TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai tindakan pemerintah yang memperlambat akses Internet (throttling) di wilayah Papua melanggar hak konstitusional masyarakat.
Bahkan, Dewan HAM PBB, kata Elsam, mengecam praktik penutupan internet sebagai tindakan disruptif terhadap akses terhadap informasi online.
"Rentetan tindakan penutupan internet tersebut merupakan catatan buruk dalam tata kelola internet di Indonesia, yang seharusnya konsisten dengan penghormatan hak asasi manusia dan demokrasi," ujar peneliti Elsam, Wahyudi Djafar, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis, 22 Agustus 2019.
Wahyudi mengatakan akan ada beberapa kerugian dengan pembatasan internet ini. Pertama, menghambat akses masyarakat untuk bertukar informasi penting terkait keamanan.
Kemudian, menghalangi masyarakat untuk berkomunikasi dengan satu sama lain dalam hal darurat. Lalu, menyulitkan kerja-kerja jurnalisme dan tingginya dampak negatif penutupan internet terhadap ekonomi sebuah negara.
"Pemerintah, alih-alih mengembalikan keadaan menjadi kondusif dan normal, internet shutdown justru menyebabkan meningkatnya intensitas kekerasan saat berlangsungnya unjuk rasa," kata Wahyudi.
Kendati demikian, Wahyudi menjelaskan sebenarnya dalam keadaan darurat negara memang diperbolehkan adanya tindakan pembatasan (termasuk akses informasi), dalam rangka pemeliharaan keselamatan, kesehatan, dan ketertiban umum.
Namun, dalam pembatasan ini, Wahyudi menilai, pemerintah Indonesia gagal menerjemahkan unsur pembatasan, terutama dengan alasan ‘keadaan darurat'. Bahkan, siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika juga tidak menjelaskan keadaan darurat secara gamblang.
Atas dasar itu lah, Wahyudi mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memulihkan akses terhadap informasi di Papua dan Papua Barat dengan menghentikan penutupan internet di kedua wilayah tersebut.