TEMPO.CO, Doha – Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, mengecam pernyataan penasehat keamanan Amerika Serikat, John Bolton, soal penerapan Doktrin Monroe kepada Venezuela sebagai pernyataan arogan dan menghina.
Baca:
Bolton menyebut penerapan Doktrin Monroe saat wawancara dengan CNN pada akhir pekan lalu sebagai alasan AS untuk menerapkan sistem demokrasi di Venezuela dan menjatuhkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro, yang dianggap diktator.
“Teori dan praktek politik 'pintu belakang' sangat menghina. Ini mengapa saya meyakini negara-negara di Amerika Latin akan bereaksi terhadap pernyataan arogan Bolton,” kata Lavrov di Doha, Qatar, kepada media pada Senin, 4 Maret 2019, seperti dilansir Sputnik News.
Lavrov mengatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan lembaga universal dan memiliki legitimasi untuk mengatur hukum internasional sejak pendiriannya pada 1945. Menurut dia, penerapan Doktrin Monroe tidak hanya menghina Venezuela tapi juga semua negara di Amerika Latin.
Baca:
Secara terpisah, pemerintah Rusia mengatakan akan mencegah upaya intervensi militer AS ke Venezuela. “Kami merasa prihatin AS bakal melakukan provokasi untuk menumpahkan darah, mencari penyebab dan alasan untuk mengintervensi Venezuela,” kata Valentina Matvienko, juru bicara parlemen Rusia, kepada Wakil Presiden Venezuela, Delcy Rodriguez, di Moskow.
Dalam wawancara dengan CNN, Bolton mengatakan AS menerapkan Doktrin Monroe agar sistem demokrasi bisa diterapkan di seluruh wilayah AS dan sekitarnya. Ini dilakukan lewat mempengaruhi negara – negara di Amerika Latin termasuk Venezuela.
Doktrin Monroe ini mengacu kepada kebijakan Presiden James Monroe pada 1823 yang berisi penolakan kolonialisme Eropa di kawasan benua Amerika. Dokumen yang dikeluarkan pada waktu itu menyatakan semua negara di Amerika Selatan sebagai wilayah kepentingan AS.
Baca:
Saat ini, seperti dilansir Reuters, pemerintah AS mendukung pemimpin oposisi Juan Guaido untuk menggantikan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro. Guaido telah menyatakan dirinya sebagai Presiden interim menjelang akhir Januari 2019 dan mendesak warga Venezuela untuk berunjuk rasa meminta Maduro mundur.
Maduro, yang memenangkan pemilu Presiden kedua kali untuk masa jabatan enam tahun berikutnya hingga 2025, menuding Guaido sebagai ‘boneka Amerika’ dan berupaya mengkudetanya. Maduro mendapat dukungan dari Rusia, Cina, Turki, Kuba dan Nikaragua.
Sedangkan Guaido, selain didukung AS, juga mendapat dukungan dari Uni Eropa, Argentina, Brasil dan beberapa negara Amerika Latin lainnya.
Baca:
Saat ini, Guaido sedang berada di luar Venezuela setelah mengikuti rapat dengan Wakil Presiden AS, Mike Pence, di Kolombia. Maduro mengancam akan menangkap Guaido jika kembali ke Venezuela karena telah melanggar permintaan Mahkamah Agung agar tidak berpergian ke luar negeri terkait kasus hukum yang masih berjalan.