Senin 04 Feb 2019 15:00 WIB

Memahami Makna Adab

Adab menurut Rasulullah SAW adalah pendidikan tentang kebajikan.

Adab bertamu/Ilustrasi
Adab bertamu/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Acap kali kata adab terlintas di beragam referensi atau terucap dari petuah bijak seseorang, tetapi apa sebenarnya definisi dan makna dari adab itu sendiri?

Dalam bahasa Arab, kata adab merupakan bentuk kata benda dari kata kerja adaba yang berarti kesopanan, sopan santun, tata krama, moral, nilai-nilai, yang dianggap baik oleh masyarakat.

Mengutip pernyataan Abu Isma’il al-Harawi, pengarang kitab Manazil as-Sa’irin, yang dimaksud dengan adab adalah menjaga batas antara berlebihan dan meremehkan serta mengetahui bahaya pelanggaran. Keberhasilan seseorang biasanya ditentukan oleh adab yang dimiliki.

Menurut Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali karya Luqman Junaedi, adab menurut Rasulullah SAW adalah pendidikan tentang kebajikan yang merupakan bagian dari keimanan.

Masih di buku yang sama, al-Hujwiri berpendapat, adab merupakan keindahan dan kepatutan suatu urusan agama atau dunia. Kesemuanya itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi.

Nilai-nilai ketaatan kepada Allah SWT dan cinta kepada Rasulullah biasanya berdasar pada pendidikan moral. Seseorang yang tidak peduli dengan pendidikan moral, ia tidak akan mampu mencapai derajat kesalihan.

Untuk dicintai oleh Allah, segala sesuatu dilakukan harus bersih dan terpuji. Sebab itu, adab merupakan bagian dari keseluruhan kegiatan ibadah. Menutup aurat, berwudhu, mandi, bersuci, dan berhias merupakan bagian dari adab. Semata-mata hal itu dilakukan karena mereka akan menghadap Allah.

Adab atau kesopanan di hadapan Allah juga diperintahkan langsung. Ini seperti perintah berbusana yang baik dan sopan ketika shalat. “Pakailah pakaian yang indah ketika memasuki masjid.” (QS al-Araaf [7] : 31).

Dalam kasus berdoa sebagai contoh, ada beberapa adab yang mesti diperhatikan oleh Muslim. Ini dengan tujuan agar doa tersebut dikabulkan oleh Tuhan.

Ahmad bin Muhammad bin Ajibah al-Hasani dalam Iqazh al- Himam Fi Syar al-Hikam mengemukakan ada empat adab yang dilakukan ketika memanjatkan doa.

Pertama, niat berdoa adalah ibadah. Berdoa merupakan bentuk pengabdian, artinya doa mesti bersifat meminta, bukan menuntut.

Hal itu karena ketetapan menyangkut seseorang telah tertulis sejak zaman azali. Bahkan, sebelum permintaan mereka dipanjatkan. Tetapi, Allah berkuasa untuk memberi, menahan, dan menolak permintaan hamba-Nya.

Kedua, pengajuan doa harus dibarengi dengan ibadah yang tekun. Mengharap surga, pahala, dan kedudukan yang tinggi bisa tercapai bila kualitas ibadah semakin baik. Tidak dikotori dengan ragam perusak amal, seperti riya, ujub, dan tergesa-gesa.

Bila demikian, ibadah pun tidak sempurna. Bahkan, bisa tertolak di sisi-Nya. Ibadah yang bukan karena Allah bisa dikategorikan sebagai penyekutuan Allah dengan makhluk-Nya. “Dan, itu termasuk dosa besar,” kata al-Hasani.

Ketiga, bersikap pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah. Doa akan mendapatkan setidaknya tiga respons yang berbeda. Terkabul lantaran memang baik untuknya. Kedua, penundaan karena belum membutuhkan dan dapat diganti dengan yang lain atau diberikan saat di akhirat. Dan ketiga, penolakan sebab akan berdampak mudharat pada yang bersangkutan.

Keempat, ketika doa telah terkabul maka apa yang telah diminta harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Apa yang telah dikabulkan harus ditujukan pada perbuatan baik yang diridhai oleh Allah.

Dan, adab tidak terbatas pada persoalan personal dan transendental. Tetapi, juga mencakup tata krama berinteraksi dengan sesama. Tentu berbeda antara adab terhadap Allah dan Rasul-Nya dan adab kepada guru, murid, orang tua, atau tetangga, misalnya.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement