The question under discussion is whether the obligation of women to say grace after meals is rabbinical or Scriptural. It was the Sages that said it was a curse for a wife to say grace.

21 Tosephta Berakoth 7:18. The Tosephta are legal opinions that continue and comment on the Mishnah which were collected around 300 C.E. The Tosephta sites sources older than the Mishnah and is four times longer but has not achieved the same status as the Mishnah. In some editions of the Talmud the Tosephta commentaries are inserted at the end of each tractate.

22 M. Aboth 1.5

23 From the introduction to Ethics of the Fathers. Translated and annotated by Hyman E. Goldin, (New York: Hebrew Publishing Company), XIII.

24 M. Kiddushin 1.1-6.

25 M. Rosh Hashanah 1.8 (Neusner), 301. Joseph Baumgarten states, “there are many practices and traditions commonly accepted in all periods, which do not appear in any codes of law. In the Mishnah, too, the disqualification of women was not specifically codified but referred to indirectly as a matter of common knowledge….Similarly, it has been inferred from the general practice of Athenian and Roman law that women were, with few exceptions, excluded from the witness box. Josephus (Antiq. IV, 8.15) attributes the incapacity of women as witnesses to the Law of Moses, thus indicating at least that this was the general Jewish practice in his time.” Studies in Qumran Law, (Leiden: Brill), 185.

26 Josephus. War 5.2.

27 Midrash, GnR. 45, 5. Leonard Swidler states that in the Midrash Rabbah on Deuteronomy, Tanna Rabbi Levi is said to have characterized women as “greedy, inquisitive, envious, and indolent” and other rabbis added that women were “querulous and gossips.” Women in Judaism: The Status of Women in Formative Judaism, (Metuchen, N.J.:Scarecrow Press), [database on-line]; accessed March 12, 2005 at http://global-dialogue.com/swidlerbooks/womenjudaism.htm.

28 While there are numerous rabbinical statements that devalue and present an inferior position of women in Judaism, it must also be noted that at other places rabbinical literature reiterates the Old Testament directive to honor both father and mother (Exodus 20:12; Leviticus 19:3, 9:1). It would be unfair to say that women were totally marginalized in Jewish society in that the Mishnah itself contains one whole division (Nashim) dedicated to women. Though mostly regulatory, it nevertheless highlights their presence in society. Michael Wilkins, in his chapter titled “Women In the Teaching and Example of Jesus” states, “It is quite likely that women experienced a more elevated status and more personal freedom than the somber picture painted in much of the rabbinical literature. The gospel record of Jesus and His relationship with women seems to confirm a more balanced attitude toward women.” Robert L. Saucy, and Nancy Hadesty, Women and Men in Ministry: A Complementary Perspective, (Chicago: Moody Press), 95. For helpful background information on the status of women in Judaism that recognizes the paradox of rabbinical statements see Charles C. Ryrie, The Role of Women in the Church, (Chicago: Moody Press), 7-13. Orthodox Jewish scholarship has traditionally understood the difference between functioning roles and personal value. Similar to evangelical complimentarians today, when asked about women being ordained as rabbis, Jacob Lauterbach wrote in the Central Conference of American Rabbis Year Book in 1922, “…there is…no injustice done to woman by excluding her from this office. There are many avenues open to her if she choose to do religious or educational work. I can see no reason why we should make this radical departure from traditional practice except the specious argument that we are modern men and, as such, we recognize the full equality of women to men, hence we should be thoroughly consistent. But I would not class the rabbis with those people whose main characteristic in consistency." Jacob Z. Lauterbach, Studies in Jewish Law, Custom, and Folklore, (New York: Ktav), 246. It also is interesting that the wife of a rabbi is referred to as a “rebbetzin,” practically a title of her own, which should give some idea of her significance in Jewish life.

29 Wright, 50.

30 Paul Tournier, A Place for You, (New York: Harper & Row), 163.

31 Hurley, 82. He goes on to say, “Although the gospel texts contain no special saying repudiating the views of the day about women, their uniform testimony to the presence of women among the followers of Jesus and to his serious teaching of them constitutes a break with tradition which has been described as being ‘without precedent in [then] contemporary Judaism’.” (82-83). Of course this must all be approached and understood in balance with Jesus’ redemptive plan for all of mankind and not used as a platform for a personal or social agenda. Biblical theology does not allow us, as many have attempted, to redefine Jesus and “the feminine man” or using Jungian archetypes, the “integrated man.” Susanne Heine, Women and Early Christianity: A Reappraisal, (Minneapolis: Augsburg) is one such feminist attempt. Jesus cannot be thought of as a religious reformer. Although he pointed out the hypocrisy among religious leaders and the vanity of legalism and impractical dogma, he was not concerned with reforming Judaism. His aim was to establish a completely new doctrine and a new kingdom, founded upon a new covenant, new sacrifice and new priesthood with new and better promises. Early in his ministry Jesus walked into the synagogue of Nazareth, where he was reared, and opening the scroll of Isaiah read, “The Spirit of the Lord is upon me, because he anointed me to preach the gospel to the poor. He has sent me to proclaim release to the captives, and recovery of sight to the blind, to set free those who are downtrodden, to proclaim the favorable year of the Lord” (Luke 4:18-19). After returning the scroll to the official, Jesus sat down and declared, “Today this Scripture has been fulfilled in your hearing” (Luke 4:21). This was the manner of Jesus. The change he brought to culture was not by means of military conquest, financial gain or social subjugation, but through humility and service to others. His ultimate sacrifice formed a new community through which he continues to manifest his love and the value of each person.

32 “In Jesus’ actions and attitudes, in his willingness to come up against the traditions of cultures, in his loving concern, he was revealing the will of God….Jesus treated women of whatever sort as persons of value and worth, as genuine human being, not just as inferior or despised females. There was never in his manner any condescending, sentimentalizing, jeering, patronizing or putting them in their place.” Holley, Bobby Lee. God’s Design: Woman’s Dignity. Mission III:10, April, 1975., 294. Quoted in Lesly F. Massey. Women and the New Testament: An Analysis of Scriptire in Light of New Testament Era Culture, (Jefferson, N.C.: McFarland & Co.), 6.

33 Dorothy Sayers, Are Women Human, (Downer Groves, IL: InterVarsity Press), 47.

34 John 4:1-45.

35 In Jesus’ day, relations between Jews and Samaritans were generally characterized by bitter hostility. Samaritans were considered to be impure half-breeds and although recognized in the Torah, they were suspected of being an idolatrous cult on the basis of their veneration of Mount Gerizim as a holy mountain. Josephus portrays the Samaritans (Shechemites) as being “evil and enviously disposed to the Jews (Ant. 11.4.9) and a refuge for Jewish religious apostates (Ant. 11.8.7). He also records an occasion when some Samaritans tried to desecrate the Jerusalem temple on the eve of the Passover (Ant. 18.2.2), and another instance when they attacked Jewish pilgrims on their way to Jerusalem (Ant. 20.6.1). In the Babylonian Talmud: Tractate Sotah, the term “Samaritan” is used as an insult along with “boor” and “magician” (b. Sotah 22a), [accessed March 12, 2005 at] http://www. come-and-here.com/sotah/sotah_22.html. Jesus broke with his Jewish contemporaries’ hostility toward Samaritans. His coming had created a level playing field where ethnic distinctions gave way to spiritual considerations bound up with obedience to God and acceptance of Jesus as the Messiah as evidenced in his encounter with the Samaritan woman.

36 M. Ketuboth 7.6 This passage is from the Mishnah’s tractate on marriage contracts and states that if a woman transgresses the law of Moses and Jewish law, she is not entitled to payment of the marriage contract on the termination of the marriage. The text provides three instances of what is meant by the term “Jewish law.” If (1) she goes out with her hair flowing loose, or (2) she spins in the marketplace, or (3) she talks with just anybody.”

37 John 4:10, 14.

38 John 4:9. Another aspect of this may be the attitude of the Jews toward Samaritan women as reflected in the Mishnah. There it says, “Samaritan women are deemed menstruants from their cradle” (m. Nidda 4.1). Since a Samaritan woman was regarded as unclean at all times, any vessel she held or drank from would likewise be rendered unclean. It is this regulation, perhaps, that Jesus ignored by asking a drink from a vessel carried by a Samaritan woman. On all counts he cared more about her as a person, than about any social, cultural, or religious taboo.

39 John 4:27.

40 Adapted from devotional writer Ken Gire, Moments with the Savior: A Devotional Life of Christ, (Grand Rapids, MI: Zondervan), 88-89.

41 Luke 13:10-17. This brief account illustrated Jesus’ compassion for her condition and his desire to give assistance even when unsolicited.

42 Luke 10:16 cp. Luke 19:9. Lest this passage, and others, be viewed only through the eyes of the gender issue, Donald Guthrie expresses the opinion that the incident was recorded primarily to illustrate the weakness of legalism in its approach to human problems. He says, “Enthusiasm for the Law is admirable, but when religious observance becomes more important than human needs, decay has set in. Jesus did not advocate slavish devotion to legalism. If most Christians had always followed him in this, much of the tragic acrimony in church history would have been avoided. Cherished forms, liturgies and church order need reexamination so that we may discover whether or not, in our enthusiasm to retain them, we are preventing “bent” lives from becoming straightened.” Jesus the Messiah, (Grand Rapids, MI: Zondervan), 207.

43 Wright, 50.

44 The following points of the outline are taken from the table of contents in Ryrie, The Role of Women in the Church, (Chicago: Moody Press), ix.

45 Matt. 12:49-50.

46 The book of Acts confirms this. Luke clearly uses the word disciple to refer both to men and women (Acts 6:1-7; 9:10, 36; 16:10). Luke even uses the rare feminine form of the word “disciple” ( maqhvtria) to refer specifically to Tabitha (Dorcas) in Acts 9:36.

47 Saucy and Tenelshof, 98.

48 John 20:1-18. Wilkins states, “The Crucifixion and Resurrection accounts tell us a decisive number of things about God’s purposes for women in the life and ministry of Jesus….women are validated as worthy of the most privileged service in the community of faith, bearing witness to the reality of the risen Lord Jesus. This is an indication that within the community of faith they are to be restored to be co-laborers with men in the community of faith, a role they had been assigned from the beginning of creation (Gen. 1:26-28),” 111. As to the uniqueness of Jesus giving this privilege of bearing witness see note 25 above.

49 Adapted from Gire, 379-381.

50 It is difficult to sort through just what the rabbis felt about the education of women. In the same passage of the Mishnah where Rabbi Eliezer excluded daughters from being taught the Torah (m. Sotah 3.4.H) Rabbi Ben Azzai says, “A man is required to teach Torah to his daughter (m. Sotah 3.4.F). Also in another tractate, a father is encouraged to teach “his sons and daughter Scripture” (m. Nedarim 4.3). Examples that support the education of women are within the sphere of the home and family. Formal education, for women, by the rabbis does not seem to be the accepted practice.

51 Luke 10:39.

52 Luke 10:39; John 11:2; and John 12:3.

53 Luke also records the Apostle Paul as saying, “I am a Jew, born in Tarsus of Cilicia, but brought up in this city, educated under Gamaliel, strictly according to the law of our fathers, being zealous for God, just as you all are today” (Acts 22:3) The Greek reads, paraV touVs povdas GamalihVl, (“at the feet of Gamaliel”).

54 Luke 10:40-42.

55 Just using the gospel of Luke we can observe the following mention of women and women related items in Jesus’ teaching along with many literary pairings:

Widow of Zarephath (4:25-26) [paired with Naaman]

Peter's Mother-in-Law (4:38-39) [paired with possessed man]

Widow of Nain's Son (7:11-17) [paired with Centurian's servant]

Those Born of Women (7:28) [no pairing]

Sinful Woman (7:36-50) [paired with Simon the Pharisee]

Women with Jesus (8:1-3) [paired with the Twelve]

Jesus' Mother and Brothers (8:19-21) [no pairing]

Jairus' Daughter and Woman with Hemorrhage (8:40-56) [Gerasene demoniac?]

Mary and Martha (10:38-42) [no pairing]

Woman praises Jesus' mother (11:27-28) [no pairing]

Queen of the South (11:31) [paired with Ninevites]

Mother vs. Daughter (12:53) [paired with Father vs. Son]

Crippled Woman (13:10-17) [paired with man with dropsy]

The Leaven (13:20-21) [paired with Mustard Seed]

Discipleship and Family (14:26) [paired with Father and Brothers]

The Lost Coin (15:8-10) [paired with the Lost Sheep]

The Divorce Saying (16:18) [no pairing]

Lot's Wife (17:32) [paired with Lot]

Women Grinding (17:35) [paired with men in the field]

Widow and Judge (18:1-8) [paired with Pharisee and the Tax Collector]

Leaving House, Wife, Etc. (18:29) [no pairing]

Woman with seven Husbands (20:27-40) [no pairing]

Devouring Widows' Houses (20:47) [no pairing]

Widow's Offering (21:1-4) [paired with Scribes, see 20:47]

56 Luke 8:1-3 list Mary Magdalene, Joanna, Susanna, and “many others.” We do not know the extent, if any, that they traveled with Jesus, but there is no evidence of criticism from the Pharisees in this regard. One commentator says of these women that they “are thus characterized as (1) persons who mirror the graciousness of Jesus’ own benefaction, (2) persons who, like Jesus, “serve” others (cf. 22:24-27), and (3) exemplars of Jesus’ message on faith and wealth…whose lives anticipate Luke’s portrait of the early Christian community among whom “no one claimed private ownership of any possessions, but everything they owned was held in common” (Acts 4:32). In its current co-text, 8:1-3 thus parades these women (and not the twelve) as persons who both hear and act on the word of God (8:21; cf. 6:46-40).” Joel B. Green, The Gospel of Luke, (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans), 1997.

57 Luke 8:47; also see Luke 13:10-17.

58 Romans 12:1.

59 Luke 21:1-4; Mark 12:41-44.

60 James 1:27. Widows were a disadvantaged class in Hebrew society. To help counter their plight, the Mosaic Law contained a number of very specific provisions to protect and provide materially for the often needy widow (Lev. 22:13; Deut. 14:28-29; 16:10-11). This included the principle of Levirate marriage, which required a man to marry his deceased brother’s widow if there had been no children.

61 A google search (March 15, 2005) on “widow’s mite” resulted in 26,500 entries.

62 Matt. 8:14-15; Luke 8:1-3; John 12:1-2.

 

Related Topics: Issues in Church Leadership/Ministry

Kesimpulan

Ujian kami belum berakhir. Tapi saat saya mengakhiri buku ini, saya bisa membagikan pelajaran yang sudah saya dan Elsie dapatkan saat Tuhan menghibut kami. Mari kita lihat 2 Corinthians 1:4: yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah. Penghiburan Tuhan dalam ujian kami menjadi bagian dari program pelatihanNya bagi kita. Dia menyiapkan kita agar bisa melayani yang lain.

Sejak Elsie stroke pada March 27, 1982, jumlah orang yang kami doakan bertambah 6 kali lipat. Kami memiliki rasa empati dan simpati bagi yang lain, yang belum kami rasakan sebelumnya. Itu diberikan Tuhan agar kami bisa meneruskannya pada orang yang menderita yang hidupnya kami sentuh.

Surat dan telepon dari berbagai bangsa dan Kanada datang pada kami untuk minta didoakan. Begitu banyak orang yang terluka didunia ini! Melalui ruang tunggu Tuhan, satu dimensi telah ditambahkan untuk pelayanan kami –membawa penghiburan bagi yang lain. Ini merupakan hak istimewa dan suatu tanggung jawab. Dan kami belajar bahwa saat kami menghibur orang lain, kami juga dihibur.

Related Topics: Suffering, Trials, Persecution

Pages